II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Kelembagaan
Para ilmuwan memandang kelembagaan dari sudut pandang yang berbeda- beda. Oleh karena itu, teori kelembagaan didefinisikan secara beragam.
Kelembagaan seperti yang dikutip oleh Yustika 2006, menurut Yeager 1999 memandang kelembagaan sebagai aturan main dalam masyarakat. Aturan main
tersebut mencakup regulasi yang memapankan masyarakat untuk melakukan interaksi. Sejalan dengan Yeager menurut Pejovich 1995 dalam Yustika 2006,
kelembagaan dapat mengurangi ketidakpastian yang inheren dalam interaksi manusia melalui penciptaan pola perilaku.
Ostrom 1990 dalam paper Block 2011 kelembagaan sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat arena yang menentukan siapa yang berhak
membuat keputusan, tindakan apa yang boleh dilakukan, dan yang tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku di umum di dalam masyarakat, prosedur apa
yang harus diikuti, informasi apa mesti atau tidak boleh disediakan, dan keuntungan apa yang akan individu terima sebagai hasil tindakannya. Sedangkan
menurut Soekanto 2006 ahli sosiologi di Indonesia mendefinisikan kelembagaan yaitu himpunan norma-norma segala tindakan yang berkisar pada suatu kebutuhan
pokok di dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, kelembagaan merupakan instrumen yang mengatur hubungan antar individu. Singkatnya, kelembagaan
adalah aturan main yang berlaku dalam masyarakat yang disepakati oleh anggota masyarakat tersebut sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi memiliki
kekuatan sanksi dengan tujuan terciptanya keteraturan dan kepastian interaksi diantara sesama anggota masyarakat. Interaksi yang dimaksud terkait dengan
kegiatan ekonomi, politik, maupun sosial. Pembagian kelembagaan menurut North 1991 membagi kelembagaan
menjadi dua, yaitu kelembagaan formal dan kelembagaan informal. Kelembagaan formal adalah peraturan tertulis seperti perundang-undangan, perjanjian kontrak,
perarturan bidang ekonomi, bisnis, politik, dan lainnya. Sedangkan kelembagaan informal adalah kelembagaan yang keberadaannya di masyarakat umum tidak
tertulis seperti adat istiadat, pamali, tradisi, kesepakatan, konvensi, dan sejenisnya dengan beragam nama. Bentuk kelembagaan yang beragam seperti informal dan
formal sama-sama memiliki tujuan kelembagaan, yaitu mengurangi ketidakpastian melalui pembentukan struktur atau pola interaksi. Sedangkan menurut Ostrom
1990 dalam Hidayat 2007 tujuan kelembagaan adalah untuk mengarahkan perilaku individu menuju arah yang diinginkan oleh anggota masyarakat serta
untuk meningkatkan kepastian dan keteraturan dalam masyarakat serta mengurangi perilaku oportunis.
2.2 Kelembagaan Wana Wisata
Wana wisata merupakan bagian dari ekowisata. Wana wisata adalah ekowisata yang hanya meliputi wilayah kawasan hutan. Menurut Fandeli 2000
yang dikutip oleh Avenzora 2008, ekowisata merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi, dan sosial.
Pada hakekatnya juga merupakan suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap
pelestarian areal,
memberi manfaat
secara ekonomi,
dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat sekitar.
Pengelolaan kawasan wana wisata harus dilakukan dengan pendekatan sebagai fungsi konservasi. Pendekatan fungsi konservasi adalah fungsi yang
meliputi fungsi kelestarian dan menjamin kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan kawasan wana wisata membentuk suatu kelembagaan wana wisata. Kelembagaan
kawasan wana wisata adalah kelembagaan yang mengelola kawasan wana wisata berdasarkan peraturan yang berlaku serta aturan main yang ditetapkan. Menurut
Eplerwood 1999 dalam Zulaifa 2006, terdapat delapan prinsip pokok di dalam pengelolaan wana wisata yang berbasis kerakyatan community based, yaitu:
1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap hutan.
2. Pendidikan konservasi lingkungan dengan sasaran wisatawan dan masyarakat setempat.
3. Pendapatan langsung untuk kawasan. Masyarakat sekitar kawasan dan pemerintah daerah setempat serta pengelola kawasan dapat menerima
langsung penghasilan dari kegiatan wana wisata tersebut. Retribusi yang