Biografi Wiji Thukul WIJI THUKUL: PENYAIR DAN AKTIVIS
tidak sepakat jika Thukul membawa seni puisi ke ranah politik praktis, sementara, Thukul berpandangan sebaliknya.
131
Sejak itu, Thukul tidak lagi aktif di Jagat. Pada 1987, setelah menikah dengan Sipon, ia menumpang di rumah Halim. Thukul beserta dengan Sipon dan
Halim kemudian membentuk Sanggar Suka Banjir di halaman belakang rumah mereka. Nama itu diambil dari lingkungan mereka yang memang sering banjir.
132
Di Sanggar Suka Banjir, Thukul mulai menulis esai dan artikel pendek yang bertemakan teantang kesenian dan lingkungan. Di sanggar itu pula Thukul
mengajari anak-anak kampung melukis, menulis puisi, berteater, dan bernyanyi. Sanggar pun mulai ramai dijadikan tempat berkumpul remaja di sekitarnya dan
mulai sejak itulah kegiatan yang dilakukan di sanggar mulai sering diawasi oleh aparat.
133
Pada tahun 1994, Wiji Thukul bersama sahabat-sahabat senimannya yang sering berdiskusi mengenai permasalahan sosial yang tengah terjadi di sekitar
mereka, yaitu Semsar Siahaan dan Moelyono sepakat mendirikan sebuah organisasi jaringan kesenian bernama Jaker Jaringan Kesenian Rakyat.
Organisasi kesenian ini dibentuk bertujuan untuk membuat jaringan antar seniman guna menggalang kekuatan dan solidaritas sesama seniman untuk membendung
tindakan represif pemerintah.
134
Menurut Moelyono, Jaker terilhami oleh Lekra. Dari Lekra, mereka juga mempelajari gagasan seni untuk rakyat dan konsep turun ke bawah. Namun
mereka tak menelan mentah-mentah gagasan tersebut, menurut Moelyono, Jaker juga terinspirasi
Asian Council for People’s Culture.
135
Jaker tidak hanya beranggotakan seniman saja, di dalamnya terdapat Hilmar, Daniel, Yuli, Jati, dan Linda Christanty. Mereka adalah anggota inti
131
Ibid., h. 109.
132
Ibid., h. 109.
133
Ibid., h. 110.
134
Ibid., h. 112-113.
135
Tim Liputan Edisi Khusus Lekra Majalah Tempo, “Lekra dan Geger 1965” Edisi 30
September-6 Oktober 2013, h. 115.
Persatuan Rakyat Demokratik yang kemudian hari menjadi Partai Rakyat Demokratik.
136
Semsar, Moelyono, dan Hilmar bukan anggota PRD, sedangkan Thukul berada di posisi tarik ulur itu. Semsar, Moelyono, dan Hilmar sepakat, bahwa
Jaker tidak bergerak di bidang politik. Hal ini kemudian menjadi sebuah permasalahan, sebab Thukul justru berharap Jaker bisa berafiliasi ke dalam PRD
Partai Rakyat Demokratik. Kala itu, aktivis PRD memang berupaya menarik Jaker menjadi organ partai untuk menarik massa.
137
Puncaknya pada kongres pembentukan PRD, April 1996, di Yogyakarta. Secara sepihak Thukul dan PRD memasukkan Jaker, yang diketuai Thukul, secara
organisasi dan politik bergabung di bawah PRD. Semsar, Moelyono dan Hilmar pun memutuskan tak terlibat lagi dalam kegiatan Jaker karena tak setuju Jaker
bergabung dengan PRD. Di PRD, akronim Jaker tetap digunakan, tetapi berubah menjadi Jaringan Kebudayaan Rakyat dan Thukul menjadi koordinatornya.
138
Berkecimpungnya Thukul di dunia politik praktis sangat disayangkan oleh Lawu Warta, gurunya semasa di Teater Jagat. Bahkan, Lawu Warta sudah
menasihati Thukul tentang risiko yang mesti dihadapinya jika ia terlibat dalam politik praktis. Akan tetapi, pendirian Thukul tak bisa diubah, menurutnya, politik
adalah alat yang paling cepat untuk mengubah keadaan.
139
Jaker sendiri di bawah PRD sebagaimana yang dikatakan Linda Christanty, berfungsi untuk menjadikan para seniman pengorganisasi rakyat
secara tak resmi menjadi underbow PRD.
140
Selain itu, Jaker Jaringan Kerja Kesenian Rakyat dibentuk oleh PRD atas kesadaran, bahwa perjuangan budaya
menjadi penting karena selama puluhan tahun rakyat dibisukan dan didominasi budaya feodalisme dan ketakutan terhadap negara. Jaker dijadikan sebagai alat
untuk melakukan pembebasan mental itu.
141
136
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h. 115.
137
Ibid., h. 116.
138
Ibid.
139
Ibid., h. 116-117.
140
Ibid., h. 115.
141
Miftahudin, Radikalisasi Pemuda PRD Melawan Tirani, Jakarta: Desantara Utama, 2004, h. 79.
Pada saat deklarasi berdirinya PRD di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jalan Diponegoro, Jakarta, 22 Juli 1996, Thukul tampil ke
panggung membacakan puisinya. Pembacaan puisi itu menjadi penampilan terakhirnya di depan publik. Sepekan kemudian Thukul menjadi buron hingga
kemudian hilang sejak 1998 sampai sekarang.
142
Pada 27 Juli 1996 terjadi kerusuhan di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia. Kerusuhan terjadi manakala Soerjadi dengan
dukungan tentara menyerbu kantor di Jalan Diponegoro, Jakarta, itu. Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia, melaporkan lima orang tewas, 149 luka-luka, dan 28 orang hilang dalam peristiwa tersebut.
143
Sejak peristiwa kerusuhan itu, PRD yang dipimpin oleh Budiman Sudjatmiko itu dituduh sebagai dalang kerusuhan tersebut. Banyak pengurus dan
anggotanya ditangkapi aparat. Sebagian lagi buron, termasuk Wiji Thukul.
144
Sejak itu, Thukul meninggalkan Solo dan berpindah-pindah kota. Ia diburu oleh pemerintah. Meskipun begitu, di tempat-tempat yang ia singgahi, ia tetap
melakukan aktivitas politik, mengorganisir pemogokan buruh di Tangerang, dan terlibat dalam beberapa aksi di Jakarta. Semua itu Thukul lakukan secara
sembunyi-sembunyi.
145
Pasca peristiwa 27 Juli 1996, kontak Thukul dengan keluarga dan sahabat- sahabatnya memang menjadi tidak teratur. Sipon, istri Thukul mengaku sempat
bertemu dengan Thukul pada Desember 1997, lalu kembali menghilang. Awal Februari 1998, Thukul hanya bisa didengar oleh Sipon melalui telepon. Pada
bulan April tahun 2000, Sipon kemudian melaporkan suaminya yang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasaan Kontras.
146
Ketika masa menjelang Orde Baru berakhir, Thukul memang dianggap oleh penguasa sebagai musuh. Waktu itu Thukul dengan puisi-puisinya dianggap
142
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h. 117.
143
Ibid., h.2-3.
144
Anonim, op. cit., h. 10.
145
LHS, “Wiji Thukul Benih yang Terus Tumbuh”, Majalah Pembebasan Nomor 18VJuli2000, h.10.
146
Ardus M. Sawega dan Maria Hartiningsih, “Sipon” Harian Kompas Tahun 38 Nomor 179, Minggu, 29 Desember 2002, h.4.
melakukan tindakan subversif, sedang Jaker yang dipimpinnya, merupakan bagian dari PRD yang dianggap sebagai turunan dari PKI.
147
Kala itu, Thukul memang aktif dalam penggalangan buruh untuk melakukan protes untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Salah satu
penggalangan buruh yang dilakukan oleh Thukul adalah aksi mogok kerja yang dilakukan oleh belasan ribu buruh PT. Sri Rezeki Isman Textile Sritex, di Desa
Jetis, Kabupaten Sukoharjo. Hari itu Senin, 11 Desember 1995. Belasan ribu buruh melakukan mogok
kerja untuk menuntut kenaikan upah pekerja yang jauh di bawah upah minimal provinsi, sedang di samping itu seringkali buruh mengalami lembur berlebih,
keguguran, dan sakit saluran pernapasan akibat serat tekstil.
148
Dalam aksi mogok kerja tersebut, terdapat juga Wiji Thukul serta beberapa aktivis PRD. Aparat yang berada di dekat gerbang pabrik kemudian
secara tiba-tiba menyerang mereka. Kekisruhan terjadi, buruh yang panik berlarian, sementara beberapa aktivis yang tertangkap, termasuk Wiji Thukul
ditangkap lalu digebuk.
149
Ketika ditangkap dan digebuk, Thukul banyak mendapatkan tindak kekerasan dari aparat dipukuli, ditendang dengan sepatu bot, dibenturkan
kepalanya ke kap mobil aparat. Hal itu membuat Thukul mendapatkan cedera di beberapa bagian tubuhnya. Di antaranya cedera pada matanya yang harus
dioperasi.
150
Segala ancaman dan tindak kekerasan yang didapatkannya rupanya tidak mampu membuat Thukul menghentikan perjuangannya. Ia terus melakukan protes
lewat puisi dan aksinya. Bahkan, ketika masa pelariannya saat dikejar-kejar oleh aparat kopassus, ia tetap menulis puisi−yang pada tahun 2013 puisi-puisi pada
masa pelarian itu dijadikan kumpulan puisi oleh Majalah Tempo berjudul Para Jendral Marah-marah sebagai bonus majalah edisi bulan Mei
147
Berthus Mandey dan Adrian Prasetya S., “Istri Para Aktivis yang Tetap Tegar: Jangan Tanyakan Teror”, Harian Suara Pembaruan Tahun XVII Nomor 6263, Minggu, 12 Desember
2004, h. 1.
148
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit, h.118-119.
149
Ibid., h. 120.
150
Ibid., h.119.
Dalam masa pelariannya, Thukul berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Tercatat ia pernah bersembunyi di Yogyakarta, Magelang, Salatiga, Bogor,
Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bengkulu hingga Pontianak. Thukul dalam pelariannya itu banyak dibantu oleh teman-temannya sesama aktivis seperti Arief
Budiman, Indriani, Martin Siregar, Alexander Irwan, dan adiknya, Wahyu Susilo.
151
Selama pelariannya itu, Thukul juga melakukan berbagai penyamaran. Di antaranya ketika di Kalimantan, ia pernah menyamar sebagai seorang penjual
bakso bernama Paulus, seorang rohaniawan bernama Aloysius Sumedi dan Martinus Martin.
152
Pada 18 Januari 1998, terjadi peristiwa bom meletup di unit 510 Rumah Susun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Kontrakan tersebut ditempati beberapa aktivis
PRD. Polisi dan militer menuduh PRD menyiapkan bom untuk mengacaukan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Maret tahun itu.
153
Sementara, selepas peristiwa bom di Tanah Tinggi itu, nasib Wiji Thukul menjadi simpang-siur. Hanya Sipon, Wahyu, dan Lawu Warta yang mengaku
pernah dihubungi Thukul lewat telepon setelah peristiwa itu. Margiyono, teman Thukul yang merupakan aktivis PRD percaya bahwa Thukul sudah lenyap setelah
peristiwa itu.
154
Thukul sendiri dilaporkan hilang oleh istrinya, Sipon, pada April tahun 2000, Sipon melaporkan suaminya yang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang
dan Korban Tindak Kekerasaan. Wiji Thukul akhirnya dinyatakan telah hilang bersama dengan tiga belas aktivis lainnya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasaan Kontras dalam siaran pers no: 7SP-KONTRASII2000 menyampaikan, bahwa hilangnya
Thukul tidak terlepas dari aktivitas-aktivitas politik yang dilakukannya pada saat yang bertepatan dengan peningkatan operasi represif yang dilakukan rezim Orde
Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan dengan Orde
151
Ibid., h.142.
152
Ibid.
153
Ibid., h.57.
154
Ibid., h.60.
Baru. Lebih lanjut, Kontras menegaskan, bahwa pemerintah adalah pihak yang paling bertanggungjawab untuk mengungkapkan motif hilangnya Wiji Thukul.
155
Berbagai usaha pencarian untuk mencari Thukul dan aktivis lainnya sebenarnya sudah dilakukan yang di antaranya dilakukan oleh Tim Kontras,
namun belum menemukan hasil. Berbagai kegiatan yang berkaitan dengan hilangnya Thukul pun sudah dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Forum Sastra
Surakarta FSS pada Juni tahun 2000 guna mengkampanyekan proses klarifikasi atas hilangnya Thukul melalui kegiatan bertajuk Thukul, Pulanglah. Melalui acara
tersebut, FSS juga berharap agar masyarakat mengingat, bahwa masih banyak kasus pelanggaran HAM, seperti yang dialami oleh Thukul, yang belum
rampung.
156
Banyak kerabat Thukul yang yakin, bahwa Thukul sudah dilenyapkan oleh rezim Orde Baru. Akhirnya keberadaan Thukul terus menjadi misteri yang tak
terungkapkan. Usaha pemerintah untuk mengungkap kasus yang melibatkan Thukul sebagai korban itu pun tak urung juga dilakukan. Thukul hilang
meninggalkan istrinya, Sipon, yang dinikahinya pada 23 Oktober 1988 dan dua orang anak, yakni Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Barangkali jasad Thukul
sudah hilang, tetapi karya dan semangat perjuangan Thukul masih terus hidup hingga saat ini.