Thukul sendiri pernah mengatakan, bahwa ia sebenarnya juga bisa menulis syair-syair yang bahasanya indah-indah, tetapi menurutnya rasanya tidak etis,
sebab ia tidak ingin membuat apa yang ditulisnya tidak dipahami oleh keluarga dan tetangganya ketika membaca tulisannya. Maka, ia memilih menulis apa yang
bisa dimengerti oleh keluarga dan tetangganya.
165
Secara lebih jelas dan tegas, Thukul menyampaikan pendapatnya mengenai sastra dan bagaimana seharusnya peran sastra dalam masyarakat
melalui puisinya yang berjudul “Para Penyair adalah Pertapa Agung”. Melalui puisi itu, Thukul mengkritik penyair sastrawan yang sibuk berkarya, tetapi
memisahkan diri dari kenyataan sosial yang berada di sekitarnya. Menurut Thukul, banyak penyair yang terlalu menyandarkan nasibnya
pada nilai dan dewa-dewa sastra. Thukul mengkritik penyair yang terlalu mendewakan nilai sastra dalam berkarya, namun tidak peka terhadap realitas
sosial yang terjadi di sekitarnya. Bahkan, dalam puisinya itu secara ironi Thukul menyindir, bahwa para penyair adalah pertapa paling agungbermenung di
dalam candikelima indra dan telingan sukmanyacukup bagi Tuhan sajajangan mendengar jerit kehidupan. Melalui potongan puisi tersebut di atas,
secara jelas dan tegas Thukul menyindir penyair yang hanya gemar bermenung di kesunyian, “bercengkrama” dengan Tuhannya, tetapi terpisah dari derita
lingkungan. Bagi Thukul, menulis puisi adalah ibadah. Menulis puisi adalah doa dan
pengalaman religi.
166
Layaknya ibadah, menulis puisi bukan hanya untuk menjalin hubungan dengan Tuhan saja, tetapi juga dengan sesama manusia, dan alam.
Maka dari itu, Thukul mengkritik penyair yang seolah tuli akan jeritan kehidupan, memisahkan diri dari realita kehidupan.
Pandangan Thukul mengenai bagaimana seharusnya sikap penyair dalam berkarya dapat juga dilihat dari kata pengantarnya yang terdapat di kumpulan
puisi Nyanyian Akar Rumput.
165
KNI, “Penyair Wiji Thukul Mendapat Sambutan Hangat di Kedutaan Jerman”, Padang: Harian Haluan, Tahun 40, Nomor 307, Senin, 13 Nopember 1989, h.7.
166
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h.104.
Penyair haruslah berjiwa “bebas dan aktif”, bebas dalam mencari kebenaran dan aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah
diyakininya. Maka belajar terus-menerus adalah mutlak, memperluas wawasan dan cakrawala pemikiran akan sangat menunjang kebebasan
jiwanya dalam berkarya. Dan fanatik gaya atau tema bisa dihindarkan sehingga proses kreatif tidak terganggu. Belajar tidak harus di bangku
kampus atau sekolah, tetapi bisa di mana saja: di perpustakaan atau membaca gelagat lingkungan atau apa sajalah pokoknya yang bisa
mempertajam kepekaan penyair terhadap gerak hidup dirinya dan hidup di luar dirinya juga.
Dalam penciptaan puisi sesungguhnya penyair hanya tergantung pada diri sendiri, mungkin kritikus ada juga fungsinya, tetapi kritikus nomor empat
urutannya. Pokoknya persis seperti ketika coblosan pemilu itulah. Kita berdiri di depan gambar kontestan dan bebas sepenuhnya memilih mana
yang kita pilih, tidak ditekan, tidak tertekan, tidak dipilihkan, tetapi memilih sendiri.
167
Menurut Thukul, penyair haruslah berjiwa “bebas dan aktif” dalam berkarya. Penyair tentu perlu memedulikan apa kata kritikus, tetapi kritikus hanya nomor
empat, selebihnya adalah kuasa si penyair sendiri. Apa yang dikatakan Thukul dalam kata pengantar ini juga menunjukkan
pandangannya tentang kritikus. Baginya, dalam menulis puisi, penyair tidaklah terlalu “memusingkan” apa kata kritikus, yang terpenting si penyair harus terus
belajar dengan jalan banyak membaca buku dan membaca gelagat lingkungan. Thukul sendiri pernah dikritik, bahwa apa yang ia tulis bukanlah puisi, melainkan
sekadar pamflet, sebab bahasa yang digunakan Thukul terlalu “dangkal” untuk ukuran sebuah puisi. Akan tetapi Thukul tidak ambil peduli, ia terus menulis puisi
sesuai apa yang ingin ia sampaikan berdasarkan realitas sosial yang ia lihat, dengar, alami, dan rasakan.
C. Deskripsi Kumpulan Puisi
Nyanyian Akar Rumput
Kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput ini merupakan kumpulan puisi terlengkap Wiji Thukul yang terdiri atas puisi-puisinya yang pernah diterbitkan
sebelumnya. Kumpulan puisi ini terdiri atas tujuh bab, yakni Lingkungan Kita si Mulut Besar, Ketika Rakyat Pergi, Darman dan Lain-lain, Puisi Pelo, Baju Loak
167
Wiji Thukul, Nyanyian Akar Rumput, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014, h.7-8.
Sobek Pundaknya, Yang Tersisih, dan Para Jendral Marah-marah. Secara keseluruhan puisi ini menghimpun 169 puisi karya Wiji Thukul dengan rincian 46
puisi dalam bab Lingkungan Kita si Mulut Besar, 18 puisi dalam bab Ketika Rakyat Pergi, 16 puisi dalam bab Darman dan Lain-lain, 29 puisi dalam bab Puisi
Pelo, 28 puisi dalam bab Baju Loak Sobek Pundaknya, 9 puisi dalam bab Yang Tersisih, dan 23 puisi dalam bab Para Jendral Marah-marah.
Kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput yang disusun atas inisiatif dan kerja keras Okky Madasari dalam menginisiasi pengarsipan karya Wiji Thukul
ini pertama kali diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2014 dengan tebal 248 halaman.
BAB IV Potret Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru
dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput
Karya Wiji Thukul
A. Thukul dan Puisi Tentang Buruh
Berdasarkan proses klasifikasi yang dilakukan oleh peneliti, ditemukan sebanyak 22 puisi Wiji Thukul dalam kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput
yang menampilkan potret tentang buruh. Ada pun puisi-puisi tersebut adalah “Suti”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”, “Satu Mimpi Satu Barisan”,
“Leuwigajah”, “Catatan Malam”, “Sajak kepada Bung Dadi”, “Lingkungan Kita
Si Mulut Besar ”, “Kuburan Purwoloyo”, “Lumut”, “Gunung Batu”, “Kampung”,
“Jangan Lupa”, “Kekasihku”, “Nonton Harga”, “Terus Terang Saja”, “Harimau”, “Leuwigajah Masih Haus”, “Makin Terang Bagi Kami”, “Bukan Kata Baru”,
“Seorang Buruh Masuk Toko”, “Edan”, dan “Bukan di Mulut Politikus Bukan di
Meja SPSI ”.
Dua puluh dua puisi tersebut kemudian diklasifikasikan lagi ke dalam dua katagori, yakni katagori puisi yang secara dominan menampilkan potret tentang
buruh dan katagori puisi yang menampilkan potret tentang buruh secara samar. Katagori puisi yang menampilkan buruh secara samar adalah puisi-puisi yang
memiliki tema bukan tentang buruh, tetapi di dalamnya terdapat potret tentang buruh Indonesia. Sementara itu, kategori puisi yang menampilkan potret buruh
secara dominan adalah puisi-puisi yang memiliki tema tentang buruh. Berdasarkan proses klasifikasi, ditemukan sebanyak 10 puisi yang
menamilkan potret tentang buruh secara samar, yakni “Catatan Malam”, “Sajak
kepada Bung Dadi ”, “Lingkungan Kita si Mulut Besar”, “Kuburan Purwoloyo”,
“Lumut”, “Gunung Batu”, “Kampung”, “Harimau”, “Jangan Lupa Kekasihku”, dan
“Terus Terang Saja”. Sementara itu, ditemukan sebanyak 12 puisi yang menampilkan potret tentang buruh secara dominan dan menjadikan buruh sebagai
tema, yakni “Suti”, “Nonton Harga”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki Ganjil”, “Satu Mimpi Satu Barisan
”, “Leuwigajah”, “Leuwigajah Masih Haus”, “Bukan Kata
54
Baru ”, “Makin Terang Bagi Kami”, “Seorang Buruh Masuk Toko”, “Bukan di
Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI ”, dan “Edan”.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, katagori puisi yang menampilkan potret tentang buruh secara samar adalah puisi-puisi yang memiliki
tema bukan tentang buruh, tetapi di dalamnya terdapat potret tentang buruh Indonesia. Puisi-puisi tersebut di antaranya memiliki tema tentang kritik sosial
terhadap penguasa “Lingkungan Kita si Mulut Besar”, keadaan masyarakat di sebuah desa yang hidupnya memperihatinkan “Gunung Batu”, dan protes sosial
tentang nasib rakyat yang belum benar- benar merdeka “Terus Terang Saja”.
Pembahasan mengenai tema, nanti akan dijelas secara lebih detil oleh peneliti dalam bagian analisis struktur puisi.
B. Analisis Struktur Puisi-puisi Wiji Thukul Tentang Buruh
1. Struktur Fisik Puisi
a Tipografi
Semua puisi Wiji Thukul yang terdapat dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput tergolong dalam jenis puisi bebas. Puisi-puisi ini
dari segi tipografinya dapat dikatakan terpengaruh oleh puisi konvensional. Hal ini bisa dilihat dari sistematika penulisan larik dan baris
yang digunakan oleh Wiji Thukul dalam puisi-puisinya. Jumlah larik dalam setiap bait tidak sama. Sebagai contoh, dalam puisi yang berjudul
“Ayolah” Warsini terdapat tiga bait yang tiap bait memiliki jumlah larik yang berbeda. Bait pertama terdiri atas 13 larik, bait kedua 17 larik, dan
bait ketiga 4 larik. Sebagian besar puisi Wiji Thukul dapat juga digolongkan ke dalam
jenis puisi mimbar yang cocok dideklamasikan di depan umum. Hal ini cenderung membuat puisi-puisi Wiji Thukul terkesan tidak terlalu
mementingkan tipografi puisi secara tertulis, sebab yang terpenting adalah isi dan nada puisi ketika puisi itu dideklamasikan. Sebagai contoh adalah
puisi Thukul yang berjudul “Teka-teki yang Ganjil”, salah satu puisi Thukul yang sering ia deklamasikan semasa hidupnya. Puisi ini terdiri atas
sembilan bait. Bait pertama terdiri atas 4 larik, bait kedua 12 larik, bait