6.4 Multiplier Effect
Kegiatan wisata menghasilkan dampak ekonomi terhadap masyarakat sekitar. Pengunjung mengeluarkan sejumlah biaya untuk memenuhi kebutuhan
wisata. Pengeluaran pengunjung diterima oleh unit usaha, tenaga kerja lokal, dan pihak pengelola. Rata-rata pengeluaran wisatawan adalah Rp122 500, pengeluaran
tersebut tidak semua dikeluarkan di lokasi wisata tetapi juga pengeluaran di luar lokasi wisata. Pengeluaran wisatawan di tingkat lokal meliputi pengeluaran
terhadap pembelian tiket, pembayaran parkir, pembayaran toilet, dan pembelian konsumsi. Kebocoran yang terjadi yaitu pengeluaran terhadap transportasi menuju
lokasi wisata. Total kebocoran yang dikeluarkan wistawan sebesar Rp 5 705 000, dengan rata-rata kebocoran Rp 57 050. Tabel berikut memperlihatkan proporsi
pengeluaran di lokasi lebih besar berbanding tingkat kebocoran. Tabel 17 Proporsi pengeluaran wisatawan
Komponen Proporsi
Total biaya Rpkunjungan100 wisatawan 12 250 000
Rata-rata biaya Rpkunjunganwisatawan 122 500
Total biaya dalam lokasi Rpkunjungan100 wisatawan 6 545 000
Rata-rata biaya dalam lokasi Rpkunjunganwisatawan 65 450
Kebocoran Rpkunjungan100 wisatawan 5 705 000
Proposisi Pengeluaran 53.43
Proporsisi Kebocoran 46.57
Total kunjungan wana wisata pertahun orang 21 528
Total kunjungan wana wisata perbulan orang 1 794
Rata-rata pengeluaran wisatawan dalam lokasi Rpbulan 117 417 300
Rata-rata kebocoran Rpbulan 102 347 700
Sumber: Data primer diolah 2013
6.4.1 Dampak Langsung
Dampak langsung adalah total pengeluaran pengunjung dalam melakukan aktivitas wisatanya yang diterima langsung oleh unit usaha dan pihak pengelola.
Pengeluaran wisatawan yang diterima langsung oleh unit usaha berupa pengeluaran untuk pembelian konsumsi. Sedangkan jenis pengeluaran yang
diterima langsung oleh pihak pengelola berupa pembelian tiket, parkir, dan toilet. Unit usaha memperoleh total pendapatan sebesar Rp 54 390 000 perbulan. Pihak
pengelola berdasarkan data pada bulan Desember tahun 2012, pendapatan yang diperoleh sebesar Rp 52 585 000. Oleh karena itu, dampak langsung yang
dihasilkan berupa penjumlahan pendapatan unit usaha dan pihak pengelola sebesar Rp 106 975 000
6.4.2 Dampak Tidak Langsung
Dampak tidak langsung adalah upah tenaga kerja yang diperoleh dari pihak pengelola karena semua unit usaha di kawasan wana wisata tidak memiliki
tenaga kerja. Pendapatan pihak pengelola yang berasal dari unit usaha dalam bentuk pembayaran pajak, kebersihan, dan biaya operasional biaya sewa dan
listrik juga termasuk dampak tidak langsung. Hal tersebut diperoleh sebagai hasil perputaran uang setelah diterimanya pengeluaran wisatawan oleh unit usaha dan
pihak pengelola. Jumlah tenaga kerja lapang di kawasan wana wisata sebanyak 23 orang. Pendapatan tenaga kerja ditentukan melalui sistem sharing yang diterapkan
pihak pengelola. Pendapatan tenaga kerja lokal di kawasan wana wisata sebesar Rp 37 230 000 dengan rata-rata pendapatan sebesar Rp 1 618 695.65 perbulan.
Sedangkan pendapatan pihak pengelola yang berasal dari unit usaha sebesar Rp 2 442 000 perbulan.
6.4.3 Dampak Lanjutan
Dampak lanjutan adalah pengeluaran yang dikeluarkan oleh tenaga kerja sebagai perputaran uang yang diperoleh dari dampak langsung dan dampak tidak
langsung. Pengeluaran tersebut berupa pengeluaran tenaga kerja untuk pembelian konsumsi di unit usaha yang berada di dalam lokasi wisata. Tenaga kerja
mengeluarkan total biaya konsumsi sebesar Rp 13 180 000 perbulan dengan rata- rata pengeluaran sebesar Rp 573 043.48 perbulan. Biaya yang diterima unit usaha
kembali digunakan oleh unit usaha untuk membeli keperluan bahan usaha. Namun terjadi kebocoran, karena pihak unit usaha melakukan transaksi pembelian bahan
usaha di luar lokasi kawasan wana wisata.
6.4.4 Hasil Multiplier Effect
Multiplier Effect digunakan untuk mengestimasi dampak ekonomi yang
berasal dari pengeluaran wisatawan sehingga berdampak terhadap aktivitas ekonomi lokal META, 2001. Perhitungan hasil multiplier effect dapat dilihat
pada lampiran 9. Tabel 18 Hasil analisis multiplier effect
Kriteria Nilai
Keterangan
Keynesian Income Multiplier 1.36 Dampak ekonomi yang terjadi memberikan
dampak ekonomi yang besar terhadap kegiatan wana wisata karena karena nilai
Keynesian Income Multiplier yang diperoleh
lebih besar dari 1 ≥1.
Ratio Income Multiplier I 1.37 Dampak
ekonomi dikatakan
telah memberikan dampak yang besar karena nilai
Ratio Income Multiplier Tipe I dan Ratio
Income Multiplier Tipe II adalah lebih besar
atau sama dengan satu ≥ 1.
Ratio Income Multiplier II 1.49
Sumber: Data primer diolah 2013
Berdasarkan hasil multiplier, perekonomian lokal kawasan wana wisata telah memberikan dampak ekonomi yang nyata terlihat dari Keynesian Income
Multiplier, Ratio Income Multiplier I dan Ratio Income Multiplier II yang cukup
tinggi. Hasil Keynesian Income Multiplier sebesar 1.36 artinya peningkatan pengeluaran wisatawan sebesar 10 000 rupiah, akan meningkatkan pendapatan
tenaga kerja, pihak pengelola, dan unit pelaku usaha sebesar 13 600 rupiah. Sedangkan hasil dari Ratio Income Multiplier I sebesar 1.37 artinya peningkatan
pendapatan unit usaha dan pihak pengelola sebesar 10 000 rupiah, akan meningkatkan pendapatan tenaga kerja sebesar 13 700 rupiah. Hasil Ratio Income
Multiplier II sebesar 1.49 artinya peningkatan pendapatan unit usaha dan pihak
pengelola sebesar 10 000 rupiah, akan berdampak terhadap dampak langsung, dampak tidak langsung, dan dampak lanjutan pendapatan unit usaha, pendapatan
pihak pengelola, upah tenaga kerja, dan pengeluaran konsumsi di tingkat lokal sebesar Rp14 900.
VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan
1. Perubahan kelembagaan yang terjadi melalui proses diskusi awal inisiasi, tahap pembentukan melalui penetapan Memorandum of Understanding
MOU, dan proses sosialisasi mekanisme sharing. Perubahan kelembagaan dilakukan bersama-sama oleh pihak pemerintah dan masyarakat, yaitu KPH
Perhutani dan Lembaga Masyarakat Desa Hutan Wana Lingga Mukti. 2. Efektivitas dalam pengembangan kawasan wana wisata memiliki substansi
kelembagaan yang jelas namun koordinasi antara kelembagaan berjalan kurang efektif. Berdasarkan hasil persepsi anggota organisasi substansi kelembagaan
yang dinilai melalui aturan, sangsi, dan tupoksi dinilai baik. Sedangkan dampak ekologi seperti lahan dinilai baik, akses dinilai tidak baik, kualitas
dinilai sedang, dan kebersihan dinilai sedang. Persepsi anggota non-organisasi menilai lahan sangat baik, akses dinilai kurang baik, kualitas dinilai sedang,
dan kebersihan dinilai sangat baik. 3. Kategori Subject tidak terdapat stakeholder karena hampir semua pihak
termasuk ke dalam key players yang langsung mengendalikan sistem. Kategori Players
terdiri dari pihak LMDH, Koparga, KPH Unit III, Pemda Tasikmalaya, Disparbud Kabupaten Tasikmalaya, dan Dishub Kabupaten Tasikmalaya.
Context Setter terdiri dari Dinas Pekerjaan Umum dan masyarakat partisipatif.
Sedangkan crowd terdiri dari masyarakat yang tidak partisipatif. 4. Dampak ekonomi yang dihasilkan telah memberikan manfaat ekonomi secara
nyata, khususnya masyarakat yang memiliki matapencaharian di lokasi kawasan wana wisata. Hal ini terlihat dari hasil multiplier effect yang cukup
tinggi ≥1.
7.2 Saran
1. Perlu ditingkatkan koordinasi antara stakeholder baik antara pihak swadaya, pemerintah, dan masyarakat sekitar. Hal ini bertujuan agar pihak-pihak yang
memiliki kepentingan berbeda dapat menyamakan visi dalam pelaksanaan pengembangan kawasan Wana Wisata Galunggung. Koordinasi dapat
ditingkatkan dengan meningkatkan intensitas rapat koordinasi, meningkatkan SDM Sumber Daya Manusia di lapangan, dan perbaikan fasilitas di kawasan.
2. Efektivitas dapat ditingkatkan dengan menyamakan cara pandang terhadap kawasan Wana Wisata Galunggung melalui pendekatan partisipatoris.
Pendekatan partisipatoris bertujuan menilai dan mengembangkan pengetahuan serta keterampilan masyarakat. Partisipatoris dapat dilakukan dengan
memberikan informasi kepada masyarakat seperti sharing sehingga mampu mengubah cara pandang terhadap kawasan wana wisata sebagai benda mati
menjadi benda ekonomi yang memiliki fungsi sosial tanpa mengabaikan peraturan yang berlaku.
3. Perlu mempaduserasikan kepentingan yang berbeda antara stakeholder yang terlibat agar pengembangan kawasan wana wisata dapat berjalan dengan baik.
Hal ini dapat dilakukan melalui rapat koordinasi dalam menentukan sebuah kebijakan untuk pengembangan kawasan wana wisata seperti penerapan
kebijakan untuk share kewenangan berdasarkan wilayah yang ditempati. 4. Hasil multiplier effect yang diperoleh cukup tinggi. Hal tersebut disebabkan
oleh kebocoran yang tinggi dan tingkat ekonomi wisatawan yang rendah. Oleh karena itu, perlu adanya pengembangan fasilitas kawasan wana wisata,
pemberdayaan masyarakat lokal, dan penyediaan barang yang dibutuhkan wisatawan oleh unit usaha untuk merangsang tingkat pengeluaran wisatawan di
kawasan wana wisata sehingga dapat meningkatkan nilai multiplier effect.
DAFTAR PUSTAKA
Adina A. P. 2012. Analisis Kualitas Kelembagaan dan Persepsi Anggota terhadap Peran GAPOKTAN Desa Banyuroto Kabupaten Magelang [skripsi].
Bogor ID: Institut Pertanian Bogor. Anggraeni A.A. 2013. Analisis Dampak Ekonomi Wisata Bahari terhadap
Pendapatan Masyarakat di Pulau Tidung. Jurnal online Institut Teknologi Nasional. Vol.20. No.10.
Avenzora R. 2008. Ekoturisme: Teori dan Praktek. Nias ID: Penerbit BRR NAD.
Block A. Walter. 2011. Reviewing of Ostrom’s Governing The Commons. Libertarian Papers. Vol. 3. ART.No.21.
BPS. 2012. Profil wisata mancanegara tahun 2011 dan 2012 di Jawa Barat [internet].
[diakses 27
April 2013].
Tersedia di
http: http:www.bps.go.idbrs_filepariwisata_01feb13.pdf.
Dinas Pariwisata dan Budaya Kabupaten Tasikmalaya. 2013. Tugas dan Fungsi [internet].
[diakses 26
Maret 2013].
Tersedia di
http:disparbud.tasikmalayakab.go.idindex.phpprofiltugas-fungsi. Hidayat A. 2007. Modul Pengantar Ekonomi Kelembagaan. Bogor ID:
Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor.
Kantor Desa Linggarjati. 2013. Data Penelitian pada Gambaran Umum. Tasikmalaya ID: Kantor Desa Linggarjati.
Knight J. 1992. Institution and Social Conflict [internet]. [diakses 27 April 2013]. Tersedia di http:books.google.co.id books?hl=idlr=id=71e_js
Qpzg0Coi=fndpg=PA105dq=Knight,+J.++1992.+Institution+and+S ocial+Conflict.+distributional+conflictots=4N_XAZYBr6sig=6F9PRL
suQ-26XViPkmyzwD7xikredir_esc=yv=onepageqf=false.
[META] Marine Ecotourism for Atlantic Area. 2001. Planning for Marine Ecotourism in The Eu Atlantic Area. Britol GB: University of The West
Of England. Nazir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta ID: Ghalia Indonesia.
North D. 1991. Institutions. Journal of Economic Perspectives. Vol. 5. No. 1 pages. 97-112
[Kemenhut] Kementrian Kehutanan. 1999. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta ID: Kemenhut.
______. 2002. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan,
Pemanfaatan Hutan, dan Pennggunaan Kawasan Hutan. Pasal 15. Jakarta ID: Kemenhut.