tertulis seperti adat istiadat, pamali, tradisi, kesepakatan, konvensi, dan sejenisnya dengan beragam nama. Bentuk kelembagaan yang beragam seperti informal dan
formal sama-sama memiliki tujuan kelembagaan, yaitu mengurangi ketidakpastian melalui pembentukan struktur atau pola interaksi. Sedangkan menurut Ostrom
1990 dalam Hidayat 2007 tujuan kelembagaan adalah untuk mengarahkan perilaku individu menuju arah yang diinginkan oleh anggota masyarakat serta
untuk meningkatkan kepastian dan keteraturan dalam masyarakat serta mengurangi perilaku oportunis.
2.2 Kelembagaan Wana Wisata
Wana wisata merupakan bagian dari ekowisata. Wana wisata adalah ekowisata yang hanya meliputi wilayah kawasan hutan. Menurut Fandeli 2000
yang dikutip oleh Avenzora 2008, ekowisata merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi, dan sosial.
Pada hakekatnya juga merupakan suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap
pelestarian areal,
memberi manfaat
secara ekonomi,
dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat sekitar.
Pengelolaan kawasan wana wisata harus dilakukan dengan pendekatan sebagai fungsi konservasi. Pendekatan fungsi konservasi adalah fungsi yang
meliputi fungsi kelestarian dan menjamin kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan kawasan wana wisata membentuk suatu kelembagaan wana wisata. Kelembagaan
kawasan wana wisata adalah kelembagaan yang mengelola kawasan wana wisata berdasarkan peraturan yang berlaku serta aturan main yang ditetapkan. Menurut
Eplerwood 1999 dalam Zulaifa 2006, terdapat delapan prinsip pokok di dalam pengelolaan wana wisata yang berbasis kerakyatan community based, yaitu:
1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap hutan.
2. Pendidikan konservasi lingkungan dengan sasaran wisatawan dan masyarakat setempat.
3. Pendapatan langsung untuk kawasan. Masyarakat sekitar kawasan dan pemerintah daerah setempat serta pengelola kawasan dapat menerima
langsung penghasilan dari kegiatan wana wisata tersebut. Retribusi yang
dibebankan terhadap pengunjung dapat digunakan secara langsung untuk membina, melestarikan, dan meningkatkan kualitas pelestarian alam.
4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan dan pengawasan pelaksanaan pengembangan wana wisata.
5. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara ekonomi yang diperoleh masyarakat yang terlibat dalam kegiatan wana wisata dapat mendorong
masyarakat menjaga kelestarian kawasan hutan. 6. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan fasilitas
dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. 7. Memperhatikan daya dukung sehingga walaupun permintaan tinggi tidak
selamanya harus dipenuhi karena terbatasnya daya dukung. 8. Peluang penghasilan pada tingkat lokal maupun nasional. Bila suatu kawasan
pelestarian dikembangkan untuk wana wisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong semaksimal mungkin sehingga berpengaruh terhadap
pendapatan secara lokal pemerintah daerah setempat atau bahkan sampai ke tingkat nasional. Hal ini sejalan dengan pendapat Kusworo 2000:31 yang
dikutip oleh Zulaifa 2006 bahwa pemerintah Indonesia berharap suatu saat sektor pariwisata dapat berperan sebagai pendorong peningkatan pendapatan
nasional yang pada gilirannya ikut meningkatkan kualitas hidup masyarakat di daerah tujuan wisata pada khususnya dan masyarakat umum.
Kegiatan pengembangan hutan sebagai kegiatan kawasan wana wisata tersedia dalam kebijakan umum dan kebijakan khusus yang digariskan di dalam
Undang-undang No.5 tahun 1990, peraturan pemerintah No.18, dan No.13 tahun 1994 seperti yang dikutip oleh Zulaifa 2006. Kebijakan umum berisi tentang,
“Pengembangan pariwisata alam dilakukan dalam kerangka mewujudkan kelestarian sumberdaya alam hayati dan keseimbangan ekosistemnya sehingga
dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.” Sedangkan kebijakan operasional sebagai penjabaran
kebijaksanaan umum berisi tentang: 1. Pengusaha pariwisata alam diserahkan kepada pihak ketiga, yaitu perorangan,
swasta, koperasi atau BUMN.
2. Pengusahaan pariwisata alam dilaksanakan pada sebagian kecil areal blok pemanfaatan dan tetap memperhatikan pada aspek kelestarian.
3. Pengusaha pariwisata alam tidak dibenarkan melakukan perubahan mendasar pada bentang alam dan keaslian habitat.
4. Pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka pengusahaan pariwisata alam harus bercorak pada bentuk asli tradisional dan tidak menghilangkan ciri
khas atau identitas etnis setempat. 5. Kegiatan pengusahaan pariwisata alam harus melibatkan masyarakat setempat
dalam rangka pemberdayaan ekonomi. 6. Pengusaha pariwisata alam harus melaporkan semua aktivitasnya secara
berkala untuk memudahkan kegiatan monitoring, pengendalian, dan pembinaan.
Kebijakan-kebijakan yang
telah dimuat
pemerintah untuk
menyelenggarakan kegiatan wisata alam perlu dijadikan patokan bagi pihak pengelola agar memperhatikan kondisi ekologis kawasan bukan hanya mencari
keuntungan. Kegiatan wana wisata jangan sampai menyebabkan kerusakan hutan. Wana wisata yang telah berjalan seharusnya dapat menjadi media pembelajaran
yang mengajarkan arti pentingnya kelestarian dunia.
2.3 Karakteristik Kelembagaan
Karakteristik kelembagaan bersifat dinamis terhadap perubahan yang terjadi. Perubahan kelembagaan dapat terjadi akibat adaptasi yang dilakukan
terhadap perubahan adaptasi yang terjadi pada perubahan dalam komunitas. Menururt Wiliamson 2000, berdasarkan cepat atau lambat, karakteristik
kelembagaan dibagi ke dalam empat tingkatan, yaitu: 1 level sosial masyarakat 2 level kelembagaan formal formal institutional environment, 3 level tata
kelola Governance, dan 4 perubahan bersifat kontinyu. Perubahan kelembagaan masyarakat adalah perubahan kelembagaan dimana keberadaan kelembagaan telah
menyatu dengan kehidupan masyarakat seperti tradisi, norma, dan lain-lain. Kedua, perubahan kelembagaan formal adalah kelembagaan yang lahir secara
sengaja seperti perundang-undangan konstitusi yang dibuat oleh lembaga legislatifpemerintah. Perubahan kelembagaan dapat terjadi pada kurun waktu 10