Hakikat Revolusi dan Sejarah Singkat Revolusi Indonesia Pasca

c Sejarah Singkat Masa Revolusi Indonesia Pasca Kemerdekaan Revolusi yang terjadi di Indonesia merupakan suatu momen pembebasan yang memungkinkan rakyat Indonesia untuk menentukan masa depannya sendiri setelah bertahun-tahun dijajah oleh bangsa asing. 57 Revolusi secara harfiah bukan berarti anti-Belanda, melainkan sebagaimana yang diungkapkan oleh para pemimpin republik yang mengartikan bahwa revolusi lebih kepada anti-imperialis dan anti kolonialis. 58 Maka tidaklah mengherankan apabila hasilnya bukan sebuah bangsa baru yang harmonis dan serasi, justru muncul suatu pertarungan sengit antar individu dan kekuatan sosial. Mengenai orang- orang Indonesia yang mendukung revolusi, ditarik perbedaan antara kekuatan perjuangan bersenjata dan kekuatan diplomasi, antara mereka yang mendukung revolusi sosial dan mereka yang menentangnya, antara golongan kiri dan golongan kanan, dan sebagainya. Semua perbedaan itu merupakan gambaran suatu masa ketika perpecahan-perpecahan yang menimpa Indonesia beraneka ragam dan terus berubah. Bagi kaum revolusioner, segala sesuatu tampak dimungkinkan kecuali kekalahan. 59 Indonesia memulai perubahan setelah Jepang menyerah, ditandai dengan adanya sebuah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta. 60 Pemerintahan baru pun segera dijalankan, di antaranya membagi wilayah Indonesia menjadi delapan provinsi, mengangkat gubernur untuk setiap provinsi, dan memberikan intruksi mengenai pemerintahan di luar Jakarta melalui para utusan Komisi Nasional Indonesia Pusat KNIP. 61 Setelah mengetahui Jepang menyerah, Belanda segera memanfaatkan momen ini untuk kembali menguasai Indonesia. Hal ini ditandai dengan datangnya sekutu yang diboncengi oleh Belanda sendiri. Terjadilah 57 Robert Bridson Cribb, Gejolak Revolusi Di Jakarta 1945-1949 Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni, Terj. dari Jakarta in the Indonesian Revolution, 1945-1949 oleh Hasan Basri , Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990, h. 9. 58 Ibid. 59 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Terj. dari A History of Modern Indonesia Since c. 1200 oleh Satrio Wahono, dkk, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005, Cet. Ke-II, h. 428-429. 60 Robert Bridson Cribb, Op. Cit., h. 7. 61 Ibid. pertempuran antara pejuang RI dengan pihak Belanda. Selama masa ini berlangsung, terdapat banyak sekali peristiwa penting seperti pergantian berbagai posisi kabinet, berbagai perundingan dan lain sebagainya. Pada tanggal 1 November 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa pemerintah menginginkan pengakuan terhadap Negara dan Pemerintah Republik Indonesia dari serikat atau dari pihak Belanda yang dibuat sebelum perang dunia II. Sebagai realiasasi dari maklumat tersebut kabinet presidensial yang dipimpin oleh Presiden sendiri diganti menjadi kabinet ministerial dengan perdana menterinya yaitu Sutan Sjahrir. Kabinet Sjahrir itu pun segera mengadakan kontak diplomatik dengan pihak Belanda dan Inggris. Akan tetapi di sisi lain, suatu gabungan organisasi bernama Persatuan Perjuangan PP melakukan oposisi terhadap kabinet Sjahrir. Mereka berpendapat bahwa perundingan hanya dapat dilaksanakan atas dasar pengakuan 100 terhadap Republik Indonesia. Oposisi tersebut terlalu kuat maka Sjahrir menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden, namun Presiden kembali menunjuk Sjahrir sebagai perdana menteri pada Kabinet Sjahrir II. 62 Meski demikian, hubungan Indonesia dengan dunia internasional mengalami perubahan yang signifikan setelah naiknya kabinet Sjahrir pada November 1946. Pada masa perjuangan kemerdekaan tugas utama kementerian luar negeri sejalan dengan tuntutan perjuangan, yaitu pengakuan dunia internasional terhadap kemerdekaan Indonesia. Namun nampaknya, dalam urusan politik luar negeri, RI masih terkendala oleh upaya-upaya Belanda untuk menutup segala kemungkinan RI dalam mendapatkan pengakuan internasional. Sampai pertengahan tahun 1947, posisi hubungan luar negeri RI masih terbatas pada hubungan regional RI di tiga ibukota negara, yaitu Singapura, New Delhi India, dan Cairo Mesir. Ketiga negara tersebut menjadi titik tumpu bagi perjuangan Indonesia di luar negeri. Singapura menjadi titik tumpuan utama hubungan luar negeri RI. Melalui 62 Marwati Djoened Poesponegoro, dan Nugroho Notousanto, Sejarah Nasional Indonesia VI Jakarta: Balai Pustaka, 1990, Edisi ke-4, h. 123-125. Singapura, hubungan keluar jauh lebih mudah. 63 Sementara itu hubungan Indonesia dengan India sudah terjalin sejak April 1946 ketika Sjahrir memberikan bantuan beras. Hubungan di antara keduanya pun semakin diperkuat pada Konferensi New Delhi Inter-Asian Relations Conference bulan Maret-April 1947. Selain menyampaikan pidatonya “One Asia, One World” atau “Satu Asia, Satu Dunia” pada acara penutupan konferensi, Sjahrir juga melakukan pendekatan ke berbagai negara peserta. Baginya, hal ini menjadi kesempatan untuk RI dalam mengembangkan sayapnya di luar negeri. 64 Selanjutnya, perundingan-perundingan antara Indonesia dengan Belanda terus dilakukan sebagai jalan tengah untuk menghindari peperangan. Di antaranya perundingan Linggarjati pada November 1946. Hasil perundingan diumumkan pada 15 November 1946 dan telah tersusun sebagai naskah persetujuan yang terdiri dari 17 pasal. Kemudian, naskah terebut diparaf oleh kedua belah pihak untuk disampaikan kepada pemerintah masing-masing. Isi naskahnya adalah: 1 Pemerintah RI dan Belanda bersama-sama menyelenggarakan berdirinya sebuah negara federasi, yang dinamai Negara Indonesia Serikat, 2 Pemerintah RIS akan bekerja sama dengan pemerintah Belanda dan akan membentuk Uni Indonesia—Belanda. 65 Sayangnya, perundingan atau perjanjian Linggarjati itu hanya dijadikan alat untuk menambah pasukannya, Belanda mengajukan beberapa tuntutan yang merugikan Indonesia. Penolakan pun terjadi hingga akhirnya Belanda melakukan Agresi Militer I. Selanjutnya perjanjian Renville. Naskah perjanjian Renville antara lain tentang persetujuan gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda; dan enam pokok prinsip tambahan untuk perundingan guna mencapai penyelesaian politik. Akan tetapi, lagi-lagi nasib perjanjian ini sama dengan Linggarjati, 63 Amrin Imran, dkk., Indonesia dalam Arus Sejarah Perang dan Revolusi, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2012, h. 237-239. 64 Ibid., h. 239. 65 Poesponegoro, dan Notousanto, VI. Op. Cit., h. 132. karena Belanda kembali melakukan Agresi Militer II pada tanggal 19 Desember 1948. 66 Pengkhianatan tersebut membuat dunia Internasional terus menerus menekan Belanda. Hingga akhirnya Belanda setuju untuk melakukan perundingan kembali dengan Indonesia namun kali ini diawasi oleh PBB. Perundingan yang dinamakan Konfrensi Meja Bundar KMB ini akan dilaksanakan di Den Haag, Belanda pada 23 Agustus 1949, guna membicarakan masalah Indonesia dan merundingkan syarat-syarat “penyerahan” kedaulatan, serta pembentukan Uni Indonesia—Belanda. 67 Namun sebelumnya diadakan perundingan pendahulu di Jakarta yang disebut dengan perundingan atau perjanjian Roem-Royen, dan setelah itu dibuat konferensi inter-Indonesia. Keduanya dibuat untuk mempersiapkan KMB. Terdapat beberapa perjanjian yang dihasilkan dari KMB 1949, salah satunya adalah masalah Irian Barat yang akan ditangguhkan sampai tahun berikutnya yaitu pada tahun 1950. Setelah RIS melantik Presiden dan membentuk kabinet baru kabinet Hatta, hubungan dengan Belanda diusahakan menjadi lebih baik dengan harapan Belanda akan menyerahkan Irian Barat, sehingga pada bulan April 1950 dilangsungkan Konferensi Tingkat Menteri antara Indonesia-Belanda untuk membicarakan sengketa Irian Barat. Dari hasil konferensi tersebut pihak Belanda hanya menyetujui suatu persetujuan di mana kedaulatan atas Irian Barat berada pada Uni Indonesia- Belanda, sedangkan de facto pemerintah tetap di tangan Belanda. 68 Artinya, Belanda tetap kukuh untuk mempertahankan Irian Barat. Sementara Indonesia pun tetap bersikeras ingin memperjuangkan Irian Barat. Hingga akhirnya Indonesia berencana untuk menghapus perjanjian KMB. Di sisi lain, berdampingan dengan revolusi di tingkat kota, berlangsung pula revolusi di sejumlah daerah dengan target sisa-sisa pendukung tatanan kolonial. Salah satu daerah yang cukup menjadi sorotan adalah revolusi di Sumatera Timur pada Maret 1946. Latar belakang revolusi di Sumatera Timur 66 Ibid., h. 138. 67 Ibid., h. 163. 68 Ibid., h 208. adalah kebijakan pemerintah Belanda yang menciptakan pemisah antara penduduk yang terdiri dari beragam etnik di satu pihak dan para raja serta kaum bangsawan kerajaan Melayu, Karo, dan Simalungun di pihak lain. 69 Sumatera Timur merupakan unit administratif ciptaan Belanda pada abad ke-19. Melalui kontrak politik dan hubungan baik dengan kesultanan setempat, Belanda membuka perkebunan lada dan tembakau. 70 Perkebunan tembakau tumbuh dengan pesat di wilayah kesultanan di Sumatera Timur sehingga banyak buruh perkebunan yang diangkut oleh Belanda, seperti dari Cina Selatan, Jawa Tengah dan Timur. 71 Pada masa kolonial semua tanah merupakan milik Sultan. Akan tetapi setelah Jepang masuk, pemerintah Jepang mencabut semua hak istimewa tersebut serta mengalihkan lahan perkebunan Onderneming kepada para buruh. Atas izin Jepang terhadap pengelolahan tanah perkebunan tersebut, rakyat memiliki persepsi bahwa mereka telah memperoleh kembali tanah mereka yang dulu dirampas oleh Belanda, dan ketika Jepang kalah, bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, gerakan-gerakan yang menentang kembalinya Belanda berlangsung seiring dengan rasa dendam antikerajaan. 72 Berbagai organisasi dan laskar pemuda bersatu demi menyelesaikan perjuangan lewat jalan revolusi bukan jalan perundingan. Sasaran mereka adalah selain melakukan aksi daulat terhadap kerajaan, juga merebut dan menguasai bekas perkebunan Onderneming Belanda melalui program Ekonomi Rakyat Republik Indonesia ERRI. 73 Pada Maret 1946, kelompok garis keras menyiapkan langkahnya sendiri. Bagi mereka, semua sifat kolot dan feodal harus dihapuskan, dan semua kekayaan kaum feodal tersebut harus menjadi milik negara. sehingga, pada 3 Maret 1946 revolusi benar-benar dimulai dengan melakukan penangkapan 69 Amrin Imran, dkk, Op.Cit., h. 280. 70 Ibid., h. 281. 71 Audrey R. Kahin, Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan, Terj. dari Regional Dynamics of the Indonesian Revolution oleh Satyagraha Hoerip , Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990, h. 120. 72 Amrin Imran, dkk., Op. Cit., h. 281. 73 Ibid., h. 281-282. terhadap raja, menggedor istana untuk memperoleh kekayaan, dan menangkap rakyat yang dianggap moderat Pro-Barat. Kekacauan itu terus meluas ke seluruh Sumatera Timur. Perkebunan diduduki oleh unit-unit laskar, dan tanah perkebunan dibagikan kepada buruh. 74 Sementara itu, terkait masalah penguasaan tanah, pemerintah mengeluarkan UU No 13 tahun 1946 untuk menghapus desa-desa perdikan yang bebas pajak, di mana pada waktu itu elite-elite menguasai sebagian besar tanah di desa-desa. Namun sayangnya, kebebasan tersebut terusik oleh hasil perjanjian KMB 1949 yang memutarbalikkan kebebasan atas penguasaan tanah oleh para buruh dan tani. Belanda meminta jaminan atas tanah perkebunan onderneming sebagai syarat kedaulatan Indonesia. Pemerintah pun memberikan pengakuan hak tanah bagi orang asing yaitu hak konsesi, hak erfpacht, dan hak untuk mengusahakan selanjutnya. Permasalahan ini menimbulkan sengketa tanah, kaum tani dan buruh yang merasa sudah memiliki tanah-tanah onderneming tersebut melakukan penolakan yang dipropagandai oleh PKI dan PNI, namun pemerintah tetap bersikeras dan mengancam untuk mentraktor rumah-rumah mereka jika masih saja keras kepala. Peristiwa “traktor maut” ini dikenal dengan peristiwa Tanjung Morawa pada tahun 1953. Selanjutnya, pada tiap-tiap negara yang melakukan revolusi tentu identik dengan persenjataan atau perlengkapan militer lainnya. Di Indonesia sendiri, pemerolehan senjata kemiliteran diperoleh dari beberapa pihak, salah satunya dari Singapura. Singapura cukup berperan dalam bidang persenjataan. Penyelundupan senjata dari luar negeri melalui kapal laut, terutama dari Singapura ke Sumatera merupakan sumber yang sangat penting. Republik Indonesia tidak hanya memperoleh senjata, tetapi juga alat perlengkapan militer lainnya. Koordinator kegiatan ekspor impor Republik Indonesia berada di bawah kendali Banking and Tranding Company BTC, sebuah tranding house semi pemerintah. BTC bertugas membeli hasil komoditas pertanian Indonesia kemudian menjualnya ke luar Indonesia dengan transaksi sistem 74 Ibid., h. 285. barter. Akan tetapi, biasanya transaksi persenjataan memerlukan uang kontan, sehingga produk pertanian yang diangkut dengan kapal-kapal dijual ke pedagang di Singapura, setelah itu mereka mencari agen penjual senjata. Pembelian senjata ke Singapura sangat rumit karena harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi dari otoritas Singapura. Dana dari penjualan hasil bumi Sumatera di Singapura terkumpul begitu banyak sehingga mampu membelikan senjata untuk 461.000 pasukan TNI pada pertengahan 1948. 75 Pada intinya baik revolusi nasional atau sosial, keduanya berjalan beriringan dan saling memengaruhi satu sama lain. Bagi negara yang baru lahir, kondisi Indonesia pada saat itu cukup kacau. Saat pemerintah sibuk memebujuk Belanda, rakyat Indonesia di berbagai daerah seperti Sumatera malah melakukan pemberontakan yang mengatas namakan kemerdekaan. Revolusi nasioal memang berakhir pada tahun 1949 setelah diadakannya KMB. Namun permasalahan masih belum berakhir, cita-cita kedaulatan Indonesia yang sesungguhnya sedikit melenceng, karena perundingan tersebut memutuskan kedaulatan atas RIS bukan NKRI. Terlebih lagi masalah Irian Barat yang terus berlangsung hingga tahun 1950. Kondisi ekonomi rakyat pun pada tahun itu tidak teratur, terjadinya kesenjangan sosial antara pejabat- pejabat dengan rakyat masih menjadi soal yang harus diselesaikan, dan juga masalah penguasaan atas tanah-tanah onderneming yang kembali menuai pemberontakan.

E. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Sebagaimana pendapat Horatius bahwa sastra berfungsi sebagai Dulce dan Utile, maka sudah sewajarnya sastra berhubungan dengan pendidikan. Baik itu pendidikan tentang sastra atau pendidikan melalui karya sastra yang tentunya diliputi oleh beberapa aspek yaitu, teori sastra, sejarah sastra, sastra bandingan, apresiasi sastra, dan kritik sastra. Secara umum tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra dalam kurikulum 2004 adalah agar 1 peserta didik 75 Amir Imran, dkk. Op. Cit., h. 336-339. mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; dan 2 peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. 76 Tujuan tersebut dijabarkan ke dalam beberapa aspek yaitu mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya sastra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. Kemampuan menulis sastra meliputi kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati puisi, prosa, drama dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca. 77 Pembelajaran sastra hendaknya mempertimbangkan keseimbangan pribadi dan kecerdasan peserta didik. Pembelajaran semacam ini akan mempertimbangkan keseimbangan antara spiritual, emosional, etika, logika, estetika, dan kinestetika. 78 Rahmanto menjelaskan empat manfaat sastra dalam pengajaran bahasa Indonesia, di antaranya: 1. Membantu keterampilan berbahasa Seperti kita ketahui, ada empat keterampilan berbahsa: i menyimak ii wicara berbicara iii membaca iv menulis. Mengikutsertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih ketrampilan membaca, dan mungkin ditambah sedikit keterampilan menyimak, wicara berbicara, dan menulis yang masing-masing erat hubungannya. 2. Meningkatkan pengetahuan budaya Sastra berkaitan erat dengan semua aspek manusia dan alam dengan keseluruhannya. Setiap karya sastra selalu menghadirkan sesuatu dan kerap menyajikan banyak hal yang apabila dihayati benar-benar akan semakin menambah pengetahuan orang yang meghayatinya. Dengan mengajarkan 76 Siswanto, Op. Cit., h. 170. 77 Ibid., h. 171. 78 Ibid., h. 172. sastra kepada siswa maka siswa akan tahu bahwa fakta-fakta yang perlu dipahami bukan hanya sekadar fakta tentang benda, tetapi fakta-fakta tentang kehidupan. 3. Mengembangkan cipta dan rasa Kecakapan yang harus dikembangkan dalam pembelajaran sastra adalah kecakapan yang memiliki sifat indera, penalaran, afektif, sosial, dan religius. Oleh karena itu, apabila sastra diajarkan dengan benar, maka akan dapat menyediakan kesempatan untuk mengembangkan kecakapan-kecakapan tersebut lebih dari apa yang disediakan oleh mata pelajaran yang lain, sehingga pengajaran sastra tersebut dapat lebih mendekati arah dan tujuan pengajaran dalam arti sesungguhnya. 4. Menunjang pembentukan watak Dalam nilai pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan untuk membentuk watak. Pertama, pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam, karena dibanding pelajaran-pelajaran lainnya, sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantarkan kita mengenal seluruh rangkaian kehidupaan manusia. Kedua, sehubungan dengan pembinaan watak ini adalah bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian siswa yang antara lain meliputi: ketekunan, kepandaian, pegimajian, dan penciptaan. 79 Surampaet mengatakan Demi kehidupan sastra di Indonesia, demi berkembangnya apresiasi sastra, demi lahirnya kemerdekaan berpikir, perlu diperhatikan sarana utama untuk itu. Sarana tersebut antara lain ketersediaan buku-buku sastra yang baik disamping guru-guru yang baik, bijaksana dan kreatif. Dikhawatirkan bila sekolah hanya menetaskan murid-murid yang pintar tetapi tidak memiliki hati nurani kemanuasiaan seperti robot-robot.Untuk itu memansiakan manusia, sastra perlu dibelajarkan. 80 79 H. L. B. Moody. Metode Pengajaran Sastra. Saduran Bebas dari The Teaching of Literature oleh B. Rahmanto. Yogyakarta: Kanisius, 2000, h. 16-24. 80 Kinayati Djojosuroto dan Surastina, Pembelajaran Apresiasi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2009, h. 10. Dengan demikian sastra mempunyai relevansi dengan masalah-masalah dunia pendidikan nyata. Maka sangat keliru jika dunia pendidikan mengesampingkan bidang humaniora dan mengutamakan bidang eksak.

F. Penelitian Relevan

Penelitian yang relevan digunakan untuk mencari persamaan dan perbedaan antara penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Berikut adalah hasil penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan topik penelitian yang akan penulis lakukan. Dina Wulan Suci dari dan Maman Suryaman, Universitas Negeri Yogyakarta dengan judul “Konflik Tokoh Utama Perempuan dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis Pendekatan Psikologi Sastra”, tahun 2013. Fokus permasalahan dalam penelitian yang dilakukan oleh Dina Wulan Suci adalah konflik internal dan konflik eksternal pada tokoh utama perempuan yang dikaji secara psikologi sastra. Hasil penelitiannya menunjukkan empat kesimpulan: 1 Wujud karakter tokoh utama perempuan dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis dapat dilihat seara dimensi fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Secara dimensi fisiologis, tokoh utama perempuan kebanyakan berwajah cantik dan telah menikah. Secara dimensi psikologis, tokoh utama perempuan kebanyakan termasuk tipe tidak setia. Secara dimensi sosiologis, tokoh utama perempuan kebanyakan merupakan warga negara Indonesia dan kaya. 2 Wujud konflik internal yang dialami tokoh utama perempuan dalam kumpulan cerpen Perempuan karya Mochtar Lubis yaitu kebanyakan mengalami kekecewaan dan kecemasan. Wujud konflik eksternal yang dialami tokoh utama perempuan dalam kumpulan cerpen perempuan karya Mochtar Lubis yaitu tentang harta, dan kebanyakan konflik perselisihan dengan pasangan. 3 Faktor penyebab terjadinya konflik eksternal pada tokoh utama perempuan yaitu atas ketidakcocokan terhadap pasangannya. 4 Penyelesaian konflik yang dilakukan oleh tokoh utama perempuan yaitu kebanyakan menyelesaikan

Dokumen yang terkait

Gaya bahasa perbandingan dalam kumpulan Cerpen Saksi Mata karya Seno Gumira Ajidarma serta implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah

19 175 84

Penggunaan gaya bahasa pada kumpulan cerpen hujan kepagian karya Nugroho Notosusanto dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di SMA

26 226 127

Masalah Sosial dalam kumpulan cerpen mata yang enak dipandang karya Ahmad Tohari dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia

7 128 101

Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

9 84 213

Potret buruh Indonesia pada masa orde baru dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah

2 61 0

Nilai sejarah dalam novel Pulang karya Leila S. Chudori dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

19 99 77

Nilai Sejarah dalam Novel Pulang karya Leila S. Chudori dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

13 66 77

Fakta Sejarah dalam Novel Saman Karya Ayu Utami dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

2 48 149

Kritik Sosial dalam Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA

4 25 93

NILAI PSIKOLOGI TOKOH PADA NOVEL JALAN TAK ADA UJUNG KARYA MOCHTAR LUBIS DAN IMPLIKASINYA PADA PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA.

6 72 27