hanya menciptakan perbedaan status yang menghimpit antara yang satu dengan yang lain, tetapi melahirkan stereotip watak masyarakat kolonial
yang tidak beres. Kemudian zaman perang mengubah segalanya.
122
Jepang masuk dan Belanda pun terusir, bahkan orang-orang sipil Belanda yang
berperang melawan Jepang ditahan, kecuali sedikit penguasa onderneming dipertahankan oleh penguasa militer sebagai administratur masa perang
khususnya masalah perekebunan onderneming bekas Belanda. Jepang yang saat itu membutuhkan makanan untuk persiapan perang, mulai
memperluas produksi pangan, hal ini disampaikan oleh narator Aku saat
menjelaskan awal mula permasalahan yang menyebabkan Haji Jala menggantung diri :
“Kecelakaan ini sebenarnya telah dimulai semenjak zaman pendudukan militer Jepang. Karena Jepang memerlukan banyak
makanan maka kepada penduduk tani di kampung-kampung sekitar tanah-tanah onderneming oleh Jepang dianjurkan untuk berladang
dan bersawah di tanah-tanah onderneming.”
123
Kutipan di atas menjelaskan bahwa pada masa pendudukan Jepang sejumlah besar perkebunan diambil alih seluruhnya oleh buruh-buruh asal
Jawa dan petani-petani setempat. Atas perintah Jepang mereka diperintahkan untuk menjadikan area tanah itu sebagai persawahan:
“maka banyaklah orang-orang tani yang membuka tanah onderneming, bersawah dan berkebun dan banyak pula yang
mendirikan rumah-rumah di sana.”
124
Mengutip dari Pelzer bahwa tanah-tanah yang dijadikan kebun masing-masing seluas 0,6 hektar guna diberikan kepada petani-petani yang
tidak mempunyai tanah. Maka banyak ribuan tani yang tidak mempunyai tanah dengan tiba-tiba mampu menanam pangan mereka sendiri. Banyak
di antara mereka yang meninggalkan bangsal-bangsal perkebunan dan mendirikan rumah-rumah sederhana di bidang tanah yang mereka peroleh.
Mereka pun mulai mengembangkannya dengan menanam pohon-pohon
122
Amir Imran, dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2012, h. 281.
123
Lubis., Op. Cit., h. 91.
124
Ibid.
buah, tanaman pagar, dan lain-lain.
125
Peraturan yang dibuat Jepang memberikan sumbangan besar kepada peningkatan kesadaran akan
kedudukan yang belum pernah diberikan sebelumnya. Hal ini membuat para tani berpikir bahwa suatu saat ketika Jepang angkat kaki dari
Indonesia maka semua tanah-tanah itu mutlak menjadi milik mereka sepenuhnya.
Apa yang dipikirkan pun terjadi, Jepang kalah perang dan Indonesia merdeka. Namun Belanda mencoba menguasai kembali seluruh
daerah Nusantara. Rakyat Indonesia yang merasa sudah merdeka dan terbebas dari perintah asing mencoba sekuat tenanga untuk menggagalkan
niat mereka, dan masa ini disebut masa-masa revolusi yang melahirkan banyak pemimpin revolusioner. Seperti dalam kutiipan berikut:
“Kemudian ketika Jepang kalah perang, dan revolusi pecah, maka pemimpin-pemimpin rakyat yang ketika itu tumbuh seperti jamur
lebih-lebih megorbankan semangat rakyat.”
126
Melalui kutipan tersebut Lubis menampilkan potret semangat perjuangan rakyat Indonesia yang sangat berkobar di masa revolusi.
Wujud semangat tersebut terlihat dari banyaknya rakyat Indonesia yang ingin menjadi pemimpin. Para pemimpin pergerakan nasional
memprakarsai strategi untuk bisa melepaskan Indonesia dari tangan Belanda, berbagai cara ditempuh baik melalui kerjasama atau dengan
menuntut hak kebebasan langsung dari Belanda. Euforia kemerdekaan memang membuat seluruh masyarakat
bahagia, mereka antusias menyambut kebebasan, tetapi nasib baik rupanya belum 100 berpihak pada RI karena Belanda kembali hadir
untuk merusak cita-cita RI. Semangat yang berapi-api sisa penjajahan masih melekat pada masyarakat, mereka yang sadar akan butuhnya sosok
pemimpin dalam melawan bangsa asing melahirkan banyaknya pemimpin- pemimpin yang mengatasnamakan “perjuangan”.
125
Karl J. Pelzer., Toean Keboen dan Petani Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatra Timur 1863-1947. Terj. dari Planter and Peasant, Colonial Policy and the Agrariant
Struggle in East Sumatera 1863-1947 oleh J. Rumbo. Jakarta: Sinar Harapan, 1985, h. 154-155.
126
Lubis., Loc. Cit.
Khusus untuk di Sumatera Timur pemimpin revolusioner dibagi ke dalam empat kelompok yaitu berdasarkan kombinasi kelas, orientasi
ideologi, senioritas sebagai nasionalis, dan mobilitas sosial.
127
Kelompok pertama merupakan anggota terkemuka dari penguasa kolonial yang
bersimpati kepada kemerdekaan Indonesia yaitu Teuku Mohammad Hasan, Dr. Mohammad, dan Mr. Abdul Abas. Kelompok kedua adalah
mereka yang pernah menjadi aktvis terkemuka dalam gerakan nasionalis sebelum PD II. Secara ideologis mereka mengikutkan spektrum yang luas,
termasuk di dalamnya orang-orang radikal seperti Abdul Xarim MS dan Natar Zainuddin, para tokoh PKI, lalu para tokoh PNI, kaum nasionalis
Islam yang moderat maupun yang kolot seperti HAMKA,dan Haji Abdul Rahman Syihab. Kelompok ketiga yaitu kaum nasionalis muda yang
mencapai kedudukan senior lewat organisasi militer buatan Jepang seperti Mohammad Yakub Siregar, Selamet Ginting, Ahmad Tahir, dan Hopman
Sitompul. Kemudian kelompok terakhir adalah mereka yang menjadi terkemuka pada masa revolusi. Latar belakang mereka pun beragam, ada
yang dari golongan aristokrat, kelas menengah kota, proletar, dan petani. Khas dari kelompok keempat ini adalah para pemimpin laskar seperti
Bejo, Timur Pane, Payung Bangun, Saragiras, Nip Xarim, Sarwo S. Sutarjo, dan Liberty Malao.
128
Hal yang paling mendasar dalam kepemimpinan di daerah biasanya faktor kesukuan, namun terkadang
kesukuan itu kerap menimbulkan berbagai ketegangan, seperti peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur pada Maret 1946.
Revolusi yang terjadi di Sumatera Timur itu lebih kepada pelampiasan dendam terhadap penjajah dan kaki tangannya yaitu sultan
atau para elite. Buruh dan petani berusaha merampas apa saja yang dimiliki oleh mereka yang pernah menjadi kaki tangan bangsa asing
termasuk perkebunan onderneming:
127
Kahin, Op. Cit, h. 126.
128
Ibid., h. 126-127.
“Sekarang bukan saja penduduk dianjurkan, melainkan disebutkan berkewajiban menduduki tanah-tanah
onderneming- onderneming.”
129
Seperti yang digambarkan Lubis dalam kutipan tersebut, setelah revolusi pecah, tanah konsesi onderneming di Sumatera Timur wajib
diduduki oleh petani. Sebagaimana yang dikemukakan Pelzer bahwa sepanjang tahun 1946-1947 Belanda dan pejabat sipil terkurung di Medan.
Bahkan, para pasukan bersenjata Indonesia menghentikan pasokan dari pedalaman ke kota.
130
Peristiwa ini berawal dari pemberontakan yang terjadi pada tahun 1946 oleh kelompok pergerakan yang menyerukan agar dilaksanakan
nasionalisasi atas perkebunan, menentang setiap perundingan dengan pihak asing, dan menuduh sultan-sultan di Sumatera Timur melakukan
gerakan bawah tanah untuk mengembalikan pemerintahan Hindia Belanda dan pengusaha onderneming barat.
131
Ketika itu pemuda-pemuda bersenjata menyerang seluruh wilayah Sumatera Timur dengan membabi buta, termasuk di dalamnya ada
kesatuan-kesatuan laskar seperti Pemuda Sosialis Indonesia Pesindo, Nasionalis Pemuda Indonesia Napindo Barisan Harimau Liar, Barisan
Merah PKI, dan Hizbullah didukung oleh kaum buruh Jawa di semua perkebunan dan kaum tani Karo dan Toba. Kelompok-kelompok tersebut
mengobrak-abrik rumah para pejabat atau bangsawan, mereka merampas, membunuh, serta menyita milik penduduk.
132
Hal tersebut sejalan dengan pendapat beberapa pakar yang meyakini bahwa revolusi memerlukan
keterlibatan kekerasan. Perkebunan di seluruh wilayah Sumatera Timur diduduki oleh unit-
unit laskar, dan tanah-tanah milik perkebunan dibagi-bagikan kepada buruh-buruhnya atau kepada petani non-Melayu:
133
129
Lubis., Loc. Cit .
130
Pelzer, Op. Cit., h. 164
131
Ibid.
132
Kahin., Op. Cit., h. 130.
133
Ibid.
“Ketika zaman revolusi dianjurkan menyita tanah-tanah milik musuh, maka dia pun memperbesar tanahnya, menanam pohon
buah-buahan, membuka tempat untuk ikan, dan menambah ladangnya.”
134
Sikap patuh terhadap pemimpin yang direpresentasikan oleh Haji Jala pada kutipan di atas sengaja dibuat Lubis untuk mewakili sikap
petani secara umum pada masa revolusi kala itu. Para petani atau pemuda dianjurkan untuk menyita tanah-tanah milik musuh dengan memperbesar
tanah, dan menanam segala macam pohon buah-buahan. Dalam hal ini musuh mereka adalah Belanda dan suku Melayu, sebagaimana yang
dikutip dari Kahin yaitu “para pemuda Jawa dan Batak bersama-sama menyerang Melayu dengan alasan, ipso facto, bahwa mereka merupakan
pendukung kaum bangsawan atau mata-mata Belanda.”
135
Merujuk pada beberapa aliran teori utama revolusi yang dibahas pada bab sebelumnya, maka peristiwa pemberontakan ini sesuai dengan
aliran psikologi, dimana aliran ini berkaitan dengan ketidakadilan. Perasaan tidak adil tersebut tumbuh dalam kondisi sosial yang kaku, yang
secara berbeda melarang satu kelompok mencapai kondisi yang dinikmati oleh kelompok lain.
136
Maka, motivasi terpenting yang mendasari revolusi di Sumatera Timur ini adalah nafsu untuk menghancurleburkan apa yang
mereka anggap sebagai golongan penguasa yang memeras, karena sejak zaman penjajahan, Melayu mendapatkan hak istimewa dari Belanda
dimana tanah-tanah perkebunan merupakan milik para Sultan, sementara buruh tani hanya sebagai pekerja kontrak yang dibayar dengan upah
minim. Ketidakadilan itu menjadi sebuah tekanan yang mengacu pada perubahan fundamental, dan untuk mencapai itu diperlukan keterlibatan
massa rakyat yang jumlahnya besar, tergabung dalam satu gerakan revolusioner, dalam masalah ini massa rakyat yang terlibat adalah petani.
134
Lubis., Op. Cit., h. 92.
135
Kahin., Op. Cit., h. 131.
136
Piötr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Terj. dari The Sosiology of Social Change oleh Alimandan, Jakarta: Prenada, 2011, Cet. ke-6, h. 369.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan Sztompka bahwa dalam banyak kasus revolusi melibatkan pemberontakan petani.
Meski pada zaman Jepang hak tersebut telah dicabut namun pada kenyataannya setelah kemerdekaan, Belanda kembali datang dan bisa saja
peraturan tersebut diadakan lagi. Maka, pada akhir tahun 1946 dibentuklah struktur panglima perang warlord yang memberi daya gerak besar
kepada perjuangan bersenjata. Mereka membentuk tanah-tanah jabatan teritorial berdasarkan kekuasaan atas pemerintahan sipil, perdagangan, dan
perniagaan setempat, hingga akhirnya pada tahun 1950, kekuasaan ekonomi dan politik berada di tangan tentara RI. Tepatnya saat Sumatera
Timur bersama Tapanuli digabungkan dalam satu propinsi.
137
Dalam cerpen ini Lubis juga menggambarkan bagaimana kelanjutan kisah perebutan tanah onderneming yang terjadi di tahun 1946-
1947. Sengketa tanah itu terus berlanjut hingga tahun 1950-an, Lubis menampilkannya lewat usaha propaganda beberapa partai, salah satunya
PKI. PKI berusaha menghasut para petani agar mereka mau mempertahankan tanah onderneming di Sumatera Timur yang menjadi
sengketa sejak masa revolusi: “Kawan-kawan,” katanya, “datanglah waktunya kelas tani dan
kelas buruh bersatu-padu menghadapi siasat kaum imperialis dan kapitalis. Seluruh kaum buruh internasional mendukung
perjuangan kita di bawah pimpinan Stalin, Malenkov, dan kawan Mao Tse Tung.”
138
“Saya menyerukan jangan takut kawan-kawan. Kita tidak berjuang sendiri. seluruh rakyat proletar di Rusia, di RRT , di mana-mana, di
seluruh dunia menyokong perjuangan kita yang suci.”
139
Kutipan di atas sebenarnya diperkirakan terjadi pada tahun 50-an beberapa tahun setelah masa revolusi akan tetapi hal tersebut
mengingatkan kita bahwa masalah pemberontakan di Sumatera Timur memang tidak lepas dari pengaruh PKI, sebagaimana dikemukakan
sebelumnya bahwa salah satu kelompok yang ikut melakukan penyerbuan
137
Kahin, Op. Cit, h. 134-135.
138
Lubis, Op.Cit., h. 93.
139
Ibid., h. 94.
secara membabi buta di Sumatera Timur adalah PKI. Keterlibatan PKI dalam revolusi di Sumatera Timur semakin terlihat ketika Mr. Amir
mengangkat M. Yunus Nasution sebagai residen Sumatera Timur. Selanjutnya, pembahasan lain dalam kutipan tersebut adalah Lubis
menggambarkan bahwa salah satu kekuatan PKI yaitu adanya dukungan dari komunis internasional. Hubungan tersebut menimbulkan rasa kuat dan
percaya diri, hal demikian dapat kita lihat pada kutipan pertama, di mana PKI nampak merasa kuat karena mereka yakin bahwa Stalin, Malenkov,
dan Mao Tse Tung akan mendukung perjuangan mereka dalam melawan kaum imperialis dan kapitalis, sementara kutipan kedua digunakan Lubis
untuk memperkuat pernyataan mereka dengan menyebutkan kalimat ‘di mana-mana, di seluruh dunia menyokong perjuangan kita yang suci’.
Hubungan PKI dengan komunis internasional memang sudah terbentuk jauh sebelum Indonesia merdeka, hingga pada tahun 1947
aktivitas-aktivitas PKI mulai muncul kembali tepatnya ketika komunisme internasional kembali pada doktrin Zhdanov dan dengan mengikuti garis
itulah PKI menentang semua langkah diplomatik RI dengan Belanda.
140
Komunis internasional bersatu demi satu tujuan, apabila salah satu negara menghadapi suatu masalah maka kekuatan-kekuatan tersebut
membantunya baik dalam bentuk moril maupun materi. Sebagai contoh, tokoh Komunis Kuba, Fidel Castro, gagal dalam
pemberontakannya tahun 1952 dan berhasil ditangkap oleh Batista penguasa Kuba. Namun, tiba-tiba pemerintah Stalin Rusia
memprotes tindakan Batista dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Kuba. Demikian juga usaha komunis Rusia untuk
menindas gerakan anti komunis di Hongaria pada tahun 1956 dan tekanan-tekanan RRT terhadap golongan anti komunis di Tibet
1959 merupakan beberapa contoh tentang dukungan Komunis Internasional yang diberikan kepada gerakan komunis di berbagai
negara.
141
140
Anonim, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia, Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasannya, Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1994,
Ed.1; Cet. 2, h. 15.
141
Anonim, Komunisme Indonesia dalam Matapadi Pressindo http:matapadi.com20151009komunisme-di-indonesia
diunduh pada Minggu , 17 Januari 2016 Pukul , 11:37 WIB
Hubungan kerjasama seperti ini didasari oleh ajaran Marxis yang bersifaat universal. Ideologi teresebut menyatukan para pengikutnya dalam
bentuk kerjasama yang kuat, dan berkiblat pada Rusia dan Republik Rakyat Tiongkok RRT. Meski kuat dalam bentuk kerjasama, gerakan
komunis baik itu komunis internasional maupun PKI di Indonesia tidak pernah mempunyai sikap menguntungkan RI.
b. “Ceritera Dari Singapura.”
Mengingat sejarah revolusi Indonesia tentu tidak lepas dari penyelundupan senjata, karena senjata adalah alat vital untuk mengusir
bangsa asing ketika itu, baik pemberontakan yang terjadi di Sumatera Timur maupun di wilayah lainnya, senjata menjadi modal utama mereka
dalam menjalankan revolusi melalui “jalur kekerasan”. Cerpen ini menampilkan gambaran pemuda-pemuda Indonesia yang menyelundupkan
senjata dari Singapura dan diangkut ke Sumatera di tahun 1946. Hal tersebut tentu merupakan bagian dari proses revolusi. Berikut
pembahasannya: Penyelundupan senjata dari luar negeri, terutama dari Singapura
dan Malaka merupakan sumber yang sangat penting dalam perolehan senjata RI pada masa revolusi sebagian orang menyebutnya dengan
perang kemerdekaan, karena pada saat itu senjata yang dimiliki RI tidak cukup memadai. Berbagai hal menjadi faktor penyebabnya, seperti
banyaknya senjata pejuang yang hilang akibat Agresi Militer I, kerusakan akibat cuaca atau tidak biasa merawat senjata dengan baik, dan tidak
adanya tempat yang tersedia untuk memperbaiki senjata-senjata yang rusak. Dengan adanya faktor tersebut lama kelamaan RI semakin
kekurangan senjata. Pada 1946 saat revolusi sedang memuncaknya, Indonesia mencari senjata ke Singapura, hal ini karena jalur ke Singapura
sangat dekat dan terbuka untuk Indonesia. Pencarian senjata tersebut terdapat dalam kutipan berikut:
“Surat ini mengingatkan saya pada suatu hari dalam permulaan tahun 1946, ketika revolusi di Indonesia sedang memuncaknya,
dan banyak anak-anak muda Indonesia datang kemari mencari senjata, minta bantuan dan sebagainya.”
142
Melalui kutipan tersebut, secara tersirat Lubis menggambarkan potret kondisi Indonesia pada masa revolusi di tahun 1946. Di tahun itu
perjuangan bangsa Indonesia setelah merdeka tengah memuncak dalam melawan serangan Belanda dan Sekutu, belum lagi Indonesia juga harus
mengatasi kekacauan yang ditimbulkan dari pemberontak golongan kiri dan sebagainya, sehingga Indonesia membutuhkan bantuan dari berbagai
pihak salah satunya dari Singapura. Lubis menyebutkan bahwa ketika itu 1946 banyak sekali anak-
anak muda yang mencari bantuan senjata ke Singapura. Hal tersebut dikarenakan pemuda yang dibentuk untuk mempertahankan RI wajib
bersenjata, baik senjata api, samurai, atau bambu runcing. Mereka begitu berambisi dan dibuai oleh nilai-nilai kepahlawanan dan etika militer serta
mempunyai keyakinan bahwa perjuangan kemerdekaan sedang dalam perjalanan, shingga tidak diragukan lagi jika kebanyakan pemuda-pemuda
bersenjata merasa bertanggungjawab atas tercapainya cita-cita revolusi nasinonal.
143
Para pemuda disatukan dalam bentuk laskar-laskar. Setelah senjata-senjata itu berhasil didapatkan,
para pemuda tidak langsung serta merta membawanya dengan mudah, tetapi mereka harus
menyembunyikannya terlebih dahulu seperti kutipan berikut: “Di bawah tempat tidur tempat anak muda yang malang itu
terbaring ada tiga peti senjata api dan peluru, yang menurut anak muda itu sebelum terjadi kecelakaan pada dirinya, akan diangkut
ke Sumatera dan hanya menunggu kapal saja.”
144
Lubis melalui kutipan tersebut menggambarkan bahwa senjata- senjata yang diperoleh, sementara disembunyikan terlebih dahulu sebelum
dibawa ke Indonesia, salah satu tempat yang tepat untuk menyembunyikan senjata adalah di bawah tempat tidur, hal ini bisa jadi karena mereka takut
ketahuan pihak Singapura:
142
Lubis, Op. Cit., h. 85.
143
Imran., Op. Cit., h. 137.
144
Lubis, Op. Cit., h. 86.
“Singapura ketika itu masih di bawah peraturan militer yang amat keras. Orang preman dilarang menyimpan senjata api atau peluru,
dan dapat dihukum mati jika melanggar peraturan itu.”
145
Melalui kutipan tersebut pembaca akan mengetahui betapa ketatnya peraturan Singapura ketika itu sampai-sampai mereka akan
menghukum mati siapa saja khususnya orang preman yang berani menyimpan senjata. Peraturan ini tentu sangat berbahaya bagi pemuda
pejuang RI yang bekerjasama dengan makelar atau agen penjual senjata di sana. Oleh karena masa-masa tersebut masa yang sangat rentan dan penuh
kecurigaan maka seluk beluk pembelian senjata seringkali sangat rumit dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari otoritas Singapura.
Para pemuda selalu dalam keadaan yang menegangkan bahkan dalam situasi darurat seperti yang dialami tokoh pemuda dalam cerpen ini.
Pemuda Indonesia yang bertugas menyelundupkan senjata dari Singapura tersebut mendapat luka yang parah dan harus segera mendapatkan
perawatan medis agar nyawanya dapat tertolong: “Orang Melayu itu terkejut bukan kepalang, dan mukanya penuh
ketakutan. ‘Tetapi jika dibawa ke rumah sakit’, katanya, ‘maka lukanya yang kena peluru itu harus dilaporkan oleh rumah sakit
kepada polisi. Polisi akan melakukan pemeriksaan. Rumah ini akan digeledah. Kami semua akan ditangkap. Senjata ini akan dirampas.
Tuan dokter obati dia di sini. Jangan dibawa ke rumah sakit.”
146
Secara tersirat, dalam kutipan tersebut Lubis menggambarkan potret hiudup dan mati yang dialami pemuda penyelundup senjata. Hak
yang seharusnya didapatkan oleh seorang manusia untuk menerima pengobatan medis tidak didapatkan di sana lantaran terbentur oleh
peraturan yang bisa saja mengancam kerjasama penyelundupan senjata antara Indonesia dan Singapura di masa revolusi tersebut. Jiwa mereka
sebetulnya terancam oleh para polisi Singapura yang tentu saja akan bertindak tegas dengan menggeledah seluruh isi rumah serta seluruh
anggota-anggota yang selama ini bekerjasama untuk menyelundupkan senjata. Dari hal tersebut dapat dilihat betapa sebenarnya masa-masa
145
Ibid., h. 85.
146
Ibid., h. 86.
revolusi sangat tidak nyaman, kalau saja bukan atas nama perjuangan, tidak mungkin para pemuda bertaruh nyawa di negeri orang demi
mendapat senjata. Sebagai contoh ada seorang tokoh penyelundup terkenal bernama
John Lie yang merupakan seorang perwira angkatan laut keturunan Cina. Kapal yang dikendarai John Lie membawa muatan karet dari Aceh ke
Bukhet-Thailand. Melalui bantuan dari seorang perwakilan Indonesia di Bangkok, kapal John Lie bisa masuk pelabuhan tanpa ada masalah dengan
pejabat bea cukai. Pembelian senjata seringkali memerlukan uang kontan dengan perantara khusus yang memahami persoalan “barang soelit”
istilah lazim untuk menyebut senjata dalam kegiatan penyelundupan, dan hal ini biasanya diperoleh di Singapura.
147
Namun dalam kegiatan penyelundupan tidak selamanya berjalan mulus, John Lie pernah
ditangkap perwira Inggris namun saat diadili di pengadilan Singapura dia tidak jadi dihukum karena terbukti tidak bersalah. John Lie bisa dikatakan
sebagai salah satu orang yang beruntung karena dapat selamat dari hukuman, sementara banyak pemuda yang tidak tercatat dalam sejarah
yang tidak seberuntung John Lie. Kegiatan penyelundupan senjata ini terus berlangsung, dari tahun ke tahun pun semakin banyak tokoh-tokoh
yang terkenal ahli dalam menyelundupkan senjata. Selanjutnya, jika pada bagian awal penulis membahas tentang
nasib pemuda yang terancam saat menyelundupkan senjata, maka pada bagian ini penulis akan membahas bentuk kerjasama kegiatan transasksi
antara Indonesia dengan Singapura dan juga India. Setelah perjanjian Linggarjati ditandatangani pada 25 Maret 1947
terdapat kemajuan ke arah peningkatan pengakuan dan simpati internasional. Akan tetapi pada pertengahan 1947, hubungan luar negeri
RI masih terbatas pada hubungan regional di tiga negara yaitu New Delhi, Mesir, dan Singapura. Dari ketiga negara tersebut, yang menjadi titik
tumpu utama adalah Singapura karena akses RI lebih terbuka dibanding
147
Imran, dkk. Op. Cit., h. 338.
dengan negara lainnya. Sebagaimana yang dikemukakan Imran bahwa hubungan kerjasama antara Indonesia dengan Singapura sudah dimulai
sejak Oktober 1945, bahkan di negara tersebut sudah berdiri Persatuan Kaum Buruh Indonesia PKBI kemudian berubah menjadi Persatuan
Indonesia PI yang bergerak untuk memajukan Indonesia melalui berbagai cara, baik perdagangan atau gerakan politik.
148
Singapura memberikan bantuan berupa obat-obatan, menampung para pemuda, dan
menyediakan perlengkapan perang, seperti kutipan berikut: “... dan ikut aktif dengan sebuah panitia di Singapura yang banyak
memberikan sokongan kepada revolusi Indonesia, menampung pemuda-pemuda dengan segala macam tugas yang syah dan tidak
syah yang datang ke Singapura, mengirimkan obat-obatan ke Indonesia dan sebsagainya.”
149
Dari kutipan tersebut Lubis menjelaskan bahwa pada saat revolusi ada sebuah panitia yang dibentuk di Singapura yang tugasnya membantu
kelangsungan revolusi Indonesia. Berbagai macam obat disiapkan untuk membantu mengobati para pejuang yang terluka akibat perang melawan
bangsa asing, tidak hannya itu dalam kutipan tersebut juga dijelaskan bahwa Singapura menampung pemuda-pemuda yang datang dengan segala
tugas yang syah dan tidak sah, dalam hal ini tugas yang tidak sah adalah penyelundupan senjata.
Dalam memperoleh senjata tersebut, Indonesia tidak semata-mata menerima bantuan dari Singapura dengan cuma-cuma. Ada sebuah
kerjasama di mana Indonesia mengirimkan hasil bumi seperti karet, kopi, kopra, beras, dan candu sebagai alat barter yang akan ditukarkan dengan
senjata. Kegiatan tersebut tidak dilakukan sendiri-sendiri tetapi diperantarai oleh sebuah organisasi yang bertugas mengatur ekspor impor
hasil bumi dan senjata sebagaimana kutipan berikut:
148
Imran, dkk., Op. Cit, h. 239.
149
Lubis., Op. Cit., h. 79.
“Bolehkah aku mengorbankan jiwa anak muda itu? Mengorbankan jiwanya untuk menjaga supaya organisasi pembelian senjata orang
Indonesia dapat selamat?”
150
Kutipan di atas adalah penggalan cerita saat Dr. Bannerje merasa kebingungan, karena harus mengorbankan satu hal yang paling penting di
antara yang terpenting, yaitu antara nyawa seorang pemuda Indonesia dengan sebuah organisasi pembelian senjata. Di situ Lubis menyebutkan
adanya “organisasi pembelian senjata orang Indonesia”, jika merujuk pada sejarah, memang pada saat itu ada sebuah badan atau organisasi yang
bertugas mengkoordinasi ekspor impor RI, yaitu Banking and Trading Company BTC, sebagaimana dikutip dari Imran:
Koordinator kegiatan ekspor impor Republik Indonesia berada di bawah kendali Banking and Trading Company BTC, sebuah
“tranding house” semi pemerintah. Sekitar 20 orang komisaris perusahaan besar milik pribumi dan Cina membuka cabang di
hampir setiap daerah di Jawa dan Sumatera serta luar negeri. BTC bertugas membeli hasil komoditas pertanian Indonesia, seperti
karet, gula, kopi, tembakau, opium, dan sejumlah komoditas lainnya dari rakyat, kemudian menjualnya ke luar Indonesia
dengan transaksi sistem barter. Hampir semua komoditas pertanian yang diekspor dikembalikan dalam bentuk barang, umumnya
adalah alat-alat keperluan kantor dan industri, serta obat-obatan dan perlengkapan militer.
151
Meski dalam kutipan tersebut dijelaskan bahwa hampir semua komoditas eskpor dikembalikan dalam bentuk barang, bukan berarti
transaksi tersebut benar-benar barang ditukar dengan barang, misal beras ditukar senapan, tetapi harus melalui proses penjualan terlebih dahulu.
Setelah hasil bumi itu dikumpulkan, maka badan yang bersangkutan menjualnya ke pedagang di singapura, karena dalam transaksi persenjataan
memerlukan uang kontan, sesudah itu mereka baru mencari makelar- makelar atau agen penjual senjata dengan uang penjualan hasil bumi tadi,
baru kemudian senjata-senjata tersebut diangkut ke Sumatera melalui jalur laut, seperti dalam kutipan berikut:
150
Lubis, Op. Cit., h. 87.
151
Imran, Op. Cit., h. 338.
“Di bawah tempat tidur tempat anak muda yang malang itu terbaring ada tiga peti senjata api dan peluru, yang menurut anak
muda itu sebelum terjadi kecelakaan pada dirinya, akan diangkut ke Sumatera dan hanya menunggu kapal saja.”
152
Melalui kutipan di atas Lubis menjelaskan bahwa pada waktu itu senjata-senjata yang diselundupkan dibawa ke Indonesia melalui jalur laut
dan berlabuh di Sumatera terlebih dahulu sebelum dibawa ke daerah- daerah lain, sebagaimana yang dikutip dari Imran bahwa “sejak awal 1946
sampai 1949 berbagai jenis senjata dan perlengkapan militer diselundupkan ke Sumatera dan juga ke Jawa melalui jalan laut, seringkali
dengan pengangkutan berantai antarpelabuhan guna menghindari pengawasan Belanda”.
153
Untuk akses ke Singapura pelabuhan atau dermaga yang utama dalam membantu proses perdagangan adalah
dermaga Langsa di Aceh Selatan, Pangkalan Susu di Langkat, Tanjung Balai di Asahan, dan Labuhan bilik di Labuhan Batu.
154
Kegiatan ini tidak lepas dari peran A.K Gani yang kita kenal sebagai menteri perekonomian
dalam kabinet Hatta tahun 1948. Beliaulah yang merancang kegiatan BTC, selain itu kemampuannya dalam menyelundupkan senjata sempat
membuat Belanda kewalahan karena mampu menembus blokade Belanda hingga ia dijuluki sebagai the greatest smuggler of Southeast Asia raja
penyelundup.
India:
Selanjutnya, selain menggambarkan tentang hubungan Indonesia dengan Singapura, dalam cerpen ini pun digambarkan tentang hubungan
Indonesia dengan India serta negara-negara lainnya meski hanya sekilas, tetapi hal tersebut bisa menjadi informasi sejarah bagi pembacanya, yaitu
ketika “Aku” pertama kali bertemu dengan “Dr. Bannerjee”, mereka dipertemukan di New Delhi dalam sebuah konferensi.
152
Lubis, Op. Cit., h. 86.
153
Imran, Op. Cit., h. 338.
154
Kahin, Op. Cit., h. 146.
“Saya kenal Dr. Bannerjee mula-mula sekali ketika delegasi Indonesia mengunjungi konferensi Inter-Asia di New Delhi dalam
tahun 1947,....”
155
Lubis dalam kutipan ini menggambarkan bahwa pada tahun 1947, bertepatan dengan masa-masa revolusi Indonesia pernah diselenggarakan
sebuah konferensi internasional di New Delhi, India. Konferensi yang dihadiri oleh beberapa negara Asia ini dinamakan Konferensi inter-Asia,
dan Indonesia turut andil di dalamnya. Keikutsertaan Indonesia dalam konferensi tersebut merupakan salah satu usaha Perdana Menteri Sjahrir
dalam memperoleh pengakuan dunia Internasional atas kemerdekaan Indonesia. Tujuannya adalah agar seluruh negara Asia bersatu dalam
mencapai cita-cita kemerdekaan, tidak memihak kepda satu blok, dan ikut menjaga perdamaian dunia. Dalam konferensi tersebut Sjahrir mendapat
sambutan hangat dari negara-negara peserta, ia mengirimkan rombongan sebanyak tiga puluh orang delegasi RI yang diketuai oleh dr. Abu Hanifah
dan H. Agus Salim sebagai penasihat.
156
Pada konferensi yang dilaksanakan bulan Maret ini, delegasi Indonesia-lah yang menjadi pusat
perhatian dan perjuangan Indonesia mendapat dukungan besar dari wakil bangsa-bangsa yang hadir karena selain menyampaikan pidatonya yang
berjudul “One Asia, One World” Satu Asia, Satu Dunia, PM Sjahrir juga banyak melakukan pendekatan kepada negara peserta, menurutnya
konferensi ini adalah kesempatan bagi Indonesia untuk mengembangkan sayapnya di dunia internasional, sehingga pada waktu itu masalah yang
dialami Indonesia menjadi fokus di panggung dunia.
157
Konferensi ini merupakan bentuk kerjasama Indonesia dengan India New Delhi yang sebelumnya sudah diadakan kerjasama terlebih
dahulu tepatnya saat April 1946 ketika Indonesia memberikan bantuan beras kepada India sebagai langkah awal revolusi melalui jalur diplomatik.
Pada tanggal 27 Juli sekertaris urusan pangan India menandatangani
155
Lubis., Op. Cit., h. 79.
156
Imran, dkk. Op. Cit., h. 239.
157
Ibid.
sebuah perjanjian, yaitu RI harus membantu sebanyak 700.000 ton beras untuk membantu mengatasi kelaparan di India, sementara sebagai
imbalannya, India mengirimkan peralatan pertanian, tekstil dan bemacam- macam barang yang diperlukan. Akan tetapi prestasi yang dicapai di
bidang internasional lebih penting sebagaimana yang dikatakan Hatta yaitu “faktor ketiga yang melekat dalam penawaran beras kami ke India adalah
aspek politik, yang otomatis menjadi bagian dari paket transkaksi”.
158
c. “Si Djamal Anak Merdeka”
Cerpen yang pertama menggambarkan usaha perlawanan rakyat dengan jalan kekerasan, cerpen kedua menggambarkan bagaimana usaha
para pemuda untuk mendapatkan senjata sebagai modal untuk melawan Belanda dengan jalan kekerasan pula, maka cerpen ketiga ini
menggambarkan perlwanan RI dengan cara diplomasi, karena untuk menghadapi Belanda, RI menggunakan dua jalan yaitu jalan kekerasan
senjata, dan jalan diplomasi, untuk mempertahankan kemerdekaan RI dari tangan penjajah.
Tidak lama setelah perjanjian Renville dibuat, Belanda kembali berkhianat dengan melancarkan agresi mliter yang kedua. Indonesia
dengan dipimpin oleh jenderal Sudirman ketika itu pun melakukan perang gerilya melawan Belanda. Ketegangan di antara kedua belah pihak
memaksa keduanya untuk melakukan perundingan kembali, maka 26 Februari 1949 telah diumumkan bahwa akan diadakannya Konferensi
Meja Bundar KMB. Konferensi tersebut akan diadakan di Belanda pada 23 Agustus 1949 guna membicarakan masalah Indonesia dan
merundingkan syarat-syarat “penyerahan” kedaulatan, serta pembentukan Uni Indonesia—Belanda.
Berbagai jaminan diberikan kepada investasi-investasi Belanda di Indonesia dan disepakati bahwa akan diadakan konsultasi mengenai
158
P. R. S. Mani, Jejak Revolusi 1945 Sebuah Keaksian Sejarah , Terj. dari The Story of Indonesian Revolution 1945-1950 oleh Lany Kristono. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1989,
h. 126.
beberapa masalah antara kedua belah pihak. Hampir semua rakyat Indonesia menganggap rencana tersebut sebagai pembatasan yang tidak
adil terhadap kedaulatan mereka.
159
Apalagi Belanda tetap mempertahankan hak mereka atas Irian Barat sampai ada perundingan
lebih lanjut terkait status wilayah tersebut, seperti dalam kutipan berikut: “Perundingan telah sampai kepada persetujuan, bahwa dalam soal
Irian, Belandalah yang kepala Batu.”
160
Dalam kutipan tersebut Lubis menggambarkan bahwa pada masa- masa akhir revolusi Belanda begitu keras kepala dalam mempertahankan
Irian Barat. Sebagaimana kita ketahui pada tanggal 27 Desember 1949, Belanda secara resmi telah memberikan kedaulatannya kepada Indonesia,
namun tidak termasuk Papua.
161
Belanda tetap mempertahankan PapuaIrian Barat dengan alasan bahwa etnik Papua berbeda dan terpisah
dengan Indonesia. Alasan tersebut tidaklah masuk akal mengingat kekayaan sumber daya alam di Papua begitu kaya. Belanda pun
melakukan penguatan di bidang ekonomi dan politik agar Papua dapat dipisahkan dari Indonesia. Kabinet Hatta pun pada saat itu terus
membentuk hubungan yang baik dengan Belanda, tujuannya agar Belanda mau menyerahkan Irian Barat. Maka pada bulan April 1950, atas usulan
pihak RI dilaksanakanlah Konferensi Tingkat Menteri di Jakarta untuk yang pertama. Dalam konferesni itu dibahas prihal sengketa Irian Barat
yang menghasilkan sebuah komisi Irian dengan tugasnya yaitu menyelidiki Irian Barat serta melaporkan hasilnya. Lalu dilaksanakanlah
Konferensi kedua di Den Haag pada 4 Desember 1950. M. Roem yang saat itu menjadi ketua delegasi RI mengajukan dua usul yaitu pengakuan
kedaulatan harus dilaksanakan pada 27 Desember 1950, sedangkan penyerahannya dapat dilaksanakan pada pertengahan tahun 1951. Namun
Belanda tetap keras kepala karena mereka hanya akan berdaulat atas Irian Barat pada Uni Indonesia—Belanda, sementara de facto tetap di tangan
159
Ricklef, Op. Cit., h. 466
160
Lubis., Op. Cit., h. 156.
161
Ricklef, Op. Cit., h. 466.
Belanda. Dengan demikian perundingan tidak membuahkan hasil dan Belanda tetap kepala batu.
162
Hal ini menimbulkan kekecewaan, sehingga pemerintah memutuskan hubungan Uni Indonesia—Belanda dan
membatalkan perjanjian KMB sebagaimana kutipan berikut: “sekarang kita harus putuskan Unie dan perjanjian KMB,”
163
“Dan sekarang setelah Irian tidak kembali, maka berteriak lagi— Hapuskan KMB dan Unie dahulu.”
164
Melalui kutipan tersebut, Lubis menggambarkan potret ketidakkonsistenan pemerintah yang dirasakan oleh rakyat. Hal ini karena
RI merasa dirugikan akhirnya RI berencana untuk memutuskan kerjasama dalam bentuk Uni tersebut serta menghapus perjanjian KMB. Akan tetapi
hal ini tidaklah mudah, karena Belanda tetap saja keras kepala. Maka beberapa usaha terus dilakukan seperti perundingan-perundingan, lewat
bantuan PBB, dan lewat dukungan negara-negara lain, sampai akhirnya KMB dan Uni baru bisa dihapus pada tahun 1956, jauh setelah masa-masa
revolusi berakhir tepatnya saat kabinet Burhanuddin Harahap, seperti dikutip dari pernyataan Bung Tomo dalam Sanit, yaitu “Alhamdulillah,
akhirnya kabinet Burhanuddin Harahap menghapuskan perjanjian KMB itu secara keseluruhan, setelah Belanda bersitegang dalam perundingan
dengan pihak RI di Jenewa mengenai pengembalian Irian Barat ke wilayah Indonesia.”
165
Lamanya proses pemutusan Uni dan KMB selain dari pihak Belanda yang keras kepala juga karena Sukarno yang belum juga
mengambil keputusan, walaupun sudah meminta kepada PNI untuk menghapuskan keduanya namun tidak ada tindakan sebagaimana yang
dikatakan Bung Tomo bahwa “Apakah Bung Karno yakin bahwa PNI sanggup menghapuskan perjanjian KMB, karena sebelum itu Bung Karno
162
Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka, 1990, h. 208.
163
Lubis, Op. Cit., h. 156.
164
Ibid., h. 157.
165
Arbi Sanit, Menembus Kabut Gelap Bung Tomo Menggugat, Pemikiran, Surat, dan Artikel Politik 1955-1980, Jakarta:Visimedia, 2008, h. 121.
selalu menyatakan kekesalan hatinya kepada saya bahwa PNI sudah diminta menghapuskan Uni Belanda—Indonesia, tetapi PNI tidak pernah
berusaha ke arah itu.”
166
Hal tersebut tentu menimbulkan kekecewaan, bahkan kekecewaan rakyat terhadap Sukarno sudah terlihat sejak tahun 1950, seperti terdapat
dalam kutipan berikut: “Memang dalam kumpulan petang gerimis itu, tidak ada seorang
juga yang cinta dan memuja Sukarno. Kalau menurut istilah-istilah pemimpin-pemimpin rakyat, maka orang seperti yang berkumpul
dalam petang gerimis itu, adalah termasuk orang-orang yang bandel dan bodoh, dan tidak patuh pada pemerintah.”
167
Cerpen Si Djamal Anak Merdeka ini berlatar tahun ’50, dan kutipan di atas mewakili potret beberapa golongan yang tidak menyukai
kinerja Sukarno, sebab ada beberapa tindakan beliau yang dirasa kurang tegas, misalnya dalam kutipan berikut:
“Sebab yang kami bicarakan ialah umpamanya bagaimana Sukarno teriak-teriak akan jadi pemimpin gerilya, tetapi, ketika Belanda
menyerbu, bukannya dia cabut kerisnya, tetapi tunggu Belanda di Istananya. Dan macam-macam lagi yang lain.”
168
Kutipan di atas menjelaskan tentang pemikiran rakyat yang menilai Sukarno pengecut karena perkataan tidak sesuai dengan kenyataan di
mana ia berjanji akan menjadi pemipin perang namun saat itu ia malah diam, seolah takluk dengan Belanda. Tapi itu dilihat dari kacamata rakyat
yang menilai jelek kepemimpinan Sukarno. Padahal diamnya Sukarno bukan tanpa sebab, ada alasan yang membuat ia diam, yaitu karena RI
kekurangan senjata sebagaimana yang dijelaskan Bung Tomo: Saudara Adam Malik pada waktu itu memberikan
gambaran kepada saya bahwa Bung Karno bersikap sangat menjengkelkan generasi muda dan rakyat Jakarta. Tentara Inggris
dan NICA sudah berbuat semena-mena di Jakarta, sedangkan Presiden Soekarno diam saja, tidak bersikap tegas.
166
Sanit, Op. Cit., h. 122.
167
Lubis., Loc. Cit.
168
Ibid. 157.
Untuk mengecek kebenaran informasi yang diberikan oleh saudara Adam Malik saya temui Presiden Soekarno di Pegangsaan
Timur. Memberikan jawaban atas pertanyaan saya mengapa Bung
Karno tidak memerintahkan atau membiarkan pemuda dan rakyat Jakarta menyerang pasukan-pasukan asing yang sudah berada di
Jakarta, berkatalah Bung Karno, “Senjata apa yang hendak mereka gunakan? Kalian di Surabaya sudah punya senjata. Di sini tidak.
Setelah Bung Karno mendengarkan penjelasan saya mengenai bagaimana cara kita di Surabaya melucuti tentara Jepang
dan kemudian saya usulkan agar cara itu dipergunakan di daerah- daerah lain, maka Bung Karno segera memberikan intruksi agar
cara Surabaya yang saya kemukakan itu dilasksanakan pula di daerah-daerah lain.
Realisme Bung Karno tampak sekali waktu mengatakan, “Persenjatailah dulu pemuda dan rakyat kita.”
169
Jadi dapat disimpulkan bahwa Sukarno bukan membiarkan tetapi sedang mencari jalan keluar.
Meski masalah yang terdapat dalam cerpen ini terjadi sekitar tahun 1950 dan peristiwa yang terjadi merupakan akhir dari masa revolusi di
Indonesia namun dapat dikaitkan dengan aliran struktural, dimana revolusi adalah hasil hambatan dan ketegangan struktural terutama dalam
hubungan khusus antara rakyat dan pemerintah. Tema utamanya berkaitan dengan bidang politik yakni penataan ulang, serta penyatuan ulang
pemerintah dan administrasinya oleh elit politik baru yang mulai berkuasa setelah menyingkirkan rezim lama.
170
Hal tersebut terlihat dari usaha Indonesia dalam membentuk negara yang berdaulat dan mandiri terlepas
dari kolonial Belanda, walaupun ketika itu Indonesia dan Belanda masih tergabung dalam satu Uni yang otomatis membuat rakyat merasa
kedaulatan Indonesia tidak sesuai dengan tujuan. Akan tetapi pada akhirnya kekuatan Indonesia mampu mengalahkan kecurangan Belanda
hingga Indonesia menjadi sebuah negara yang benar-benar berdaulat tanpa tergabung dalam Uni, hanya saja yang menjadi PR besar Indonesia adalah
bagaimana mensejahterakan rakyat setelah menjadi negara merdeka.
169
Sanit, Op. Cit, h. 111-112.
170
Sztompka, Op. Cit., h. 371.
Selain para pemimpin dan rakyat yang tergabung dalam laskar- laskar, para sastrawan pun turut andil dalam memperjuangkan
kemerdekaan, yaitu melalui karya-karyanya, seperti sajak, drama, roman, dan film. Karena karya-karya tersebut bukan semata-mata hiburan tetapi
juga bisa menjadi media yang dapat memengaruhi opini rakyat terhadap kemerdekaan. Karya yang dihadirkan pada masa kemerdekaan tersebut
tentu berkaitan dengan perjuangan, hak rakyat, politik, dll yang bersifat revolusioner. Dalam cerpen ini sedikit digambarkan mengenai karya
sastra: “Bukankah aku sudah terbitkan bukuku sendiri, roman dan
kumpulan cerita sandiwara, sajak, dan penggeli-penggeli hati yang aku namakan “BADAN PENERBIT KESUMA HATI”.
Kalau aku minta atas nama badan penerbit ini, masa tidak dapat lisensi. Bukanakah kita harus memberikan bacaan-bacaan yang
baik dan murah kepada rakyat?”
171
“Dan sekarang aku sedang membikin skenario film untuk Perushaan Film Negara.”
172
Kedua kutipan di atas menggambarkan bahwa karya sastra cukup diperhitungkan keberadaannya. Tumbuhnya karya adalah untuk
memberikan bacaan dan tontonan yang baik kepada rakyat. Lubis menyisipkan informasi ini melalui tokoh Djamal yang memiliki penerbit
sendiri. Penerbit tersebut berusaha memberikan bacaan yang baik kepada rakyat.
Sastrawan brersuara bahwa Indonesia bukan sekadar warna kulit yang sawo matang tetapi Indonesia itu lebih kepada pemikiran dan hati
yang menginginkan suatu kehidupan baru yang sehat. Untuk perfilman sendiri pada tahun 1950 Usmar Ismail membentuk sebuah Perusahaan
Film Nasional Indonesia yang berkantor di Menteng, Jakarta. Selanjutnya, pada cerpen pertama dan kedua terdapat potret atau
gambaran mengenai hubungankerjasama dengan negara lain, maka dalam cerpen ini pun demikian, terdapat juga potret hubungan dengan luar negeri
171
Lubis., Op. Cit., h. 161
172
Ibid., h. 162.
sebagai salah satu cara yang diambil untuk mendapatkan pengakuan internasional bahwa Indonesia sudah berdaulat. Meski singkat atau lebih
tepatnya hanya sebagai sisipan saja, tetapi jika digali, maka bagian tersebut memberikan informasi atau sekadar mengingatkan kita bahwa
Indonesia dan Rusia menjalin hubungan baik: “Kami tidak balas salam merdekanya dengan ucapan merdeka.
Karena menurut Mr. Jusuf Wibisono dalam sebuah laporannya tentang misi Indonesia ke Moskow yang tidak kunjung habis-habis
itu, maka ketika Samaun juga memberi salam merdeka padanya, maka dia Jusuf Wibisono juga tidak balas dengan salam
merdeka”
173
Melalui kutipan di atas penulis ingin menekankan pada kalimat “misi Indonesia ke Moskow yang tidak kunjung habis-habis itu”.
Penggalan kalimat tersebut mengingatkan kita pada tahun 1950, dimana Uni SovietMoskow mengakui Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
Pengakuan itu disampaikan secara tertulis oleh Menteri Luar Negeri Uni Soviet A. Vyshinsky kepada PM M. Hatta. Ia mengatakan bahwa pihak
Uni Soviet berkeinginan menjalin hubungan diplomatik dengan Indonesia. Menanggapi pengakuan tersebut Indonesia mengirim telegram
ke Uni Soviet, memberikan jawaban kepada mereka bahwa Indonesia menerima dengan rasa hormat atas pengakuan tersebut dan akan menjalin
hubungan diplomatik. Pada Mei 1950 delegasi Indonesia yang salah satu anggotanya adalah Yusuf Wibisono berkunjung ke Moscow dengan
dipimpin oleh N. Palar guna melakukan perundingan dan hasil dari perundingan tersebut disampaikan pada Sidang Kabinet yang dihadiri
Presiden Soekarno, 16 Mei 1950, yaitu kesepakatan untuk saling membuka Kedutaan Besar dan tanggapan positif Uni Soviet mengenai
masuknya Indonesia menjadi anggota PBB. Sehingga dapat dikatakan bahwa misi Indonesia ke Moskow adalah untuk melakukan kerjasama
173
Lubis., Op. Cit., h. 158-159.
diplomatik dan juga untuk meminta dukungan agar Uni Soviet bersedia membantu Indonesia menjadi anggota PBB.
174
Sehingga dapat dikatakan bahwa misi Indonesia ke Moskow adalah untuk melakukan kerjasama diplomatik dan juga untuk meminta dukungan
agar Uni Soviet bersedia membantu Indonesia menjadi anggota PBB. Demikian pembahasan mengenai proses revolusi Indonesia yang
begitu rumit, semua elemen masyarakat turut berjuang mempertahankan kemerdekaan baik melalui jalan kekerasan, diplomasi, atau dengan
pendekatan lain seperti karya sastra dan film. Sekilas cerita dari ketiga cerpen tersebut memang berbeda-beda, itu karena memang peristiwa
revolusi di Indonesia adalah peristiwa yang terpotong-potong, tetapi jika disatukan maka keseluruhannya dapat saling terkait karena sama-sama
muncul pada masa-masa revolusi Indonesia 1945-1950. Dari cerpen yang pertama terlihat bahwa gejolak revolusi yang ada
dalam diri mereka didasarkan pada rasa dendam terhadap penjajah dan kaki tangannya yang telah merenggut kebebasan sebagai manusia, mereka
melakukan perlawanan dengan cara kekerasan yang secara tidak langsung pasti menggunakan senjata. Senjata-senjata tersebut salah satunya didapat
dari hasil penyelundupan di Singapura yang dibahas juga pada cerepn kedua, dengan menampilkan bagaimana perjuangan pemuda di Singapura
yang ternyata juga mengancam diri mereka, namun karena didasari rasa tanggungjawab mempertahankan kemerdekaan mereka rela
mempertaruhkan nyawa. Setelah melakukan berbagai macam perlawanan hingga berhasil membuat Belanda kalah dan berdaulat atas Indonesia,
ternyata masalah belum juga usai, Belanda keras kepala ingin mempertahankan Irian Barat, hal ini dibahas pada cerpen ketiga.
Selanjutnya, demi menggapai cita-cita menegakkan sebuah negara, Indonesia tentu membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Dukungan
tersebut dikemas dalam bentuk kerjasama, baik yang dilakukan oleh
174
Anonim, Indonesia Rusia, Hubungan Bilateral antara Indonesia dan Rusia 1945- 2011 dalam
http:portal.kemlu.go.idmoscowPagesCountryProfile.aspx?IDP=8l=id diunduh
pada Minggu, 07 Februari 2016 pukul 09.30 WIB
pemerintah RI maupun yang dilakukan oleh “pihak lain”. Itulah segelintir peristiwa yang pernah terjadi yang mewakili potret revolusi di Indonesia,
banyak kekcauan yang menjadi PR besar bagi pemimpin ketika itu.
2. Dampak Masa Revolusi Indonesia
Sztompka menyatakan bahwa revolusi tak memperbaiki penindasan naluriah, justru kekacauan pascarevolusi meningkatkan
kesukaran dalam memenuhi kebutuhan pokok.
175
Akan tetapi, segala sesuatu pasti memiliki dampak positif dan negatif, begitu juga dengan
dampak masa revolusi.Oleh karena itu penulis akan membahas dampak dari masa revolusi yang terjadi di Indonesia.
a. “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri”
CSMHJMD
Berawal dari hasil perjanjianperundingan KMB, Indonesia mendapat pengakuan dari Belanda dan dunia, namun sebagai imbalannya,
Belanda meminta Indonesa untuk membayar seluruh hutang Hindia- Belanda dan juga mengembalikan ribuan hektar lahan perkebunan.
“Kemudian setelah beberapa lama merdeka, dan undang-undang serta hukum yang ada rupanya berlaku kembali, maka datang
perintah supaya tanah-tanah onderneming harus dikembalikan.”
176
Melalui kutipan di atas Lubis menampilkan potret permasalahan baru yang muncul setelah Indonesia mendapatkan kedaulatannya, yaitu
rakyat harus mengembalikan tanah onderneming kepada pemerintah. Tanah-tanah yang sempat diperjuangkan dan berhasil menjadi milik petani
kini tiba-tiba harus dikembalikan untuk melunasi hutang Hindia-Belanda. Hal ini memicu pertentangan dari para petani khsususnya yang mendapat
provokasi dari PKI dan PNI. Mereka membujuk agar para petani mempertahankan hak yang sudah semestinya menjadi milik mereka. Pada
saat itu M. Roem sebagai Menteri dalam Negeri berusaha mengimbau para tani atau penggarap liar itu untuk segera pindah, namun bujukan dari
175
Sztompka, Op, Cit., h. 368.
176
Lubis, Op Cit., h. 92.
PKI dan PNI yang mengatasnamakan “membela hak proletar” semakin kuat:
“Keadaan jadi bertambah hangat, dan ketika tiba perintah orang-orang harus pindah, kalau tidak rumah mereka akan
ditraktor,...”
177
Melalui kutipan tersebut Lubis menggambarkan sebuah ancaman yang dirasakan oleh buruh dan petani. Pemerintah mengusir paksa
penggarap liar yang keras kepala mempertahankan hak tanah onderneming, dengan mengerahkan sejumlah traktor untuk meratakan
rumah dan lahan milik mereka. Peristiwa ini cukup menjadi sorotan karena sempat terjadi penembakan yang menewaskan beberapa korban jiwa.
Kejadian tersebut dikenal dengan tragedi Tanjung Morawa atau disebut juga dengan “Traktor Maut” pada tahun ’50-an, yaitu insiden
antara polisi dan penyerobot tanah perkebunan milik negara yang didukung oleh PKI.
178
Permasalahan ini merupakan salah satu implikasi dari masa revolusi di Indonesia, karena masalah lama seolah tidak
terselesaikan hanya dengan sebuah kedaulatan. KMB yang menjadi tanda akhir-akhir masa revolusi malah melahirkan masalah baru, salah satunya
pelunasan hutang dengan membiarkan tanah onderneming diberikan kembali kepada pengusaha asing, sehingga masalah sengketa tanah di
Sumatera Timur kini menjadi Utara terus berlanjut hingga beberapa tahun kemudian.
b. “Ceritera dari Singapura”
Dalam cerpen ini terlihat adanya orang-orang Indonesia yang membantu Malaya melawan tentara Inggris, seperti pada kutipan berikut:
“Pada permulaannya Inggris main keras terhadap orang komunis dan kamu nasionalis Malaya yang mereka anggap radikal, dan
banyak pemimpin Malayan Nasionalist Party umpamanya yang ditangkapi, atau melarikan diri mereka. Di antara mereka ada yang
ikut lari ke hutan-hutan dan mengangkat senjata melawan Inggris. Ada pula anak-anak Indonesia yang ikut karena macam-macam
soal. Ada yang merasa perjuangan bangsa Melayu adalah
177
Ibid., h. 93.
178
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Op. Cit., h. 26.
perjuangan Indonesia juga, ada yang karena hubungan pribadi, dan sebagainya.”
179
Kutipan tersebut memang tidak menampilkan peristiwa revolusi di Indonesia melainkan peristiwa peperangan yang terjadi antara pihak
Inggris dengan kaum nasionalis Melayu yang berhaluan kiri di Malaysia, akan tetapi di dalam kutipan dijelaskan oleh Lubis bahwa ada anak-anak
Indonesia ikut melawan tentara Inggris dengan berbagai macam alasan, baik karena perjuangan Melayu merupakan perjuangan Indonesia juga,
atau karena adanya hubungan pribadi. Hal yang demikian terjadi karena dalam perkembangan
nasionalisme di Malaysia, pengaruh pergerakan kebangsaan dari Indonesia cukup penting terutama di kalangan masyarakat kelas bawah, pemikiran
Soekarno dalam memimpin revolusi di Indonesia sangat berpengaruh. Selain itu juga karena adanya kedekatan antara para anggota Malayan
Nasionalist Party dengan orang-orang komunis di Indonesia seperti Tan Malaka.
180
Maka secara tidak langsung keberhasilan Indonesia mengusir penjajah dapat membentuk rasa empati perasaan sama dengan kelompok
lain anak-anak Indonesia terhadap Malaya, terlebih lagi Indonesia dan Malaysia tergabung dalam kepualauan Melayu.
c. “Si Djamal Anak Merdeka”
Di akhir tahun 50’an menjelang ‘51 orang mulai banyak yang gelisah karena selain negara masih berurusan dengan Belanda juga
kesejahteraan yang belum dirasakan rakyat, seperti dalam kutipan-kutipan berikut:
“Satu tahun merdeka”, kata Idris amat marahnya, matanya melotot, “apa yang ada perubahan untuk rakyat?”
181
“Dan Dullah akan berkata: “Ya, pajak ini dan itu diadakan. Tetapi uangnya kemana?” ke mana?”
182
179
Lubis., Op. Cit., h. 84.
180
Linda Sunarti, “Politik Luar Negeri Malaysia Terhadap Indonesia, 1957-1976 : Dari Konfrontasi Menuju Kerjasama” dalam Jurnal Kajian Sejarah dan Pendidikan Sejarah 2 1
Maret 2014. h. 71-72.
181
Lubis, Op. Cit, h. 157.
“Delapan puluh ribu rupiah untuk beli perabotan rumah seorang kolonel,” sambung Dullah, sekian puluh ribu untuk belikan mobil
Buick untuk menteri anu, dan puluhan ribu lagi untuk bayar cocktail party duta di London.”
183
Dari ketiga kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa di akhir tahun ’50 setelah Belanda menyerahkan kedaulatan, Indonesia mulai berperang
dengan diri sendiri dalam arti berperang untuk membenahi yang selama ini terbengkalai. Perubahan yang cemerlang baru dilihat pada posisi yang
tadinya terjajah menjadi bebas tidak terjajah. Namun permasalahan tidak berhenti sampai di situ. Banyak rakyat yang merasa bahwa Indonesia tidak
ada perubahan, hal ini dikarenakan pemimpin telah gagal dalam memenuhi harapan rakyat, seperti yang dikutip dari Ricklef bahwa “Sebagaian
sejarah bangsa Indonesia sejak tahun 1950 merupakan kisah tentang kegagalan rentetan pemimpin untuk memenuhi harapan-harapan tinggi
yang ditimbulkan oleh keberhasilan mencapai kemerdekaan.”
184
Pajak tetap dibebankan kepada rakyat sementara gaya hidup mewah para
pemimpin sangat timpang dengan rakyat biasa. Rakyat Indonesia kebanyakan buta huruf, miskin, terbiasa dengan kekuasaan yang otoriter
dan paternalistik, sehingga mereka memaksa pertanggunjawaban atas perbuatan politisi di Jakarta. Meskipun periode ini sudah mulai sedikit
demi sedikit memasuki masa percobaan demokrasi namun apa yang terjadi merupakan akibat dari masa revolusi.
Dari ketiga poin di atas dapat disimpulkan bahwa dampak revolusi di Indonesia ada yang positif dan juga negatif. Positif karena
menimbulkan rasa empati, sementara negatif karena masih banyak hal yang belum terselesaikan, dalam Sztompka “revolusi tak menyisakan
apapun seperti keadaan sebelumnya. Revolusi menutup epos lama dan membuka epos baru, dalam artian ini revolusi adalah tanda kesejahteraan
sosial.” Namun di Indonesia kekacauan masih terjadi bahkan hingga beberapa tahun setelah revolusi berakhir.
182
Ibid.
183
Ibid., h. 158.
184
Ricklef, Op. Cit, h. 471.
3. Persamaan dan Perbedaan dari Ketiga Cerpen “CSMHJMD”,
“Ceritera Dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka”
Setelah melakukan pembahasan pada kedua poin di atas maka dapat dilihat adanya persamaan dan perbedaan. Persamaannya adalah
pertama, sama-sama membahas tentang peristiwakegiatan yang terjadi selama masa revolusi Indonesia.
Kedua, adanya hubungankerjasama dengan negara lain. Pada cerpen “CSMHJMD” terdapat hubungankerjasama antara PKI dengan
berbagai negara komunis. Pada cerpen “Ceritera dari Singapura” terdapat hubungankerjasama antara Indonesia dengan negara Singapura dan India,
sementara pada cerpen “Si Djamal Anak Merdeka” terdapat hubungankerjasama dengan Uni SovietMoscow.
Ketiga, terdapat gambaran mengenai dampak dari masa revolusi. Pada cerpen “CSMHJD”, dampaknya yaitu permasalahan tanah
onderneming terus berlanjut meskipun Indonesia sudah menerima kedaulatan. Pada cerpen “Ceritera dari Singapura”, dampaknya yaitu
tumbuhnya rasa empati dalam diri pemuda Indonesia sehingga mereka rela membantu Malaya dalam melawan tentara Inggris. Dan pada cerpen “Si
Djamal Anak Merdeka” dampaknya adalah masalah kesejahteraan yang belum dirasakan rakyat dan timbulnya ketimpangan sosial antara rakyat
biasa dengan pejabat dan bangsa asing. Perbedaannya terletak pada aliran yang digunakan, karena tidak
semua cerpen dapat dikaitkan dengan aliran teori revolusi Sztompka. Pada cerpen “CSMHJMD” aliran yang digunakan yaitu aliran psikologi, pada
cerpen “Si Djamal Anak Merdeka” aliran yang digunakan yaitu aliran struktural, sementara pada cerpen “Ceritera dari Singapura” tidak
termasuk ke dalam aliran manapun karena yang ditampilkan dalam cerpen tersebut lebih kepada salah satu kegiatan yang dilakukan pemuda dalam
bentuk kerjasama selama masa revolusi di Indonesia. Pada Intinya masa revolusi Indonesia lebih banyak didominasi oleh
kekerasan dibanding diplomasi. Kekerasan tersebut sebenarnya dapat
menciptakan masyarakat yang bersifat pemberontak karena negara seolah melegalkan penyelesaian masalah melalui jalur kekerasan. Akan tetapi,
apa pun jalan yang ditempuh, Indonesia sudah berhasil memerdekakan diri dari cengkraman bangsa asing, baik dari kolonialisme maupun
imperialisme, juga sudah mampu berdiri sendiri serta mendapat pengakuan dari negara luar, sebab pada dasarnya revolusi adalah penataan ulang
kehidupan masyarakat untuk menuju ke kehidupan yang lebih baik.
C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia
Karya sastra memiliki sifat yang multifungsi, karena perannya tidak hanya sebagai hiburan tetapi sebagai bahan pelajaran. Ilmu apa pun dapat
disandingakan dengan sastra seperti ilmu kedokteran, hukum, filologi, dan sebagainya. Akan tetapi, sastra lebih sering dikaitkan dengan pelajaran
Bahasa Indonesia, hal ini karena pembelajaran sastra sudah memiliki porsi khusus dalam mata pelajaran tersebut. Tujuan diajarkannya sastra di sekolah
adalah untuk memperkenalkan sebuah karya sastra yang bernilai kepada peserta didik sehingga mereka terdorong untuk membacanya, karena dengan
membaca sastra mereka diharapkan memperoleh pengertian yang jelas tentang manusia dan kemanusiaan, dan dapat mengenal nilai-nilai spiritual,
serta menemukan ide-ide baru untuk menambah khasanah dan kekayaan rohaniah.
185
Dengan kata lain karya sastra dikenalkan dan diajarkan di sekolah adalah untuk mencapai kemampuan apresiasi kreatif. J. Grace dalam
Semi mengatakan bahwa apresiasi kreatif adalah sebuah respon sastra. Respon ini meliputi aspek kejiwaan, terutama perasaan, imajinasi, dan daya
kritis yang keseluruhannya dapat dilatih melalui penelaahan sastra.
186
Banyak pendekatan yang dapat digunakan dalam pengajaran sastra di antaranya pendekatan kesejarahan, sosiopsikologis, emotif, analisis, dan
didaktis. Akan tetapi pendekatan-pendekatan tersebut masing-masing memiliki kelemahan dan kekuatan, oleh karena itu sebelum menggunakan
185
M. Atar Semi, Rancangan Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, Bandung: Angkasa, 1990, h. 97.
186
Ibid., h. 153.
salah satu dari beberpa pendekatan tersebut dianjurkan untuk melihat terlebih dahulu tujuan pembelajarannya, kebutuhan peserta didik, watak dan minat
peserta didik, dan sebagainya agar peserta didik mampu dengan mudah mengapresiasi sesuai kebutuhan mereka. Karena berkaitan dengan
pemahaman peserta didik tentang sastra di sekolah maka pendekatan analisis dirasa lebih cocok sebab pendekatan tersebut memusatkan perhatian kepada
analisis segi intrinsik dan ekstrinsik. Dengan pendekatan ini guru cenderung untuk menunjukkan komponen-komponen yang terdapat dalam suatu karya
sastra, sehingga dapat memancing daya kritis peserta didik agar memenuhi kemampuan apresiasi kreatif sebagaimana yang dikatakan J. Grace, yang
telah dibahas sebelumnya. Lagipula saat mempelajari intrinsik dan ekstrinsik, hal-hal yang berkaitan dengan emotif, psikologis, bahkan sejarah dapat
disisipkan pula tergantung kekreatifan guru dalam mengajar. Selain pendekatan, dalam kegiatan belajar mengajar juga diperlukan
sebuah metode untuk membantu proses pemahaman peserta didik, dalam hal ini adalah memahi karya sastra. Sama seperti dengan pendekatan, metode pun
beragam macamnya, salah satunya adalah metode diskusi. Metode ini dikatakan cukup menarik untuk dipakai dalam pengajaran sastra, karena
melalui sebuah diskusi maka permasalahan yang dibahas akan terus berkembang sehingga peserta didik dapat memberikan pandagan dengan sikap
kritis. Selain itu juga dapat menjaga komunikasi antara guru dengan peserta didik.
Dalam cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis ini khususnya pada ketiga cerpen yang dipilih sudah pasti dapat digunakan sebagai media
pembelajaran untuk memahami karya sastra melalui intrinsik dan ekstrinsiknya, kemudian cerpen ini juga dapat digunakan sebagai alternatif
bagi peserta didik untuk memahami sejarah Indonesia karena di dalamnya terdapat gambaran mengenai kondisi Indonesia setelah kemerdekaan
revolusi, maka dengan membaca cerpen ini dan dengan bimbingan guru, diharapkan rasa nasionalisme peserta didik yang masih “tidur” dapat bangkit
kembali. Tidak hanya itu, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya pun
banyak, seperti nilai kemanusiaan, persahabatan, pengorbanan dan sebagainya untuk ditanamkan kepada peserta didik. Peserta didik pun akan
memahami bahwa karya sastra khususnya karangan-karangan sastrawan terdahulu punya sisi lain yang dapat dibahas bersama.
Media pembelajaran ini dapat diterapkan pada kurikulum Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP. Berdasarkan silabus Bahasa Indonesia
kelas XII SMA semester satu terdapat Standar Kompetensi 7 yang menuntut peserta didik untuk memahami wacana sastra puisi dan cerpen, dimana
Kompetensi Dasarnya 7.2 adalah menjelaskan unsur intrinsik cerpen tema, alur, latar, penokohan, dan pesan.
Dengan pendekatan dan metode yang telah dibahas di atas serta SK dan KD tersebut maka dapat dilangsungkan kegiatan belajar mengajar dengan
membagi peserta didik menjadi tiga kelompok dan masing-masing kelompok membaca terlebih dahulu salah satu cerpen, yaitu “Cerita Sebenarnya
Mengapa Haji Jala Menggantung Diri” CSMHJMD , “Ceritera dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka” dalam kumpulan cerpen
Perempun karya Mochtar Lubis, kemudian tiap kelompok mengutus perwakilan untuk menceritakan kembali isi cerpen yang dibaca, setelah itu
tiap kelompok mendiskusikan dan menjelaskan unsur intrinsik dari cerpen tersebut untuk dipresentasikan di depan kelas. Sebagaima yang terdapat dalam
KD, salah satu unsur intrinsik yang dibahas adalah latar. Maka dalam latar inilah peserta didik dapat belajar sastra sekaligus belajar sejarah Indonesia.
Dengan demikian terbukti bahwa sastra tidak hanya sebagai hiburan melainkan juga sebagai pembelajaran.
129
BAB V PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan analisis yang dilakukan pada ketiga cerpen dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis khususnya mengenai
potret sejarah revolusi Indonesia beserta implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ketiga cerpen yang menampilkan sejarah revolusi Indonesia dalam
kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis adalah “Cerita Sebenarnya Mengapa Haji Jala Menggantung Diri” CSMHJMD,
“Ceritera dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka”. Melalui ketiga cerpen tersebut pengarang menampilkan potret kondisi
Indonesia pasca kemerdekaan, di mana ketika itu Indonesia belum sepenuhnya merdeka, banyak masalah yang harus dihadapi rakyat dan
pemerintah, potret tersebut dibaagi ke dalam tiga poin yaitu: 1 Potret peristiwa yang terjadi selama masa revolusi Indonesia dalam cerpen
“CSMHJMD”, “Ceritera dari Singapura”, dan “Si Djamal Anak Merdeka”: di dalamnya terdapat gambaran mengenai pemberontakan
di Sumatera Timur, mengenai kondisi pemuda Indonesia yang menyelundupkan senjata dari Singapura, mengenai hasil keputusan
KMB, dan kerasnya Belanda dalam mempertahankan Irian Barat. Kemudian, terdapat juga potret kerjasamahubungan dengan negara
lain, seperti adanya organisasi penyelundupan senjata antara Indonesia-Singapura, lalu Indonesia ikut dalam konferensi Inter-Asia
di New Delhi tahun 1947 untuk menarik simpati negara lain, kemudian Indonesia juga bekerjasama dengan Uni Soviet agar negara