Upah yang Rendah Tak Sepadan dengan Beratnya Beban Pekerjaan
sangat kurang diperhatikan oleh pihak perusahaan maupun pemerintah pada masa Orde Baru. Ada kesenjangan antara upah buruh yang rendah dengan beratnya
beban pekerjaan yang mereka tanggung. Hal ini menimbulkan kesan bahwa adanya keinginan dari pihak perusahaan untuk memanfaatkan tenaga buruh
dengan mempekerjakannya secara semaksimal mungkin, namun dengan upah yang seminimal mungkin yang cenderung kurang manusiawi.
Padahal, bila saja tenaga para buruh memang merupakan faktor utama dalam proses produksi perusahaan, maka sudah selayaknya mereka memperoleh
imbalan nilai lebih yang proporsional melalui pendekatan yang manusiawi, yakni imbalan upah yang dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup buruh.
169
Dengan demikian, apa yang diterima buruh harus dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup
mereka secara memadai dan manusiawi. Adapun jenis-jenis kebutuhan dasar hidup manusia adalah seperti yang dikemukakan oleh Eggi Sudjana berikut ini.
Kebutuhan dasar minimal, yaitu 1 kebutuhan dasar untuk hidup yang meliputi pangan, sandang, papan, air, udara, bahan bakar dan lainnya; 2
kebutuhan yang mendukung kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan kapasitasproduktivitas individu yang meliputi pendidikan, pelayanan
kesehatan, sarana komunikasi, transportasi, kelembagaan sosial, kebebasan berpendapat, tersedianya pasar, dan lain sebagainya; 3 kebutuhan untuk
meningkatkan akses peluang memperoleh sesuatu terhadap cara berproduksi dan peluang ekonomi yang meliputi tanah, air, vegetasi,
modal termasuk teknologi, peluang bekerja dan berpenghasilan yang layak; dan 4 kebutuhan untuk hidup dengan rasa aman dan kebebasan
untuk membuat keputusan yang meliputi penghargaan atas HAM, partisipasi dalam politik, keamanan sosial, pertahanan sosial, peraturan
perundang-undangan yang adil bagi semua lapisan masyarakat.
170
Sudah sepatutnya dalam menentukan jumlah upah yang diterima oleh buruh, pihak perusahaan mempertimbangkannya berdasarkan pendekatan
manusiawi sehingga tidak terjadi kesenjangan antara beban pekerjaan yang berat dengan upah yang rendah yang membuat buruh tidak mampu memenuhi
kebutuhan dasar minimal hidupnya. Apabila melihat jenis-jenis kebutuhan dasar minimal yang dikemukakan oleh Eggi Sudjana dan membandingkannya dengan
169
Eggi Sudjana, Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering, Jakarta: Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia, 2000, h.35
170
Ibid., h. 35-36
potret kehidupan buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang terdapat dalam puisi-puisi Wiji Thukul yang sebelumnya sudah dikutip, maka akan terlihat bahwa
ada beberapa kebutuhan dasar minimal para buruh yang belum terpenuhi. Misalnya saja perihal pelayanan kesehatan, pendidikan, dan berpenghasilan yang
layak. Selain itu, masih ada beberapa kebutuhan dasar minimal yang belum terpenuhi dalam kehidupan buruh. Sebagai contoh adalah kebebasan berpendapat.
Pada masa Orde Baru seringkali ditemukan kasus buruh yang dipecat, bahkan dipenjarakan oleh pihak perusahaan karena menuntut untuk kenaikan upah
yang lebih pantas. Hal ini menandakan bahwa buruh pada masa Orde Baru belum memiliki kebebasan berpendapat. Potret mengenai buruh yang dipecat setelah
menuntut perbaikan upah ini terdapat dalam puisi Wiji Thukul, “Satu Mimpi Satu
Barisan ”.
“di lembang ada kawan sofyan jualan bakso kini karena dipecat perusahaan
karena mogok karena ingin perbaikan k
arena upah, ya karena upah” “Satu Mimpi Satu Barisan”
Potret buruh yang dipecat oleh perusahaan tempatnya bekerja setelah menuntut perbaikan upah yang terdapat dalam puisi tersebut selain menandakan kebebasan
berpendapat yang belum dimiliki oleh buruh juga menandakan begitu lemahnya posisi buruh dalam hubungan industrial. Buruh seolah-olah menjadi pihak yang
tidak bisa menentukan nasibnya sendiri. Pada puisi lain yang berjudul
“Terus Terang Saja”, Wiji Thukul bahkan menggambarkan potret buruh yang dipenjarakan oleh pihak perusahaan karena
menuntut kenaikan upah. “...
apakah aku ini si bagero yang sudah merdeka ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-henti diperkosa
perusahaan multinasional yang menuntut kenaikan upah
ditangkap dan dijebloskan
ke dalam penjara?” “Terus Terang Saja”
Potret buruh yang dipenjarakan karena menuntut kenaikan upah pada puisi tersebut secara tidak langsung mendeskripsikan gambaran kondisi politik pada
masa Orde Baru yang represif. Penguasa pada masa itu tidak akan membiarkan sedikit pun ada pihak yang dapat mengganggu stabilitas kekuasaannya.
Sementara, penguasa cenderung berpihak pada kaum pemilik modal yang seringkali bertindak sewenang-wenang terhadap buruh.
Penguasa yang cenderung berpihak pada kaum pemilik modal ini membuat posisi buruh pada masa Orde Baru menjadi kian tersudutkan. Penguasa
yang seharusnya melindungi hak para buruh justru ikut bertindak sewenang- wenang terhadap buruh. Bahkan, seringkali penguasa mengerahkan aparat untuk
“menertibkan” buruh yang melakukan aksi protes menuntut kenaikan upah seperti yang terjadi pada 11 Desember 1995 ketika belasan ribu buruh PT. Sri Rejeki
Isman Textile Sritex mengadakan demonstrasi di depan pabrik tempat mereka bekerja yang terletak di Desa Jetis, Sukoharjo. Demonstrasi para buruh yang juga
diikuti oleh Wiji Thukul yang saat itu menjabat sebagai Jaker Jaringan Kesenian Rakyat itu salah satunya didasari oleh keinginan buruh untuk diadakannya
kenaikan upah. Sebagian di antara mereka hanya dibayar Rp1.600 per hari, jauh di bawah gaji minimal provinsi kala itu yang sebesar Rp2.600 per hari.
171
Melihat kenyataan rendahnya upah yang diterima oleh buruh yang tidak sepadan dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka lakukan, ditambah lagi
dengan berbagai tindak sewenang-wenang yang dilakukan oleh pihak perusahaan kaum pemilik modal, maka merupakan suatu hal yang wajar apabila para buruh
melakukan aksi protes untuk memperjuangkan hak mereka. Akan tetapi, pihak penguasa yang memiliki kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan selalu
memiliki alasan untuk “menghalalkan” berbagai tindakan represif terhadap buruh yang bagi mereka aksinya dapat mengganggu kestabilan keamanan negara.
Melalui beberapa kutipan puisi Wiji Thukul tentang buruh yang sudah ditampilkan sebelumnya, dapat dilihat gambaran betapa rendahnya upah yang
diterima oleh buruh pada masa Orde Baru yang tidak sepadan dengan beratnya
171
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, Teka-teki Orang Hilang, Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 2013, h. 120
beban pekerjaan yang mereka tanggung. Pemberian upah yang rendah itu tidak disesuaikan dengan pendekatan yang manusiawi sehingga berdampak pada
kehidupan buruh yang semakin sulit.