Struktur Batin Puisi Analisis Struktur Puisi-puisi Wiji Thukul Tentang Buruh

19 “Seorang Buruh Masuk Toko ” dominan Kesenjangan sosial 20 “Bukan di Mulut Politikus, Bukan di Meja SPSI ” dominan Perjuangan dan tekad buruh untuk memperbaiki hidup mereka 21 “Edan” dominan Tindak sewenang-wenang yang dilakukan pihak perusahaan kepada buruh 22 “Gunung Batu” samar Keadaan masyarakat gunung batu yang hidup dengan keperihatinan Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat 12 puisi yang tergolong puisi yang membahas tentang buruh secara dominan, yakni “Suti”, “Nonton Harga”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “Leuwigajah”, “Leuwigajah Masih Haus”, “Bukan Kata Baru”, “Makin Terang Bagi Kami”, “Seorang Buruh Masuk Toko ”, “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”, dan “Edan”. Sementara, terdapat 10 puisi yang membahas buruh secara samar, yakni “Catatan Malam”, “Sajak kepada Bung Dadi”, “Lingkungan Kita si Mulut Besar ”, “Kuburan Purwoloyo”, “Lumut”, “Gunung Batu”, “Kampung”, “Harimau”, “Jangan Lupa Kekasihku”, dan “Terus Terang Saja”. Seperti yang sudah dijelaskan oleh peneliti sebelumnya, 12 puisi yang membahas buruh Indonesia secara dominan adalah puisi yang memiliki tema tentang buruh yang secara dominan membahas tentang buruh. Sementara, 10 puisi yang mambahas buruh secara samar adalah puisi yang memiliki tema bukan tentang buruh, akan tetapi di dalamnya terdapat potret buruh Indonesia. Misalnya, puisi Thukul yang berjudul “Lingkungan Kita Si Mulut Besar” memiliki tema tentang kritik sosial kepada penguasa, namun di dalamnya terdapat potret buruh Indonesia. “lingkungan kita si mulut besar raksasa yang membisu yang anak-anaknya terus dirampok dan dihibur film-film kartun amerika perempuannya disetor ke mesin-mesin industri yang membayar murah” “Lingkungan Kita Si Mulut Besar” Dalam puisi tersebut, terdapat potret buruh perempuan yang dibayar dengan upah yang rendah. Begitu pula dalam puisi “Terus Terang Saja”, walaupun bukan memiliki tema tentang buruh, yakni tentang protes sosial akan kemerdekaan yang semu, tetapi terdapat potret tentang buruh Indonesia di dalamnya. “apakah aku ini si bagero yang sudah merdeka ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-hentinya diperkosa perusahaan multinasional yang menuntut kenaikan upah ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara? ” “Terus Terang Saja” Dalam puisi tersebut, Wiji Thukul mengibaratkan buruh seperti jugun ianfu yang tak henti-hentinya diperkosa oleh perusahaan multinasional. Thukul juga menggambarkan bahwa bagi buruh yang menuntut kenaikan upah, maka mereka harus siap untuk ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. b Feeling Perasaan Feeling atau perasaan yang terdapat dalam 22 puisi Wiji Thukul tentang buruh berbeda-beda. Misalnya, dalam puisi “Suti”, Thukul menyampaikan perasaan yang sedih tentang seorang buruh bernama Suti yang tengah sakit, namun tidak mampu berobat karena tidak memiliki biaya. “suti meraba wajahnya sendiri tubuhnya makin susut saja makin kurus menonjol tulang pipinya loyo tenaganya bertahun- tahun diisap kerja” “Suti” Sementara itu, dalam puisi “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”, Thukul menyampaiakan perasaan yang geram dan marah terhadap penguasa. Begitu pula dalam puisi “Bukan Kata Baru”, dengan perasaan yang geram dan penuh amarah, Thukul menyatakan perlawanan para buruh terhadap kaum kapitalis. “kau-aku buruh, mereka kapitalis sama-sama hidup bertarung ya, bertarung. “Bukan Kata Baru” Dalam beberapa puisinya, Thukul juga menyampaikan perasaan yang penuh tekad dan semangat ketika menggambarkan para buruh yang bertekad untuk memperjuangkan nasib dan hak mereka seperti yang ada dalam puisi “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”. “hari depan buruh di tangan kami sendiri Bukan di mulut politikus Bukan di mejas spsi” “Bukan di Mulut Politikus, Bukan di Meja SPSI” Dapat dikatakan bahwa dalam setiap puisinya yang membahas tentang buruh, Thukul menyampaikan dengan perasaan yang berbeda- beda. Ada kalanya Thukul menyampaikan dengan perasaan yang sedih, namun ada kalanya ia menyampaikan dengan perasaan yang penuh kemarahan atau tekad yang kuat untuk memperjuangkan nasib. c Nada dan Suasana Nada yang digunakan oleh Thukul dalam 22 puisinya yang membahas tentang buruh berbeda-beda. Dalam puisi “Jangan Lupa, Kekasihku”, Thukul menggunakan nada menasihati. “jangan lupa, kekasihku pada siapa pun yang bertanya Sebutkan namamu jangan malu i tu namamu, kekasihku” “Jangan Lupa, Kekasihku” Dalam puisi ini, Thukul menggunakan nada menasihati untuk menggambarkan seorang Aku lirik yang sedang menasihati kekasihnya. Nada yang digunakan oleh Thukul dalam menyampaikan puisinya tersebut menimbulkan suasana ketegaran dan kepercayadirian. Sementara itu, dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”, Thukul menggunakan nada menentang dan melawan. “di mana-mana ada Eman di bandung, Solo, Jakarta, Tangerang tak bisa dibungkam kodim tak bisa dibungkam popor senapan satu mimpi satu barisan “Satu Mimpi Satu Barisan” Nada menentang dan melawan yang digunakan oleh Thukul dalam puisi tersebut digunakan untuk menyampaikan perasaan geram dan marah akan berbagai tindak kesewenang-wenangan terhadap buruh yang sering dilakukan oleh pihak perusaahan dengan dibantu oleh aparat. Nada melawan yang digunakan oleh Thukul dalam puisinya juga dapat dilihat dalam puisi “Bukan Kata Baru”, bahkan dalam puisi tersebut Thukul dengan jelas menyatakan bahwa musuh buruh adalah kaum kapitalis. “kau-aku buruh, mereka kapitalis sama-sama hidup bertarung ya, bertarung. “Bukan Kata Baru” Nada melawan yang digunakan oleh Thukul dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan” dan “Bukan Kata Baru” itu menimbulkan suasana penuh pemberontakan yang dilakukan oleh para buruh untuk memperjuangkan haknya. Dalam puisi “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”, Thukul menggunakan nada mengritik. Nada mengritik yang digunakan oleh Thukul itu untuk menyampaikan kritikannya kepada penguasa. “lingkungan kita si mulut besar raksasa yang membisu yang anak-anaknya terus dirampok dan dihibur film-film kartun amerika perempuannya disetor ke mesin-mesin industri yang membayar murah” lingkungan kita si mulut besar sakit perut dan terus berak mencret oli dan logam busa dan plastik dan zat-zat pewarna yang merangsang menggerogoti tenggorokan bocah-bocah yang mengulum es lima puluh perak “Lingkungan Kita Si Mulut Besar” Nada mengritik yang digunakan oleh Thukul dalam puisi tersebut menimbulkan suasana yang penuh dengan kekacauan yang terjadi di sebuah negeri. d Amanat Amanat yang paling sering Thukul sampaikan dalam 22 puisinya yang membahas tentang buruh adalah tentang upah buruh yang rendah dan tak sepadan dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka tanggung. Amanat tentang upah buruh yang rendah ini Thukul sampaikan dalam puisinya yang berjudul “Catatan Malam”, “Sajak kepada Bung Dadi”, “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”, “Suti”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil ”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “Leuwigajah”, “Leuwigajah Masih Haus ”, dan “Seorang Buruh Masuk Toko”. Dalam puisi “Suti”, Thukul menyampaikan amanatnya secara tersirat melalui tokoh dalam puisi bernama Suti yang merupakan seorang buruh. “suti menggeleng tahu mereka dibayar murah.” “Suti” Kemudian dalam puisi “Teka-teki yang Ganjil”, Thukul juga menyampaikan amanatnya secara tersirat tentang upah buruh yang rendah. “ dan upah kami dalam waktu singkat telah berubah menjadi odol-sampo-sewa rumah dan bon-bon di warung yang harus kami lunasi “Teka-teki yang Ganjil” Melalui puisi “Suti” dan “Teka-teki yang Ganjil” tersebut, secara tersirat Thukul menyampaikan amanat, bahwa upah buruh terlalu rendah dibandingkan dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka tanggung dan sudah seharusnya pihak perusahaan memberikan upah yang sepadan dengan beban pekerjaan yang ditanggung oleh buruh. Dalam puisi “Terus terang Saja”, Thukul menyampaikan amanat secara tersurat bahwa sebenarnya Indonesia belum benar-benar merdeka, sebab di Indonesia pada zaman Orde Baru belum ada kebebasan berpendapat dan kemelaratan masih terus melanda rakyat Indonesia. “sekarang demokrasi sudah 100 bulat tanpa debat tapi aku belum menjadi aku sejati karena aku dibungkam oleh demokrasi 100 yang tidak bisa salah namun aku sangsi karena kemelaratan belum dilumpuhkan aku sangsi pada yang 100 benar terus terang saja. “Terus Terang Saja” Sementara itu, dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”, Thukul menyampaikan amanat secara tersirat bahwa apabila para buruh bersatu, maka tidak akan ada yang bisa membungkam mereka. “di mana-mana ada Eman di bandung, Solo, Jakarta, Tangerang tak bisa dibungkam kodim tak bisa dibungkam popor senapan satu mimpi satu barisan “Satu Mimpi Satu Barisan”

C. Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput

1. Upah yang Rendah Tak Sepadan dengan Beratnya Beban Pekerjaan

Permasalahan tentang upah merupakan salah satu issue yang paling sering muncul dalam dunia perburuhan. Begitu pula dalam puisi-puisi karya Wiji Thukul yang memotret gambaran buruh Indonesia pada masa Orde Baru, permasalahan tentang upah merupakan topik yang sangat sering muncul. Berdasarkan pengklasifikasian yang dilakukan oleh peneliti, terdapat 14 puisi yang membahas tentang upah buruh dari 22 puisi Wiji Thukul dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput yang memotret gambaran tentang buruh. Secara garis besar, melalui keempat belas puisi tersebut Wiji Thukul memberikan gambaran tentang upah buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang rendah, tidak sesuai dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka lakukan. Adapun 14 puisi Wiji Thukul yang menggambarkan upah buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang rendah tersebut, yakni “Catatan Malam”, “Sajak kepada Bung Dadi”, “Lingkungan Kita si Mulut Besar”, “Gunung Batu”, “Suti”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganji”l, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “Terus Terang Saja”, “Leuwigajah”, “Leuwigajah Masih Haus”, “Bukan Kata Baru”, “Edan”, dan “Seorang Buruh Masuk Toko”. Gambaran tentang betapa rendahnya jumlah upah buruh pada masa Orde Baru dapat dilihat pada kutipan puisi Wiji Thukul yang berjudul “Catatan Malam” dan “Gunung Batu” berikut ini. “... pacarku buruh harganya tak lebih dua ratus rupiah per jam” “Catatan Malam” “... kuli-kuli perkebunan seharian memikul kerja setiap hari makin bungkuk dijaga mandor dan traktor delapan ratus gaji sehari di rumah ditunggu mulut-perut anak- istri” “Gunung Batu” Pada puisi “Catatan Malam”, Wiji Thukul menggambarkan tokoh Aku lirik yang memunyai kekasih seorang buruh yang upahnya tidak lebih dari dua ratus rupiah per jam. Sementara, pada puisi “Gunung Batu”, digambarkan para kuli-kuli perkebunan yang bergaji delapan ratus rupiah per hari. Jumlah gaji tersebut sangatlah kecil dan tidak sebanding dengan beratnya beban pekerjaan yang ditanggung oleh para kuli perkebunan yang “seharian memikul kerja sehingga setiap hari semakin bungkuk” itu. Di sisi lain, rendahnya upah yang diterima oleh buruh ternyata juga berdampak pada kehidupan ekonomi buruh yang sulit. Rendahnya upah yang mereka terima tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang tak terjangkau oleh mereka. Hal ini tergambarkan dalam puisi Wiji Thukul yang berjudul “Suti”. “buruh-buruh berangkat pagi pulang petang hidup pas-pasan gaji kurang dicekik kebutuhan” “Suti” Kutipan puisi tersebut menggambarkan bagaimana upah yang rendah tidak cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari buruh dan menyebabkan kehidupan mereka menjadi serba sulit. Lebih lanjut, Wiji Thukul menggambarkan potret tentang dampak dari rendahnya upah yang diterima oleh para buruh terhadap kehidupan sehari-hari mereka melalui puisinya yang berjudul “Teka-teki yang Ganjil ”. “... dan upah kami dalam waktu singkat telah berubah menjadi odol-sampo-sewa rumah dan bon- bon di warung yang harus kami lunasi.” “Teka-teki yang Ganjil” Untuk sekedar memenuhi kehidupan sehari- hari seperti “odol dan sampo” pun, para buruh masih merasa kesulitan, belum lagi ditambah hutang-hutang mereka di warung dan uang biaya sewa rumah yang harus mereka lunasi. Bahkan, rendahnya upah yang diterima oleh para buruh ini juga berdampak pada ketidakmampuan mereka menyekolahkan anak mereka. “... mengapa sedemikian sulitnya bagi buruh untuk menyekolahkan anaknya padahal mereka tiap hari menghasilkan berton- ton barang” “Teka-teki yang Ganjil” Potret yang menggambarkan buruh yang tidak dapat menyekolahkan anaknya ini secara tidak langsung menjelaskan bahwa rendahnya upah yang diterima oleh para buruh juga berdampak terhadap tidak terpenuhinya kebutuhan dasar keluarga mereka, dalam hal ini pendidikan bagi anak. Selain itu, rendahnya upah yang diterima oleh buruh rupanya juga berdampak pada kebutuhan akan kesehatan buruh yang tidak terpenuhi. Seringkali ketika sakit, buruh tidak mampu berobat ke rumah sakit sebab tidak memunyai biaya. Potret ini terdapat dalam puisi “Suti”. “... suti menggeleng tahu mereka dibayar murah suti meludah dan lagi-lagi darah suti merenungi resep dokter tak ada uang tak ada biaya” “Suti” Berbagai potret rendahnya upah buruh yang berdampak pada kehidupan mereka ini menandakan bahwa tingkat kesejahteraan buruh menjadi hal yang sangat kurang diperhatikan oleh pihak perusahaan maupun pemerintah pada masa Orde Baru. Ada kesenjangan antara upah buruh yang rendah dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka tanggung. Hal ini menimbulkan kesan bahwa adanya keinginan dari pihak perusahaan untuk memanfaatkan tenaga buruh dengan mempekerjakannya secara semaksimal mungkin, namun dengan upah yang seminimal mungkin yang cenderung kurang manusiawi. Padahal, bila saja tenaga para buruh memang merupakan faktor utama dalam proses produksi perusahaan, maka sudah selayaknya mereka memperoleh imbalan nilai lebih yang proporsional melalui pendekatan yang manusiawi, yakni imbalan upah yang dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup buruh. 169 Dengan demikian, apa yang diterima buruh harus dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka secara memadai dan manusiawi. Adapun jenis-jenis kebutuhan dasar hidup manusia adalah seperti yang dikemukakan oleh Eggi Sudjana berikut ini. Kebutuhan dasar minimal, yaitu 1 kebutuhan dasar untuk hidup yang meliputi pangan, sandang, papan, air, udara, bahan bakar dan lainnya; 2 kebutuhan yang mendukung kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kapasitasproduktivitas individu yang meliputi pendidikan, pelayanan kesehatan, sarana komunikasi, transportasi, kelembagaan sosial, kebebasan berpendapat, tersedianya pasar, dan lain sebagainya; 3 kebutuhan untuk meningkatkan akses peluang memperoleh sesuatu terhadap cara berproduksi dan peluang ekonomi yang meliputi tanah, air, vegetasi, modal termasuk teknologi, peluang bekerja dan berpenghasilan yang layak; dan 4 kebutuhan untuk hidup dengan rasa aman dan kebebasan untuk membuat keputusan yang meliputi penghargaan atas HAM, partisipasi dalam politik, keamanan sosial, pertahanan sosial, peraturan perundang-undangan yang adil bagi semua lapisan masyarakat. 170 Sudah sepatutnya dalam menentukan jumlah upah yang diterima oleh buruh, pihak perusahaan mempertimbangkannya berdasarkan pendekatan manusiawi sehingga tidak terjadi kesenjangan antara beban pekerjaan yang berat dengan upah yang rendah yang membuat buruh tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar minimal hidupnya. Apabila melihat jenis-jenis kebutuhan dasar minimal yang dikemukakan oleh Eggi Sudjana dan membandingkannya dengan 169 Eggi Sudjana, Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering, Jakarta: Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, 2000, h.35 170 Ibid., h. 35-36

Dokumen yang terkait

MAKNA KRITIK SOSIAL PADA PUISI KARYA WIJI THUKUL ( Analisis Semiotika Puisi Wiji Thukul pada Buku Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput )

14 78 22

Fenomena Sosial dalam Puisi "Pesan Uang" dan "Bercukur Sebelum Tidur" Karya Joko Pinurbo dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

7 35 123

Potret buruh Indonesia pada masa orde baru dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah

2 61 0

Potret Sejarah Revolusi Indonesia dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

6 81 167

NILAI-NILAI EDUKASI DALAM NOVEL AKAR KARYA DEWI LESTARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai-Nilai Edukasi Dalam Novel Akar Karya Dewi Lestari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA.

0 3 12

NILAI-NILAI EDUKASI DALAM NOVEL AKAR KARYA DEWI LESTARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai-Nilai Edukasi Dalam Novel Akar Karya Dewi Lestari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA.

0 2 11

KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN PUISI LALU AKU KARYA RADHAR PANCA DAHANA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Kritik Sosial Dalam Kumpulan Puisi Lalu Aku Karya Radhar Panca Dahana: Tinjauan Sosiologi Sastra.

0 1 12

KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN PUISI LALU AKU KARYA RADHAR PANCA DAHANA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Kritik Sosial Dalam Kumpulan Puisi Lalu Aku Karya Radhar Panca Dahana: Tinjauan Sosiologi Sastra.

2 10 13

SAJAK NYANYIAN ANGSA KARYA WS. RENDRA AN

0 2 19

Aspek-aspek Stilistika dan Nilai Pendidikan Karakter pada Buku Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul serta Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas - UNS Institutional Repository

0 0 17