Soeharto dan Harmoko Ketua Umum Golkar pada saat itu.
182
Hal ini menandakan bahwa kedekatan pihak perusahaan dengan penguasa dan militer
menjadi salah satu faktor yang membuat tersudutnya posisi buruh Indonesia pada masa Orde Baru.
Meskipun berada dalam posisi yang tersudut dan terus dilakukan secara sewenang-wenang, hal itu tidak membuat buruh menyerah. Mereka terus
melakukan perlawanan, memperjuangkan hak mereka. Potret buruh yang tetap semangat dan bertekad untuk memperjuangkan hak dan nasib mereka meskipun
senantiasa dihadang oleh pihak perusahaan yang bekerjasama dengan aparat ini digambarkan Thukul dalam puisi
“Satu Mimpi Satu Barisan”. “...
di mana-mana ada eman di bandung, solo, jakarta, tangerang
tak bisa dibungkam kodim tak bisa dibungkam popor senapan
satu mimpi
satu barisan” “Satu Mimpi Satu Barisan”
Wiji Thukul melalui puisi tersebut menampilkan sebuah tekad para buruh untuk tetap bersatu memperjuangkan hak dan nasib mereka. Meskipun berkali-kali
dihadang oleh tindakan sewenang-wenang pihak perusahaan yang dibantu oleh aparat dan dibiarkan oleh negara, mereka tetap bertekad untuk memperjuangkan
diri mereka. Tekad para buruh itu begitu kuat dan seperti yang dikatakan oleh Thukul, “tidak bisa dibungkam kodim, tidak bisa dibungkam popor senapan”.
7. Buruh dan Situasi Politik Zaman Orde Baru
Buruh dan politik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling memengaruhi satu sama lain. Perkembangan politik suatu negara dari
waktu ke waktu senantiasa memengaruhi kehidupan buruh baik sebagai warga negara maupun sebagai pihak yang terlibat dalam industri. Di sisi lain, jumlah dan
potensi buruh yang besar juga dapat memengaruhi jalannya perpolitikan di suatu negara, bahkan terkadang buruh sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik itu
182
Miftahudin, op.cit., h.148
sendiri. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa apabila terjadi permasalahan dalam dunia perburuhan suatu negara, maka sudah barang tentu ada
pengaruh politik yang mendorong terjadinya permasalahan tersebut. Persoalan perburuhan di Indonesia pada masa Orde Baru bersifat
kompleks dan tidak hanya berasal dari hubungan industrial saja, tetapi juga berkaitan dengan politik perburuhan dan intervensi negara termasuk di dalamnya
militer. Mengenai permasalahan buruh Indonesia tersebut, Eggi Sudjana mengemukakan pendapatnya berikut ini.
Hal ini permasalahan buruh Indonesia berkaitan dengan politik pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas, dan
distribusi. Juga karena Hubungan Industrial Pancasila HIP yang memang membuka peluang intervensi negara. Konsekuensi lebih lanjut dari hal ini
adalah intervensi militer akibat politik stabilitas dan dominasi militer dalam negara kita untuk tidak menyebut fasis.
Akibat politik pembangunan, HIP, dan Dwi Fungsi ABRI, posisi dan kekuatan tawar buruh menjadi lemah bahkan dalam banyak hal menjadi
tak berdaya. Buruh mengalami dehumanisasi atau keterasingan, bekerja dalam bayang-bayang represi dan ketakutan, sehingga kesadaran kelasnya
menjadi tereduksi dalam kesadaran hamba yang harus patuh dan menerima upah fasilitas apa adanya.
Berbagai permasalahan buruh yang dipengaruhi oleh situasi politik ini tidak luput oleh pengamatan Wiji Thukul. Ia senantiasa memotret potret buruh
dalam situasi politik kala itu Orde Baru melalui puisi-puisinya. Misalnya, dalam puisi
“Teka-teki yang Ganjil”, Wiji Thukul menampilkan potret buruh Indonesia dalam situasi pemilihan umum yang kerap hanya dimanfaatkan oleh pihak yang
ingin meraih kekuasaan. “...
kami juga berbicara tentang kampanye pemilihan umum yang sudah berlalu
tiga partai politik yang ada kami simpulkan tak ada hubungannya sama sekali dengan kami: buruh
mereka hanya memanfaatkan suara kami demi kedudukan mereka
kami tertawa karena menyadari bertahun-tahun kami dikibuli
dan diperlakukan seperti kerbau” “Teka-teki yang Ganjil”
Dalam kutipan puisi tersebut, Wiji Thukul menggambarkan bahwa pada masa Orde Baru, buruh cenderung sekadar dimanfaatkan oleh tiga partai politik yang
ada kala itu. Partai politik memanfaatkan suara buruh dalam pemilihan umum untuk mendapatkan tampuk kekuasaan. Akan tetapi, apapun yang dilakukan oleh
partai politik tetap tidak mengubah keadaan buruh yang tersudutkan karena memang antara partai politik dan buruh tidak ada hubungannya. Partai politik
hanya memanfaatkan buruh demi kepentingan kelompoknya. Potret buruh yang kerap dimanfaatkan oleh partai politik ini di sisi lain
menggambarkan bahwa sebenarnya buruh mempunyai potensi dan pengaruh dalam dunia politik, dan partai politik menyadari akan hal itu. Berkaitan dengan
potensi buruh dalam dunia politik, Budiman Sudjatmiko aktivis yang merupakan mantan ketua Partai Rakyat Demokratik mengatakan bahwa dalam era
kapitalisme neo liberal, buruh memainkan faktor yang sangat penting bukan hanya sebab jumlah mereka yang banyak, tetapi juga dalam hal potensi ekonomi
dan politik mereka.
183
Seperti yang dikatakan oleh Budiman Sudjatmiko, buruh sebenarnya memiliki potensi bukan hanya dalam hal jumlah, tetapi juga potensi ekonomi dan
politik yang dapat memainkan peranan penting dalam proses berjalannya perpolitikan sebuah negara. Potensi buruh ini disadari betul oleh pihak-pihak yang
berambisi untuk mendapatkan kekuasaan sehingga pada saat-saat pemilihan umum, buruh seringkali didekati oleh pihak-pihak tersebut. Akan tetapi, setelah
pemilu usai, buruh ataupun rakyat kecil yang sebelumnya terus didekati oleh pihak-pihak yang ingin meraih kekuasaan itu justru dilupakan jasa-jasanya. Potret
ini Thukul tampilkan dalam puisi “Kuburan Purwoloyo”.
“... di tanah ini terkubur orang-orang yang
sepanjang hidupnya memburuh terisap dan menanggung utang
di sini gali-gali
183
Budiman Sudjatmiko, ”Arti Penting Buruh”, Jakarta: Majalah Pembebasan Nomor
18VJuli 2000, h. 2.
tukang becak orang kampung
yang berjasa dalam setiap pemilu terbaring
dan keadilan masih hanya janji di sini kubaca kembali
sejarah kita belum berubah” “Kuburan Purwoloyo”
Pada kutipan puisi tersebut, Wiji Thukul menampilkan sebuah potret buruh, tukang becak, dan orang kampung yang kerap dilupakan jasa-jasanya seusai
pemilu. Setelah berhasil mendapatkan tampuk kekuasaan, pihak yang berambisi untuk mendapatkan tampuk kekuasaan itu mulai melupakan janji-janjinya yang
disampaikan kepada rakyat ketika kampanye pemilu. Keadilan masih sekadar janji. Hasil pemilu tidak mengubah kehidupan buruh dan rakyat kecil lainnya
yang tetap sulit. Kembali ke persoalan potensi buruh dalam hal ekonomi dan politik yang
sudah dijelaskan sebelumnya. Potensi buruh yang besar ini, rupanya, bukan hanya membuat para buruh kerap dimanfaatkan oleh partai politik, tetapi di sisi lain juga
ditakuti oleh kaum borjuis. Hal ini membuat seluruh mesin politik yang menunjang kepentingan kaum borjuis kerap melakukan tindakan represi terhadap
buruh, baik secara ideologis maupun fisik dengan berbagai cara, dengan tujuan untuk meredam kekuatan buruh yang bagi mereka dapat melemahkan posisi
mereka kaum borjuis dan mesin politik yang menunjang kepentingan mereka. Budiman Sudjatmiko lebih lanjut mengatakan bahwa di Indonesia, secara
ideologis represi ini sudah berlangsung selama kurang lebih 32 tahun pada era Orde Baru. Berbagai macam stigma dan tudingan politik di arahkan terhadap
buruh dan gerakan buruh. Semua tudingan politik, sebagai salah satu bentuk represi ideologis, dimaksudkan untuk melemahkan perjuangan kaum buruh.
Tudingan bahwa gerakan komunis akan berarti pembenaran bagi penindasan secara fisik terhadap buruh. Penindasan itu dapat berbentuk penangkapan
sewenang-wenang, penyiksaan, penculikan bahkan pembunuhan.
184
184
Ibid.