Hakikat Cerpen Potret Sejarah Revolusi Indonesia dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

derita, rasa takut, kedewasaan, keyakinan, pengkhianatan manusia terhadap diri sendiri, disilusi, atau bahkan usia tua. 11 Sama halnya dengan pengertian di atas, Nurgiyantoro juga mengatakan “tema adalah sesuatu yang menjadi dasar cerita. Ia selalu berkaitan dengan berbagai pengalaman kehidupan, seperti masalah cinta, kasih, rindu, takut, maut, religius, sosial, dan sebagainya. Dalam hal tertentu, sering, tema disinonimkan dengan ide atau tujuan utama cerita”. 12 Tema merupakan barang abstrak yang dalam penentuannya membutuhkan pemahaman terhadap bagian-bagian pendukung cerita, yaitu tokoh dan perwatakan, latar, suasana, alur, dan persoalan yang dibicarakan. Apabila pembaca telah dapat menentukan atau menemukan tema dari karya sastra yang dibaca, artinya ia telah mengetahui apa tujuan pengarang dalam ceritanya. 13 Hal ini senada dengan yang dikemukakan Amminudin dalam Siswanto yaitu “seorang pengarang memahami tema cerita yang akan dipaparkan sebelum melaksanakan proses kreatif penciptaan, sementara pembaca baru dapat memahami tema bila mereka telah selesai memahami unsur-unsur yang menjadi media pemapar tema tersebut, menyimpulkan makna yang dikandungnya serta mampu menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya”. 14 Untuk memahami tema melalui unsur pembangunnya bisa dimulai dengan memahami tokoh terlebih dahulu, terutama tokoh utama, karena tokoh utama biasanya “dibebani” tugas membawakan tema, maka pembaca perlu memahami itu dengan mengajukan pertanyaan seperti: permasalahan apa yang dihadapi, apa motivasi bersikap dan berperilaku, bagaimana perwatakan, bagaimanakah sikap dan pandangannya terhadap permasalahan itu, apa dan bagaimana cara yang dipikir, dirasa, dan dilakukan, serta bagaimana keputusan yang diambil, dan sebagainya. Kerja selanjutnya 11 Robert Stanton, Teori Fiksi, Terj. dari An Introduction of Fiction oleh Sugihastuti dan Rossi Abi Irsyad , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h. 36-37. 12 Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 32. 13 A. Hayati, dan Winarno Adiwardoyo, Latihan Apresiasi Sastra, Malang: Yayasan Asih Asah Asuh, 1990, h. 13. 14 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: PT Grasindo, 2008, h. 161. adalah memahami alur cerita dengan menafsirkan konflik, khususnya konflik utama. Konflik utama lazimnya menjadi fokus utama pengembangan cerita, jika konflik utama tersebut berhasil ditemukan, secara garis besar cerita fiksi yang bersangkutan sudah dapat dipahami, dan ini menjadi modal penting untuk sampai pada penemuan tema. Dalam sebuah cerita fiksi lazimnya ada tokoh utama, konflik utama, dan tema utama. Ketiganya saling berkaitan, karena pelaku atau pemilik konflik utama pasti adalah tokoh utama, dan di situlah umumnya letak tema utama. 15 Biasanya dalam sebuah tema, pengarang tidak hanya berhenti pada pokok persoalan saja, tetapi disertakan pula pemecahannya atau jalan keluar menghadapi persoalan tersebut. Hal ini tentu bergantung pada pandangan dan pemikiran pengarang. 16 Sama seperti makna pengalaman manusia, tema menyorot dan mengacu pada aspek-aspek kehidupan sehingga nantinya akan ada nilai-nilai tertentu yang melingkupi cerita, karena tema membuat cerita lebih terfokus, menyatu, mengerucut, dan berdampak. 17 2. Tokoh atau Penokohan Tokoh cerita character sebagaimana dikemukakan Abrams adalah “orang -orang yang ditampilkan dalam sesuatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang dieskpresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan”. 18 Sementara tidak jauh berbeda dengan yang dikemukakan Abrams, Baldic juga menjelaskan bahwa “tokoh adalah orang yang menjadi pelaku dalam cerita fiksi atau drama, sedang penokohan characterization adalah penghadiran tokoh dalam fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas dirinya lewat kata dan tindakannya”. 19 Selain tokoh utama, pengarang juga menghadirkan 15 Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 136-137. 16 Suroto, Teori dan Bimbingan Apresiasi Sastra Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1989, h. 89. 17 Stanton, Op. Cit., h. 37. 18 Nurgiyantoro, Op.Cit., h. 247. 19 Ibid. tokoh-tokoh tambahan sebagai pelengkap, tokoh dalam cerpen tidak terlalu banyak karena ruang dalam cerpen terlalu sempit. Sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita fiksi atau drama dengan cara langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas lewat kata dan tindakannya. 20 Dengan demikian istilah “penokohan” lebih luas daripada “tokoh”, sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. 21 Dalam melukiskan perwatakan atau penokohan biasanya penulis menggunakan cara tertentu. Ada yang menggunakan cara analitik, ada yang dramatik, dan ada yang menggunakan cara gabungan antra analitik dan dramatik. Secara analitik pengarang akan menjelaskan watak tokohnya secara rinci. Misalnya, A adalah seorang yang kikir dan dengki. Secara dramatik pengarang tidak secara langsung menggambarkan watak tokohnya tetapi dengan cara melukiskan tempat lingkungan, menampilkan dialog antartokoh, menceritakan perbuatan, tingkah laku atau reaksi tokoh terhadap suatu kejadian. Sedangkan cara gabungan pengarang menjelaskan dengan kedua cara sebelumnya namun antara reaksi dan tutur katanya jangan sampai bertolak belakang. 22

3. Sudut Pandang

Secara umum sudut pandang merupakan tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentag tokoh, peristiwa, tempat, waktu, dan gayanya sendiri. 23 Stanton mengatakan bahwa ‘kita’ memiliki posisi yang berbeda, memiliki hubungan yang berbeda dengan tiap peristiwa dalam tiap cerita: di dalam atau di luar satu karakter, menyatu atau terpisah secara emosional. ‘Posisi’ ini, pusat kesadaran tempat kita dapat memahami 20 Ibid. 21 Ibid., h. 248. 22 Suroto, Op. Cit., h. 93-94. 23 Siswanto, Op.Cit., h. 151.

Dokumen yang terkait

Gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan Cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah

19 175 84

Penggunaan gaya bahasa pada kumpulan cerpen hujan kepagian karya Nugroho Notosusanto dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA

26 226 127

Masalah Sosial dalam kumpulan cerpen mata yang enak dipandang karya Ahmad Tohari dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia

7 128 101

Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

9 84 213

Potret buruh Indonesia pada masa orde baru dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah

2 61 0

Nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

19 99 77

Nilai Sejarah dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

13 66 77

Fakta Sejarah dalam Novel Saman Karya Ayu Utami dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

2 48 149

Kritik Sosial dalam Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

4 25 93

NILAI PSIKOLOGI TOKOH PADA NOVEL JALAN TAK ADA UJUNG KARYA MOCHTAR LUBIS DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA.

6 72 27