Ancaman Pemecatan dan Tindakan Sewenang-wenang dari Pihak

padahal mukena dia taruh di tempat kerja edan sudah diperas dituduh maling pula” “Edan” Dalam puisi tersebut, Wiji Thukul mengisahkan seorang buruh perempuan bernama Mursilah yang dituduh maling oleh pihak perusahaan karena mengumpulkan serpihan kain untuk dijadikannya sebagai mukena. Mursilah dituduh maling, walaupun sebenarnya mukena itu tidak ia bawa pulang ke rumah, melainkan ia simpan di tempat kerja. Apa yang dialami oleh Mursilah ini mewakili buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang seringkali mengalami tindakan sewenang-wenang dari pihak perusahaan. Peristiwa seorang buruh yang dituduh maling karena mengumpulkan serpihan kain untuk dijadikan mukena ini bagi Thukul merupakan suatu hal yang tidak masuk akal. Begitu tidak masuk akalnya bagi Thukul sehingga ia mengambarkan peristiwa itu denga satu kata: edan Ada kalanya tindak sewenang-wenang yang dilakukan oleh pihak perusahaan terhadap buruh adalah berupa pemotongan gaji yang alasannya kurang masuk akal. Hal ini terlihat pula dalam puisi “Edan”. “... sudah dengar cerita santi? edan karena istirahat gaji dipotong edan” “Edan” Potret mengenai buruh bernama Santi yang gajinya dipotong karena istirahat yang digambarkan oleh Thukul tersebut merupakan gambaran tindakan sewenang- wenang yang dilakukan oleh pihak perusahaan terhadap buruh. Buruh dilarang untuk istirahat, jika berani untuk istirahat maka harus siap mendapatkan hukuman berupa pemotongan gaji. Tindakan sewenang-wenang ini merupakan sebuah tindakan eksploitasi terhadap buruh, padahal, seperti yang dikatakan oleh Eggi Sudjana, salah satu hak buruh adalah hak jaminan bagi buruh untuk beristirahat. 178 Maka dari itu, apabila terdapat kasus buruh yang gajinya dipotong karena beristirahat, hal itu dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran atas hak dasar buruh. Berbagai potret dalam beberapa puisi Wiji Thukul tentang ancaman pemecatan dan tindakan sewenang-wenang pihak perusahaan terhadap buruh Indonesia pada masa Orde Baru sekali lagi menandakan betapa lemahnya posisi buruh dalam dunia industri. Hal ini membuat pihak perusahaan bisa sebebasnya melakukan tindakan eksploitasi terhadap buruh dengan pekerjaan yang berat, penambahan waktu bekerja yang dilakukan secara paksa, bahkan hingga pemotongan gaji bagi buruh yang sekadar istirahat. Berbagai tindakan ini, seperti yang sudah peneliti katakan sebelumnya adalah bentuk tindakan pelanggaran terhadap hak-hak dasar buruh.

5. Kondisi Ekonomi Buruh

Potret kondisi kehidupan ekonomi buruh tidak luput dalam pengamatan Thukul yang kemudian ia gambarkan dalam puisi-puisinya. Setidaknya, ada 10 puisi Wiji Thukul dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput yang menampilkan potret kehidupan ekonomi buruh. Ada pun puisi-puisi tersebut adalah “Kuburan Purwoloyo”, “Suti”, “Lumut”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil ”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “Nonton Harga”, “Leuwigajah”, “Leuwigajah Masih Haus”, dan “Seorang Buruh Masuk Toko”. Secara umum, potret kehidupan buruh yang Thukul gambarkan adalah potret kehidupan ekonomi buruh yang serba sulit: tinggal di rumah kontrakan yang sempit, hidup penuh hutang, terhimpit oleh kebutuhan hidup sehari-hari, tidak punya biaya untuk berobat, tidak ada biaya untuk menyekolahkan anak. Keadaan ekonomi buruh yang sulit seperti yang digambarkan oleh Thukul dalam puisinya di antara disebabkan oleh faktor upah rendah yang mereka terima yang tidak sesuai dengan banyaknya kebutuhan hidup sehari-hari yang harus mereka penuhi. 178 Sudjana, Eggi, op. cit., h.40 Potret kehidupan buruh yang sulit Thukul gambarkan dalam puisinya yang berjudul “Teka-teki yang Ganjil”. “... ada yang sudah lama sekali ingin bikin dapur di rumah kontraknya dan itu mengingatkan yang lain bahwa mereka juga belum punya panci, kompor gelas minum dan wajan penggoreng mereka jadi ingat bahwa mereka pernah ingin membeli barang-barang itu tetapi keinginan itu dengan cepat terkubur oleh keletihan kami dan upah kami dalam waktu singkat telah berubah menjadi odol-sampo-sewa rumah dan bon- bon di warung yang harus kami lunasi” “Teka-teki yang Ganjil” Betapa sulitnya kehidupan ekonomi buruh yang digambarkan oleh Thukul dalam puisi tersebut sehingga untuk sekedar membeli panci, kompor, gelas minum, dan wajan penggoreng saja mereka tidak mampu. Akhirnya, para buruh harus memendam keinginan mereka yang ”sederhana” itu, sebab mereka harus menghadapi persoalan hidup lain dalam kehidupan mereka sebagai buruh seperti beban pekerjaan yang berat yang membuat mereka keletihan, upah yang rendah, dan hutang-hutang mereka. Melalui puisi “Teka-teki yang Ganjil” tersebut, Wiji Thukul juga menggambarkan ketimpangan antara upah buruh yang rendah dengan tingginya biaya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan menggunakan personifikasi, Thukul mengibaratkan upah buruh yang rendah tersebut dalam waktu singkat telah “berubah” menjadi odol, sampo, sewa rumah, dan bon-bon di warung yang harus mereka lunasi. Keadaan ekonomi buruh yang penuh dengan kesulitan membuat para buruh juga harus bertahan hidup dengan bertempat tinggal di rumah-rumah kontrakan yang sempit. Thukul menggambarkan kondisi tempat tinggal buruh ini dalam puisinya yang berjudul “Nonton Harga”. “... ayo kita pulang ke rumah kontrakan tidur berderet-deret seperti ikan tangkapan siap dijaul di pelelangan” “Nonton Harga” Melalui kutipan puisi tersebut, Thukul menggambarkan potret tempat tinggal buruh yang berupa rumah kontrakan yang sempit sehingga para buruh harus tidur berhimpit- himpitan, “berderet-deret seperti ikan tangkapan yang siap dijual di pelelangan”. Thukul secara lebih detil menggambarkan potret rumah kontrakan tempat tinggal buruh pada puisi “Leuwigajah”. “... mesin-mesin terus membangunkan buruh-buruh tak berkamar mandi tidur jejer-berjejer alas tikar tanpa jendela, tanpa cahaya matahari lantai- dinding dingin, lembab, pengap” “Leuwigajah” Wiji Thukul menggambarkan dalam puisi “Leuwigajah” tersebut sebuah potret rumah kontrakan buruh yang sempit, tidak berkamar mandi, tidak memiliki jendela, lembab, pengap, dan hanya terdapat tikar sebagai alas bagi buruh untuk tidur. Betapa sulitnya kehidupan buruh bahkan membuat buruh seringkali harus hidup berpindah-pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lain. Potret ini Thukul gambarkan dalam puisi “Lumut”. “... kini los rumah yang dulu kami tempati jadi bangunan berpagar tembok tinggi aku jalan lagi melewati rumah yang pernah disewa riyanto buruh kawan sekerjaku ke mana lagi dia sekeluarga rumah itu kini gantian disewa keluarga mbak nina kampung ini tak memiliki tanah lapang lagi tanah-tanah kosong sudah dibeli orang dalam gang setengan gelap, setengah terang aku menemukan perumpamaan: kita ini lumut menempel di tembok-tembok bangunan berkembang di pinggir-pinggir selokan di musim kemarau kering diterjang banjir tetap hidup” “Lumut” Dalam puisi tersebut, Thukul menggambarkan kehidupan buruh yang hidupnya harus berpindah-pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan yang lain. Di sisi lain, dalam puisi tersebut Thukul juga memotret perkembangan daerah tempat tinggal buruh yang mulai berubah, tanah-tanah lapang mulai berkurang dan berganti dengan rumah-rumah pemukiman warga. Sementara, buruh sendiri terus hidup berpindah-pindah. Salah satu hal yang menarik adalah dalam puisi “Lumut” tersebut Thukul mengumpamakan para buruh seperti “lumut yang hidup di tembok-tembok bangunan, berkembang di pinggir-pinggir selokan, di musim kemarau kering diterjang banjir”. Apa yang digambarkan Thukul dalam puisi Lumut mengenai keadaan buruh yang tinggal di pinggir- pinggir selokan dan “akrab” dengan banjir ini sangat mungkin dipengaruhi oleh kenyataan hidup Thukul yang tinggal di sebuah daerah di Solo yang memang sering banjir. Bahkan Thukul bersama istrinya, Sipon pernah mendirikan sebuah sanggar kesenian yang bernama Sanggar Suka Banjir. Nama itu dipilih oleh Thukul dan Sipon karena daerah tempat sanggar itu berada memang sering terjadi banjir. 179 Potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang tinggal di rumah kontrakan yang sempit ternyata juga masih dialami oleh buruh Indonesia pada sekarang ini. Hal ini terlihat pada hasil penelitian tentang pendidikan dan kesadaran hak-hak buruh yang dilakukan oleh Women Research Institute terhadap seorang buruh perempuan bernama Ika. Ika yang merupakan seorang buruh yang bekerja di Kawasan Berikat Nusantara Cakung itu mendeskripsikan kamar kos tempat ia tinggal. “Ika bertempat tinggal di sebuah kamar di lantai dua seluas 2 x 3 meter persegi, berdinding kayu tripleks dan berlantai keramik. Kamar mandi terletak di lantai satu. Luasnya sekitar 1 x 1 meter persegi dengan lantai 179 Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h.109

Dokumen yang terkait

MAKNA KRITIK SOSIAL PADA PUISI KARYA WIJI THUKUL ( Analisis Semiotika Puisi Wiji Thukul pada Buku Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput )

14 78 22

Fenomena Sosial dalam Puisi "Pesan Uang" dan "Bercukur Sebelum Tidur" Karya Joko Pinurbo dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

7 35 123

Potret buruh Indonesia pada masa orde baru dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah

2 61 0

Potret Sejarah Revolusi Indonesia dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

6 81 167

NILAI-NILAI EDUKASI DALAM NOVEL AKAR KARYA DEWI LESTARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai-Nilai Edukasi Dalam Novel Akar Karya Dewi Lestari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA.

0 3 12

NILAI-NILAI EDUKASI DALAM NOVEL AKAR KARYA DEWI LESTARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai-Nilai Edukasi Dalam Novel Akar Karya Dewi Lestari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA.

0 2 11

KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN PUISI LALU AKU KARYA RADHAR PANCA DAHANA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Kritik Sosial Dalam Kumpulan Puisi Lalu Aku Karya Radhar Panca Dahana: Tinjauan Sosiologi Sastra.

0 1 12

KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN PUISI LALU AKU KARYA RADHAR PANCA DAHANA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Kritik Sosial Dalam Kumpulan Puisi Lalu Aku Karya Radhar Panca Dahana: Tinjauan Sosiologi Sastra.

2 10 13

SAJAK NYANYIAN ANGSA KARYA WS. RENDRA AN

0 2 19

Aspek-aspek Stilistika dan Nilai Pendidikan Karakter pada Buku Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul serta Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas - UNS Institutional Repository

0 0 17