Secara heuristik kelima puisi tersebut menggunakan konvensi bahasa Indonesia. Pembacaan hermeneutik kelima puisi tersebut mengungkapkan protes
sosial rakyat kecil terhadap penguasa pada masa pemerintahan Orde Baru.
119
Berdasarkan tinjauan tersebut, maka kiranya memungkinkan bagi penulis untuk membuat skripsi dengan judul “Potret Buruh Indonesia pada Masa Orde
Baru dalam Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul: Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia di Sekolah ”. Dibandingkan dengan penelitian-penelitian lain
tentang puisi-puisi Wiji Thukul, penelitian yang penulis lakukan lebih menitik beratkan penelitiannya terhadap potret buruh pada masa Orde Baru dalam
kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul. Penelitian yang menggunakan pendekatan sosiologi sastra ini berusaha untuk mendeskripsikan
potret-potret tentang buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang ditampilkan oleh Wiji Thukul melalui puisi-puisinya dan bagaimana implikasinya terhadap
pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah.
119
Moh. Anas Irfan, “Kumpulan Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul: Tinjauan
Semiotik”, Skripsi
pada Fakultas
Sastra, Universitas
Jember, http:repository.unej.ac.idbitstreamhandle1234567896046Moh20Anas20Irfan20-
20060110201041_1.pdf?sequence=1, diunduh pada 22 April 2014 pukul 19:00
BAB III WIJI THUKUL: PENYAIR DAN AKTIVIS
A. Biografi Wiji Thukul
Wiji Thukul adalah penyair yang telah memberikan khazanah baru dalam dunia perpuisian Indonesia malalui puisi-puisinya yang bertemakan tentang rakyat
kecil. Penyair yang kerap dijuluki sebagai “Penyair Pelo” ini memang kehidupannya tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan wong cilik. Wiji Thukul
lahir di Solo, 26 Agustus 1963.
120
Ia tumbuh di kampung Kalangan yang terletak di sisi timur kota Solo. Milieu kampung ini adalah pabrik-pabrik dengan segala
buruhnya. Ayah Thukul seorang penarik becak, istrinya buruh menjahit, dan mertuanya pedagang barang rongsokan. Thukul sendiri bekerja sebagai pelitur
mebel.
121
Keadaan ayahnya sebagai seorang penarik becak, bahkan Thukul lukiskan dalam puisi karyanya yang berjudul Nyanyian Abang Becak.
“perut butuh kenyang, kenyang butuh diisi namun bapak c
uma abang becak” Thukul: Nyanyian Akar Rumput, h. 51
Meskipun berasal dari kalangan rakyat kecil yang hidupnya dekat dengan kemiskinan, hal itu tidak membuat Thukul miskin dalam hal berkarya. Sebagai
penyair, Thukul sudah menghasilkan beberapa kumpulan puisi yang di antaranya adalah Kicau Kepodang 1993, Suara Sebrang Sini 1994, Dari Negeri Poci 2
1994, Mencari Tanah Lapang 1994, Tumis Kangkun Comberan, 1996, dan Aku Ingin Jadi Peluru 2000.
122
Selain kumpulan-kumpulan puisi tersebut, pada tahun 2013, majalah Tempo menerbitkan kumpulan puisi Wiji Thukul semasa
pelariannya kala dikejar-kejar oleh aparat yang diberi judul Para Jendral Marah- marah yang dijadikan sebagai bonus majalah Tempo edisi bulan Mei. Kemudian
120
Anonim, “Wiji Thukul, antara Fakta dan Fiksi”, Jurnal Pusat Dokumentrasi Sastra
Buruh Edisi 1 Agustus 2000, h. 10.
121
Ton, “Penyair Wiji Thukul, Pemotret Kemiskinan dan Kekejaman”, Jakarta: Warta Kota, Tahun II nomor 82, Minggu, 30 Juli 2000, h. 10.
122
Anonim, http:id.tamanismailmarzuki.orgWidji_Thukul
diunduh pada 26 Maret 2014 pukul 21:33.
40
diikuti dengan diterbitkannya kumpulan puisi terlengkap Wiji Thukul oleh Gramedia pada tahun 2014 yang diberi judul Nyanyian Akar Rumput.
Sepanjang kiprahnya dalam dunia kepenyairan, Thukul pun tercatat pernah mendapatkan berbagai prestasi dan penghargaan. Di antara prestasi dan
penghargaan itu adalah mendapatkan Wertheim Encourage Award yang diberikan Wertheim Stichting pada tahun 1991, Yap Thaim Hien Award pada tahun 2002,
dan undangan membaca puisi di Kedubes Jerman di Jakarta oleh Goethe Institut.
123
Sejak kecil, Thukul memang sudah dikenal oleh orang-orang di sekitarnya sebagai seorang yang berjiwa seni. Pada tahun 1977, ketika ia masih duduk di
kelas satu SMP Thukul sekolah di SMP Negeri 8 Solo, ia aktif menjadi anggota kor kapel di tempatnya biasa beribadah. Menurut Wahyu Susilo, adik Wiji
Thukul, kakaknya selalu berangkat lebih pagi ke gereja setiap mendapat giliran menyanyi di kor.
124
Lulus dari SMP Negeri 8 Solo, Thukul masuk ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, Solo, jurusan tari. Akan tetapi sekolahnya di SMKI ini tidak
sampai tamat. Saat di SMKI, Thukul pun masih aktif di kapel. Suatu ketika menjelang Natal, anak-anak kapel hendak mementaskan teater bertemakan
kelahiran Kristus, Thukul diperkenalkan kepada Cempe Lawu Warta, yang di kemudian hari menjadi “guru” yang menempa Thukul dalam berkesenian
sekaligus orang yang menambahkan nama Thukul. Nama asli Thukul adalah Wiji Widodo Wiji Thukul artinya “biji yang tumbuh”.
125
Dalam proses berkeseniannya, Thukul ditempa oleh Cempe Lawu Warta di Teater Jagat Jagat merupakan singkatan dari Jejibahan Agawe Genepe Akal
Tumindak. Di Teater Jagat, Lawu Warta yang pernah aktif di Bengkel Teater W.S. Rendra mengajarkan Thukul perihal berkesenian seperti seni teater. Lawu
Warta lah orang yang mula-mula melihat bakat Thukul di bidang menulis puisi.
126
123
Anonim, http:id.wikipedia.orgwikiWidji_Thukul
diunduh pada 26 Maret 2014 pukul 21:33.
124
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, Teka-teki Orang Hilang, Jakarta:Kepustakaan Populer Gramedia, 2013, h. 92-93.
125
Ibid., h. 93-94.
126
Ibid., h. 101-102.
Selain Lawu Warta, orang yang juga berpengaruh dalam proses berkesenian Thukul adalah Halim H.D., aktivis kebudayaan jebolan Fakultas
Filsafat, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Awal perkenalan Thukul dan Halim terjadi di Teater Jagat pada sekitar 1986. Kala itu, Halim memang sering
mampir ke Jagat. Halim lah orang yang banyak membantu Thukul mengamen puisi keliling kota-kota di Jawa Tengah dan Jawa Barat untuk memperluas publik
audiensnya lewat jaringan kebudayaan yang ia rintis. Kemudian hari, kegiatan inilah yang membantu membentuk kepercayaan diri Wiji Thukul sebagai penyair
sekaligus deklamator.
127
Puisi adalah jalan yang dipilih oleh Thukul untuk menumpahkan segala kegelisahannya. Pada awal-awal menulis, Thukul kerap kali menempel puisi
karangannya di majalah dinding Teater Jagat. Kemudian sebagian puisinya ia kirimkan ke Radio PTPN Rasitania, Surakarta, untuk diapresiasikan dan
dibacakan di acara Ruang Puisi.
128
Thukul pertama kali menerbitkan kumpulan puisinya lewat Pusat Kesenian Jawa Tengah PKJT di Solo−sekarang Taman Budaya Jawa Tengah di Surakarta
TBS−pada sekitar 1985. Kumpulan puisi yang dicetak secara stensilan sebanyak
sekitar 100 eksemplar itu bertajuk Puisi Pelo.
129
Pada Puisi Pelo ini, Thukul sudah mengangkat tema tentang kritik sosial, namun belum mengandung unsur
politik praktisnya. Setelah Puisi Pelo diterbitkan, dapat dikatakan terjadi lompatan besar
dalam penulisan Thukul. Dia banyak dipengaruhi naskah teater Jawa karya Bambang “Kenthut” Widoyo S.P.. ia juga dipengaruhi pemikiran Maxim Gorky,
Arif Budiman, dan Romo Mangunwijaya. Thukul mulai banyak memasukkan bahasa Jawa dan bahasa lisan sehari-hari dalam puisinya.
130
Selain itu, sejak mengamen puisi keliling Jawa, nama Thukul mulai berkibar. Dia juga mulai memiliki jaringan dan publik sendiri. Pada saat itulah
terjadi perbedaan pandangan antara Thukul dengan Lawu Warta, gurunya. Lawu
127
Ibid., h. 106.
128
Ibid., h. 103.
129
Ibid., h. 104-105.
130
Ibid., h. 107-108.
tidak sepakat jika Thukul membawa seni puisi ke ranah politik praktis, sementara, Thukul berpandangan sebaliknya.
131
Sejak itu, Thukul tidak lagi aktif di Jagat. Pada 1987, setelah menikah dengan Sipon, ia menumpang di rumah Halim. Thukul beserta dengan Sipon dan
Halim kemudian membentuk Sanggar Suka Banjir di halaman belakang rumah mereka. Nama itu diambil dari lingkungan mereka yang memang sering banjir.
132
Di Sanggar Suka Banjir, Thukul mulai menulis esai dan artikel pendek yang bertemakan teantang kesenian dan lingkungan. Di sanggar itu pula Thukul
mengajari anak-anak kampung melukis, menulis puisi, berteater, dan bernyanyi. Sanggar pun mulai ramai dijadikan tempat berkumpul remaja di sekitarnya dan
mulai sejak itulah kegiatan yang dilakukan di sanggar mulai sering diawasi oleh aparat.
133
Pada tahun 1994, Wiji Thukul bersama sahabat-sahabat senimannya yang sering berdiskusi mengenai permasalahan sosial yang tengah terjadi di sekitar
mereka, yaitu Semsar Siahaan dan Moelyono sepakat mendirikan sebuah organisasi jaringan kesenian bernama Jaker Jaringan Kesenian Rakyat.
Organisasi kesenian ini dibentuk bertujuan untuk membuat jaringan antar seniman guna menggalang kekuatan dan solidaritas sesama seniman untuk membendung
tindakan represif pemerintah.
134
Menurut Moelyono, Jaker terilhami oleh Lekra. Dari Lekra, mereka juga mempelajari gagasan seni untuk rakyat dan konsep turun ke bawah. Namun
mereka tak menelan mentah-mentah gagasan tersebut, menurut Moelyono, Jaker juga terinspirasi
Asian Council for People’s Culture.
135
Jaker tidak hanya beranggotakan seniman saja, di dalamnya terdapat Hilmar, Daniel, Yuli, Jati, dan Linda Christanty. Mereka adalah anggota inti
131
Ibid., h. 109.
132
Ibid., h. 109.
133
Ibid., h. 110.
134
Ibid., h. 112-113.
135
Tim Liputan Edisi Khusus Lekra Majalah Tempo, “Lekra dan Geger 1965” Edisi 30
September-6 Oktober 2013, h. 115.