suti merenungi resep dokter tak ada uang
tak ada obat” “Suti”
Potret dalam puisi tersebut menggambarkan sebuah kesan bahwa pihak perusahaan cenderung sekadar memanfaatkan tenaga buruh tanpa memedulikan
hak-haknya. Mengenai persoalan tentang upah misalnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Eggi Sudjana yang telah penulis kutip sebelumnya bahwa upah
yang diberikan kepada buruh haruslah dipertimbangkan berdasarkan pendekatan yang manusiawi, yang dapat memenuhi kebutuhan dasar buruh sebagai manusia,
dan salah satu kebutuhan dasar itu di antaranya adalah pelayanan kesehatan. Jadi, apabila ditemukan kasus seorang buruh yang tak bisa berobat ketika sakit karena
tidak memunyai uang sebab upah yang ia terima dari perusahaan rendah, maka hal itu termasuk bentuk pelanggaran terhadap hak-hak dasar buruh yang dilakukan
oleh pihak perusahaan. Ketika bekerja, buruh juga dihadapkan oleh bahaya kecelakaan bekerja
yang bisa dialami oleh buruh kapan saja. Peristiwa kecelakaan dalam bekerja tergambarkan dalam puisi Thukul,
“Leuwigajah”. “...
lidah-lidah penghuni rumah kontrak terus menyemburkan cerita buruk:
lembur paksa sampai pagi, upah rendah, jari jempol putus, kecelakaan-kecelakaan
kencing dilarang, sakit ongkos sendiri” “Leuwigajah”
Potret dalam kutipan puisi tersebut menggambarkan bahwa kecelakaan dalam bekerja seperti “jari jempol yang putus” merupakan salah satu hal yang sering
ditemukan dalam kehidupan kerja buruh. Di sisi lain, kecelakaan buruh dalam bekerja seperti yang tergambarkan dalam kutipan puisi tersebut juga
menggambarkan ketidakpedulian pihak perusahaan akan keselamatan buruh dalam bekerja. Sialnya, pihak perusahaan terkesan “lepas tangan” terhadap
peristiwa-peristiwa tersebut. Mereka tidak menanggung biaya berobat buruh atau memberikan layanan kesehatan pada buruh sehingga buruh harus menanggung
ongkos berobatnya sendiri se perti yang tergambarkan dalam puisi “Leuwigajah”
tersebut. Berbagai potret tentang ketidakpedulian pihak perusahaan terhadap
kesehatan dan keselamatan buruh dalam bekerja yang terdapat dalam puisi-puisi Thukul ini merupakan salah satu dari berbagai tindak kesewenangan yang
diterima oleh sebagian besar buruh Indonesia pada masa Orde Baru. Di samping itu, puisi-puisi tersebut juga merupakan bentuk protes Wiji Thukul terhadap
perusahaan dan pemerintah saat itu agar lebih memerhatikan jaminan kesehatan dan keselamatan buruh dalam bekerja yang kala itu merupakan hal yang sangat
langka.
4. Ancaman Pemecatan dan Tindakan Sewenang-wenang dari Pihak
Perusahaan
Dalam dunia kerja, para buruh Indonesia pada masa Orde Baru juga dihadapkan oleh permasalahan ancaman pemecatan dan berbagai tindakan
sewenang-wenang dari pihak perusahaan. Ancaman pemecatan ini seringkali dijadikan “senjata” oleh pihak perusahaan untuk meredam aksi buruh yang ingin
melakukan protes. Bahkan, sangat sering buruh kala itu langsung dipecat setelah melakukan aksi protes. Potret pemecatan yang dilakukan oleh pihak perusahan
terhadap buruh yang berani melakukan aksi protes ini dapat dilihat pada puisi Wiji Thukul yang berjudul “Satu Mimpi Satu Barisan”.
“ di lembang ada kawan sofyan jualan bakso kini karena dipecat perusahaan
karena mogok karena ingin perbaikan karena upah, ya karena upah
... juga ada neni
kawan bariah bekas buruh pabrik kaus kaki
kini jadi buruh di perusahaan lagi dia dipecat, ya dia dipecat
kesalahannya: karena menolak diperlakukan sewenang-
wenang” “Satu Mimpi Satu Barisan”
Pada kutipan puisi tersebut, Wiji Thukul memotret peristiwa seorang buruh bernama Sofyan yang dipecat oleh perusahaan tempatnya bekerja karena ia
melakukan mogok kerja sebagai bentuk aksi protesnya menuntut perbaikan upah yang rendah. Selain itu, dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan” juga digambarkan
seorang buruh bernama Neni yang juga dipecat setelah ia menolak untuk diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak perusahaan. Apa yang dialami oleh
Sofyan dan Neni ini mewakili kondisi yang dialami oleh para buruh Indonesia pada masa Orde Baru. Mereka, para buruh seringkali diperlakukan sewenang-
wenang oleh pihak perusahaan. Rupanya, berbagai permasalahan yang dihadapi oleh buruh masing-masing
saling berkaitan. Seperti apa yang tergambarkan dalam kasus Sofyan dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan” misalnya, upah rendah yang diterima buruh
berdampak pada kondisi ekonomi buruh yang sulit. Para buruh kemudian melakukan aksi protes yang di antaranya berupa mogok kerja. Pihak perusahaan
yang merasa berkuasa atas buruh tidak mau ambil pusing, mereka segera memecat para buruh yang berani melakukan aksi protes. Sebenarnya, hal ini juga
menggambarkan betapa lemahnya posisi tawar bargaining power buruh terhadap pihak perusahaan dalam dunia industri sehingga terkesan nasib buruh
sepenuhnya berada di tangan pihak perusahaan dan apa pun yang dilakukan oleh buruh selalu berdampak buruk bagi mereka.
Potret tentang buruh yang berhadapan dengan ancaman pemecatan dari pihak perusahaan juga tergambarkan dalam puisi
“Leuwigajah”. “...
lidah-lidah penghuni rumah kontrak terus menyemburkan cerita buruk:
lembur paksa sampai pagi, upah rendah, jari jempol putus, kecelakaan-kecelakaan
kencing dilarang
, sakit ongkos sendiri”
mogok? pecat seperti
nyabuti bulu ketiak”
“Leuwigajah”
Dalam kutipan puisi tersebut, Wiji Thukul menceritakan berbagai tindakan sewenang-wenang yang sering diterima oleh buruh buruh seperti lembur paksa
sampai pagi, larangan bagi buruh yang hendak buang air kecil, dan bagi buruh yang berani melakukan aksi mogok sebagai bentuk protes maka harus siap
dipecat. Betapa mudah dan ringannya pihak perusahaan memecat buruh, bahkan Thukul mengibaratkan layaknya “nyabuti bulu ketiak”.
Selain ancaman pemecatan, buruh Indonesia pada masa Orde Baru juga dihadapkan oleh berbagai tindakan sewenang-wenang yang jauh melebihi batas
kewajaran. Misalnya, seperti pelarangan bagi buruh untuk buang air kecil ketika jam kerja seperti yang tergambarkan dalam puisi Wiji Thukul yang berjudul
“Leuwigajah” tersebut. Apa yang digambarkan Thukul tentang tindakan sewenang-sewenang pihak perusahaan terhadap buruh seperti pelarangan buang
air kecil bagi buruh saat jam kerja ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh buruh Indonesia sekarang ini. Buruh Indonesia saat ini pun juga
kerap menghadapi permasalahan yang hampir sama, yakni pembatasan waktu “berkunjung ke toilet”.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Women Research Institute terhadap beberapa buruh perempuan di daerah Jakarta dan sekitarnya ternyata
masih sering ditemukan beberapa tindakan sewenang-wenang yang dialami buruh seperti bekerja sambil berdiri selama tujuh jam, pembatasan waktu “berkunjung”
ke toilet buruh hanya diberikan waktu 5 menit, kerja lembur yang berat dan melelahkan serta jatah makan siang gratis yang kurang layak.
177
Potret tindakan sewenang-wenang yang sering dilakukan pihak perusahaan pada buruh Indonesia pada masa Orde Baru juga dapat dilihat pada puisi Wiji
Thukul yang berjudul “Edan”.
“sudah dengar cerita mursilah? edan
dia dituduh maling karena mengumpulkan serpihan kain
dia sambung-sambung jadi mukena untuk sembahyang
padahal mukena tidak dibawa pulang
177
Arif Mundayat, Aris, op. cit., h. 117
padahal mukena dia taruh di tempat kerja
edan sudah diperas
dituduh maling pula” “Edan”
Dalam puisi tersebut, Wiji Thukul mengisahkan seorang buruh perempuan bernama Mursilah yang dituduh maling oleh pihak perusahaan karena
mengumpulkan serpihan kain untuk dijadikannya sebagai mukena. Mursilah dituduh maling, walaupun sebenarnya mukena itu tidak ia bawa pulang ke rumah,
melainkan ia simpan di tempat kerja. Apa yang dialami oleh Mursilah ini mewakili buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang seringkali mengalami
tindakan sewenang-wenang dari pihak perusahaan. Peristiwa seorang buruh yang dituduh maling karena mengumpulkan serpihan kain untuk dijadikan mukena ini
bagi Thukul merupakan suatu hal yang tidak masuk akal. Begitu tidak masuk akalnya bagi Thukul sehingga ia mengambarkan peristiwa itu denga satu kata:
edan Ada kalanya tindak sewenang-wenang yang dilakukan oleh pihak
perusahaan terhadap buruh adalah berupa pemotongan gaji yang alasannya kurang masuk akal. Hal ini terlihat pula dalam puisi
“Edan”. “...
sudah dengar cerita santi? edan
karena istirahat gaji dipotong
edan” “Edan”
Potret mengenai buruh bernama Santi yang gajinya dipotong karena istirahat yang digambarkan oleh Thukul tersebut merupakan gambaran tindakan sewenang-
wenang yang dilakukan oleh pihak perusahaan terhadap buruh. Buruh dilarang untuk istirahat, jika berani untuk istirahat maka harus siap mendapatkan hukuman
berupa pemotongan gaji. Tindakan sewenang-wenang ini merupakan sebuah tindakan eksploitasi terhadap buruh, padahal, seperti yang dikatakan oleh Eggi