Hakikat Revolusi dan Sejarah Singkat Revolusi Indonesia Pasca
c Sejarah Singkat Masa Revolusi Indonesia Pasca Kemerdekaan
Revolusi yang terjadi di Indonesia merupakan suatu momen pembebasan yang memungkinkan rakyat Indonesia untuk menentukan masa depannya
sendiri setelah bertahun-tahun dijajah oleh bangsa asing.
57
Revolusi secara harfiah bukan berarti anti-Belanda, melainkan sebagaimana yang diungkapkan
oleh para pemimpin republik yang mengartikan bahwa revolusi lebih kepada anti-imperialis dan anti kolonialis.
58
Maka tidaklah mengherankan apabila hasilnya bukan sebuah bangsa baru yang harmonis dan serasi, justru muncul
suatu pertarungan sengit antar individu dan kekuatan sosial. Mengenai orang- orang Indonesia yang mendukung revolusi, ditarik perbedaan antara kekuatan
perjuangan bersenjata dan kekuatan diplomasi, antara mereka yang mendukung revolusi sosial dan mereka yang menentangnya, antara golongan
kiri dan golongan kanan, dan sebagainya. Semua perbedaan itu merupakan gambaran suatu masa ketika perpecahan-perpecahan yang menimpa Indonesia
beraneka ragam dan terus berubah. Bagi kaum revolusioner, segala sesuatu tampak dimungkinkan kecuali kekalahan.
59
Indonesia memulai perubahan setelah Jepang menyerah, ditandai dengan adanya sebuah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta.
60
Pemerintahan baru pun segera dijalankan, di antaranya membagi wilayah Indonesia menjadi delapan provinsi, mengangkat gubernur untuk setiap
provinsi, dan memberikan intruksi mengenai pemerintahan di luar Jakarta melalui para utusan Komisi Nasional Indonesia Pusat KNIP.
61
Setelah mengetahui Jepang menyerah, Belanda segera memanfaatkan momen ini untuk kembali menguasai Indonesia. Hal ini ditandai dengan
datangnya sekutu yang diboncengi oleh Belanda sendiri. Terjadilah
57
Robert Bridson Cribb, Gejolak Revolusi Di Jakarta 1945-1949 Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni, Terj. dari Jakarta in the Indonesian Revolution, 1945-1949 oleh Hasan
Basri
,
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990, h. 9.
58
Ibid.
59
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Terj. dari A History of Modern Indonesia Since c. 1200 oleh Satrio Wahono, dkk,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005, Cet. Ke-II, h. 428-429.
60
Robert Bridson Cribb, Op. Cit., h. 7.
61
Ibid.
pertempuran antara pejuang RI dengan pihak Belanda. Selama masa ini berlangsung, terdapat banyak sekali peristiwa penting seperti pergantian
berbagai posisi kabinet, berbagai perundingan dan lain sebagainya. Pada tanggal 1 November 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat
yang menyatakan bahwa pemerintah menginginkan pengakuan terhadap Negara dan Pemerintah Republik Indonesia dari serikat atau dari pihak
Belanda yang dibuat sebelum perang dunia II. Sebagai realiasasi dari maklumat tersebut kabinet presidensial yang dipimpin oleh Presiden sendiri
diganti menjadi kabinet ministerial dengan perdana menterinya yaitu Sutan Sjahrir. Kabinet Sjahrir itu pun segera mengadakan kontak diplomatik dengan
pihak Belanda dan Inggris. Akan tetapi di sisi lain, suatu gabungan organisasi bernama Persatuan Perjuangan PP melakukan oposisi terhadap kabinet
Sjahrir. Mereka berpendapat bahwa perundingan hanya dapat dilaksanakan atas dasar pengakuan 100 terhadap Republik Indonesia. Oposisi tersebut
terlalu kuat maka Sjahrir menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden, namun Presiden kembali menunjuk Sjahrir sebagai perdana menteri pada
Kabinet Sjahrir II.
62
Meski demikian, hubungan Indonesia dengan dunia internasional mengalami perubahan yang signifikan setelah naiknya kabinet Sjahrir pada
November 1946. Pada masa perjuangan kemerdekaan tugas utama kementerian luar negeri sejalan dengan tuntutan perjuangan, yaitu pengakuan
dunia internasional terhadap kemerdekaan Indonesia. Namun nampaknya, dalam urusan politik luar negeri, RI masih terkendala oleh upaya-upaya
Belanda untuk menutup segala kemungkinan RI dalam mendapatkan pengakuan internasional. Sampai pertengahan tahun 1947, posisi hubungan
luar negeri RI masih terbatas pada hubungan regional RI di tiga ibukota negara, yaitu Singapura, New Delhi India, dan Cairo Mesir. Ketiga negara
tersebut menjadi titik tumpu bagi perjuangan Indonesia di luar negeri. Singapura menjadi titik tumpuan utama hubungan luar negeri RI. Melalui
62
Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notousanto, Sejarah Nasional Indonesia VI Jakarta: Balai Pustaka, 1990, Edisi ke-4, h. 123-125.
Singapura, hubungan keluar jauh lebih mudah.
63
Sementara itu hubungan Indonesia dengan India sudah terjalin sejak April 1946 ketika Sjahrir
memberikan bantuan beras. Hubungan di antara keduanya pun semakin diperkuat pada Konferensi New Delhi Inter-Asian Relations Conference
bulan Maret-April 1947. Selain menyampaikan pidatonya “One Asia, One World” atau “Satu Asia, Satu Dunia” pada acara penutupan konferensi, Sjahrir
juga melakukan pendekatan ke berbagai negara peserta. Baginya, hal ini menjadi kesempatan untuk RI dalam mengembangkan sayapnya di luar
negeri.
64
Selanjutnya, perundingan-perundingan antara Indonesia dengan Belanda terus dilakukan sebagai jalan tengah untuk menghindari peperangan. Di
antaranya perundingan Linggarjati pada November 1946. Hasil perundingan diumumkan pada 15 November 1946 dan telah tersusun sebagai naskah
persetujuan yang terdiri dari 17 pasal. Kemudian, naskah terebut diparaf oleh kedua belah pihak untuk disampaikan kepada pemerintah masing-masing. Isi
naskahnya adalah: 1 Pemerintah RI dan Belanda bersama-sama menyelenggarakan berdirinya sebuah negara federasi, yang dinamai Negara
Indonesia Serikat, 2 Pemerintah RIS akan bekerja sama dengan pemerintah Belanda dan akan membentuk Uni Indonesia—Belanda.
65
Sayangnya, perundingan atau perjanjian Linggarjati itu hanya dijadikan alat untuk
menambah pasukannya, Belanda mengajukan beberapa tuntutan yang merugikan Indonesia. Penolakan pun terjadi hingga akhirnya Belanda
melakukan Agresi Militer I. Selanjutnya perjanjian Renville. Naskah perjanjian Renville antara lain
tentang persetujuan gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda; dan enam pokok prinsip tambahan untuk perundingan guna mencapai penyelesaian
politik. Akan tetapi, lagi-lagi nasib perjanjian ini sama dengan Linggarjati,
63
Amrin Imran, dkk., Indonesia dalam Arus Sejarah Perang dan Revolusi, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012, h. 237-239.
64
Ibid., h. 239.
65
Poesponegoro, dan Notousanto, VI. Op. Cit., h. 132.
karena Belanda kembali melakukan Agresi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948.
66
Pengkhianatan tersebut membuat dunia Internasional terus menerus menekan Belanda. Hingga akhirnya Belanda setuju untuk melakukan
perundingan kembali dengan Indonesia namun kali ini diawasi oleh PBB. Perundingan yang dinamakan Konfrensi Meja Bundar KMB ini akan
dilaksanakan di Den Haag, Belanda pada 23 Agustus 1949, guna membicarakan masalah Indonesia dan merundingkan syarat-syarat
“penyerahan” kedaulatan, serta pembentukan Uni Indonesia—Belanda.
67
Namun sebelumnya diadakan perundingan pendahulu di Jakarta yang disebut dengan perundingan atau perjanjian Roem-Royen, dan setelah itu dibuat
konferensi inter-Indonesia. Keduanya dibuat untuk mempersiapkan KMB. Terdapat beberapa perjanjian yang dihasilkan dari KMB 1949, salah
satunya adalah masalah Irian Barat yang akan ditangguhkan sampai tahun berikutnya yaitu pada tahun 1950. Setelah RIS melantik Presiden dan
membentuk kabinet baru kabinet Hatta, hubungan dengan Belanda diusahakan menjadi lebih baik dengan harapan Belanda akan menyerahkan
Irian Barat, sehingga pada bulan April 1950 dilangsungkan Konferensi Tingkat Menteri antara Indonesia-Belanda untuk membicarakan sengketa Irian
Barat. Dari hasil konferensi tersebut pihak Belanda hanya menyetujui suatu persetujuan di mana kedaulatan atas Irian Barat berada pada Uni Indonesia-
Belanda, sedangkan de facto pemerintah tetap di tangan Belanda.
68
Artinya, Belanda tetap kukuh untuk mempertahankan Irian Barat. Sementara Indonesia
pun tetap bersikeras ingin memperjuangkan Irian Barat. Hingga akhirnya Indonesia berencana untuk menghapus perjanjian KMB.
Di sisi lain, berdampingan dengan revolusi di tingkat kota, berlangsung pula revolusi di sejumlah daerah dengan target sisa-sisa pendukung tatanan
kolonial. Salah satu daerah yang cukup menjadi sorotan adalah revolusi di Sumatera Timur pada Maret 1946. Latar belakang revolusi di Sumatera Timur
66
Ibid., h. 138.
67
Ibid., h. 163.
68
Ibid., h 208.
adalah kebijakan pemerintah Belanda yang menciptakan pemisah antara penduduk yang terdiri dari beragam etnik di satu pihak dan para raja serta
kaum bangsawan kerajaan Melayu, Karo, dan Simalungun di pihak lain.
69
Sumatera Timur merupakan unit administratif ciptaan Belanda pada abad ke-19. Melalui kontrak politik dan hubungan baik dengan kesultanan
setempat, Belanda membuka perkebunan lada dan tembakau.
70
Perkebunan tembakau tumbuh dengan pesat di wilayah kesultanan di Sumatera Timur
sehingga banyak buruh perkebunan yang diangkut oleh Belanda, seperti dari Cina Selatan, Jawa Tengah dan Timur.
71
Pada masa kolonial semua tanah merupakan milik Sultan. Akan tetapi setelah Jepang masuk, pemerintah
Jepang mencabut semua hak istimewa tersebut serta mengalihkan lahan perkebunan Onderneming kepada para buruh. Atas izin Jepang terhadap
pengelolahan tanah perkebunan tersebut, rakyat memiliki persepsi bahwa mereka telah memperoleh kembali tanah mereka yang dulu dirampas oleh
Belanda, dan ketika Jepang kalah, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, gerakan-gerakan yang menentang kembalinya Belanda
berlangsung seiring dengan rasa dendam antikerajaan.
72
Berbagai organisasi dan laskar pemuda bersatu demi menyelesaikan perjuangan lewat jalan
revolusi bukan jalan perundingan. Sasaran mereka adalah selain melakukan aksi daulat terhadap kerajaan, juga merebut dan menguasai bekas perkebunan
Onderneming Belanda melalui program Ekonomi Rakyat Republik Indonesia ERRI.
73
Pada Maret 1946, kelompok garis keras menyiapkan langkahnya sendiri. Bagi mereka, semua sifat kolot dan feodal harus dihapuskan, dan semua
kekayaan kaum feodal tersebut harus menjadi milik negara. sehingga, pada 3 Maret 1946 revolusi benar-benar dimulai dengan melakukan penangkapan
69
Amrin Imran, dkk, Op.Cit., h. 280.
70
Ibid., h. 281.
71
Audrey R. Kahin, Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, Terj. dari Regional Dynamics of the Indonesian Revolution oleh Satyagraha Hoerip
,
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990, h. 120.
72
Amrin Imran, dkk., Op. Cit., h. 281.
73
Ibid., h. 281-282.
terhadap raja, menggedor istana untuk memperoleh kekayaan, dan menangkap rakyat yang dianggap moderat Pro-Barat. Kekacauan itu terus meluas ke
seluruh Sumatera Timur. Perkebunan diduduki oleh unit-unit laskar, dan tanah perkebunan dibagikan kepada buruh.
74
Sementara itu, terkait masalah penguasaan tanah, pemerintah mengeluarkan UU No 13 tahun 1946 untuk menghapus desa-desa perdikan
yang bebas pajak, di mana pada waktu itu elite-elite menguasai sebagian besar tanah di desa-desa. Namun sayangnya, kebebasan tersebut terusik oleh hasil
perjanjian KMB 1949 yang memutarbalikkan kebebasan atas penguasaan tanah oleh para buruh dan tani. Belanda meminta jaminan atas tanah
perkebunan onderneming sebagai syarat kedaulatan Indonesia. Pemerintah pun memberikan pengakuan hak tanah bagi orang asing yaitu hak konsesi, hak
erfpacht, dan hak untuk mengusahakan selanjutnya. Permasalahan ini menimbulkan sengketa tanah, kaum tani dan buruh yang merasa sudah
memiliki tanah-tanah onderneming tersebut melakukan penolakan yang dipropagandai oleh PKI dan PNI, namun pemerintah tetap bersikeras dan
mengancam untuk mentraktor rumah-rumah mereka jika masih saja keras kepala. Peristiwa “traktor maut” ini dikenal dengan peristiwa Tanjung
Morawa pada tahun 1953. Selanjutnya, pada tiap-tiap negara yang melakukan revolusi tentu
identik dengan persenjataan atau perlengkapan militer lainnya. Di Indonesia sendiri, pemerolehan senjata kemiliteran diperoleh dari beberapa pihak, salah
satunya dari Singapura. Singapura cukup berperan dalam bidang persenjataan. Penyelundupan senjata dari luar negeri melalui kapal laut, terutama dari
Singapura ke Sumatera merupakan sumber yang sangat penting. Republik Indonesia tidak hanya memperoleh senjata, tetapi juga alat perlengkapan
militer lainnya. Koordinator kegiatan ekspor impor Republik Indonesia berada di bawah kendali Banking and Tranding Company BTC, sebuah tranding
house semi pemerintah. BTC bertugas membeli hasil komoditas pertanian Indonesia kemudian menjualnya ke luar Indonesia dengan transaksi sistem
74
Ibid., h. 285.
barter. Akan tetapi, biasanya transaksi persenjataan memerlukan uang kontan, sehingga produk pertanian yang diangkut dengan kapal-kapal dijual ke
pedagang di Singapura, setelah itu mereka mencari agen penjual senjata. Pembelian senjata ke Singapura sangat rumit karena harus dilakukan secara
sembunyi-sembunyi dari otoritas Singapura. Dana dari penjualan hasil bumi Sumatera di Singapura terkumpul begitu banyak sehingga mampu
membelikan senjata untuk 461.000 pasukan TNI pada pertengahan 1948.
75
Pada intinya baik revolusi nasional atau sosial, keduanya berjalan beriringan dan saling memengaruhi satu sama lain. Bagi negara yang baru
lahir, kondisi Indonesia pada saat itu cukup kacau. Saat pemerintah sibuk memebujuk Belanda, rakyat Indonesia di berbagai daerah seperti Sumatera
malah melakukan pemberontakan yang mengatas namakan kemerdekaan. Revolusi nasioal memang berakhir pada tahun 1949 setelah diadakannya
KMB. Namun permasalahan masih belum berakhir, cita-cita kedaulatan Indonesia yang sesungguhnya sedikit melenceng, karena perundingan tersebut
memutuskan kedaulatan atas RIS bukan NKRI. Terlebih lagi masalah Irian Barat yang terus berlangsung hingga tahun 1950. Kondisi ekonomi rakyat pun
pada tahun itu tidak teratur, terjadinya kesenjangan sosial antara pejabat- pejabat dengan rakyat masih menjadi soal yang harus diselesaikan, dan juga
masalah penguasaan atas tanah-tanah onderneming yang kembali menuai pemberontakan.