Biografi Wiji Thukul WIJI THUKUL: PENYAIR DAN AKTIVIS

tidak sepakat jika Thukul membawa seni puisi ke ranah politik praktis, sementara, Thukul berpandangan sebaliknya. 131 Sejak itu, Thukul tidak lagi aktif di Jagat. Pada 1987, setelah menikah dengan Sipon, ia menumpang di rumah Halim. Thukul beserta dengan Sipon dan Halim kemudian membentuk Sanggar Suka Banjir di halaman belakang rumah mereka. Nama itu diambil dari lingkungan mereka yang memang sering banjir. 132 Di Sanggar Suka Banjir, Thukul mulai menulis esai dan artikel pendek yang bertemakan teantang kesenian dan lingkungan. Di sanggar itu pula Thukul mengajari anak-anak kampung melukis, menulis puisi, berteater, dan bernyanyi. Sanggar pun mulai ramai dijadikan tempat berkumpul remaja di sekitarnya dan mulai sejak itulah kegiatan yang dilakukan di sanggar mulai sering diawasi oleh aparat. 133 Pada tahun 1994, Wiji Thukul bersama sahabat-sahabat senimannya yang sering berdiskusi mengenai permasalahan sosial yang tengah terjadi di sekitar mereka, yaitu Semsar Siahaan dan Moelyono sepakat mendirikan sebuah organisasi jaringan kesenian bernama Jaker Jaringan Kesenian Rakyat. Organisasi kesenian ini dibentuk bertujuan untuk membuat jaringan antar seniman guna menggalang kekuatan dan solidaritas sesama seniman untuk membendung tindakan represif pemerintah. 134 Menurut Moelyono, Jaker terilhami oleh Lekra. Dari Lekra, mereka juga mempelajari gagasan seni untuk rakyat dan konsep turun ke bawah. Namun mereka tak menelan mentah-mentah gagasan tersebut, menurut Moelyono, Jaker juga terinspirasi Asian Council for People’s Culture. 135 Jaker tidak hanya beranggotakan seniman saja, di dalamnya terdapat Hilmar, Daniel, Yuli, Jati, dan Linda Christanty. Mereka adalah anggota inti 131 Ibid., h. 109. 132 Ibid., h. 109. 133 Ibid., h. 110. 134 Ibid., h. 112-113. 135 Tim Liputan Edisi Khusus Lekra Majalah Tempo, “Lekra dan Geger 1965” Edisi 30 September-6 Oktober 2013, h. 115. Persatuan Rakyat Demokratik yang kemudian hari menjadi Partai Rakyat Demokratik. 136 Semsar, Moelyono, dan Hilmar bukan anggota PRD, sedangkan Thukul berada di posisi tarik ulur itu. Semsar, Moelyono, dan Hilmar sepakat, bahwa Jaker tidak bergerak di bidang politik. Hal ini kemudian menjadi sebuah permasalahan, sebab Thukul justru berharap Jaker bisa berafiliasi ke dalam PRD Partai Rakyat Demokratik. Kala itu, aktivis PRD memang berupaya menarik Jaker menjadi organ partai untuk menarik massa. 137 Puncaknya pada kongres pembentukan PRD, April 1996, di Yogyakarta. Secara sepihak Thukul dan PRD memasukkan Jaker, yang diketuai Thukul, secara organisasi dan politik bergabung di bawah PRD. Semsar, Moelyono dan Hilmar pun memutuskan tak terlibat lagi dalam kegiatan Jaker karena tak setuju Jaker bergabung dengan PRD. Di PRD, akronim Jaker tetap digunakan, tetapi berubah menjadi Jaringan Kebudayaan Rakyat dan Thukul menjadi koordinatornya. 138 Berkecimpungnya Thukul di dunia politik praktis sangat disayangkan oleh Lawu Warta, gurunya semasa di Teater Jagat. Bahkan, Lawu Warta sudah menasihati Thukul tentang risiko yang mesti dihadapinya jika ia terlibat dalam politik praktis. Akan tetapi, pendirian Thukul tak bisa diubah, menurutnya, politik adalah alat yang paling cepat untuk mengubah keadaan. 139 Jaker sendiri di bawah PRD sebagaimana yang dikatakan Linda Christanty, berfungsi untuk menjadikan para seniman pengorganisasi rakyat secara tak resmi menjadi underbow PRD. 140 Selain itu, Jaker Jaringan Kerja Kesenian Rakyat dibentuk oleh PRD atas kesadaran, bahwa perjuangan budaya menjadi penting karena selama puluhan tahun rakyat dibisukan dan didominasi budaya feodalisme dan ketakutan terhadap negara. Jaker dijadikan sebagai alat untuk melakukan pembebasan mental itu. 141 136 Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h. 115. 137 Ibid., h. 116. 138 Ibid. 139 Ibid., h. 116-117. 140 Ibid., h. 115. 141 Miftahudin, Radikalisasi Pemuda PRD Melawan Tirani, Jakarta: Desantara Utama, 2004, h. 79. Pada saat deklarasi berdirinya PRD di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jalan Diponegoro, Jakarta, 22 Juli 1996, Thukul tampil ke panggung membacakan puisinya. Pembacaan puisi itu menjadi penampilan terakhirnya di depan publik. Sepekan kemudian Thukul menjadi buron hingga kemudian hilang sejak 1998 sampai sekarang. 142 Pada 27 Juli 1996 terjadi kerusuhan di Kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia. Kerusuhan terjadi manakala Soerjadi dengan dukungan tentara menyerbu kantor di Jalan Diponegoro, Jakarta, itu. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, melaporkan lima orang tewas, 149 luka-luka, dan 28 orang hilang dalam peristiwa tersebut. 143 Sejak peristiwa kerusuhan itu, PRD yang dipimpin oleh Budiman Sudjatmiko itu dituduh sebagai dalang kerusuhan tersebut. Banyak pengurus dan anggotanya ditangkapi aparat. Sebagian lagi buron, termasuk Wiji Thukul. 144 Sejak itu, Thukul meninggalkan Solo dan berpindah-pindah kota. Ia diburu oleh pemerintah. Meskipun begitu, di tempat-tempat yang ia singgahi, ia tetap melakukan aktivitas politik, mengorganisir pemogokan buruh di Tangerang, dan terlibat dalam beberapa aksi di Jakarta. Semua itu Thukul lakukan secara sembunyi-sembunyi. 145 Pasca peristiwa 27 Juli 1996, kontak Thukul dengan keluarga dan sahabat- sahabatnya memang menjadi tidak teratur. Sipon, istri Thukul mengaku sempat bertemu dengan Thukul pada Desember 1997, lalu kembali menghilang. Awal Februari 1998, Thukul hanya bisa didengar oleh Sipon melalui telepon. Pada bulan April tahun 2000, Sipon kemudian melaporkan suaminya yang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasaan Kontras. 146 Ketika masa menjelang Orde Baru berakhir, Thukul memang dianggap oleh penguasa sebagai musuh. Waktu itu Thukul dengan puisi-puisinya dianggap 142 Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h. 117. 143 Ibid., h.2-3. 144 Anonim, op. cit., h. 10. 145 LHS, “Wiji Thukul Benih yang Terus Tumbuh”, Majalah Pembebasan Nomor 18VJuli2000, h.10. 146 Ardus M. Sawega dan Maria Hartiningsih, “Sipon” Harian Kompas Tahun 38 Nomor 179, Minggu, 29 Desember 2002, h.4. melakukan tindakan subversif, sedang Jaker yang dipimpinnya, merupakan bagian dari PRD yang dianggap sebagai turunan dari PKI. 147 Kala itu, Thukul memang aktif dalam penggalangan buruh untuk melakukan protes untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Salah satu penggalangan buruh yang dilakukan oleh Thukul adalah aksi mogok kerja yang dilakukan oleh belasan ribu buruh PT. Sri Rezeki Isman Textile Sritex, di Desa Jetis, Kabupaten Sukoharjo. Hari itu Senin, 11 Desember 1995. Belasan ribu buruh melakukan mogok kerja untuk menuntut kenaikan upah pekerja yang jauh di bawah upah minimal provinsi, sedang di samping itu seringkali buruh mengalami lembur berlebih, keguguran, dan sakit saluran pernapasan akibat serat tekstil. 148 Dalam aksi mogok kerja tersebut, terdapat juga Wiji Thukul serta beberapa aktivis PRD. Aparat yang berada di dekat gerbang pabrik kemudian secara tiba-tiba menyerang mereka. Kekisruhan terjadi, buruh yang panik berlarian, sementara beberapa aktivis yang tertangkap, termasuk Wiji Thukul ditangkap lalu digebuk. 149 Ketika ditangkap dan digebuk, Thukul banyak mendapatkan tindak kekerasan dari aparat dipukuli, ditendang dengan sepatu bot, dibenturkan kepalanya ke kap mobil aparat. Hal itu membuat Thukul mendapatkan cedera di beberapa bagian tubuhnya. Di antaranya cedera pada matanya yang harus dioperasi. 150 Segala ancaman dan tindak kekerasan yang didapatkannya rupanya tidak mampu membuat Thukul menghentikan perjuangannya. Ia terus melakukan protes lewat puisi dan aksinya. Bahkan, ketika masa pelariannya saat dikejar-kejar oleh aparat kopassus, ia tetap menulis puisi−yang pada tahun 2013 puisi-puisi pada masa pelarian itu dijadikan kumpulan puisi oleh Majalah Tempo berjudul Para Jendral Marah-marah sebagai bonus majalah edisi bulan Mei 147 Berthus Mandey dan Adrian Prasetya S., “Istri Para Aktivis yang Tetap Tegar: Jangan Tanyakan Teror”, Harian Suara Pembaruan Tahun XVII Nomor 6263, Minggu, 12 Desember 2004, h. 1. 148 Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit, h.118-119. 149 Ibid., h. 120. 150 Ibid., h.119. Dalam masa pelariannya, Thukul berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Tercatat ia pernah bersembunyi di Yogyakarta, Magelang, Salatiga, Bogor, Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bengkulu hingga Pontianak. Thukul dalam pelariannya itu banyak dibantu oleh teman-temannya sesama aktivis seperti Arief Budiman, Indriani, Martin Siregar, Alexander Irwan, dan adiknya, Wahyu Susilo. 151 Selama pelariannya itu, Thukul juga melakukan berbagai penyamaran. Di antaranya ketika di Kalimantan, ia pernah menyamar sebagai seorang penjual bakso bernama Paulus, seorang rohaniawan bernama Aloysius Sumedi dan Martinus Martin. 152 Pada 18 Januari 1998, terjadi peristiwa bom meletup di unit 510 Rumah Susun Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Kontrakan tersebut ditempati beberapa aktivis PRD. Polisi dan militer menuduh PRD menyiapkan bom untuk mengacaukan Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat pada Maret tahun itu. 153 Sementara, selepas peristiwa bom di Tanah Tinggi itu, nasib Wiji Thukul menjadi simpang-siur. Hanya Sipon, Wahyu, dan Lawu Warta yang mengaku pernah dihubungi Thukul lewat telepon setelah peristiwa itu. Margiyono, teman Thukul yang merupakan aktivis PRD percaya bahwa Thukul sudah lenyap setelah peristiwa itu. 154 Thukul sendiri dilaporkan hilang oleh istrinya, Sipon, pada April tahun 2000, Sipon melaporkan suaminya yang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasaan. Wiji Thukul akhirnya dinyatakan telah hilang bersama dengan tiga belas aktivis lainnya. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasaan Kontras dalam siaran pers no: 7SP-KONTRASII2000 menyampaikan, bahwa hilangnya Thukul tidak terlepas dari aktivitas-aktivitas politik yang dilakukannya pada saat yang bertepatan dengan peningkatan operasi represif yang dilakukan rezim Orde Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan dengan Orde 151 Ibid., h.142. 152 Ibid. 153 Ibid., h.57. 154 Ibid., h.60. Baru. Lebih lanjut, Kontras menegaskan, bahwa pemerintah adalah pihak yang paling bertanggungjawab untuk mengungkapkan motif hilangnya Wiji Thukul. 155 Berbagai usaha pencarian untuk mencari Thukul dan aktivis lainnya sebenarnya sudah dilakukan yang di antaranya dilakukan oleh Tim Kontras, namun belum menemukan hasil. Berbagai kegiatan yang berkaitan dengan hilangnya Thukul pun sudah dilakukan, seperti yang dilakukan oleh Forum Sastra Surakarta FSS pada Juni tahun 2000 guna mengkampanyekan proses klarifikasi atas hilangnya Thukul melalui kegiatan bertajuk Thukul, Pulanglah. Melalui acara tersebut, FSS juga berharap agar masyarakat mengingat, bahwa masih banyak kasus pelanggaran HAM, seperti yang dialami oleh Thukul, yang belum rampung. 156 Banyak kerabat Thukul yang yakin, bahwa Thukul sudah dilenyapkan oleh rezim Orde Baru. Akhirnya keberadaan Thukul terus menjadi misteri yang tak terungkapkan. Usaha pemerintah untuk mengungkap kasus yang melibatkan Thukul sebagai korban itu pun tak urung juga dilakukan. Thukul hilang meninggalkan istrinya, Sipon, yang dinikahinya pada 23 Oktober 1988 dan dua orang anak, yakni Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Barangkali jasad Thukul sudah hilang, tetapi karya dan semangat perjuangan Thukul masih terus hidup hingga saat ini.

B. Pemikiran Wiji Thukul tentang Sastra

Karya sastra adalah anak kehidupan kreatif seorang penulis dan pengungkapan pribadi pengarang. 157 Dapat dikatakan, bahwa setiap karya sastra selalu mencerminkan diri pengarangnya, baik dalam hal pemikiran, pandangan, latar belakang budaya, suku, ideologi, maupun agamanya. Maka dari itu, menjadi suatu hal yang menarik selain karena memang sangat diperlukan untuk mengetahui pemikiran seorang pengarang tentang sastra sebelum mengkaji karya- karyanya. 155 Anonim, https:www.kontras.orgindex.php?hal=siaran_persid=148 . Diunduh pada Rabu, 13 Agustus 2014 pukul 21.25 156 EDS, “Wiji Thukul Masih Dicari”, Republika, Tahun VIII Nomor 131, Senin, 22 Mei 2000, h.20. 157 Wahyudi Siswanto, op. cit., h,68. Wiji Thukul berasal dari keluarga rakyat kecil yang hidupnya lekat dengan kemiskinan. Ia tumbuh di kampung Kalangan yang terletak di sisi timur kota Solo. Milieu kampung ini adalah pabrik-pabrik dengan segala buruhnya. Ayah Thukul seorang penarik becak, istrinya buruh menjahit, dan mertuanya pedagang barang rongsokan. Thukul sendiri pernah bekerja sebagai pelitur mebel. 158 Ketika tampil membaca puisi di Kedutaan Jerman di Jakarta pada tahun 1989, Thukul sendiri mengatakan, bahwa ia sangat terpengaruh oleh kehidupan lingkungannya itu, yaitu lapisan masyarakat bawah, sebuah kampung di kota Solo. Kehidupan mereka yang sangat ia kenal itulah yang membuatnya memutuskan untuk berbicara mengenai kelompok masyarakat tersebut dalam syair-syairnya. 159 Rupanya, pengalaman hidupnya yang lekat dengan kemiskinan dan pergaulannya yang dekat dengan “masyarakat lapisan bawah” seperti buruh itulah yang lambat-laun mengendap dalam dirinya dan kemudian dituangkan ke dalam karyanya. Terlebih saat Thukul menyaksikan sekaligus merasakan, bahwa sering terjadinya ketidakadilan dan tindak kesewenang-wenangan terhadap rakyat, terutama buruh, yang dilakukan oleh penguasa dan pemilik modal. Sastrawan yang baik selalu mampu mencerminkan kondisi sosial yang terjadi di zamannya. Thukul pun dalam proses perjalanan kreatifnya dihadapkan dengan zaman yang dibungkam oleh sebuah rezim bernama Orde Baru. Ia menyaksikan sekaligus merasakan bagaimana kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh rezim Orde Baru yang sarat dengan politik represi, mulai dari intimidasi, teror, penangkapan, penculikan, dan sebagainya. 160 Apa yang Thukul saksikan sekaligus rasakan inilah yang kemudian membentuk puisi-puisinya sebagai suara yang mewakili rakyat kecil. Maka lahirlah sejumlah potret eksploitasi buruh di pabrik, kekerasan militer, atau juga geliat pemuda yang menentang busuknya kapitalisme. 158 Ton, “Penyair Wiji Thukul, Pemotret Kemiskinan dan Kekejaman”, Jakarta: Warta Kota, Tahun II nomor 82, Minggu, 30 Juli 2000, h. 10. 159 KNI, “Penyair Wiji Thukul Mendapat Sambutan Hangat di Kedutaan Jerman”, Padang: Harian Haluan, Tahun 40, Nomor 307, Senin, 13 Nopember 1989, h.7. 160 LHS, “Wiji Thukul Benih yang Terus Tumbuh”, Majalah Pembebasan Nomor 18VJuli2000, h.10. “Sastra adalah salah satu alat perjuangan,” begitulah kata Wiji Thukul dalam sebuah wawancara di tabloid mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Jember, Ideas, edisi II tahun 1996. 161 Pernyataan Thukul ini menunjukkan sebuah pandangan, bahwa baginya, menulis adalah perjuangan. Puisi adalah “senjatanya” dalam berjuang melawan tindak kesewenang-wenangan penguasa, bahkan ia pun ikut “turun ke bawah” berjuang sebagai seorang aktivis yang memperjuangkan nasib buruh. Thukul paham akan makna kemiskinan dan penyebabnya, maka tampak seluruh energi estetiknya dikerahkan untuk menuliskan puisi perlawanan kepada mereka yang dianggap telah menyebabkan ketimpangan sosial. Misalnya ketika berbicara soal tukang becak yang jidatnya berlipat-lipat seperti sobekan luka, yang terdesak lahannya oleh bus kota. 162 Puisi-puisi Thukul menampakkan wajah protes yang meluap, pertanyaan- pertanyaan satire −yang menuju sebuah muara yang bagaimana pun dalam peristiwa politik dan kehidupan bernegara melulu rakyat kecil yang menjadi korban. 163 Secara nyata, Thukul telah menggunakan puisi sebagai “senjata” untuk memperjuangkan dirinya dan masyarakat kalangannya. Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, Wiji Thukul barangkali bukanlah penyair besar, sastrawan adiluhung, atau seniman nasional. Puisi-puisi karyanya tersusun dalam bahasa sederhana, kata-kata yang akrab di kehidupan sehari-hari, namun oleh sebab itulah puisi-puisi Thukul dapat mudah diterima oleh berbagai kalangan, termasuk “masyarakat lapisan bawah” seperti buruh dan petani. Dalam memandang karya sastra, sebagaimana tercermin dalam salah satu puisinya, ia tidak bersikap seperti para penyembah kesenian. Karya-karyanya bagai tidak membutuhkan legitimasi dari pusat-pusat dan rezim kebudayaan mana pun. Bagi Thukul, menulis adalah suatu keputusan dan ia percaya bahwa kata-kata mempunyai kekuatan. 164 161 Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit, h.117. 162 Ton, “Penyair Wiji Thukul, Pemotret Kemiskinan dan Kekejaman”, Jakarta: Warta Kota, Tahun II nomor 82, Minggu, 30 Juli 2000, h. 10. 163 Alex R. Nainggolan, “Puisi Thukul Bukan Sekadar Modal Dengkul”, Jakarta: Harian Sinar Harapan, Nomor 4777, Sabtu, 14 Agustus 2004, h.12. 164 Ton, op.cit., h. 10. Thukul sendiri pernah mengatakan, bahwa ia sebenarnya juga bisa menulis syair-syair yang bahasanya indah-indah, tetapi menurutnya rasanya tidak etis, sebab ia tidak ingin membuat apa yang ditulisnya tidak dipahami oleh keluarga dan tetangganya ketika membaca tulisannya. Maka, ia memilih menulis apa yang bisa dimengerti oleh keluarga dan tetangganya. 165 Secara lebih jelas dan tegas, Thukul menyampaikan pendapatnya mengenai sastra dan bagaimana seharusnya peran sastra dalam masyarakat melalui puisinya yang berjudul “Para Penyair adalah Pertapa Agung”. Melalui puisi itu, Thukul mengkritik penyair sastrawan yang sibuk berkarya, tetapi memisahkan diri dari kenyataan sosial yang berada di sekitarnya. Menurut Thukul, banyak penyair yang terlalu menyandarkan nasibnya pada nilai dan dewa-dewa sastra. Thukul mengkritik penyair yang terlalu mendewakan nilai sastra dalam berkarya, namun tidak peka terhadap realitas sosial yang terjadi di sekitarnya. Bahkan, dalam puisinya itu secara ironi Thukul menyindir, bahwa para penyair adalah pertapa paling agungbermenung di dalam candikelima indra dan telingan sukmanyacukup bagi Tuhan sajajangan mendengar jerit kehidupan. Melalui potongan puisi tersebut di atas, secara jelas dan tegas Thukul menyindir penyair yang hanya gemar bermenung di kesunyian, “bercengkrama” dengan Tuhannya, tetapi terpisah dari derita lingkungan. Bagi Thukul, menulis puisi adalah ibadah. Menulis puisi adalah doa dan pengalaman religi. 166 Layaknya ibadah, menulis puisi bukan hanya untuk menjalin hubungan dengan Tuhan saja, tetapi juga dengan sesama manusia, dan alam. Maka dari itu, Thukul mengkritik penyair yang seolah tuli akan jeritan kehidupan, memisahkan diri dari realita kehidupan. Pandangan Thukul mengenai bagaimana seharusnya sikap penyair dalam berkarya dapat juga dilihat dari kata pengantarnya yang terdapat di kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput. 165 KNI, “Penyair Wiji Thukul Mendapat Sambutan Hangat di Kedutaan Jerman”, Padang: Harian Haluan, Tahun 40, Nomor 307, Senin, 13 Nopember 1989, h.7. 166 Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h.104.

Dokumen yang terkait

MAKNA KRITIK SOSIAL PADA PUISI KARYA WIJI THUKUL ( Analisis Semiotika Puisi Wiji Thukul pada Buku Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput )

14 78 22

Fenomena Sosial dalam Puisi "Pesan Uang" dan "Bercukur Sebelum Tidur" Karya Joko Pinurbo dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

7 35 123

Potret buruh Indonesia pada masa orde baru dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah

2 61 0

Potret Sejarah Revolusi Indonesia dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

6 81 167

NILAI-NILAI EDUKASI DALAM NOVEL AKAR KARYA DEWI LESTARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai-Nilai Edukasi Dalam Novel Akar Karya Dewi Lestari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA.

0 3 12

NILAI-NILAI EDUKASI DALAM NOVEL AKAR KARYA DEWI LESTARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai-Nilai Edukasi Dalam Novel Akar Karya Dewi Lestari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA.

0 2 11

KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN PUISI LALU AKU KARYA RADHAR PANCA DAHANA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Kritik Sosial Dalam Kumpulan Puisi Lalu Aku Karya Radhar Panca Dahana: Tinjauan Sosiologi Sastra.

0 1 12

KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN PUISI LALU AKU KARYA RADHAR PANCA DAHANA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Kritik Sosial Dalam Kumpulan Puisi Lalu Aku Karya Radhar Panca Dahana: Tinjauan Sosiologi Sastra.

2 10 13

SAJAK NYANYIAN ANGSA KARYA WS. RENDRA AN

0 2 19

Aspek-aspek Stilistika dan Nilai Pendidikan Karakter pada Buku Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul serta Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas - UNS Institutional Repository

0 0 17