Kondisi Ekonomi Buruh Potret Buruh Indonesia dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput

berkembang di pinggir-pinggir selokan di musim kemarau kering diterjang banjir tetap hidup” “Lumut” Dalam puisi tersebut, Thukul menggambarkan kehidupan buruh yang hidupnya harus berpindah-pindah dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan yang lain. Di sisi lain, dalam puisi tersebut Thukul juga memotret perkembangan daerah tempat tinggal buruh yang mulai berubah, tanah-tanah lapang mulai berkurang dan berganti dengan rumah-rumah pemukiman warga. Sementara, buruh sendiri terus hidup berpindah-pindah. Salah satu hal yang menarik adalah dalam puisi “Lumut” tersebut Thukul mengumpamakan para buruh seperti “lumut yang hidup di tembok-tembok bangunan, berkembang di pinggir-pinggir selokan, di musim kemarau kering diterjang banjir”. Apa yang digambarkan Thukul dalam puisi Lumut mengenai keadaan buruh yang tinggal di pinggir- pinggir selokan dan “akrab” dengan banjir ini sangat mungkin dipengaruhi oleh kenyataan hidup Thukul yang tinggal di sebuah daerah di Solo yang memang sering banjir. Bahkan Thukul bersama istrinya, Sipon pernah mendirikan sebuah sanggar kesenian yang bernama Sanggar Suka Banjir. Nama itu dipilih oleh Thukul dan Sipon karena daerah tempat sanggar itu berada memang sering terjadi banjir. 179 Potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang tinggal di rumah kontrakan yang sempit ternyata juga masih dialami oleh buruh Indonesia pada sekarang ini. Hal ini terlihat pada hasil penelitian tentang pendidikan dan kesadaran hak-hak buruh yang dilakukan oleh Women Research Institute terhadap seorang buruh perempuan bernama Ika. Ika yang merupakan seorang buruh yang bekerja di Kawasan Berikat Nusantara Cakung itu mendeskripsikan kamar kos tempat ia tinggal. “Ika bertempat tinggal di sebuah kamar di lantai dua seluas 2 x 3 meter persegi, berdinding kayu tripleks dan berlantai keramik. Kamar mandi terletak di lantai satu. Luasnya sekitar 1 x 1 meter persegi dengan lantai 179 Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h.109 semen berlubang-lubang, tidak ada bak mandi dan mesin pompa air, Untuk Wudlu atau buang air kecil, Ika harus menimba air di sumur. Ika satu kamar indekos dengan seorang kawan yang bekerja di Graffika. Tidak ada ranjang tidur apalagi kasur. Mereka tidur beralas tikar lusuh.” 180 Potret yang Thukul gambarkan dalam puisinya yang berjudul “Leuwigajah” mengenai “buruh tak berkamar mandi yang tidur jejer-berjejer beralas tikar tanpa jendela, tanpa cahaya matahari dengan lantai-dinding dingin, lembab, dan pengap ” itu ternyata dalam kenyataannya juga dialami oleh buruh Indonesia saat ini seperti Ika. Keadaan ekonomi buruh yang sulit ternyata juga berdampak terhadap ketidakmampuan para buruh untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup mereka dan keluarga seperti kesehatan dan pendidikan. Beberapa puisi yang terdapat dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput menggambarkan potret buruh tersebut. Misalnya, seperti potret yang tergambarkan dalam puisi “Suti”. “... suti meludah dan lagi-lagi darah suti merenungi resep dokter tak ada uang tak ada obat” “Suti” Apa yang dialami oleh Suti dalam puisi tersebut merupakan gambaran yang mewakilkan buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang karena kondisi ekonomi yang begitu sulit sehingga tidak mampu berobat ke rumah sakit. Kondisi ekonomi yang sulit bahkan juga menyebabkan mereka kesulitan untuk menyekolahkan anak-anak m ereka. Potret ini Thukul gambarkan dalam puisi “Teka-teki yang Ganjil ”. “... akhirnya kami bertanya mengapa sedemikian sulitnya buruh membeli sekaleng cat padahal tiap hari ia bekerja tak kurang dari 8 jam mengapa sedemikian sulitnya bagi buruh 180 Arif Mundayat, Aris, op. cit., h.39 untuk meyekolahkan anak-anaknya padahal mereka tiap hari menghasilkan berton- ton barang” “Teka-teki yang Ganjil” Dalam kutipan puisi tersebut, Wiji Thukul menggambarkan potret buruh yang kesulitan menyekolahkan anak-anaknya karena kondisi ekonomi yang sulit. Kondisi ekonomi buruh yang sulit, yang membuat mereka kesulitan menyekolahkan anak mereka ini rupanya tidak sebanding dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka lakukan. Sebagai buruh, mereka bekerja tidak kurang delapan jam dan menghasilkan berton-ton barang. Hal ini membuat mereka bertanya-tanya mengapa sedemikian sulitnya mereka untuk sekedar membeli sekaleng cat dan meyekolahkan anak mereka, padahal, mereka telah bekerja begitu keras. Pertanyaan-pertanyaan buruh tentang ketimpangan antara kondisi ekonomi mereka dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka tanggung itu diumpamakan oleh Thukul serupa sebuah “teka-teki yang ganjil”. Berbagai potret kehidupan ekonomi buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang digambarkan oleh Thukul dalam beberapa puisinya dalam Nyanyian Akar Rumput menunjukkan bahwa kehidupan ekonomi buruh Indonesia saat itu begitu sulit. Mereka tinggal di rumah kontrakan yang sempit, terdesak oleh kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi, terhimpit oleh hutang-hutang yang harus mereka lunasi.

6. Campur Tangan Militer dalam Tindakan Represif Terhadap Buruh

Dalam dunia industri, posisi pihak perusahaan cenderung lebih diuntungkan dibandingkan dengan posisi buruh. Bukan hanya itu, dalam praktik pihak perusahaan juga seringkali melakukan tindak sewenang-wenang seperti upah rendah yang tidak sepadan dengan beban pekerjaan buruh yang berat dan bila ada protes dari buruh, pihak perusahaan melakukan tindakan represif dengan cara mengerahkan militer untuk menindasnya. Negara membiarkan hal itu terjadi. Potret mengenai tindakan represif yang dilakukan oleh pihak perusahaan dengan cara mengerahkan militer ini tidak luput dari pengamatan Wiji Thukul. Dalam beberapa puisinya yang terhimpun dalam Nyanyian Akar Rumput, ia menampilkan potret berbagai tindakan represif yang dialami oleh buruh Indonesia pada Masa Orde Baru. Misalnya seperti yang terdapat dalam puisi “Terus Terang Saja ”. “... apakah aku ini si bagero yang sudah merdeka ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-henti diperkosa perusahaan multinasional yang menuntut kenaikan upah ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara?” “Terus Terang Saja” Dalam kutipan puisi tersebut, Wiji Thukul mengibaratkan buruh seperti Jugun Ianfu, perempuan-perempuan yang dipaksa untuk menjadi pemuas nafsu tentara Jepang ketika masa penjajahan Jepang di Indonesia. Buruh seperti Jugun Ianfu yang tak henti-hentinya diperkosa, dieksploitasi oleh perusahaan multinasional, namun dibayar dengan gaji yang murah. Apabila para buruh menuntut kenaikan upah, maka mereka harus siap ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. Potret yang sama juga Thukul tampilkan dalam puisi “Bukan Kata Baru”. “... sudah lama, sudah lama sudah lama kita saksikan buruh mogok dia telepon kodim, pangdam datang senjata sebatalion kita dibungkam” “Bukan Kata Baru” Dalam kutipan puisi tersebut, Thukul menampilkan potret buruh yang melakukan aksi mogok kerja menuntut perbaikan upah yang kemudian ditanggapi oleh pihak perusahaan dengan cara menelepon militer Kodim, Pangdam untuk meredam aksi buruh. Potret yang ditampilkan Thukul dalam puisi “Bukan Kata Baru” tersebut rupanya benar-benar pernah dialami oleh Thukul. Pada Desember 1995, Thukul yang saat itu merupakan anggota Partai Rakyat Demokratik PRD menggalang aksi mogok buruh PT. Sri Rejeki Isman Textile Sritex. Aksi mogok kerja yang diikuti oleh belasan ribu buruh itu berakhir ricuh setelah secara tiba-tiba, aparat yang bertugas untuk menjaga aksi itu secara membabi-buta menyerbu para buruh. Dalam peristiwa itu, Thukul berhasil ditangkap dan secara bertubi-tubi aparat memukulnya. Tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap Thukul itu bahkan mengakibatkan Thukul mengalami cedera serius pada bagian mata kanannya dan harus dioperasi. Aksi represif yang dilakukan oleh aparat terhadap para buruh seperti yang terjadi dalam aksi mogok kerja buruh PT. Sritex ini bukanlah satu-satunya yang terjadi dalam sejarah dunia perburuhan di Indonesia. Pada Januari 1995 misalnya, Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi SMID dan Pusat Perjuangan Buruh Indonesia PPBI mengadakan aksi gabungan di halaman pabrik PT. Ganda Guna Indonesia, Tangerang untuk mendukung tuntutan kenaikan upah buruh. Dalam aksi tersebut sebanyak 14 aktivis SMID dan PPBI ditangkap aparat dan dibawa ke Makodim Tangerang. 181 Berbagai tindakan represif yang dilakukan oleh pihak perusahaan yang bekerjasama dengan militer terhadap buruh merupakan gambaran betapa tersudutnya posisi buruh. Pihak perusahaan melakukan cara apapun untuk menunjukkan dominasinya terhadap buruh. Pihak perusahaan melakukan tindakan sewenang-wenang, mengeksploitasi buruh dan membayar mereka dengan gaji yang murah. Bagi para buruh yang berani menentang, pihak perusahaan mengerahkan aparat untuk membungkam para buruh. Sialnya, negera melakukan pembiaran terhadap berbagai tindakan sewenang-wenang pihak perusahaan kepada buruh ini. Hal ini menunjukkan ketidakpedulian dan ketidakberihakkan pemerintah saat itu Orde Baru terhadap buruh. Mereka lebih berpihak pada pihak perusahaan yang merupakan penguasa modal. Jika ditelisik lebih mendalam, salah satu alasan yang agaknya dapat diterima mengapa pihak penguasa lebih berpihak pada pihak perusahaan adalah karena banyak perusahaan yang memperkerjakan buruh tersebut merupakan milik penguasa atau kerabat dari penguasa itu sendiri. Misalnya saja PT. Sri Rejeki Isman Textile Sritex yang pada Desember 1995 diprotes oleh belasan ribu buruhnya terkait upah yang rendah dan berbagai tindakan sewenang-wenang terhadap buruh itu disinyalir sahamnya merupakan milik Tien Soeharto Istri 181 Miftahudin, Radikalisasi Pemuda PRD Melawan Tirani, Depok: Desantara, 2004, h.148 Soeharto dan Harmoko Ketua Umum Golkar pada saat itu. 182 Hal ini menandakan bahwa kedekatan pihak perusahaan dengan penguasa dan militer menjadi salah satu faktor yang membuat tersudutnya posisi buruh Indonesia pada masa Orde Baru. Meskipun berada dalam posisi yang tersudut dan terus dilakukan secara sewenang-wenang, hal itu tidak membuat buruh menyerah. Mereka terus melakukan perlawanan, memperjuangkan hak mereka. Potret buruh yang tetap semangat dan bertekad untuk memperjuangkan hak dan nasib mereka meskipun senantiasa dihadang oleh pihak perusahaan yang bekerjasama dengan aparat ini digambarkan Thukul dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”. “... di mana-mana ada eman di bandung, solo, jakarta, tangerang tak bisa dibungkam kodim tak bisa dibungkam popor senapan satu mimpi satu barisan” “Satu Mimpi Satu Barisan” Wiji Thukul melalui puisi tersebut menampilkan sebuah tekad para buruh untuk tetap bersatu memperjuangkan hak dan nasib mereka. Meskipun berkali-kali dihadang oleh tindakan sewenang-wenang pihak perusahaan yang dibantu oleh aparat dan dibiarkan oleh negara, mereka tetap bertekad untuk memperjuangkan diri mereka. Tekad para buruh itu begitu kuat dan seperti yang dikatakan oleh Thukul, “tidak bisa dibungkam kodim, tidak bisa dibungkam popor senapan”.

7. Buruh dan Situasi Politik Zaman Orde Baru

Buruh dan politik adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling memengaruhi satu sama lain. Perkembangan politik suatu negara dari waktu ke waktu senantiasa memengaruhi kehidupan buruh baik sebagai warga negara maupun sebagai pihak yang terlibat dalam industri. Di sisi lain, jumlah dan potensi buruh yang besar juga dapat memengaruhi jalannya perpolitikan di suatu negara, bahkan terkadang buruh sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik itu 182 Miftahudin, op.cit., h.148

Dokumen yang terkait

MAKNA KRITIK SOSIAL PADA PUISI KARYA WIJI THUKUL ( Analisis Semiotika Puisi Wiji Thukul pada Buku Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput )

14 78 22

Fenomena Sosial dalam Puisi "Pesan Uang" dan "Bercukur Sebelum Tidur" Karya Joko Pinurbo dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

7 35 123

Potret buruh Indonesia pada masa orde baru dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah

2 61 0

Potret Sejarah Revolusi Indonesia dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

6 81 167

NILAI-NILAI EDUKASI DALAM NOVEL AKAR KARYA DEWI LESTARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai-Nilai Edukasi Dalam Novel Akar Karya Dewi Lestari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA.

0 3 12

NILAI-NILAI EDUKASI DALAM NOVEL AKAR KARYA DEWI LESTARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai-Nilai Edukasi Dalam Novel Akar Karya Dewi Lestari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA.

0 2 11

KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN PUISI LALU AKU KARYA RADHAR PANCA DAHANA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Kritik Sosial Dalam Kumpulan Puisi Lalu Aku Karya Radhar Panca Dahana: Tinjauan Sosiologi Sastra.

0 1 12

KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN PUISI LALU AKU KARYA RADHAR PANCA DAHANA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Kritik Sosial Dalam Kumpulan Puisi Lalu Aku Karya Radhar Panca Dahana: Tinjauan Sosiologi Sastra.

2 10 13

SAJAK NYANYIAN ANGSA KARYA WS. RENDRA AN

0 2 19

Aspek-aspek Stilistika dan Nilai Pendidikan Karakter pada Buku Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul serta Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas - UNS Institutional Repository

0 0 17