Buruh dan Situasi Politik Zaman Orde Baru
tukang becak orang kampung
yang berjasa dalam setiap pemilu terbaring
dan keadilan masih hanya janji di sini kubaca kembali
sejarah kita belum berubah” “Kuburan Purwoloyo”
Pada kutipan puisi tersebut, Wiji Thukul menampilkan sebuah potret buruh, tukang becak, dan orang kampung yang kerap dilupakan jasa-jasanya seusai
pemilu. Setelah berhasil mendapatkan tampuk kekuasaan, pihak yang berambisi untuk mendapatkan tampuk kekuasaan itu mulai melupakan janji-janjinya yang
disampaikan kepada rakyat ketika kampanye pemilu. Keadilan masih sekadar janji. Hasil pemilu tidak mengubah kehidupan buruh dan rakyat kecil lainnya
yang tetap sulit. Kembali ke persoalan potensi buruh dalam hal ekonomi dan politik yang
sudah dijelaskan sebelumnya. Potensi buruh yang besar ini, rupanya, bukan hanya membuat para buruh kerap dimanfaatkan oleh partai politik, tetapi di sisi lain juga
ditakuti oleh kaum borjuis. Hal ini membuat seluruh mesin politik yang menunjang kepentingan kaum borjuis kerap melakukan tindakan represi terhadap
buruh, baik secara ideologis maupun fisik dengan berbagai cara, dengan tujuan untuk meredam kekuatan buruh yang bagi mereka dapat melemahkan posisi
mereka kaum borjuis dan mesin politik yang menunjang kepentingan mereka. Budiman Sudjatmiko lebih lanjut mengatakan bahwa di Indonesia, secara
ideologis represi ini sudah berlangsung selama kurang lebih 32 tahun pada era Orde Baru. Berbagai macam stigma dan tudingan politik di arahkan terhadap
buruh dan gerakan buruh. Semua tudingan politik, sebagai salah satu bentuk represi ideologis, dimaksudkan untuk melemahkan perjuangan kaum buruh.
Tudingan bahwa gerakan komunis akan berarti pembenaran bagi penindasan secara fisik terhadap buruh. Penindasan itu dapat berbentuk penangkapan
sewenang-wenang, penyiksaan, penculikan bahkan pembunuhan.
184
184
Ibid.
Potret berbagai tindakan represi terhadap buruh yang dilakukan oleh pihak perusahaan yang kerap bekerjasama dengan aparat dan dibiarkan oleh negara pada
masa Orde Baru itu beberapa kali ditampilkan oleh Wiji Thukul dalam puisi- puisinya seperti yang sudah peneliti jelaskan pada bagian sebelumnya. Buruh
dibungkam. Apabila ada buruh yang berani melakukan aksi protes, maka ia harus siap ditangkap dan dijebloskan penjara dalam puisi “Terus Terang Saja”.
Situasi politik pada masa Orde Baru memang penuh dengan cerita pembungkaman terhadap rakyat yang dilakukan oleh penguasa. Penguasa kala itu
dengan berbagai cara berusaha untuk mempertahankan kedudukannya. Dengan dalih menjaga stabilitas negara, penguasa membungkam siapa saja yang berani
mengritik atau memprotes pemerintah. Rakyat tidak diberi kesempatan untuk berpendapat. Potret zaman Orde Baru yang penuh dengan cerita pembungkaman
ini Thukul tampilkan dalam puisi “Terus Terang Saja”.
“... sekarang demokrasi sudah 100
bulat tanpa debat
tapi aku belum menjadi aku sejati karena aku dibungkam oleh demokrasi 100
yang tidak bisa salah” “Terus Terang Saja”
Wiji Thukul dalam kutipan puisi tersebut menggunakan istilah “demokrasi 100 yang tidak bisa salah” untuk menggambarkan situasi politik pada zaman Orde
Baru. Penguasa kala itu memang sering menggembor-gemborkan pelaksanaan demokrasi dengan jargon “Demokrasi Pancasila-nya”. Akan tetapi, dalam
kenyataannya justru penguasalah yang mematikan demokrasi. Kebebasan berpendapat dan berserikat merupan hal yang sangat mahal kala itu.
Potret zaman Orde Baru yang di dalamnya kebebasan berpendapat dan berserikat menjadi hal yang sangat mahal itu Thukul tampilkan dalam puisi
“Harimau”. “...
orang yang berbicara tertawa
berpendapat
dan berserikat harus mencantumkan azasnya
kalau nekat tembak ditempat”
“Harimau” Seperti yang Thukul gambarkan dalam puisi tersebut, pada masa Orde
Baru kebebasan berpendapat dan berserikat merupakan hal yang sangat mahal. Penguasa tidak membiarkan satu pihak pun bisa mengganggu kursi kekuasaannya.
Maka dari itulah mereka berusaha membungkan kebebasan berpendapat dan berserikat rakyat. Mereka khawatir jika rakyat diberi kesempatan untuk
berpendapat dan berserikat maka rakyat yang semakin kuat dapat menggoyang kursi kekuasaan mereka. Pembungkaman kebebasan berpendapat dan berserikat
ini juga dialami oleh buruh. Buruh pada masa Orde Baru tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat, apalagi protes. Jika ada buruh yang berani
melakukan aksi protes, maka ia harus siap ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Untuk membungkam buruh, pihak perusahaan yang dibantu oleh aparat
melakukan berbagai tindakan represif terhadap buruh dan hal ini dibiarkan oleh negara. Wiji Thukul memotret keadaan tersebut dalam puisinya yang berjudul
“Terus Terang Saja”. “...
apakah aku ini si bagero yang sudah merdeka ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-henti diperkosa
perusahaan multinasional yang menuntut kenaikan upah
ditangkap dan dijebloskan
ke dalam penjara?” “Terus Terang Saja”
Potret buruh yang ditampilkan oleh Wiji Thukul dalam kutipan puisi tersebut selain menggambarkan tindakan represif yang dilakukan terhadap buruh
juga menggambarkan betapa buruh tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat. Buruh yang menuntut kenaik
an upah−yang sebenarnya merupakan hal yang wajar apabila melihat betapa beratnya beban pekerjaan yang mereka
tanggung ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Hal ini menunjukkan tidak adanya kebebasan berpendapat bagi buruh.
Disamping kebebasan berpendapat, buruh juga tidak diberi kebebasan dalam hal berserikat. Agaknya, penguasa kala itu khawatir apabila para buruh
berserikat maka kekuatan buruh yang semakin kuat dapat mengganggu kekuasaan pihak penguasa. Untuk meredam aktivitas buruh dalam berserikat, penguasa
membentuk Serikat Pekerja Seluruh Indonesia SPSI. Akan tetapi, serikat pekerja yang merupakan satu-satunya organisasi pekerja yang diakui dibentuk oleh
pemerintah ini tampak lebih bernuansa politik. Kehadirannya hanya untuk “menjaga keamanan” kebijakan pemerintah mengenai ketenagakerjaan dan
industri dalam konteks kebijakan ekonomi makro yang menekankan pertumbuhan ekonomi. Kiprahnya selama ini tidak memperlihatkan adanya upaya untuk
memperjuangkan kepentingan substansial kaum pekerja sehingga keberadaannya tidak banyak memberikan harapan cerah bagi masa depan kehidupan kaum
pekerja.
185
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia yang ternyata tidak memperlihatkan keberpihakkannya kepada kaum buruh, membuat buruh menjadi apatis terhadap
serikat pekerja ini. Bahkan, dalam sebuah puisinya, Wiji Thukul menampilkan potret buruh yang dengan tegas menyatakan bahwa masa depan mereka buruh
bukan ada di mulut politikus, bukan di meja SPSI. “...
hari depan buruh di tangan kami sendiri bukan di mulut politikus
bukan
di meja SPSI” “Bukan di Mulut Politikus, Bukan di Meja SPSI”
Tekad buruh yang dengan tegas menyatakan bahwa masa depan mereka ada di tangan mereka sendiri menunjukkan bahwa di situasi zaman Orde Baru
yang senantiasa menyudutkan mereka, mereka tetap berusaha memperjuangkan diri mereka. Potret dalam kutipan puisi “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja
SPSI ” menunjukkan bahwa buruh sudah tidak peduli lagi atau bahkan apatis
185
Eggi Sudjana, op.cit., h. 11
terhadap SPSI sebagai satu-satunya serikat pekerja yang dibentuk dan diakui oleh pemerintah kala itu.
Buruh dengan segala potensinya memiliki peranan yang penting dalam jalannya perpolitikan sebuah negara. Potensi inilah yang kerap dimanfaatkan oleh
pihak-pihak yang berambisi untuk meraih tampuk kekuasaan. Akan tetapi, setelah mereka berhasil berkuasa, maka buruh kembali dilupakan. Di sisi lain, potensi
buruh ini juga ditakuti oleh kaum borjuis. Kaum berjuis yang cenderung dekat dengan penguasa dan dibantu oleh militer kerap melakukan tindakan represif
untuk meredam kekuatan buruh. Hal itu dilakukan sebab mereka takut akan kekuatan dan potensi buruh.
Sementara itu, pihak penguasa yang menyadari akan potensi dan kekuatan buruh mematikan kebebasan berpendapat dan berserikat buruh. Rupanya, mereka
khawatir apabila buruh diberi kebebasan berpendapat dan berserikat maka buruh yang semakin kuat dapat mengganggu tampuk kekuasaan pihak penguasa. Akan
tetapi, tampaknya berbagai tindakan represif dan pembungkaman kebebasan buruh dalam berpendapat serta berserikat tidak menyurutkan tekad buruh untuk
memperjuangkan diri mereka secara mandiri.