Analisis Perubahan Kelembagaan dan Dampak Pengganda (Multiplier Effect) Pengembangan Kawasan Wana Wisata (Studi Kasus: Gunung Galunggung, Kabupaten Tasikmalaya)

(1)

NASITA LIRA HENDARTINA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

ANALISIS PERUBAHAN KELEMBAGAAN DAN DAMPAK

PENGGANDA (

MULTIPLIER EFFECT

) PENGEMBANGAN

KAWASAN WANA WISATA


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Perubahan Kelembagaan dan Dampak Pengganda (Multiplier Effect) Pengembangan Kawasan Wana Wisata (Studi Kasus: Gunung Galunggung, Kabupaten Tasikmalaya) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2014

Nasita Lira Hendartina NIM H44090062


(4)

(5)

ABSTRAK

NASITA LIRA HENDARTINA. Analisis Perubahan Kelembagaan dan Dampak Pengganda (Multiplier Effect) Pengembangan Kawasan Wana Wisata di Gunung Galunggung, Kabupaten Tasikmalaya. Dibimbing oleh ACENG HIDAYAT. Gunung Galunggung adalah gunung yang terletak di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat dengan kawasan wana wisata yang menarik. Pengelolaan Kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung mengalami perkembangan melalui perubahan tata kelola sehingga dapat mempengaruhi efektivitas, hubungan antara stakeholder, dan dampak ekonomi yang dihasilkan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perubahan tata kelola kelembagaan melalui tahap inisiasi dimulai dengan tahap diskusi, kemudian tahap pembentukan dengan dibentuknya Memorandum of Understanding (MOU) antara pihak pengelola, dan sosialisasi melalui penyuluhan. Efektivitas kelembagaan dinilai melalui persepsi dari dua jenis responden yaitu anggota organisasi dan anggota non-organisasi. Efektivitas dinilai berdasarkan substansi kelembagaan dan dampak ekologi yang dihasilkan. Sebagian besar hasil persepsi menunjukan tingkat persepsi baik dan sedang, hanya segi aksesibilitas ke lokasi wisata yang menunjukan hasil tidak baik dan kurang baik. Stakeholder yang terlibat berjumlah tujuh stakeholder yang ditentukan berdasarkan identifikasi stakeholder melalui informasi key person dan perbedaan kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder. Dampak ekonomi yang dihasilkan diantaranya kesempatan kerja, peningkatan pendapatan asli daerah, dan peningkatan pendapatan masyarakat sekitar. Dampak ekonomi dihitung melalui analisis multiplier effect dihasilkan Keynesian Income Multiplier sebesar 1.36, Ratio Income Multiplier I sebesar 1.37, dan Ratio Income Multiplier II sebesar 1.49.


(6)

Effect Wana Wisata Deveploment Area, Galunggung Mountain, Tasikmalaya Regency. Supervised by ACENG HIDAYAT.

Mount Galunggung is located in Tasikmalaya Regency, West Java. It classified into ecotourism area that attract tourists for a wide range of tourist activities that offered. Ecotourism area in Galunggung which growing through institution changes. Institutional change in management can influence effectiveness, relationships between stakeholders, and the resulting economic impact. The objective of this research is to analyze institutional changes, where there is a change in institution through the initiation phase which begins with discussion stage, then formation stage by the establishment of the Memorandum of Understanding (MOU) between managers, and socialization through counseling. Institutional effectiveness assessed through perceptions that consists of two types of respondents, i.e members of the institutional and non-institutional members. Institutional effectiveness assessed based on the substance and the resulting ecological impacts. Most of the perception showed that the level of perception both good and moderate, just in terms of accessibility to tourist sites that show the results are not good and less good. There are seven stakeholders selection considered to identification from informants on the study area and assessed based on the importance and influence of each stakeholder. The economic impacts these resulted such as job opportunities, increase revenue, and household incomes. The economic impact was calculated through multiplier analysis of the Keynesian Income Multiplier, Ratio Income Multiplier type I, and Ratio Income Multiplier type II respectively 1.36, 1.37, and 1.49.


(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

NASITA LIRA HENDARTINA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2014

ANALISIS PERUBAHAN KELEMBAGAAN DAN DAMPAK

PENGGANDA (

MULTIPLIER EFFECT

) PENGEMBANGAN

KAWASAN WANA WISATA


(8)

Nama : Nasita Lira Hendartina NIM : H44090062

Disetujui oleh

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT Ketua Departemen


(9)

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul,”Analisis Perubahan Kelembagaan dan Dampak Pengganda (Multiplier Effect) Pengembangan Kawasan Wana Wisata (Studi Kasus: Gunung Galunggung, Kabupaten Tasikmalaya).” Penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi, yaitu:

 Kedua orang tua tercinta yaitu Bapak Ir. Beny Hendarto dan Ibu Ir. Tina Suhartini, beserta kakak saya Rudie Setiadi S.Agb, Nadia Tannia Hendartina Stp, dan adik saya Sabila Adha Hendartina yang selalu memberikan didikan, dukungan, doa, kasih sayang, dan perhatian.

 Bapak Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT selaku dosen pembimbing, Bapak Adi Hadianto, SP, M.Si sebagai penguji utama, dan Bapak Benny Osta Nababan, S.Pi, M.Si sebagai wakil komisi pendidikan ESL, yang telah memberikan bimbingan, saran dan masukan dalam penulisan skripsi ini.

 PERUM Perhutani Jawa Barat, Bapak Asep sebagai Kepala Bagian SDM dan Mbak Reny Bagian Humas. KPH Perhutani Tasikmalaya. Bapak Ketua Administrasi, Bapak Ir. Jejen, M.M, Bapak Anggun sebagai Bagian Humas, Bapak Ery Bagian PHBM, Ibu Ika Bagian SDM dan Bapak Atang sebagai Petugas Lapang.

 Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Taksimalaya dan Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya. Bapak Ketua Disparbud, Drs Nana Hermaya, MM, Bapak Sekretaris, Bapak Sutarman, Bapak Dedi Chrisyadi, dan Bapak Toni, serta pihak Disparbud lainnya.

 Dinas Perhubungan Kabupaten Tasikmalaya, Ketua UPTD parkir Bapak Asep, dan seluruh Petugas Lapang Parkir di Kawasan Wana Wisata.

 Bapak Ucu sebagai Ketua LMDH Wana Lingga Mukti, Bapak Totoy sebagai Ketua Koparga, dan pihak Kantor Desa Linggarjati serta pihak-pihak yang telah membantu selama pengumpulan data.

 Keluarga besar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan FEM IPB khususnya dosen-dosen ESL, Komisi Pendidikan dan teman-teman ESL 46 atas semua arahan, masukan, dan bantuan.

 Keluarga besar Resources Enviroment Economics Student Association (REESA)IPB atas segala doa dan dukungan.

 Sahabat terdekat, Dea, Fitri, Lutfi, Gugat, Chintia, Dinda, Adin, Kiki, Naelis, Nunu, Ichi, Ei, Belinda, Esha, dan Dhani yang selalu memberikan bantuan, semangat, dan doa.

Penulis menyadari bahwa terdapat kesalahan yang tidak disengaja di dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik serta saran yang akan digunakan oleh penulis sebagai penyempurnaan di dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Bogor, Februari 2014


(10)

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL... xvii

DAFTAR GAMBAR... xviii

DAFTAR LAMPIRAN... xviii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 4

1.3 Tujuan Penelitian... 5

1.4 Ruang Lingkup Penelitian... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1 Teori Kelembagaan... 7

2.2 Kelembagaan Wana Wisata... 8

2.3 Karakteristik Kelembagaan... 10

2.4 Teoritis Perubahan Kelembagaan... 11

2.5 Analisis Stakeholder... 12

2.6 Dampak Ekonomi Wana Wisata... 14

2.7 Teori Multiplier Effect…………... 15

2.8 Penelitian Terdahulu... 16

III. KERANGKA OPERASIONAL... 17

IV. METODE PENELITAN... 19

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... 19

4.2 Jenis dan Sumber Data... 19

4.3 Metode Penentuan Sampel Penelitian... 19

4.3.1 Penentuan Sampel... 19

4.3.2 Pengumpulan Data... 21

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data... 21

4.4.1 Mengidentifikasi Proses Perubahan Kelembagaan... 22

4.4.2 Menganalisis Efektivitas Kelembagaan... 23


(12)

5.1 Kondisi Geografis dan Administratif... 29

5.2 Kondisi dan Potensi Wilayah... 29

5.3 Kependudukan dan Sumberdaya Manusia... 30

5.4 Sarana, Prasarana, dan Fasilitas... 31

5.5 Aksesibilitas Wilayah... 32

5.6 Karakteristik Responden... 32

5.6.1 Karakteristik Pelaku Usaha... 32

5.6.2 Karakteristik Tenaga Kerja Lokal... 33

5.6.3 Karakteristik Pengunjung... 35

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN... 36

6.1 Perubahan Kelembagaan... 36

6.2 Efektivitas Kelembagaan... 37

6.2.1 Hasil Efektivitas Anggota Non-Organisasi... 38

6.2.2 Hasil Efektivitas Anggota Organisasi... 39

6.3 Analisis Stakeholder... 41

6.4 Multiplier Effect... 45

6.4.1 Dampak Langsung... 46

6.4.2 Dampak Tidak Langsung... 47

6.4.3 Dampak Lanjutan... 47

6.4.4 Hasil Multiplier Effect... 48

VII. SIMPULAN DAN SARAN... 49

7.1 Simpulan... 49

7.2 Saran... 50

DAFTAR PUSTAKA... 51

LAMPIRAN... 55


(13)

DAFTAR TABEL

1 Profil wisata mancanegara tahun 2011 dan 2012 di Jawa

Barat... 1

2 Matriks keterkaitan antara tujuan, parameter, sumber data, dan metode analisis... 22

3 Matriks analisis proses perubahan kelembagaan... 23

4 Matriks analisis efektivitas kelembagaan... 24

5 Identifikasi dan pemetaan aktor... 25

6 Analisis stakeholder pengelolaan kawasan wana wisata... 25

7 Matriks analisis stakeholder... 26

8 Matriks analisis dampak ekonomi... 26

9 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Desa Linggarjati tahun 2008-2012... 30

10 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2008-2012... 30

11 Jumlah mata pencaharian penduduk di Desa Linggarjati tahun 2008-2012... 31

12 Sarana prasarana dan fasilitas yang berada di Desa Linggarjati Tahun 2008-2012... 31

13 Karakteristik pelaku usaha di Wana Wisata Gunung Galunggung... 33

14 Karakteristik tenaga kerja lokal di Wana Wisata Gunung Galunggung... 34

15 Karakteristik pengunjung di Wana Wisata Gunung Galunggung... 35

16 Hasil skoring analisis stakeholder... 44

17 Proporsi pengeluaran wisatawan... 46


(14)

2 Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder dalam pengelolaan

kawasan wana wisata... 25

3 Bentuk kelembagaan tata kelola baru... 37

4 Persepsi efektivitas anggota non-organisasi... 39

5 Persepsi efektivitas anggota organisasi... 40

6 Aktor grid... 45

DAFTAR LAMPIRAN 1 Kuesioner penelitian perubahan kelembagaan... 55

2 Kuesioner penelitian efektivitas kelembagaan... 56

3 Kuesioner penelitian wisatawan... 58

4 Kuesioner penelitian pelaku usaha... 61

5 Kuesioner penelitian tenaga kerja lokal... 63

6 Kuesioner penelitian analisis stakeholder... 65

7 Jumlah persepsi anggota non-organisasi... 68

8 Jumlah persepsi anggota organisasi... 68

9 Perhitungan Multiplier Effect... 68

10 Peta lokasi penelitian di Gunung Galunggung, Kabupaten Tasikmalaya... 69

11 Pengeluaran wisatawan perkunjungan... 70

12 Pengeluaran dan pendapatan unit usaha... 74

13 Pendapatan dan pengeluaran tenaga kerja lokal... 76


(15)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam tampak topografi, yaitu kenampakan alam berupa gunung, pegunungan, dan lautan. Topografi ini mendukung terbentuknya keanekaragaman biodiversitas yang dapat menambah nilai kekayaan alam di Indonesia. Kekayaan alam yang tersedia berperan sebagai potensi unggul di sektor ekonomi, pariwisata, dan lainnya. Sektor-sektor tersebut menjadi sektor yang berkembang sangat pesat sehingga menimbulkan dampak ekonomi yang mendukung pertumbuhan perekonomian di Indonesia.

Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam pembangunan suatu bangsa. Hal ini dapat dilihat melalui pernyataan IUOTO (International Union of Official Travel Organization) yang dikutip oleh Sammeng (2001), mengemukakan dalam Konferensi Roma tahun 1063 (The United Nations Conference on International Travel and Tourism): “Tourism as a factor economic development role and importance as a source foreign exchange but also as a factor the location of industry and in the development of areas in the natural resources ”. Sektor pariwisata yang baik didukung oleh potensi wisata yang attractive sehingga mampu meningkatkan perekonomian negara melalui perolehan devisa. Berikut ini merupakan profil wisatawan mancanegara tahun 2011 dan 2012 di Jawa Barat.

Tabel 1 Profil wisata mancanegara tahun 2011 dan 2012 di Jawa Barat

No Uraian 2011 2012 Pertumbuhan

(1) (2) (3) (4) (5)

1. Jumlah Wisman (ribu orang) 7 649.7 8 044.5 5.16

a. 19 Pintu 7 207.9 7 567.4 4.99

b. Pintu Lainnya 441.8 477.1 7.97

2. Rata-rata Pengeluaran per Kunjungan (US$)

1 118.26 1 133.81 1.39 3. Rata-rata Lama Tinggal (hari) 7.84 7.70 -0.14 4. Rata-rata Pengeluaran per hari (US$) 142.69 147.22 3.17 5. Perkiraan Penerimaan Devisa (miliar

US$)

8.6 9.1 5.81


(16)

Salah satu potensi alam yang attractive dan mudah ditemui di Indonesia adalah gunung. Gunung merupakan suatu wilayah yang menonjol dengan daerah yang lebih tinggi dari sekitarnya serta didominasi oleh tumbuhan sehingga membentuk hamparan hutan yang luas. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (UU No.41/Kpt-II/1999 tentang kehutanan). Hutan di kawasan pegunungan berpotensi memberikan manfaat yang optimal karena memiliki berbagai fungsi seperti fungsi konservasi, fungsi produksi, dan fungsi lindung. Pemanfaatan yang optimal sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat dengan tetap menjaga kelestarian hutan itu sendiri (Pasal 15 PP No.34/2002).

Kawasan hutan di daerah gunung dapat dikembangkan sebagai suatu kawasan yang dapat memberikan tambahan pendapatan bagi pemerintah dengan membentuk suatu kawasan objek wisata. Salah satu potensi objek wisata potensial kawasan hutan adalah Gunung Galunggung. Gunung Galunggung adalah gunung berapi dengan ketinggian 2 167 meter di atas permukaan laut terletak sekitar 17 km dari pusat Kota Tasikmalaya. Gunung Galunggung memiliki potensi kawasan Hutan Montane 1 200 – 1 500 meter dan Hutan Ericaceous> 1 500 meter. Kawasan hutan di Gunung Galunggung memiliki fungsi lindung, fungsi produksi, dan fungsi konservasi. Salah satu fungsi konservasi Gunung Galunggung, yaitu memiliki daya tarik hutan dengan ciri khas tertentu dan areal seluas kurang lebih 120 hektar di bawah pengelolaan Perum Perhutani.

Perum Perhutani merupakan suatu kelembagaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memiliki tugas dan wewenang untuk menyelenggarakan perencanaan, pengurusan, pengusahaan, dan perlindungan hutan di wilayah kerjanya. Perhutani melakukan pengelolaan melalui penetapan kawasan Gunung Galunggung sebagai kawasan wana wisata. Kawasan tersebut menawarkan berbagai macam objek wisata seperti camping, pemandian air panas (Cipanas) lengkap dengan fasilitas kolam renang, kamar mandi, dan bak rendam air panas. Pengelolaan kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung di bawah Pemerintah Pusat Jawa Barat diberikan kepada Perhutani unit III. Perhutani memberikan


(17)

3

wewenang pengelolaan kawasan wana wisata kepada KPH (Kesatuan Pemangku Hutan) unit III Tasikmalaya. KPH Tasikmalaya melakukan pengembangan kawasan wana wisata dengan berperan secara langsung dalam pengelolaan wana wisata dan menjalankan fungsi produksi kawasan hutan Gunung Galunggung.

Kesatuan Pemangku Hutan Perhutani Tasikmalaya melakukan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya serta Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Tasikmalaya. Namun pengelolaan kawasan wana wisata mengalami perubahan kelembagaan yang disebabkan oleh penyerobotan lahan hutan (illegal logging) dan tindakan perusakan hutan sehingga mempengaruhi kualitas kawasan wana wisata. Oleh karena itu, terjadi perubahan kelembagaan pengelolaan kawasan wana wisata dengan cara KPH Tasikmalaya mengajak masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan wana wisata sehingga terbentuk kawasan dengan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) dan Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL). Program tersebut diprioritaskan kepada Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang memiliki usaha produktif dan koperasi serta kegiatan usahanya minimal satu tahun berpotensi untuk dikembangkan.

Perubahan kelembagaan yang terjadi terlihat dari bentuk kerjasama antara KPH Tasikmalaya dengan LMDH yang merupakan suatu lembaga swadaya masyarakat. Adapun program-program yang diterapkan terkait pengelolaan kawasan wana wisata dilakukan bersama-sama dengan masyarakat sekitar dalam wadah Koperasi Pariwisata Galunggung (Koparga). Perubahan kelembagaan dalam pengelolaan diharapkan mampu melaksanakan fungsi konservasi, pembentukan kawasan wana wisata secara berkelanjutan, dan mampu memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Oleh karena itu, penting dilakukan penelitian untuk menentukan pengelolaan dengan indikator terjadinya perubahan kelembagaan yang melibatkan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan masyarakat sehingga mampu menghasilkan suatu bentuk pengelolaan yang baik. Hal inilah yang melatar belakangi dibentuknya pengembangan kawasan wana wisata yang melibatkan partisipasi masyarakat.


(18)

1.2 Rumusan Masalah

Kesatuan Pemangku Hutan (KPH) Unit III Tasikmalaya berperan sebagai lembaga yang terlibat langsung dalam pengelolaaan Kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung. Namun dalam pengelolaannya KPH Tasikmalaya menghadapi beberapa kendala seperti penyerobotan hutan sehingga membutuhkan partisipasi masyarakat untuk dapat menjamin keberlanjutkan kawasan wana wisata. Oleh karena itu, dibentuk kerjasama dengan LSM setempat, yaitu Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang mendorong terjadinya perubahan kelembagaan dalam pengelolaan kawasan wana wisata. Perubahan tersebut dapat dilihat dari bentuk pengelolaan baru dan apakah perubahan kelembagaan tersebut mampu mengembangkan kawasan wana wisata serta mengurangi dampak negatif yang mempengaruhi kawasan wana wisata.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu:

1. Siapakah yang menginisiasi dan bagaimana proses perubahan kelembagaan yang terjadi di kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung?

2. Apakah perubahan kelembagaan dapat meningkatkan kualitas kelembagaan dalam pengelolaan kawasan wana wisata?

3. Bagaimanakah peran para stakeholder yang terlibat dalam proses pengelolaan serta pengembangan kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung?

4. Apakah kegiatan wana wisata dapat memberikan dampak ekonomi yang diterima oleh masyarakat sekitar kawasan wisata?

Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan di atas maka disusun dugaan, sebagai berikut:

1. Proses perubahan kelembagaan diinisiasi oleh sejumlah aktor meliputi aktor pemerintahan dan aktor yang berasal dari masyarakat. Perubahan kelembagaan dilakukan secara bersama-sama untuk mendapatkan pengelolaan yang lebih baik.

2. Perubahan kelembagaan dapat meningkatkan kualitas pengelolaan kawasan wana wisata. Kelembagaan lebih efektif dalam mengalami perubahan kelembagaan kawasan wana wisata sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


(19)

5

3. Stakeholder yang terlibat di dalam pengelolaan masih didominasi oleh stakeholder pemerintah. Sementara peran stakeholder dalam masyarakat masih lemah padahal mereka mungkin merupakan pihak yang paling berkepentingan atas wana wisata tersebut.

4. Wana wisata diduga dapat memberikan manfaat ekonomi terhadap masyarakat sekitar khususnya mereka yang memiliki mata pencaharian yang terikat dengan kebijakan wana wisata tersebut.

1.3Tujuan Penelitian

Penelitian ini memberikan kontribusi dalam pengelolaan kawasan wana wisata Gunung Galunggung melalui peningkatan peran stakeholder agar tepat dalam mengambil keputusan. Pengambilan keputusan terkait dengan pengelolaan potensi Wana Wisata Gunung Galunggung melalui identifikasi yang jelas terhadap perubahan kelembagaan yang terjadi dan mengidentifikasi dampak-dampak yang dihasilkan. Perubahan pengelolaan kawasan wana wisata yang terjadi bertujuan agar terbentuk kawasan wana wisata yang berkelanjutan dan mampu mengembangan kawasan dengan baik.

Tujuan khusus didalam penelitian ini, yaitu:

1. Mengidentifikasi proses perubahan kelembagaan dalam pengembangan kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung dengan memperhatikan dampak yang terjadi akibat proses perubahan tersebut.

2. Menganalisis efektivitas kelembagaan dalam pengembangan kawasan wana wisata.

3. Menganalisis stakeholder yang berperan dalam proses pengelolaan kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung.

4. Mengestimasi efek pengganda yang dihasilkan dari kegiatan pengembangan wana wisata.

1.4Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan memiliki batasan-batasan, yaitu:


(20)

sumber literatur, serta referensi, dan data dukungan dari KPH unit III Tasikmalaya, Dinas Pariwisata dan Budaya (Disparbud) Kabupaten Tasikmalaya, Dinas Perhubungan Kabupaten Tasikmalaya, Kantor Desa Linggarjati, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya. Data primer adalah data yang diperoleh melalui tahapan penyebaran kuesioner dengan proses wawancara terhadap responden terkait Wana Wisata Gunung Galunggung.

2. Penelitian ini mengestimasi dampak ekonomi yang dihasilkan dari kegiatan wana wisata yang dikembangkan oleh KPH unit III Tasikmalaya dan Disparbud dengan menggunakan analisis multiplier effect tanpa memperhitungan Produk Dosmestik Regional Bruto (PDRB) yang diperoleh oleh Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Tasikmalaya.

3. Penelitian ini mengidentifikasi serta mengevaluasi apakah perubahan kelembagaan untuk mengembangkan Wana Wisata Gunung Galunggung telah berjalan dengan baik dan dikatakan berhasil melalui identifikasi indikator-indikator kelembagaan, ekonomi, dan ekologi di tingkat responden. Responden yang diteliti, yaitu: tenaga kerja lokal, pelaku unit usaha, dan pengunjung di kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung.

4. Aspek-aspek yang diperhatikan dalam penelitian ini, yaitu:

a. Nilai sosial ekonomi dapat dilihat dari tingkat pendapatan responden dan manfaat sosial yang diterima masyarakat sekitar kawasan wana wisata bertempat di Desa Linggarjati seperti tingkat kesempatan kerja yang terbuka luas ketika terbentuknya wana wisata dan penyerapan tenaga kerja yang dilakukan oleh pihak pengelolaan. Manfaat ekonomi tersebut dapat diihat melalui nilai multiplier effect yang dihasilkan oleh kegiatan wana wisata.

b. Nilai ekologi dapat dilihat dari keadaan lingkungan sekitar kawasan wana wisata yang dinilai berdasarkan persepsi responden.


(21)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Kelembagaan

Para ilmuwan memandang kelembagaan dari sudut pandang yang berbeda-beda. Oleh karena itu, teori kelembagaan didefinisikan secara beragam. Kelembagaan seperti yang dikutip oleh Yustika (2006), menurut Yeager (1999) memandang kelembagaan sebagai aturan main dalam masyarakat. Aturan main tersebut mencakup regulasi yang memapankan masyarakat untuk melakukan interaksi. Sejalan dengan Yeager menurut Pejovich (1995) dalam Yustika (2006), kelembagaan dapat mengurangi ketidakpastian yang inheren dalam interaksi manusia melalui penciptaan pola perilaku.

Ostrom (1990) dalam paper Block (2011) kelembagaan sebagai aturan yang berlaku dalam masyarakat (arena) yang menentukan siapa yang berhak membuat keputusan, tindakan apa yang boleh dilakukan, dan yang tidak boleh dilakukan, aturan apa yang berlaku di umum di dalam masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa mesti atau tidak boleh disediakan, dan keuntungan apa yang akan individu terima sebagai hasil tindakannya. Sedangkan menurut Soekanto (2006) ahli sosiologi di Indonesia mendefinisikan kelembagaan yaitu himpunan norma-norma segala tindakan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, kelembagaan merupakan instrumen yang mengatur hubungan antar individu. Singkatnya, kelembagaan adalah aturan main yang berlaku dalam masyarakat yang disepakati oleh anggota masyarakat tersebut sebagai sesuatu yang harus diikuti dan dipatuhi (memiliki kekuatan sanksi) dengan tujuan terciptanya keteraturan dan kepastian interaksi diantara sesama anggota masyarakat. Interaksi yang dimaksud terkait dengan kegiatan ekonomi, politik, maupun sosial.

Pembagian kelembagaan menurut North (1991) membagi kelembagaan menjadi dua, yaitu kelembagaan formal dan kelembagaan informal. Kelembagaan formal adalah peraturan tertulis seperti perundang-undangan, perjanjian kontrak, perarturan bidang ekonomi, bisnis, politik, dan lainnya. Sedangkan kelembagaan informal adalah kelembagaan yang keberadaannya di masyarakat umum tidak


(22)

(23)

8

tertulis seperti adat istiadat, pamali, tradisi, kesepakatan, konvensi, dan sejenisnya dengan beragam nama. Bentuk kelembagaan yang beragam seperti informal dan formal sama-sama memiliki tujuan kelembagaan, yaitu mengurangi ketidakpastian melalui pembentukan struktur atau pola interaksi. Sedangkan menurut Ostrom (1990) dalam Hidayat (2007) tujuan kelembagaan adalah untuk mengarahkan perilaku individu menuju arah yang diinginkan oleh anggota masyarakat serta untuk meningkatkan kepastian dan keteraturan dalam masyarakat serta mengurangi perilaku oportunis.

2.2 Kelembagaan Wana Wisata

Wana wisata merupakan bagian dari ekowisata. Wana wisata adalah ekowisata yang hanya meliputi wilayah kawasan hutan. Menurut Fandeli (2000) yang dikutip oleh Avenzora (2008), ekowisata merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Pada hakekatnya juga merupakan suatu bentuk wisata yang bertanggung jawab terhadap pelestarian areal, memberi manfaat secara ekonomi, dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat sekitar.

Pengelolaan kawasan wana wisata harus dilakukan dengan pendekatan sebagai fungsi konservasi. Pendekatan fungsi konservasi adalah fungsi yang meliputi fungsi kelestarian dan menjamin kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan kawasan wana wisata membentuk suatu kelembagaan wana wisata. Kelembagaan kawasan wana wisata adalah kelembagaan yang mengelola kawasan wana wisata berdasarkan peraturan yang berlaku serta aturan main yang ditetapkan. Menurut Eplerwood (1999) dalam Zulaifa (2006), terdapat delapan prinsip pokok di dalam pengelolaan wana wisata yang berbasis kerakyatan (community based), yaitu: 1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap

hutan.

2. Pendidikan konservasi lingkungan dengan sasaran wisatawan dan masyarakat setempat.

3. Pendapatan langsung untuk kawasan. Masyarakat sekitar kawasan dan pemerintah daerah setempat serta pengelola kawasan dapat menerima langsung penghasilan dari kegiatan wana wisata tersebut. Retribusi yang


(24)

dibebankan terhadap pengunjung dapat digunakan secara langsung untuk membina, melestarikan, dan meningkatkan kualitas pelestarian alam.

4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan dan pengawasan pelaksanaan pengembangan wana wisata. 5. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara ekonomi yang diperoleh

masyarakat yang terlibat dalam kegiatan wana wisata dapat mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan hutan.

6. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam.

7. Memperhatikan daya dukung sehingga walaupun permintaan tinggi tidak selamanya harus dipenuhi karena terbatasnya daya dukung.

8. Peluang penghasilan pada tingkat lokal maupun nasional. Bila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk wana wisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong semaksimal mungkin sehingga berpengaruh terhadap pendapatan secara lokal (pemerintah daerah setempat) atau bahkan sampai ke tingkat nasional. Hal ini sejalan dengan pendapat Kusworo (2000:31) yang dikutip oleh Zulaifa (2006) bahwa pemerintah Indonesia berharap suatu saat sektor pariwisata dapat berperan sebagai pendorong peningkatan pendapatan nasional yang pada gilirannya ikut meningkatkan kualitas hidup masyarakat di daerah tujuan wisata pada khususnya dan masyarakat umum.

Kegiatan pengembangan hutan sebagai kegiatan kawasan wana wisata tersedia dalam kebijakan umum dan kebijakan khusus yang digariskan di dalam Undang-undang No.5 tahun 1990, peraturan pemerintah No.18, dan No.13 tahun 1994 seperti yang dikutip oleh Zulaifa (2006). Kebijakan umum berisi tentang, “Pengembangan pariwisata alam dilakukan dalam kerangka mewujudkan kelestarian sumberdaya alam hayati dan keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.” Sedangkan kebijakan operasional sebagai penjabaran kebijaksanaan umum berisi tentang:

1. Pengusaha pariwisata alam diserahkan kepada pihak ketiga, yaitu perorangan, swasta, koperasi atau BUMN.


(25)

(26)

2. Pengusahaan pariwisata alam dilaksanakan pada sebagian kecil areal blok pemanfaatan dan tetap memperhatikan pada aspek kelestarian.

3. Pengusaha pariwisata alam tidak dibenarkan melakukan perubahan mendasar pada bentang alam dan keaslian habitat.

4. Pembangunan sarana dan prasarana dalam rangka pengusahaan pariwisata alam harus bercorak pada bentuk asli tradisional dan tidak menghilangkan ciri khas atau identitas etnis setempat.

5. Kegiatan pengusahaan pariwisata alam harus melibatkan masyarakat setempat dalam rangka pemberdayaan ekonomi.

6. Pengusaha pariwisata alam harus melaporkan semua aktivitasnya secara berkala untuk memudahkan kegiatan monitoring, pengendalian, dan pembinaan.

Kebijakan-kebijakan yang telah dimuat pemerintah untuk menyelenggarakan kegiatan wisata alam perlu dijadikan patokan bagi pihak pengelola agar memperhatikan kondisi ekologis kawasan bukan hanya mencari keuntungan. Kegiatan wana wisata jangan sampai menyebabkan kerusakan hutan. Wana wisata yang telah berjalan seharusnya dapat menjadi media pembelajaran yang mengajarkan arti pentingnya kelestarian dunia.

2.3 Karakteristik Kelembagaan

Karakteristik kelembagaan bersifat dinamis terhadap perubahan yang terjadi. Perubahan kelembagaan dapat terjadi akibat adaptasi yang dilakukan terhadap perubahan adaptasi yang terjadi pada perubahan dalam komunitas. Menururt Wiliamson (2000), berdasarkan cepat atau lambat, karakteristik kelembagaan dibagi ke dalam empat tingkatan, yaitu: 1) level sosial (masyarakat) 2) level kelembagaan formal (formal institutional environment), 3) level tata kelola (Governance), dan 4) perubahan bersifat kontinyu. Perubahan kelembagaan masyarakat adalah perubahan kelembagaan dimana keberadaan kelembagaan telah menyatu dengan kehidupan masyarakat seperti tradisi, norma, dan lain-lain. Kedua, perubahan kelembagaan formal adalah kelembagaan yang lahir secara sengaja seperti perundang-undangan (konstitusi) yang dibuat oleh lembaga legislatif/pemerintah. Perubahan kelembagaan dapat terjadi pada kurun waktu 10


(27)

11

sampai 100 tahun. Ketiga, perubahan kelembagaan tata kelola adalah perubahan yang terjadi terhadap serangkaian peraturan pada struktur tata kelola dalam sebuah komunitas lengkap dengan tata cara penegakan dan pemberian sangsi. Perubahan pada level ini bersifat diskontinu. Keempat perubahan bersifat kontinu adalah perubahan yang mengikuti perubahan harga input produksi dan perubahan input produksi sehingga menyebabkan perubahan kelembagaan.

Teoritis mengenai perubahan model kelembagaan Williamson (2000) tidak jelas karena perbedaan setiap level sulit dibedakan sehingga Kiser dan Ostrom (1982) dalam Polski (1999) melakukan analisis model perubahan kelembagaan ke dalam tigal level, yaitu:

1. Operational Choice level, yaitu aturan yang terdapat pada suatu komunitas organisasi dan bagaimana interaksi antar anggota komunitas tersebut seharusnya terjadi. Instrument pembatas mengenai kapan, dimana, seberapa banyak, dan bagaimana anggota sebuah komunitas memanfaatkan sumberdaya alam. Pemberian sangsi berlaku bagi anggota yang melanggar dan pemberian reward bagi anggota yang taat terhadap aturan. Aturan tersebut berubah seiring dengan perubahan ekonomi, teknologi, sumberdaya, dan budaya.

2. Level Collective Choice, yaitu aturan mengenai bagaimana operational rule diubah, siapa yang melakukan perubahan, dan kapan perubahan tersebut harus berlangsung. Hasil pekerjaan yang dilakukan oleh aktor collective choice level akan mempengaruhi operational rule secara langsung.

3. Constitutional rule merupakan kelembagaan yang mengatur mengenai siapa yang berwenang bekerja pada level colletive choice dan bagaimana mereka bekerja. Level Constitutional rule merupakan rule tertinggi.

2.4 Teoritis Perubahan Kelembagaan

Karakteristik kelembagaan menjelaskan bahwa kelembagaan dapat mengalami perubahan. Teori perubahan menurut Schluter dan Hanisch (1999) dalam Hidayat (2007) membagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1) berdasarkan efisiensi ekonomi, 2) berdasarkan teori distribusi konflik, dan 3) berdasarkan teori kebijakan. Ketiga teori tersebut memiliki perbedaan didalam cara pandang terhadap perubahan institusi.


(28)

Teori perubahan kelembagaan berbasiskan efisiensi ekonomi berdasarkan Posner (1992) yang dikutip oleh Hidayat (2007), perubahan kelembagaan tersebut karena adanya upaya untuk melindungi hak kepemilikan. Latar belakang hak-hak kepemilikan tersebut yang mendorong masyarakat untuk membuat aturan utama demi melindungi haknya. Sedangkan teori perubahan distributional conflict adalah teori yang didasarkan bahwa setiap aktor di dalam arena memiliki kepentingan dan wewenangan yang berbeda-beda. Hal inilah yang melatarbelakangi terjadinya konflik. Aktor yang dapat mengendalikan power lebih baik akan menguasai informasi, akses, modal, dan lain-lain sehingga proses perubahan akan berpihak terhadap aktor tersebut (Knight 1992). Aktor tersebut harus mampu mengendalikan power untuk mencari solusi dari konflik yang dihadapi dengan merubah aturan main yang diberlakukan. Teori kebijakan adalah teori yang didasarkan pada suatu kebijakan. Perubahan kelembagaan pada teori kebijakan bersifat memaksa. Perubahan tersebut terjadi karena kebijakan yang lama dianggap sudah tidak efektif sehingga diberlakukan kebijakan yang baru dimana, perubahan tersebut mampu mendorong tingkat efektivitas yang tinggi. Bagi aktor yang melanggar akan diberikan sangsi sedangkan aktor yang taat terhadap kebijakan akan diberikan reward.

2.5 Analisis Stakeholder

Analisis Stakeholder adalah proses yang mendefinisikan aspek dari gejala alami dan sosial yang dipengaruhi oleh suatu pengambilan keputusan untuk mengidentifikasi individu, kelompok, dan organisasi yang mempengaruhi atau dipengaruhi gejala tersebut. Sedangkan stakeholder adalah individu kelompok atau organisasi yang memiliki kepentingan dalam suatu peristiwa atau proses (Reed et al 2009). Analisis stakeholder bertujuan untuk mengidentifikasi peranan stakeholder dalam pengambilan keputusan, menjelaskan kepentingan, dan pengaruh setiap stakeholder, dan memetakan hubungan antara stakeholder dalam pengembangan suatu organisasi. Menurut Reed et al (2009), stakeholder dikategorikan ke dalam empat kategori berdasarkan kepentingan serta wewenangnya, yaitu:


(29)

13

1. KeyPlayers

Players adalah stakeholder yang memiliki tingkat kepentingan serta wewenang yang tinggi. Key Players biasa diartikan sebagai pemain atau pelaksana pengelolaan kawasan wana wisata. Players memiliki minat secara langsung dalam pengelolaan kawasan wana wisata dan wewenang untuk melakukan sesuatu atau membuat aturan untuk pengelolaan kawasana wana wisata. Key Players mampu mengendalikan sistem yang ada.

2. Subject

Subject adalah stakeholder yang memiliki kepentingan yang cukup besar namun wewenang yang dimiliki kecil. Subject dapat dikatakan sebagai pelaku utama didalam pengelolaan kawasan wana wisata. Stakeholder tersebut memiliki kesungguhan untuk mengelola wana wisata agar menjadi lebih baik. Namun stakeholder tersebut tidak mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi perarturan-perarturan yang berlaku.

3. Context Setter

Context Setter adalah mereka yang mempunyai minat kecil dan wewenang yang besar. Context Setter dalam pengelolaan kawasan wana wisata dapat diartikan sebagai perencanaan makro dalam pembangunan kawasan wana wisata karena lingkup kerjanya bersifat makro maka minat terhadap pengelolaan kawasan wana wisata kecil. Wewenang Context Setter sangat besar karena Context Setter mempunyai wewenang untuk mengesahkan program-program dari instansi terkait termasuk wewenang untuk mengesahkan dalam pemberian anggaran sehingga dalam kategori ini stakeholder harus diberdayakan agar tidak menentang sistem yang ada.

4. Crowd

Crowd adalah para stakeholder yang memiliki kepentingan dan wewenangan kecil. Crowd dimasukan ke dalam stakeholder masyarakat. Stakeholder dalam kategori crowd harus selalu diberi informasi karena mereka selalu mempertimbangkan segala kegiatan yang akan dilakukan. Pengelolaan kawasan wana wisata masyarakat dapat memiliki minat yang kecil terhadap pengelolaan karena masyarakat enggan untuk dijadikan subject dalam suatu kegiatan.


(30)

2.6 Dampak Ekonomi Wana Wisata

Pariwisata merupakan suatu kegiatan yang melibatkan masyarakat sehingga dapat membawa berbagai macam dampak. Wana wisata adalah salah satu kegiatan pariwisata. Salah satu dampak yang dihasilkan kegiatan wana wisata adalah dampak sosial ekonomi. Dampak pariwisata yang akan mendapatkan perhatian adalah masyarakat lokal sekitar kawasan wisata. Dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar (Cohen 1984) dalam Pitana dan Gayatri (2005), yaitu: 1. dampak terhadap penerimaan devisa

2. dampak terhadap pendapatan masyarakat 3. dampak terhadap kesempatan kerja 4. dampak terhadap harga-harga

5. dampak terhadap distribusi manfaat/keuntungan 6. dampak terhadap kepemilikan dan kontrol

7. dampak terhadap pembangunan pada umumnya, dan 8. dampak terhadap pendapatan pemerintah.

Dampak ekonomi dapat menghasilkan manfaat ekonomi dan biaya ekonomi. Manfaat ekonomi yang dihasilkan memberikan dampak positif. Kegiatan pariwisata mampu memberikan dampak-dampak yang dinilai positif seperti kesempatan kerja, peningkatan devisa, dan peningkatan peluang usaha. Kontribusi kegiatan pariwisata dapat dilihat melalui besarnya nilai penggandaan (Multiplier effect).

Dampak kegiatan pariwisata begitu besar bagi Indonesia. Devisa yang diterima secara berturut-turut pada tahun 1996, 1997, 1998, 1999, dan 2000 oleh Santosa (2001) dalam Pitana dan Gayatri (2005) adalah sebesar 6 307.69; 5321.46; 4 331.09; 4 710.22; dan 5 748 80 juta dollar AS. Kontribusi pariwisata memperlihatkan trend yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Kegiatan pariwisata memiliki keterkaitan dengan sektor lain. Antara dan Parning (1999) dalam Pitana dan Gayatri (2005), mengemukakan bahwa pariwisata mempunyai keterkaitan ekonomi yang sangat erat dengan berbagai sektor seperti apa yang disebut open-loop effect dan Induced-effect (lebih dikenal dengan trickle down effect dan multiplier effect).


(31)

15

2.7 Teori Multiplier Effect

Kegiatan pariwisata menghasilkan dampak ekonomi yang terdiri dari dampak langsung, dampak tidak langsung, dan dampak lanjutan. Menurut META (2001), dampak langsung adalah total nilai pengeluaran wisatawan yang dikeluarkan di lokasi wana wisata seperti konsumsi, souvenir, hotel, restoran, dan lainnya. Dampak tidak langsung adalah aktivitas ekonomi dengan perputaran yang terjadi setelah diterimanya pengeluaran wisatawan. Sedangkan dampak lanjutan adalah pengeluaran pendapatan yang diperoleh warga setempat dari upah dan keuntungan yang diperoleh dari perputaran dampak langsung dan tidak langsung. Jika wisatawan melakukan pengeluaran di luar lokasi wisata, seperti impor barang dan jasa, perpajakan, dan tabungan maka disebut dengan kebocoran. Menurut Yoeti (2008), semakin kecil kebocoran yang terjadi maka semakin baik bagi perekonomian di suatu kawasan wisata, sebaliknya apabila kebocoran semakin besar maka semakin kecil dampak ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat sekitar kawasan wana wisata.

Menurut Clement dalam Yoeti (2008), ketika wisatawan mengunjungi suatu tempat tujuan wisata, wisatawan tersebut pasti akan membelanjakan uang mereka untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan selama melakukan kunjungan. Uang yang dibelanjakan tersebut tidak berhenti beredar, tetapi berpindah tangan dari satu tangan ke tangan yang lain selama periode tertentu. Hal inilah yang dinamakan efek pengganda (Multiplier Effect). Efek pengganda tersebut memiliki prinsip yang dijelaskan oleh Yoeti (2008), yaitu :

1. Uang yang dibelanjakan wisatawan tidak pernah berhenti beredar dalam kegiatan ekonomi dimana uang itu dibelanjakan

2. Uang itu selalu berpindah tangan dari satu orang ke orang lain

3. Semakin cepat uang itu berpindah tangan, semakin besar pengaruh uang itu dalam perekonomian setempat, dan semakin besar nilai koefisien multiplier 4. Uang itu akan hilang dari peredaran, apabila uang itu tidak lagi berpindah

tangan tetapi berhenti dari peredaran karena sudah tidak memberikan pengaruh terhadap ekonomi setempat

5. Pengukuran terhadap besar kecilnya uang yang dibelanjakan wisatawan itu dilakukan setelah melalui beberapa kali transaksi dalam periode tertentu.


(32)

2.8 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu berjudul Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat untuk Pengembangan Kawasan Hutan Regaloh di Kabupaten Pati, Jawa Tengah oleh Zulaifah (2006), yang bertujuan untuk merumuskan strategi pemanfaatan sumberdaya hutan bersama masyarakat untuk pengembangan kawasan Hutan Regaloh. Metode yang digunakan berupa analisis deskriptif untuk menjelaskan penggunaan lahan, keanekaragaman hayati, dan kondisi kawasan wana wisata. Sedangkan kebijakan-kebijakan terkait pengelolaan dianalisis menggunakan analisis SWOT.

Pengelolaan hutan di kawasan Hutan Regaloh dilakukan oleh Perum Perhutani bersama masyarakat. Fungsi hutan yang berpengaruh besar adalah fungsi hutan sebagai fungsi produksi yang menghasilkan hasil produksi berupa kayu dan fungsi konservasi sebagai kawasan objek wisata. Organisasi sosial seringkali membentuk struktur sosial yang lebih baik. Pelaksanaan pengelolaan hutan bersama masyarakat melalui LMDH. Kawasan Hutan Regaloh telah terbentuk sepuluh LMDH yang telah resmi menjadi mitra kerja Perhutani. Keberadaan LMDH memang cukup penting karena lembaga ini mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota secara keseluruhan menyelenggarakan dan mengembangkan usaha di bidang pertanian dan jasa berbasis kehutanan dengan memperhatikan azas kelestarian hutan. (Zulaifa 2006).

Faktor penunjang kawasan Hutan Regaloh cukup memadai terutama dari segi infrastruktur, aksesibilitas, serta pembinaan petani pesanggem. Pemanfaatan Kawasan Hutan Regaloh memiliki faktor penunjang dalam pemanfaatan sumberdaya hutan yang mendukung pengembangan kawasan hutan namun kondisi sosial ekonomi masyarakat Regaloh masih tergolong dalam kondisi masyarakat yang miskin. Pemanfaatan hutan bersama masyarakat tidak sepenuhnya membantu permasalahan sosial ekonomi masyarakat karena faktor input produksi masih rendah dan keterbatasan keterampilan penduduk. (Zulaifa 2006).


(33)

17

III. KERANGKA OPERASIONAL

Keadaan topografi Gunung Galunggung serta kekayaan alamnya mendukung terbentuknya kawasan wana wisata. Kawasan wana wisata di bawah pengelolaan kelembagaan, yaitu KPH Perhutani Tasikmalaya dengan program pengelolaan kawasan hutan bersama masyarakat dan program kemitraan bina lingkungan. Namun telah terjadi perubahan tata kelola dalam proses pengelolaannya. Perubahan pengelolaan terjadi antara pihak KPH Perhutani Tasikmalaya dengan lembaga swadaya masyarakat yaitu Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH). Pihak KPH Perhutani unit III Tasikmalaya bersama-sama LMDH berkoordinasi dengan Koperasi Pariwisata Galunggung (Koparga) sebagai wadah dalam pelaksanaan pengelolaan kawasan wana wisata yang melibatkan partisipasi masyarakat. Kerjasama dalam kelembagaan tersebut menghasilkan bentuk kelembagaan dengan tata kelola yang baru. Perubahan kelembagaan melalui tahapan inisiasi (pencetusan), tahap pembentukan, dan tahap sosialisasi kepada seluruh anggota organisasi.

Perubahan pengelolaan tersebut mempengaruhi substansi kelembagaan (struktur, kelengkapan, monitoring, dan penegakan hukum), persepsi antar anggota terhadap kelembagaan, dan dampak ekologi dalam pengelolaan kawasan wana wisata yang dapat dilihat melalui efektivitas kelembagaan. Nilai efektivitas kelembagaan yang terjadi dapat dilihat melalui persepsi masing-masing stakeholder yang terlibat didalam pengelolaan dengan menggunakan analisis stakeholder. Identifikasi dan analisis stakeholder penting dilakukan agar para aktor mampu berkoordinasi dengan baik dalam pengelolaan kawasan wana wisata.

Hubungan aktor yang baik dapat memberikan manfaat bagi keberlanjutan pengelolaan kawasan wana wisata, diantaranya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan memberikan dampak ekonomi serta sosial kepada masyarakat di sekitar kawasan wana wisata. Oleh karena itu, penting mengetahui kelembagaan didalam pengelolaan kawasan wana wisata, meliputi: proses perubahan kelembagaan, efektivitas kelembagaan, stakeholder terkait pengelolaan, dan dampak ekonomi yang dihasilkan dari pengelolaan kawasan wana wisata.


(34)

Gambar 1 Kerangka pemikiran operasional Keterangan :

: Aspek yang dikaji

Kelembagaan Kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung

Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dan Program Kemitraan Bina Lingkungan Pengelolaan oleh Perum Perhutani

Koperasi Pariwisata Gunung Galunggung

Pengembangan Kawasan Wanawisata

Identifikasi manfaat ekonomi

Proses Perubahan Kelembagaan

Analisis Efektivitas Kelembagaan

Analisis kuantitatif melalui Multiplier Effect

 Inisisasi

 Pembentukan

 Sosialisasi

1. Subtansi kelembagaan 2. Persepsi

Kelembagaan 3. Analisis dampak

ekologi

Analisis Kuantitatif dan

analisis deskriptif Analisis Kualitatif dan analisis deskriptif


(35)

19

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Gunung Galunggung yang terletak di Desa Linggarjati, Kecamatan Sukaratu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Lokasi penelitian dipilih secara purposive (sengaja) dengan mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut memenuhi kriteria perubahan kelembagaan yang sesuai dengan tujuan penelitian. Pengambilan data primer untuk penelitian pada bulan April hingga Juni 2013.

4.2 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui tahap wawancara langsung dengan para responden menggunakan daftar pertanyaan yang terstruktur (kuesioner). Sedangkan data sekunder diperoleh melalui literatur, referensi, dan data pendukung yang diperoleh dari Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Tasikmalaya, Dinas Perhubungan Kabupaten Tasikmalaya, Kantor Desa Linggarjati, Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, KPH Perhutani Tasikmalaya, Koparga, dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan Wana Lingga Mukti.

Data primer digunakan untuk menganalisis proses perubahan kelembagaan stakeholder yang berperan, pola interaksi antar stakeholder, kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan wana wisata, dan analisis terhadap efektivitas kelembagaan. Sedangkan data sekunder meliputi struktur kelembagaan, pembagian peran, fungsi, wewenang masing-masing aktor, Infrastruktur kelembagaan terkait pengelola kawasan wana wisata, dan peraturan perundang-undangan.

4.3Metode Penentuan Sampel Data

4.3.1 Penentuan Sampel

Pengambilan sampel dimulai dengan menentukan populasi masing-masing responden. Target penentuan sampel adalah responden dan key person. Key


(36)

person ditentukan secara purposive (sengaja). Key person dipilih melalui identifikasi pihak-pihak yang terlibat didalam pengelolaan kawasan wana wisata. Informan adalah stakeholder yang terlibat didalam kelembagaan dan menguasai akses informasi terkait keluarga, diri sendiri, lingkungan, serta pihak lain sehingga mampu memberikan informasi yang berkaitan dengan penelitian. Apabila informasi yang diberikan key person masih kurang digunakan teknik snowball untuk memenuhi kelengkapan informasi. Sedangkan responden adalah pihak yang memiliki pandangan terhadap objek penelitian dan mampu menginformasikan persepsi tersebut. Responden pada penelitian ini terdiri dari pengunjung, pelaku usaha di lokasi wana wisata, dan tenaga kerja lokal.

Penentuan sampel responden pengunjung bersifat accidental sampling. Penentuan jumlah pengunjung berdasarkan tingkat kunjungan periode II bulan Maret tahun 2013 sebagai populasi dalam perhitungan menggunakan metode slovin (Wulandari 2010), yaitu 27 993 Jiwa. Populasi tersebut dipilih karena penelitian dilakukan bulan April. Error yang digunakan sebesar 10 persen.

n =

²

Keterangan : n = Jumlah responden

N = Jumlah populasi (kunjungan periode II Bulan Maret Tahun 2013)

e = Galat (error) yang dapat diterima (10%)

Dari hasil perhitungan diperoleh jumlah responden sebesar 100 orang. Sedangkan populasi pelaku usaha sekitar 80 orang. Jumlah pelaku usaha yang aktif berjumlah 40 orang. Keaktifan dilihat berdasarkan intentitas berjualan dan kewajiban membayar retribusi berjualan kepada KPH. Jumlah sampel diambil secara purposive (sengaja). Jumlah sampel pelaku usaha yang digunakan adalah 44 orang.

Tenaga kerja lokal yang berkerja di lokasi wisata dipilih secara purposive (sengaja). Jumlah sampel tenaga kerja yang diambil berdasarkan jumlah populasi tenaga kerja, yaitu 23 orang. Tenaga kerja lokal adalah pihak-pihak dari kelembagaan yang berkerja langsung di lokasi wisata, seperti anggota Disparbud KPH Perhutani, Dishub, dan Koparga.


(37)

21

4.3.2 Pengumpulan Data

Pengumpulan data primer menggunakan teknik wawancara secara langsung dengan informan dan responden. Wawancara melalui teknik pendekatan wawancara secara mendalam. Menurut Rudito dan Famiola (2008) dalam Adina (2012), teknik pendekatan melalui wawancara secara mendalam adalah teknik mengumpulkan data melalui orang-orang tertentu yang dipandang sebagai pemimpin pengambil keputusan atau juga dianggap sebagai juru bicara dari kelompok atau komunitas yang jadi obyek pengamatan dan orang tersebut dianggap akan bisa memberikan informasi akurat dalam mengidentifikasi masalah-masalah dalam komunitas tersebut.

Pengumpulan data sekunder melalui survei secara langsung ke instasi-instasi yang terlibat dalam pengelolaan kawasan Wana Wisata Galunggung. Hasil data sekunder kemudian diamati dan diinterpretasikan untuk kebutuhan penelitian. Data sekunder digunakan untuk mendukung hasil penelitian, terutama data-data yang berhubungan dengan proses perubahan kelembagaan.

4.4 Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data dan informasi yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif adalah metode pengolahan dengan menginterpretasikan hasil yang diperoleh. Sedangkan metode kuantitatif adalah metode pengolahan melalui statistik untuk menguji hipotesis yang telah ditentukan.

Data yang diperoleh melalui hasil wawancara akan dilakukan penyuntingan data guna memeriksa kelengkapan data yang diperoleh dari hasil wawancara. Selanjutnya, data hasil wawancara akan diinput ke dalam tabel dan dilakukan pengkodean. Hasil pengkodean dapat dihitung untuk menghasilkan persentase responden. Hasil persentase akan dianalisis secara deskriptif melalui tabel dan grafik. Pengolahan dan analisis data akan dilakukan secara manual dengan menggunakan software Microsoft Excel 2007 dan Graph yang digunakan untuk menggambarkan posisi stakeholder dalam aktor grid.


(38)

Tabel 2 Matriks keterkaitan antara tujuan, parameter, sumber data, dan metode analisis

Tujuan Indikator Data yang diperoleh

Sumber data Metode analisis a. Mengidentifikasi

proses perubahan kelembagaan

Proses Proses perubahan kelembagaan

Data Primer Analisis deskriptif b. Menganalisis efektivitas kelembagaan Efektivitas kelembagaan Substansi kelembagaan, persepsi terhadap kelembagaan, dan dampak ekologi

Data Primer Analisis deskriptif dan dokumen

c. Menganalisis stakeholder dalam proses

kelembagaan

Tugas peran fungsi dan wewenang masing-masing aktor

Kepentingan dan pengaruh masing-masing aktor

Data Primer Analisis stakeholder d. Menganalisis manfaat ekonomi Tingkat pendapatan Masyarakat sekitar kawasan Manfaat ekonomi yang diterima masyarakat

Data Primer Analisis multiplier effect

Sumber: Penulis (2013)

4.4.1 Mengidentifikasi Proses Perubahan Kelembagaan

Perubahan kelembagaan yang terjadi di kawasan wana wisata dianalisis menggunakan analisis deskriptif. Menurut Whitney (1960) dalam Nazir (2003), metode deskriptif adalah pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Analisis deskriptif mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat tata cara yang berlaku dalam masyarakat dalam situasi-situasi tertentu termasuk tentang hubungan, kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, dan pandangan-pandangan serta proses-proses yang sedang terjadi sehingga memberikan pengaruh akibat dari suatu fenomena. Tujuan dari analisis deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki.

Proses perubahan kelembagaan sama seperti proses terbentuknya kelembagaan. Perubahan kelembagaan menyebabkan perubahan bentuk kelembagaan dengan tata kelola yang baru. Proses perubahan diawali dengan tahap inisiasi. Tahap inisiasi adalah tahap dicetuskan atau digagaskannya untuk terjadinya suatu perubahan kelembagaan. Kemudian membentuk tata kelola kelembagaan yang baru. Proses terbentuknya kelembagaan baru melalui sebuah


(39)

23

proses pembentukan seperti tukar pendapat, diskusi, musyawarah, kepentingan golongan kuat, hukum, dan lainnya. Setelah pembentukan kelembagaan harus disosialisasikan terhadap anggota dan masyarakat. Sosialisasi terkait dengan bagaimana menyebarluaskan informasi dan aturan kepada anggota dan masyarakat.

Tabel 3 Matriks analisis proses perubahan kelembagaan

Tujuan Indikator Parameter Metode analisis

Proses perubahan kelembagaan kawasan wana wisata

Inisiasi

Pembentukan Sosialisasi

Pencetus dan proses perubahan

kelembagaan Proses pembentukan kelembagaan baru Sosialisasi terhadap masyarakat dan anggota

kelembagaan terkait kelembagaan baru.

Melalui kuesioner dengan wawancara mendalam terhadap key person dan Analisis deskriptif

Sumber: Penulis (2013)

4.4.2 Menganalisis Efektivitas Kelembagaan

Efektivitas kelembagaan dapat dianalisis melalui substansi kelembagaan persepsi terhadap kelembagaan dan dampak ekologi yang dihasilkan dari proses pengelolaan kawasan wana wisata. Suatu kelembagaan dapat berjalan dengan baik jika memiliki substansi kelembagaan yang terdiri dari struktur kelembagaan, kelengkapan kelembagaan yang jelas dengan pembagian tugas, wewenang, peran serta fungsi setiap aktor kelembagaan jelas, aspek monitoring yang dilakukan, dan proses penegakan hukum. Pembentukan kelembagaan baru yang melibatkan berbagai aktor harus memenuhi kriteria substansi kelembagaan sehingga membentuk kelembagaan dengan efektivitas yang baik.

Efektivitas kelembagaan menggambarkan tingkat persepsi masyarakat terhadap kelembagaan seperti apakah kelembagaan baru menjalankan aturan yang telah ditetapkan sehingga terbentuk kelembagaan yang baik. Dampak ekologi juga menjadi salah satu faktor efektivitas kelembagaan. Dampak ekologi dari bentuk kerjasama antara lembaga terlihat dari pengurangan lahan kritis dan penggunaan lahan secara efektif.


(40)

Tabel 4 Matriks analisis efektivitas kelembagaan

Tujuan Indikator Parameter Metode analisis

Efektivitas

kelembagaan kawasan wana Wisata Substansi kelembagaan Persepsi kelembagaan Dampak ekologi Struktur kelembagaan dan kelengkapan, Aspek monitoring dan proses penegakan hukum Apakah substansi berjalan dengan baik. Dampak lingkungan yang dihasilkan oleh kegiatan

kelembagaan

Melalui kuesioner persepsi

menggunakan skala likert berdasarkan persepsi anggota organisasi dan anggota non organisasi serta analisis deskriptif dan dokumen

Sumber: Penulis (2013)

4.4.3 Identifikasi dan Analisis Stakeholder

Penelitian pengelolaan kawasan wana wisata menggunakan analisis stakeholder sebagai alat analisis untuk mengetahui kepentingan dan peran masing-masing stakeholder serta wewenang dalam pengelolaan kawasan wana wisata. Analisis stakeholder menggunakan matriks berdasarkan kepentingan dan kewenangan. Kepentingan masing-masing stakeholder dapat dilihat dari tupoksi masing-masing stakeholder. Sedangkan kewenangan adalah kekuasaan stakeholder untuk mempengaruhi peraturan yang berlaku maupun kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan wana wisata Gunung Galungung. Analisis stakeholder dapat dianalisis melalui beberapa tahapan berikut (Wijayanti 2009): 1. Membuat tabel stakeholder yang berisi informasi mengenai:

a. Daftar stakeholder

b. Kepentingan stakeholder, yaitu motif dan perhatiannya pada kebijakan. Untuk melihat tingkat kepentingan aktor dilakukan pengkodean dengan menggunakan skala likert yaitu antara 1 sampai 5, dimana; 5 = sangat tinggi; 4 = tinggi; 3 = cukup tinggi; 2 = kurang tinggi; 1 = rendah. Indikator tinggi dilihat dari seberapa penting pengelolaan kawasan wisata terhadap masing-masing stakeholder.

c. Sikap stakeholder terhadap kebijakan atau program. Sikap stakeholder mengacu kepada reaksi terhadap kebijakan yang ditetapkan.

2. Mengidentifikasi dan pemetaan aktor berdasarkan kekuatan dan pengaruh dari aktor lain. Kekuatan stakeholder mengacu pada kuantitas sumberdaya yang dimiliki stakeholder, yaitu sumberdaya manusia (SDM), finansial, dan politik.


(41)

25

Pengaruh dari masing-masing stakeholder mengacu pada tingkat pengaruhnya dalam proses penyusunan kebijakan. Penilaian tingkat pengaruh menggunakan skala likert yaitu antara 1 sampai 5, adapun; 5 = sangat tinggi; 4 = tinggi; 3 =sedang; 2 = kurang tinggi; 1 = rendah.

Tabel 5 Identifikasi dan pemetaan aktor

Skor Kriteria Keterangan

Kepentingan aktor

5 Sangat tinggi Sangat bergantung pada keberadaan kawasan wana wisata 4 Tinggi Ketergantungan yang tinggi terhadap keberadaan kawasan

wana wisata

3 Sedang Cukup bergantung terhadap kawasan wana wisata

2 Kurang Tinggi Ketergantungan pada keberadaan kawasan wana wisata kecil 1 Rendah Tidak terdapat ketergantungan pada keberadaan kawasan wana

wisata kecil

Pengaruh aktor

5 Sangat Tinggi Jika respon aktor berpengaruh nyata terhadap aktivitas aktor lain

4 Tinggi Jika respon aktor berpengaruh besar terhadap aktivitas aktor lain

3 Sedang Jika respon aktor tersebut cukup berpengaruh terhadap aktivitas aktor lain

2 Kurang tinggi Jika respon aktor tersebut berpengaruh kecil terhadap aktivitas aktor lain

1 Rendah Jika respon aktor tersebut tidak berpengaruh terhadap aktivitas aktor lain

3. Menentukan tingkat pengaruh total yaitu jumlah dari tingkat kekuatan (SDM, finansial, dan politik) dari masing-masing stakeholder.

4. Menentukan nilai total dilihat berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh. Tabel 6 Analisis stakeholder pengelolaan kawasan wana wisata

No Stakeholder Kriteria evaluasi

Kepentingan Skor Pengaruh Skor

S F P

Dari informasi pada Tabel 6, maka selanjutnya disusun diagram seperti Gambar 2.

Tinggi

Kepentingan

Rendah Tinggi Pengaruh

Gambar 2 Tingkat kepentingan dan pengaruh stakeholder dalam pengelolaan kawasan wana wisata

C Crowd D Context Setter A Subject B Key Players


(42)

Gambar 2 menggambarkan tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder dalam setiap kategori. Stakeholder dapat ditentukan berdasarkan pengalaman dalam bidang pembangunan wilayah atau berkaitan dalam perencanaan kebijakan berdasarkan catatan statistik, laporan penelitian, dan berdasarkan teknik snowball melalui identifikasi setiap aktor dengan aktor lainnya untuk diteliti sehingga informasi yang dibutuhkan lengkap.

Tabel 7 Matriks analisis stakeholder

Tujuan Indikator Data yang dibutuhkan Metode Analisis Menganalisis

stakeholder yang terlibat didalam pengelolaan kawasan wana wisata

Identifikasi aktor-aktor yang terlibat didalam pengelolaan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Identifikasi masing-masing kepentingan dan pengaruh aktor didalam pengelolaan kawasan wana wisata.

Data primer dan pengamatan dokumen

Data primer dan pengamatan dokumen Metode analisis stakeholder dengan menggunakan skala likert dan aktor grid

Sumber: Penulis (2013)

4.4.4 Menganalisis Multiplier Effect

Manfaat ekonomi dapat diestimasi melalui multiplier effect (efek pengganda). Multiplier effect dalam penelitian ini adalah multiplierincome. Data yang diperoleh melalui hasil wawancara kepada wisatawan, unit usaha, pihak pengelola, dan tenaga kerja di lokasi wana wisata.

Tabel 8 Matriks analisis dampak ekonomi

Tujuan Indikator Jenis data Metode analisis Menganalisis manfaat

ekonomi yang dihasilkan sebagai dampak

pengembangan kawasan wana wisata yang mengalami perubahan

kelembagaan

Perubahan tingkat pendapatan unit usaha tenaga kerja lokal masyarakat sekitar dan wisatawan

Data Kuantitatif Menggunakan Multiplier Effect

Sumber: Penulis (2013)

Pengukuran dampak ekonomi bersifat lokal karena multiplier effect hanya terjadi disekitar kawasan wana wisata, kecuali terdapat leakeages (kebocoran). Pengukuran dampak ekonomi terdiri dari tiga dampak, yaitu dampak langsung, tidak langsung, dan dampak lanjutan. Dampak langsung terjadi apabila spending wisatawan langsung masuk ke industri wana wisata. Sedangkan dampak tidak langsung berupa pengeluaran pihak pengelola untuk membayar upah tenaga kerja.


(43)

27

Dampak lanjutan berupa perubahan aktivitas ekonomi di lokasi wisata dari pembelanjaan tenaga kerja tersebut untuk memenuhi kebutuhannya.

Pengukuran dampak ekonomi dalam penelitian meliputi dua kelompok, yaitu: 1) survei terhadap unit usaha penyedia barang dan jasa dan 2) survei terhadap tenaga kerja pada unit usaha di kawasan wana wisata. Survei terhadap unit usaha merupakan dampak langsung. Dampak terhadap unit usaha membutuhkan informasi terkait (1) proporsi perputaran uang yang berasal dari pengeluaran pengunjung ke unit usaha tersebut, (2) proporsi dari perputaran arus uang terhadap tenaga kerja lokal, supplier, dan pajak, dan (3) tipe dan kuantitas bahan baku yang dibutuhkan.

Kelompok kedua adalah tenaga kerja lokal pada unit usaha lokal penyedia barang dan jasa untuk kegiatan wisata. Tenaga kerja adalah dampak tidak langsung. Informasi terkait dengan dampak ekonomi adalah (1) jumlah tenaga kerja yang terdapat pada kawasan wana wisata, (2) jumlah jam kerja dan tingkat upah, (3) proporsi dari pengeluaran sehari-hari pekerja yang dilakukan di dalam dan di luar wilayah kawasan wana wisata, dan (4) kondisi pekerjaan sebelum bekerja di unit usaha saat ini. Estimasi terhadap unit usaha yang memberikan nilai dampak ekonomi terhadap manfaat dan biaya masyarakat lokal dan penyediaan barang dan jasa yang diperlukan pengunjung.

Pengukuran dampak ekonomi lokal melalui beberapa tipe efek pengganda (META, 2001) , yaitu:

1.

Keynesian Income Multiplier adalah perubahan unit pengeluaran wisatawan memberikan perubahan pada tingkat pendapatan masyarakat lokal. Secara matematis ditulis:

=

2. Ratio Income Multiplier adalah efek multiplier yang menggambarkan seberapa besar dampak terhadap perekonomian lokal. Multiplier ini telah memasukan dampak lanjutan dan dampak tidak langsung.

Ratio Income Multiplier Tipe I, secara matematis ditulis:

=

...(2)


(44)

Ratio Income Multiplier Tipe II, secara matematis ditulis:

=

dimana:

D: Pendapatan lokat yang diterima secara langsung dari E (rupiah) N: Pendapatan lokal yang diterima secara tidak langsung dari E (rupiah) E: Tambahan pengeluaran wisatawan (rupiah)

U: Pendapatan lokal yang diterima secara lanjutan dari E (rupiah) Multiplier effect memiliki kriteria-kriteria, sebagai berikut:

 Jika nilai koefisien multiplier tersebut kurang atau sama dengan nol (≤ 0), maka kawasan wana wisata belum mampu memberikan dampak ekonomi terhadap aktivitas wisatanya.

 Jika nilai koefisien multiplier diantara nol dan satu (0 ≤ x ≤ 1), maka kawasan wana wisata memberikan nilai dampak ekonomi yang rendah.

 Jika nilai koefisien multiplier tersebut lebih atau sama dengan satu (≥ 1) , maka kawasan wana wisata mampu memberikan dampak ekonomi terhadap aktivitas wisatanya.


(45)

29

V. GAMBARAN UMUM

5.1 Kondisi Geografis dan Administratif

Kabupaten Tasikmalaya secara geografis terletak di 107.56 – 108.8 BT dan 7.10-7.49 LS. Kabupaten Tasikmalaya memiliki luas 2 712.52 km. Kabupaten Tasikmalaya mengalami pemekaran daerah secara bertahap sejak tahun 2000-2005 sehingga memiliki kawasan wilayah administratif 39 kecamatan yang terdiri dari 351 desa. Salah satu kecamatan yang berada di Kabupaten Tasikmalaya adalah Kecamatan Sukaratu. Sukaratu merupakan kecamatan baru yang mengalami pemekaran pada tanggal 21 Juni 2000 sesuai dengan Perda No. 25 tahun 2000. Kecamatan Sukaratu memiliki 8 desa. Desa Linggarjati merupakan salah satu desa di Kecamatan Sukaratu dengan luas 780.559 Ha, dengan batasan wilayah berikut:

Batas Utara : Desa Sinagar, Kecamatan Sukaratu Batas Timur : Desa Tawabanteng, Kecamatan Sukaratu Batas Selatan : Desa Mekarjaya, Kecamatan Padakembang Batas Barat : Gunung Galunggung, Kecamatan Sukaratu

5.2 Kondisi dan Potensi Wilayah

Desa Linggarjati memiliki kondisi topografi yang terdiri dari daerah pegunungan dengan tingkat kecuraman yang cukup curam ±15-25 persen. Desa Linggarjati memiliki kualitas tanah yang kaya unsur hara, subur, dan mampu memberikan kelimpahan air. Desa Linggarjati yang berada pada bagian rongga lereng Gunung Galunggung mampu memasok tangkapan air yang berasal dari curah hujan yang berkisar 2 072 mm pertahun dan memiliki kawasan daerah resapan air. Iklim tropis hutan hujan mendukung ketersediaan air. Kawasan Cipanas Gunung Galunggung yang merupakan sumber air Desa Linggarjati mengairi desa melalui Sungai Cikunir. Aliran Sungai bermanfaat sebagai sistem pengairan sawah dan kolam tampung yang digunakan warga sebagai kolam ikan.


(46)

5.3 Kependudukan dan Sumberdaya Manusia

Kepadatan penduduk Desa Linggarjati dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Jumlah kepadatan penduduk dapat dilihat pada tabel 9 berdasarkan jenis kelamin.

Tabel 9 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Desa Linggarjati tahun 2008-2012

Tahun Jenis kelamin

Laki-laki Perempuan Jumlah

2008 2 300 2 025 4 325

2009 2 315 2 035 4 350

2010 2 340 2 051 4 391

2011 2 347 2 054 4 401

2012 2 356 2 068 4 424

Sumber: Kantor Desa Linggarjati (2013)

Jumlah penduduk yang semakin meningkat disebabkan oleh faktor kelahiran yang semakin meningkat dan jumlah pendatang yang semakin bertambah serta menetap di Desa Linggarjati.

Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan mengalami fluktuatif dari tahun ke tahun. Penurunan jumlah masyarakat kurang terdidik di Desa Linggarjati disebabkan oleh sekolah yang belum memadai sehingga masyarakat memilih bersekolah di luar desa dan faktor keterbatasan biaya sehingga masyarakat memilih berkerja untuk mensejahterakan ekonomi rumah tangga. Berikut tabel 10 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan.

Tabel 10 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2008-2012 Tingkat pendidikan

Tahun SD SMP SMA PT

2008 305 201 104 25

2009 340 207 119 23

2010 326 221 132 18

2011 335 205 165 21

2012 345 198 113 21

Sumber: Kantor Desa Linggarjati (2013)

Mayoritas penduduk Desa Linggarjati bermatapencaharian sebagai petani karena didukung oleh kondisi tanah yang subur. Kondisi tanah Desa Linggarjati mengandung unsur hara yang tinggi karena letusan Gunung Galunggung pada tahun 1982. Berikut tabel 11 Jumlah matapencaharian penduduk.


(47)

31

Tabel 11 Jumlah matapencaharian penduduk di Desa Linggajati tahun 2008-2012

Tahun Petani Buruh PNS Wirausaha

2008 321 124 14 105

2009 298 198 8 109

2010 306 201 13 115

2011 312 119 10 112

2012 312 162 16 118

Sumber: Kantor Desa Linggarjati (2013)

5.4 Sarana Prasarana dan Fasilitas

Sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Linggarjati mendukung kegiatan masyarakat dan kegiatan pariwisata di Kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung. Berikut tabel 12 sarana, prasarana, dan fasilitas yang berada di Desa Linggarjati.

Tabel 12 Sarana, prasarana, dan fasilitas yang berada di Desa Linggarjati tahun 2013

No Sarana prasana dan fasilitas Jumlah

1 Kantor Desa 1

2 Polindes 1

3 Angkutan Umum >10

4 5

Masjid Musholla

3 42

6 Pos Ronda 12

7 Sekolah 11

8 Posyandu 5

9 Gardu Listrik 9

10 Gedung Olahraga 1

Sumber: Kantor Desa Linggarjati (2013)

Kondisi sarana, prasarana, dan fasilitas di Desa Linggarjati dan Kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung cukup memadai karena mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan masyarakat dan pengunjung. Kawasan Wana Wisata Gunung Galunggung menyediakan sarana dan prasarana, yaitu fasilitas kolam renang, pemandian alam, Kawah Galunggung, air terjun, dan bak rendam. Sarana dan prasarana dikelola oleh KPH Perhutani Tasikmalaya dan Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Tasikmalaya.

5.5 Aksesibilitas Wilayah

Aksesibilitas ke kawasan wana wisata dapat dilalui kendaran umum dan kendaraan pribadi ±6 jam perjalanan dari Pusat Ibukota Jakarta dengan jarak


(48)

perjalanan ±300 km. Sedangkan dari Ibukota Provinsi, Bandung dibutuhkan waktu berkisar ±3 jam dengan jarak tempuh 120 km. Desa Linggarjati dapat ditempuh dari Kota Tasikmalaya menggunakan angkutan umum rute terminal Indihiang ke Sukaratu dengan jadwal keberangkatan satu jam sekali dan biaya sebesar Rp 7 000,

5.6 Karakteristik Responden

Penelitian dilakukan di kawasan wana wisata Gunung Galunggung peneliti membagi reponden kedalam tiga kelompok, yaitu 1) Unit usaha, 2) Tenaga kerja di kawasan wisata, dan 3) Pengunjung kawasan wana wisata bulan April-Mei 2013.

5.6.1 Karateristik Pelaku Unit Usaha

Karakteristik pelaku unit usaha dikelompokan berdasarkan jenis kelamin, kategori umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan lama berjualan. Pelaku unit usaha berada di sekitar lokasi Wana Wisata Gunung Galunggung. Mayoritas pelaku unit usaha terlibat langsung untuk melaksanakan kegiatan jual beli tanpa mempekerjakan tenaga kerja.

Karakteristik berdasarkan jenis kelamin, jumlah pelaku usaha berjenis kelamin perempuan lebih banyak sebesar 75 persen berbandingkan dengan jumlah pelaku usaha berjenis kelamin laki-laki sebesar 25 persen. Pelaku usaha berjenis kelamin perempuan lebih terampil dalam berkomunikasi dengan pelanggan. Berdasarkan karakteristik umur, tingkat umur 35-44 tahun merupakan tingkat umur paling banyak sebesar 36 persen dengan jumlah sebanyak 16 orang. Berdasarkan karakteristik tingkat pendidikan, pelaku usaha sebesar 71 persen adalah lulusan sekolah dasar. Hal ini disebabkan jarak antara sekolah dan desa mereka cukup jauh pelaku usaha yang rata-rata berumur 35-44 tahun berpendapat bahwa dulu belum terdapat fasilitas transportasi sehingga mereka harus menempuh jarak cukup jauh dengan berjalan kaki untuk dapat melanjutkan sekolah ke tingkat Sekolah Menengah Pertama. Berdasarkan karakteristik pendapatan, pendapatan sebesar Rp 1 000 001- 2 000 000 adalah tingkat pendapatan paling tinggi yang diterima oleh pelaku usaha sebesar 45 persen. Tingkat pendapatan pelaku usaha sangat bergantung terhadap intensitas jumlah


(1)

Responden Pendapatan Parkir (a)

Toilet (b)

Konsumsi (c)

Tiket (d)

Transportasi (e)

Pengeluaran/Kunjungan (a + b + c + d + e)

95 9 000 000 2 000 4 000 20 000 8 400 10 000 44 400 96 3 100 000 2 000 2 000 25 000 8 400 10 000 47 400 97 4 400 000 4 000 3 000 35 000 16 800 20 000 78 800 98 5 000 000 4 000 2 000 15 000 4 200 10 000 35 200 99 5 500 000 4 000 2 000 15 000 4 200 10 000 35 200 100 3 500 000 4 000 3 000 35 000 16 800 20 000 78 800 Total 174 040 000 294 000 444 000 3 995 000 1 812 000 5 705 000 12 250 000


(2)

Lampiran 12 Pengeluaran dan pendapatan unit usaha

Responden Biaya kebersihan (a)

Bahan usaha (b)

Biaya operasional (listrik dan sewa)

(c)

Pajak jualan (d)

Total Pengeluaran/bulan

(a + b + c + d)

Pendapatan/bulan

1 8 000 50 000 0 15 000 73 000 2 000 000

2 8 000 500 000 0 15 000 523 000 1 500 000

3 8 000 300 000 30 000 15 000 353 000 800 000

4 8 000 250 000 10 000 15 000 283 000 1 500 000

5 8 000 100 000 30 000 15 000 153 000 1 500 000

6 8 000 125 000 30 000 15 000 178 000 1 600 000

7 8 000 120 000 30 000 15 000 173 000 1 200 000

8 8 000 90 000 30 000 15 000 143 000 2 450 000

9 8 000 100 000 30 000 15 000 153 000 1 200 000

10 8 000 200 000 30 000 15 000 253 000 1 500 000

11 8 000 200 000 30 000 15 000 253 000 1 200 000

12 8 000 1 500 000 90 000 45 000 1 643 000 600 000

13 8 000 75 000 30 000 15 000 128 000 1 200 000

14 8 000 450 000 30 000 15 000 503 000 960 000

15 8 000 70 000 30 000 15 000 123 000 1 580 000

16 8 000 50 000 30 000 15 000 103 000 900 000

17 8 000 50 000 90 000 45 000 193 000 900 000

18 8 000 300 000 30 000 15 000 353 000 2 000 000

19 8 000 100 000 10 000 15 000 133 000 800 000

20 8 000 1 500 000 30 000 15 000 1 553 000 1 500 000

21 8 000 200 000 30 000 30 000 268 000 2 400 000

22 8 000 400 000 30 000 15 000 453 000 800 000

23 8 000 100 000 30 000 15 000 153 000 500 000

24 8 000 500 000 30 000 15 000 553 000 1 000 000

25 8 000 500 000 45 000 15 000 568 000 1 500 000

26 8 000 200 000 30 000 15 000 253 000 500 000

27 8 000 50 000 30 000 15 000 103 000 600 000

28 8 000 200 000 30 000 15 000 253 000 500 000


(3)

Responden Biaya kebersihan (a)

Bahan usaha (b)

Biaya operasional (listrik dan sewa)

(c)

Pajak jualan (d)

Total Pengeluaran/bulan

(a + b + c + d)

Pendapatan/bulan

30 8 000 120 000 15 000 15 000 158 000 500 000

31 8 000 120 000 60 000 15 000 203 000 900 000

32 8 000 1 000 000 25 000 15 000 1 048 000 1 800 000

33 8 000 300 000 30 000 15 000 353 000 500 000

34 8 000 300 000 30 000 15 000 353 000 500 000

35 8 000 1 000 000 45 000 15 000 1 068 000 500 000

36 8 000 400 000 45 000 15 000 468 000 800 000

37 8 000 200 000 30 000 15 000 253 000 2 000 000

38 8 000 200 000 10 000 15 000 233 000 1 800 000

39 8 000 300 000 10 000 15 000 333 000 800 000

40 8 000 400 000 30 000 15 000 453 000 2 000 000

41 8 000 200 000 30 000 15 000 253 000 1 500 000

42 8 000 400 000 30 000 15 000 453 000 3 000 000

43 8 000 100 000 30 000 15 000 153 000 1 000 000

44 8 000 200 000 30 000 15 000 253 000 600 000

Total 352 000 13 620 000 1 355 000 735 000 16 062 000 54 390 000


(4)

Lampiran 13 Pendapatan dan pengeluaran tenaga kerja lokal

Responden Pendapatan/bulan Konsumsi di lokasi Konsumsi rumah tangga Biaya pendidikan Biaya transportasi

1 600 000 1 500 000 1 500 000 0 0 2 2 200 000 250 000 1 250 000 700 000 80 000 3 2 300 000 450 000 2 000 000 900 000 150 000 4 3 200 000 300 000 1 500 000 800 000 80 000 5 2 300 000 750 000 900 000 900 000 80 000 6 2 600 000 300 000 750 000 150 000 150 000 7 2 200 000 600 000 750 000 300 000 80 000 8 2 300 000 300 000 900 000 450 000 150 000 9 2 000 000 450 000 750 000 450 000 150 000 10 1 200 000 1 750 000 750 000 0 0 11 1 500 000 810 000 400 000 300 000 80 000 12 450 000 600 000 600 000 400 000 80 000 13 530 000 150 000 900 000 450 000 150 000 14 450 000 150 000 900 000 600 000 150 000 15 1 900 000 210 000 270 000 600 000 300000 16 450 000 750 000 750 000 400 000 80 000 17 450 000 150 000 450 000 150 000 80 000 18 2 900 000 210 000 750 000 300 000 80 000 19 800 000 900 000 900 000 600 000 120 000 20 1 400 000 900 000 900 000 150 000 120 000 21 500 000 900 000 900 000 600 000 80 000 22 2 000 000 600 000 900 000 600 000 80 000 23 3 000 000 200 000 1 500 000 150 000 150 000


(5)

Lampiran 14 Dokumentasi penelitian

Pintu utama masuk ke lokasi

wana wisata

Proses

Ticketing

Unit usaha di kawasan kawah

Unit usaha di kawasan cipanas

Tangga ke wisata kawah

Pemandangan kawah

Wisata kawasan cipanas

Pintu ke wisata cipanas


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 7 September 1991. Penulis

merupakan putri ketiga dari empat bersaudara pasangan Bapak Beny dan Ibu

Tina. Penulis memulai pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri Nomor 05

Langsa, Aceh Timur sampai tingkat pendidikan kelas 2 kemudian melanjutkan

kembali pada Sekolah Dasar Negeri Kayu Manis, Medan sampai tingkat

pendidikan kelas 3. Penulis melanjutkan pendidikan sekolah dasar di Sekolah

Dasar Negeri 01 Sibuhuan, Tapanuli Selatan sampai tingkat pendidikan kelas 4.

Penulis melanjutkan tingkat pendidikan sekolah dasar di Sekolah Dasar Negeri

Taman Pagelaran, Bogor dan lulus pada tahun 2003. Setelah itu melanjutkan

pendidikan di Sekolah Menengah Pertama Negeri 14 Bogor lulus pada tahun

2006. Kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 4

Pematangsiantar sampai tingkat pendidikan kelas 2 kemudian penulis melanjutkan

pendidikan di Sekolah Menengah Negeri 9 Medan dan lulus tahun 2009. Pada

tahun yang sama, penulis tercatat sebagai Mahasiswa Departemen Ekonomi

Sumberdaya dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan

Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan

organisasi di dalam kampus. Tercatat penulis pernah menjadi pengurus

Resources

Environment Economic Student Association (REESA),

Departemen

Ekonomi

Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), IPB

tahun 2011-2012 sebagai bendahara divisi

Campus Social Responsibility

(

CSR)

,

serta tahun 2012-2013 sekretaris divisi

Campus Social Responsibility

(

REESA

),

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan

Manajemen (FEM), IPB. Mahasiswa aktif di berbagai kepanitiaan kegiatan

mahasiswa dan peserta berbagai kegiatan seminar terkait bidang ilmu maupun di

luar bidang ilmu penulis.