45
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN KUMPULAN CERPEN
PEREMPUAN KARYA MOCHTAR LUBIS
A. Unsur Intrinsik Cerpen
1. Tema
Tema merupakan gagasan atau makna dasar yang menopang sebuah karya sebagai struktur semantis dan bersifat abstrak yang secara
berulang dimunculkan lewat motif-motif dan biasanya implisit.
1
Mochtar Lubis seringkali menghadirkan tema-tema tentang kepedulian,
pengorbanan, masalah keadilan, pergolakan jiwa, serta gambaran seorang pemimpin pada masa-masa revolusi yang dapat kita temukan dalam tiap-
tiap karyanya khususnya cerpen. Oleh karena itu, di bawah ini akan diuraikan analisis tema pada ketiga cerpen yang terdapat dalam kumpulan
cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis.
a. “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”
CSMHJMD
Tema dalam cerpen ini adalah kritik terhadap pemimpin yang memperalat rakyat kecil demi keuntungannya sendiri. Dalam hal ini
rakyat kecil direpresentasikan oleh buruh tani. Mereka ingin memperbaiki nasib dengan meminta hak tanah onderneming yang sejak
zaman Jepang telah mereka duduki, atas perintah Jepang buruh tani itu kemudian bercocok tanam di sana, karena saat itu Jepang membutuhkan
bahan makanan. Saat revolusi pecah pemerintah meminta mereka merebut tanah-tanah onderneming itu dari pihak asing. Tetapi zaman
kembali berubah dan tanah-tanah yang sudah menjadi milik mereka harus dikembalikan. Para petani bingung dan merasa dipermainkan oleh
pemerintah.
1
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University, 2013, Edisi Revisi, h. 115.
“Mula-mulanya orang agak heran, mengapa tanah-tanah itu harus dikembalikan, sedang dahulu dianjurkan-anjurkan supaya
diduduki, ditanam dan disuruh rebut oleh rakyat.”
2
Kondisi ini dimanfaatkan oleh oknum tertentu demi memperoleh dukungan suara sebagaimana kutipan berikut:
“Dalam mesjid pernah timbul perdebatan hangat, ketika orang- orang dari luar kampung datang dan mengadakan rapat-rapat
dengan kaum tani. Mula-mula sekali datang seorang bernama Jusuf Bandar yang mengaku dia orang Perserikatan Nasionalis
Indonesia.”
3
“Saudara-saudara,” katanya dalam sebuah rapat, “Saudara- saudara jangan mau pindah, partai kami akan mempertahankan
nasib hak dan saudara-saudara. Gubernur yang memberi perintah itu telah menjadi kaki tangan kaum onderneming dan modal
asing.”
4
Kedatangan Jusuf Bandar yang mengaku sebagai orang PNI dalam rapat kaum petani membawa maksud tertentu. Ia mempropagandai para
petani agar tetap mempertahankan tanah tersebut, asalkan mereka mendukung PNI. Namun sayangnya maksud Jusuf Bandar tidak dipahami
oleh mereka. Keluguan para petani membuat pemimpin-pemimpin begitu mudah mempermainkan mereka. Sampai suatu ketika keadaan menjadi
semakin memanas, pemerintah mengancam akan mentraktor rumah mereka jika tidak mau pindah juga, dalam situasi ini datang lagi seorang
bernama Ahmad Jimbul. “Keadaan jadi bertambah hangat, dan ketika tiba perintah orang-
orang harus pindah, kalau tidak rumah-rumah mereka akan ditraktor, maka datang pula orang-orang yang mengaku diri
mereka kaum komunis, pembela rakyat jelata dan kaum proletar. Seorang Ahmad Jimbul amat baiknya berpidato.”
5
“Gubernur telah menerima sogok dari kaum kapitalis asing, polisi dan pamong pradja telah menjadi kaki tangan kaum
onderneming asing. Dan sekarang kawan-kawan, mereka mengancam akan mentraktor rumah kawan-kawan. Traktor maut
2
Mochtar Lubis, Perempuan Kumpulan Cerpen, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2010, h. 92.
3
Ibid.
4
Ibid.
5
Ibid., h. 93.
mereka siapkan untuk menghancurkan gerakan kaum tani yang menuntut perbaikan nasib.”
6
“Turutlah sekarang kami. Kita akan pimpin perjuangan saudara memertahankan hak-hak saudara melawan kaum imperialis dan
kapitalis asing, Bukankah jerih payah dan cucuran keringat saudara yang membuka tanah itu? Mengapa sekarang mesti
dikembalikan kepada kaum kapitalis asing? Adalah jadi kewajiban semua orang yang cinta kepada rakyat untuk membela
tanah-tanah itu.”
7
Kedatangan Ahmad Jimbul pun sama seperti Jusuf Bandar, hanya saja Ahmad Jimbul lebih memprovokasi para petani dengan mengatakan
bahwa tanah-tanah itu adalah hasil jerih payah mereka, jadi tidak perlu dikembalikan, bahkan pemerintah saja dengan teganya akan mentraktor
rumah para petani yang ingin memperbaiki nasib di zaman yang sudah merdeka. Kata-kata Ahmad Jimbul begitu meyakinkan, hingga pada
akhirnya seorang haji bernama Jala dimanfaatkan oleh Ahmad Jimbul dan juga Jusuf Bandar untuk membujuk para petani bersama-sama
memberontak dan meminta gubernur yang baru. Upaya ini dilakukan karena para petani dan rakyat lainya begitu menghormati sosok haji.
Sehingga Haji Jala adalah sasaran yang tepat. Kritik dalam cerpen ini disampaikan secara implisit dengan
menampilkan sosok propagandis dari dua kubu partai yaitu PNI dan PKI, keduanya digambarkan sebagai sosok yang licik, memperalat para petani
yang notabene tidak paham politik. “Ah, kita sampai sekarang pada soal politik Tuan Haji,” kata
jusuf bandar. “Saya khawatir Tuan Haji tidak akan mengerti. Baiklah Tuan Haji turut saja apa yang saya katakan.”
8
Kutipan di atas menggambarkan kelicikan Jusuf Bandar yang sedang membujuk Haji Jala untuk mengikuti segala macam perintahnya.
Sementara Ahmad Jimbul pun melakukan hal yang sama sebagaimana kutipan berikut:
6
Ibid.
7
Ibid., h. 96.
8
Ibid., h. 97.
“orang kampung tahu apa. Bodoh-bodoh semuanya. Buta politik. Kalau saudara haji jala menyuruh mereka, tentu mereka turut.”
9
Ahmad Jimbul menganggap orang-orang kampung itu bodoh semua, tidak mengerti politik, sekali diperintah oleh orang yang
terpandang seperti Haji Jala maka semuanya akan menurut. Kedua kutipan tersebut memberikan gambaran bahwa politik itu
kotor, penuh kecurangan, dan ketidakadilan, terutama bagi rakyat-rakyat kecil yang tidak begitu mengerti permainan politik. Dengan cerita ini
Lubis seolah membongkar cara-cara pemimpin dalam meraih jabatan. Apa pun yang Jusuf Bandar dan Ahmad Jimbul lakukan adalah salah
satu pembunuhan karakter terhadap gubernur atau pemerintah pusat, karena demi menaikkan gubenur baru, mereka menghasut rakyat dengan
menjelek-jelekkan kebijakan pemerintah pusat.
b. “Ceritera dari Singapura”
Tema yang diangkat dalam cerpen “Ceritera dari Singapura” ini adalah perjuangan para pemuda Indonesia dalam memperoleh senjata dan
bantuan lain di Singapura yaitu saat revolusi Indonesia sedang memuncak di tahun 1946-1947. Peristiwa tersebut terdapat dalam kutipan berikut:
“...sebuah panitia di Singapura yang banyak memberikan sokongan kepada revolusi Indonesia, menampung pemuda-pemuda dengan
segala macam tugas yang syah dan tidak syah yang datang ke Singapura, mengirimkan obat-obatan ke Indonesia dan
sebagainya.”
10
Kutipan di atas menjelaskan bentuk kerjasama Indonesia dan Singapura di tahun 1947. Singapura pada saat itu mendukung revolusi
Indonesia dengan memberikan bantuan berupa obat-obatan atau menampung para pemuda yang datang. Dijelaskan bahwa para pemuda
yang datang ke Singapura membawa berbagai tugas, baik yang sah atau tidak syah. Dalam hal ini tugas tidak sah adalah penyelundupan senjata
yang dilakukan secara diam-diam oleh orang-orang tertentu baik dari pihak Singapura maupun Indonesia. Dikisahkan bahwa seorang tokoh
9
Ibid. h. 98.
10
Ibid. h. 79.