tokoh-tokoh tambahan sebagai pelengkap, tokoh dalam cerpen tidak terlalu banyak karena ruang dalam cerpen terlalu sempit.
Sedangkan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita fiksi atau drama dengan cara
langsung atau tidak langsung dan mengundang pembaca untuk menafsirkan kualitas lewat kata dan tindakannya.
20
Dengan demikian istilah “penokohan” lebih luas daripada “tokoh”, sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh
cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas
kepada pembaca.
21
Dalam melukiskan perwatakan atau penokohan biasanya penulis menggunakan cara tertentu. Ada yang menggunakan cara analitik, ada yang
dramatik, dan ada yang menggunakan cara gabungan antra analitik dan dramatik. Secara analitik pengarang akan menjelaskan watak tokohnya secara
rinci. Misalnya, A adalah seorang yang kikir dan dengki. Secara dramatik pengarang tidak secara langsung menggambarkan watak tokohnya tetapi
dengan cara melukiskan tempat lingkungan, menampilkan dialog antartokoh, menceritakan perbuatan, tingkah laku atau reaksi tokoh terhadap suatu
kejadian. Sedangkan cara gabungan pengarang menjelaskan dengan kedua cara sebelumnya namun antara reaksi dan tutur katanya jangan sampai
bertolak belakang.
22
3. Sudut Pandang
Secara umum sudut pandang merupakan tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentag tokoh, peristiwa,
tempat, waktu, dan gayanya sendiri.
23
Stanton mengatakan bahwa ‘kita’ memiliki posisi yang berbeda, memiliki hubungan yang berbeda dengan tiap peristiwa dalam tiap
cerita: di dalam atau di luar satu karakter, menyatu atau terpisah secara emosional. ‘Posisi’ ini, pusat kesadaran tempat kita dapat memahami
20
Ibid.
21
Ibid., h. 248.
22
Suroto, Op. Cit., h. 93-94.
23
Siswanto, Op.Cit., h. 151.
setiap peristiwa dalam cerita, dinamakan ‘sudut pandang’. Tempat dan sifat sudut pandang tidak muncul serta merta. Pengarang harus memilih
sudut pandangnya dengan hati-hati agar cerita yang diutarakannya menimbulkan efek yang pas.
24
Perbedaan sudut pandang dapat dilihat dari bagaimana kehadiran cerita itu kepada pembaca, di antaranya:
1 Sudut Pandang Persona Ketiga: ”Dia”
Narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya; ia, dia,
mereka. Sudut pandang ini dibagi menjadi dua yaitu: a.
“Dia” Mahatau Cerita dikisahkan dari sudut “dia”, namun pengarang, narator, dapat
menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. b.
“Dia” Terbatas, “Dia” seabagai pengamat Dalam sudut padang “Dia” terbatas, pengarang melukiskan apa yang
dilihat, didengar, dialami, dipikir, dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun terbatas hanya pada seorang tokoh saja. Sementara dalam sudut pandang
“Dia” sebagai pengamat, narator bahkan hanya dapat melaporkan segala sesuatu yang dapat didengar, atau dapat dijangkau oleh indera.
2 Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”
Narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan keadaan dirinya sendiri. Sudut
pandang ini pun dibagi menjadi dua: a.
“Aku” Tokoh Utama Si “Aku” mengisahkan berbagai peristiwa dan tingkah laku yang
dialaminya, baik yang bersifat batiniah, dalam diri sendiri, maupun fisik. b.
“Aku” Tokoh Tambahan “Aku” muncul bukan sebagai tokoh utama, melainkan sebagai tokoh
tambahan. Tokoh “Aku” hadir membawakan cerita, sementara tokoh yang diceritakan “dibiarkan” untuk mengisahkan pengalamannya sendiri.
24
Stanton, Op. Cit., h. 53.
3 Sudut Pandang Persona Kedua: “Kau”
Sudut pandang gaya “kau” merupakan cara pengisahan yang mempergunakan “kau” yang biasanya sebagai variasi cara memandang
oleh tokoh aku dan dia. 4
Sudut Pandang Campuran Penggunaan sudut pandang dalam sebuah novel mungkin saja lebih
satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang dituliskannya.
25
4. Alur
Abrams mengatakan dalam Siswanto “Alur ialah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan persitiwa sehingga menjalin sebuah cerita yang
dihadirkan oleh para pelaku dalam sebuah cerita.”
26
Sementara Sudjiman mengartikan “Alur sebagai jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencari efek tertentu. Jalinannya dapat diwujudkan
oleh hubungan temporal waktu dan oleh hubungan kausal sebab akibat. Alur adalah rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang
menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian”.
27
Peristiwa kausal yang dihadirkan lewat alur tidak hanya terbatas pada hal-hal fisik saja seperti ujaran atau tindakan, tetapi juga mencakup perubahan sikap
karakter, kilasan-kilasan pandangannya, keputusan-keputusannya, dan segala yang menjadi variabel pengubah dalam dirinya.
28
Sudjiman membagi alur atas alur utama dan alur bawahan. Alur utama yaitu rangkaian peristiwa utama yang menggerakkan jalan cerita, sementara
alur bawahan adalah alur kedua tambahan yang disusupkan di sela-sela bagian-bagian alur utama sebagai variasi.
29
25
Nurgiyantoro,Op.Cit., h. 347-359
26
Siswanto, Op.Cit., h. 159.
27
Ibid.
28
Stanton, Op.Cit., h. 26.
29
Siswanto, Op.Cit., h. 160.
5. Gaya Bahasa
Bahasa adalah bahan mentah yang digunakan sastrawan untuk mengemukakan maksud dalam karya sastranya. Dapat dikatakan bahwa setiap
karya sastra hanyalah seleksi beberapa bagian dari suatu bahasa tertentu, seperti halnya patung dapat dianggap sebagai sebongkah marmer yang dikikis
sedikit bagian-bagiannya.
30
Sementara Aminuddin mengatakan “gaya” adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan
media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca”.
31
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah pemakaian bahasa dalam karya sastra dengan gaya yang indah sehingga dapat menyentuh
emosi pembaca. 6.
Latar Latar dalam sebuah cerita menjelaskan tentang waktu, tempat, dan
suasana kejadian. Menggambarkan lingkungan atau semesta yang saling berkaitan dengan peristiwa yang tengah berlangsung—bahkan satu periode
sejarah pun bisa dijelaskan dalam sebuah karya melalui latar. Hal ini berdasarkan penjelasan Stanton, ia mengatakan bahwa:
Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semseta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang
sedang berlangsung. Latar dapat berwujud dekor seperti sebuah café di Paris, pegunungan di California, sebuah jalan buntu di sudut kota Dublin
dan sebagainya. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu hari, bulan, dan tahun, cuaca, atau satu periode sejarah.
32
Sebagaimana penjelasan di atas, unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial-budaya. Di bawah ini akan
dijelaskan unsur –unsur latar sesuai dengan yang dikemukakan Nurgiyantoro: Pertama, latar tempat yaitu menunjuk pada lokasi terjadinya peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan
30
Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, Terj. dari Theory of Literature oleh Melani Budianta
,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, h. 217.
31
Siswanto, Op.Cit., h. 158-159.
32
Stanton, Op. Cit., h. 35.
mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
33
Kedua, latar waktu yaitu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.
Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.
34
Ketiga, latar sosial-budaya yaitu menunjuk pada hal-hal berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkungan yang cukup kompleks. Ia dapat berupa kebiasaan
hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain.
35
Deskripsi latar dapat bersifat fisik, realistis, dokumenter, dapat pula berupa deskrpsi perasaan.
36
7. Amanat
Dalam setiap karya sastra pasti memuat nilai-nilai di dalamnya. Nilai dari sudut sastrawan dapat disebut dengan amanat, sehingga amanat dapat
dikatakan sebagai gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar.
37
Amanat biasanya tersirat dan sangat bergantung pada interpretasi si pembaca, sehingga amanat
yang ditangkap oleh pembaca yang satu dengan pembaca lainnya seringkali berbeda.
Unsur pembangun selanjutnya yaitu unsur ekstrinsik. Unsur ekstrinsik untuk setiap karya sastra sama. Unsur ini mencakup berbagai aspek kehidupan
sosial yang tampaknya menjadi latar belakang penyampaian tema dan amanat cerita. Unsur ekstrinsik adalah unsur yang berada di luar tubuh karya sastra itu
sendiri atau unsur luar sastra yang memengaruhi penciptaan karya sastra.
33
Nurgiyantoro, Op. Cit., h. 314.
34
Ibid., h. 318.
35
Ibid., h. 322.
36
Melani Budianta, dkk., Op, Cit., h. 86.
37
Ibid., h. 162.
Unsur tersebut meliputi latar belakang kehidupan pengarang, keyakinan dan pandangan hidup pengarang, adat-istiadat yang berlaku saat itu, situasi politik,
persoalan sejarah, ekonomi, pengetahuan agama, dan lain-lain. Pengetahuan sosial budaya suatu masyarakat, seluk beluk kehidupan masyarakat modern
harus diketahui pengarang guna menunjang keberhasilan sebuah cerita. Selain unsur dari luar pengarang, ada unsur yang melekat pada diri pengarang yang
turut memengaruhi cerita. Agama atau pandangan hidup seorang pengarang paling tidak akan ikut mewarnai pemecahan persoalan yang dikemukakannya.
Misanya orang yang berjiwa nasioanlis dengan orang berjiwa komunis tidak akan sama dalam memecahkan persoalan politik yang dihadapi tokoh-
tokohnya karena hal-hal tersebut sifatnya individual.
38
C. Pendekatan Mimetik
Mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya
sastra. Pendekatan yang memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas”.
39
Pada dasarnya seni adalah tiruan dari alam semesta, “The mimetic orientation—the explanation of art as essentially an imitation of aspects of the
universe”.
40
Bagi Abrams, teori mimetik ini mungkin teori yang primitif, akan tetapi mimetik bukanlah konsep yang sederhana, karena untuk memahami
‘imitasi’’tiruan’ kita perlu memahami terlebih dahulu pendapat dua fislosuf terkenal yaitu Plato dan Aristoteles mengenai teori mimetik ini.
41
Pendekatan ini diawali dari pendapat Plato tentang seni. Ia berpendapat bahwa seni berdiri di bawah kenyataan. Seni hanya meniru hal-hal yang ada
atau nampak.
42
Plato memperlihatkan sikapnya yang negatif terhadap seni,
38
Suroto, Op. Cit., h. 138-139.
39
Siswanto, Op.Cit., h. 188.
40
M.H Abrams, The Mirror and The Lamp Romantic Theory and The Critical Tradition, London: Oxford University Press, 1953, h. 8.
41
Ibid.
42
Ibid.
karena menurutnya seni hanya menyajikan suatu ilusi tentang kenyataan dan tetap jauh dari “kebenaran”. Plato juga menjelaskan bahwa ide merupakan
sesuatu yang kekal dan tidak berubah, ide mencerminkan rasa, alami, atau buatan, seperti gambar dalam air dan cermin atau seni rupa:
The philosopher in the platonic dialogues characteristically operates with three categories. The fisrt categoriy is that of the eternal
and unchanging ideas; the second, reflecting this, is the world of sense, natural or artificial; and the third category, in turn reflecting the
second, comprises such thing as shadows, images in water and mirrors, and the fine arts.
43
Bila seorang tukang membuat sebuah ranjang maka ia menjiplak ranjang seperti yang terdapat dalam dunia ide-ide walaupun jiplakan itu tidak selalu
memadai aslinya, namun seorang tukang lebih dekat pada kebenaran daripada seorang pelukis atau penyair, karena seorang tukang menjiplak sesuatu yang
bisa disentuh dengan pancaindera sementara penyair atau pelukis menjiplak gambar-gambar kosong yang mengambang.
44
Bagi Plato tukang-tukang pembuat barang lebih berguna daripada orang-orang yang hanya melukiskan
barang-barang itu karena mereka hanya menggambarkan sesuatu, mereka tidak dapat dijadikan contoh ataupun teladan.
45
Sementara bagi Aristoteles yang merupakan murid dari Plato sendri berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan,
melainkan merupakan sebuah proses kreatif; penyair, sambil beritik pangkal pada kenyataan, menciptakan sesuatu yang baru. Dengan bermimesis penyair
menciptakan kembali kenyataan, adapun bahannya ialah fakta dari masa kini atau masa silam, keyakinan, dan cita-cita.
46
Dalam ilmu sastra modern teori Aristoteles mengenai mimesis kembali diperhatikan setelah pada abad Renaissance teorinya sempat diartikan secara
sempit. Pada sastra modern pendapat Aristoteles di samping sastra menciptakan suatu kenyataan sendiri, terdapat juga suatu teori, bahwa sastra
43
Ibid.
44
Jan van Luxemburg, dkk. Pengantar Ilmu Sastra, Terj. dari Inleiding in de Literatuurwetenschap oleh Dick Hartoko,
Jakarta: Gramedia, 1986, h. 16.
45
Ibid.
46
Ibid., h. 17.
membuat sebuah modul bagan mengenai kenyataan.
47
Bagi Aristoteles yang penting dalam karya seni adalah sejauh mana ia mampu memperlihatkan
kenyataan baru yang dapat memperluas cakrawala manusia. Justru karya seni yang menampilkan kenyataan apa adanya dianggap tidak bernilai.
48
Akan tetapi, meski pengertian mimetik mengalami perbedaan, pada intinya mimetik dapat dipahami dalam dua kategori yaitu “mudah ditiru dan
tiruan”. “But although in many later mimetic theories everything is comprehended in two categories, the imitable and the imitiation”.
49
Berbagai teori mimesis mempunyai satu unsur yang sama: perhatian diarahkan kepada
hubungan antara gambar dan apa yang digambarkan. Tolok ukur estetik pertama ialah sejauh mana gambar itu sesuai dengan kenyataan.
50
D. Hakikat Revolusi dan Sejarah Singkat Revolusi Indonesia Pasca
Kemerdekaan a
Hakikat Revolusi
Revolusi adalah bentuk perubahan sosial paling spektakuler; sebagai tanda perpecahan mendasar dalam proses historis; pembentukan ulang
masyarakat dari dalam dan pembentukan ulang manusia. Pada saat revolusi terjadi, masyarakat mengalami puncak agennya, meledakkan potensi
transformasi terhadap dirinya sendiri. Masyarakat dan anggotanya seperti hidup kembali atau hampir serupa dengan makna “lahir kembali” setelah
revolusi usai. Artinya, revolusi menjadi sebuah tanda akan kesejahteraan sosial.
51
Revolusi menimbulkan perubahan dalam cakupan luas dan menyentuh semua dimensi masyarakat, seperti: ekonomi, politik, kultur, organisasi sosial,
kehidupan sehari-hari, dan kepribadian manusia. Dalam cakupan tersebut, perubahan yang terjadi bersifat radikal, fundamental, serta menyentuh inti
47
Ibid., h. 18.
48
Atmazaki, Ilmu Sastra, Padang: Angkasa Raya, 1990, h. 41.
49
M.H Abrams, Loc. Cit.
50
Luxemburg, Op.Cit., h. 19.
51
Piötr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, Terj. dari The Sosiology of Social Change oleh Alimandan, Jakarta: Prenada, 2011, Cet. ke-2, h. 357.
bangunan dan fungsi sosial. Revolusi membangkitkan emosional khusus dan reaksi intelektual pelakunya dan mengalami ledakan mobilisasi massa,
antusiasme, kegemparan, kegirangan, kegembiraan, optimisme dan harapan; perasaan hebat dan perkasa; keriangan aktivisme dan menggapai kembali
makna kehidupan; melambungkan aspirasi dan pandangan utopia ke masa depan.
52
Istilah revolusi memang telah muncul di abad ke 14, ketika itu revolusi semata berarti gerakan melingkar circular. Revolusi berarti penggantian
penguasa secara melingkar atau penggantian seluruh elite politik menyertai kemunculan negara nasional.
53
Konsep revolusi modern baru terbentuk sekitar abad ke 18 saat pecahnya revolusi di Prancis tahun 1789. Pada waktu itu
istilah revolusi digunakan untuk melukiskan terobosan zaman serupa, penataan ulang kehidupan masyarakat secara fundamental. Kemudian pada
abad ke 19 perkembangan modernitas yang tak tertandingi industri, urbanisme, kapitalisme juga menjadi “era emas” ide revolusi yang
memengaruhi kehidupan sehari-hari. Masyarakat dipandang mengalami perubahan progresif menuju tatanan masa depan yang ideal. Marx
menggunakan konsep revolusi sebagai alat ampuh untuk menumbangkan kapitalisme dan sebagai landasan untuk membangun masyarakat komunis
sebagai penggantinya.
54
Revolusi atau perubahan secara cepat didahului oleh kondisi yang disebut “revolutionary prodrome”, yang meliputi peningkatan ketakpuasan,
keluhan, kekacauan, dan konflik yang disebabkan krisis ekonomi atau fiskal. Selain itu revolusi juga terjadi karena rezim lama hancur, golongan moderat
yang menang berupaya memelihara kesinambungan dengan masa lalu, kekuatan radikal dan ekstrem mampu mengeksploitasi kekecewaan yang
meluas dan memobilisasi massa serta menggantikan golongan moderat. Tahap “teror” mulai ketika kekuatan radikal mencoba memaksakan ketertiban dan
52
Ibid.
53
Ibid., h. 359.
54
Ibid.