Baru ”, “Makin Terang Bagi Kami”, “Seorang Buruh Masuk Toko”, “Bukan di
Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI ”, dan “Edan”.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, katagori puisi yang menampilkan potret tentang buruh secara samar adalah puisi-puisi yang memiliki
tema bukan tentang buruh, tetapi di dalamnya terdapat potret tentang buruh Indonesia. Puisi-puisi tersebut di antaranya memiliki tema tentang kritik sosial
terhadap penguasa “Lingkungan Kita si Mulut Besar”, keadaan masyarakat di sebuah desa yang hidupnya memperihatinkan “Gunung Batu”, dan protes sosial
tentang nasib rakyat yang belum benar- benar merdeka “Terus Terang Saja”.
Pembahasan mengenai tema, nanti akan dijelas secara lebih detil oleh peneliti dalam bagian analisis struktur puisi.
B. Analisis Struktur Puisi-puisi Wiji Thukul Tentang Buruh
1. Struktur Fisik Puisi
a Tipografi
Semua puisi Wiji Thukul yang terdapat dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput tergolong dalam jenis puisi bebas. Puisi-puisi ini
dari segi tipografinya dapat dikatakan terpengaruh oleh puisi konvensional. Hal ini bisa dilihat dari sistematika penulisan larik dan baris
yang digunakan oleh Wiji Thukul dalam puisi-puisinya. Jumlah larik dalam setiap bait tidak sama. Sebagai contoh, dalam puisi yang berjudul
“Ayolah” Warsini terdapat tiga bait yang tiap bait memiliki jumlah larik yang berbeda. Bait pertama terdiri atas 13 larik, bait kedua 17 larik, dan
bait ketiga 4 larik. Sebagian besar puisi Wiji Thukul dapat juga digolongkan ke dalam
jenis puisi mimbar yang cocok dideklamasikan di depan umum. Hal ini cenderung membuat puisi-puisi Wiji Thukul terkesan tidak terlalu
mementingkan tipografi puisi secara tertulis, sebab yang terpenting adalah isi dan nada puisi ketika puisi itu dideklamasikan. Sebagai contoh adalah
puisi Thukul yang berjudul “Teka-teki yang Ganjil”, salah satu puisi Thukul yang sering ia deklamasikan semasa hidupnya. Puisi ini terdiri atas
sembilan bait. Bait pertama terdiri atas 4 larik, bait kedua 12 larik, bait
ketiga 4 larik, bait keempat 10 larik, bait kelima 3 larik, bait keenam 7 larik, bait ketujuh 7 larik bait kedelapan 9 larik, dan bait kesembilan 3
larik. Tiap bait dalam puisi ini memiliki jumlah larik yang berbeda, tidak terikat oleh aturan jumlah baris dalam satu bait layaknya jenis puisi lama.
Hal ini sangat dimungkinkan oleh tujuan penyair yang memang cenderung ingin menjadikan puisi ini sebagai puisi mimbar yang hendak
dideklamasikan sehingga keindahan tipografi puisi secara tertulis menjadi tidak terlalu penting.
b Imaji
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, imaji adalah kata atau kelompok kata yang dapat mengungkapkan pengalaman inderawi, seperti
penglihatan, pendengaran, dan perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga yaitu imaji suara auditif, imaji penglihatan visual, dan imaji sentuh
imaji taktil. Melalui imaji yang digunakan oleh penyair inilah pembaca seolah-olah dapat melihat, mendengar, dan merasakan apa yang dialami
oleh penyair. Imaji yang paling dominan yang digunakan oleh Wiji Thukul dalam 22 puisinya tentang buruh yang ada dalam kumpulan puisi
Nyanyian Akar Rumput adalah imaji visual penglihatan. Penggunaan imaji visual ini sering digunakan Thukul untuk
menggambarkan berbagai hal dan peristiwa yang dialami oleh buruh, misalnya untuk menggambarkan tentang pekerjaan buruh yang begitu
berat dan sering mengalami lembur paksa “Suti”, “Satu Mimpi Satu Barisan
”, “Leuwigajah”, keadaan buruh yang sakit akibat beban pekerjaan yang begitu berat “Suti”, “Satu Mimpi Satu Barisan”,
kecelakaan dalam bekerja yang dialami oleh buruh “Leuwigajah”, tindak
kesewenang- wenangan pihak perusahaan kepada buruh “Ayolah
Warsini ”, kesenjangan sosial antara buruh dengan orang-orang kelas
menengan ke atas di sebuah toko “Seorang Buruh Masuk Toko”, mogok
kerja yang dilakukan oleh buruh “Bukan Kata Baru”, dan pertemuan para buruh untuk berdiskusi tentang nasib mereka “Makin Terang Bagi
Kami ”.
Berbagai penggunaan imaji visual yang dilakukan oleh Thukul itu merupakan suatu usaha untuk memotret kehidupan buruh pada masa Orde
Baru sehingga pembaca akan dapat “menyaksikan” kondisi dan peristiwa yang dialami oleh buruh saat itu. Dalam puisi yang berjudul “Satu Mimpi
Satu Barisan ” misalnya, Thukul menggambarkan seorang buruh
perempuan bernama Siti yang dipaksa untuk lembur dengan beban pekerjaan yang berat.
“di cigugur ada kawan Siti punya cerita harus lembur pagi
pulang lunglai lemas ngantuk letih membungkuk 24 jam
ya, 24 jam” “Satu Mimpi Satu Barisan”
Melalui imaji visual tersebut, pembaca dapat seolah-olah menyaksikan seorang buruh perempuan yang sedang lembur kerja dengan beban
pekerjaan yang berat membungkuk 24 jam dengan tubuh yang letih. Pekerjaan buruh yang begitu berat dan keras ini seringkali
menyebabkan buruh sakit bahkan hingga meninggal. Kondisi buruh seperti ini tidak lepas dari pengamatan Thukul yang kemudian ia potret dalam
puisi-puisinya. “Suti tidak pergi kerja
pucat ia duduk dekat ambennya ...
suti tidak ke rumah sakit batuknya memburu
dahaknya berdarah tak ada biaya
... suti meraba wajahnya sendiri
tubuhnya makin susut saja makin kurus menonjol tulang pipinya
loyo tenaganya bertahun-
tahun diisap kerja” Suti
“di tanah ini terkubur orang-orang yang sepanjang hidupnya memburuh
terisap dan menanggung hutang” “Kuburan Purwoloyo”