Struktur Fisik Puisi Analisis Struktur Puisi-puisi Wiji Thukul Tentang Buruh

Dalam puisi “Suti”, pembaca bisa “menyaksikan” bagaimana keadaan Suti, seorang buruh perempuan yang sedang sakit namun tidak punya biaya untuk berobat ke rumah sakit. Penggambaran ini merupakan suatu potret nasib kelam buruh yang oleh sebab upah yang rendah ia tidak dapat berobat, ia pun tidak mendapatkan bantuan atau sekedar kepedulian dari pihak perusahaan yang sudah mempekerjakannya begitu berat. Betapa memperihatinkannya nasib buruh tersebut dikuatkan lagi oleh Thukul dengan gambaran “tubuh Suti yang makin susut saja, makin kurus menonjol tulang pipinya, bertahun- tahun diisap kerja”. Pada puisi lain yang berjudul “Leuwigajah”, Thukul menggambarkan secara lebih luas tentang pekerjaan buruh yang begitu berat dan keras. “lidah-lidah penghuni rumah kontrak terus menyemburkan cerita buruk: lembur paksa sampai pagi , upah rendah, jari jempol putus, kecelakaan-kecelakaan, kencing dilarang, sakit ongkos sendiri. mogok ? pecat” “Leuwigajah” Dalam puisi ini, melalui penggunaan imaji visual, Thukul menggambarkan berbagai tindak kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pihak perusahaan terhadap buruh. Melalui penggunaan imaji visual ini pun membuat pembaca seolah-olah dapat menyaksikan segala tindak kesewenang-wenangan terhadap buruh tersebut, mulai dari lembur paksa sampai pagi, kecelakaan-kecelakaan dalam bekerja sebagai akibat dari kurangnya kepedulian pihak perusahaan terhadap keselamatan kerja buruh, pelarangan terhadap buruh untuk buang air kecil hingga pemogokan yang dilakukan oleh buruh. Ada kalanya Thukul juga menggunakan imaji auditif pendengaran untuk menggambarkan berbagai peristiwa dan kehidupan dalam dunia buruh. Misalnya seperti yang terdapat dalam puisi “Suti”, “Suti kusut masai di benaknya menggelegar suara mesin ”. Thukul membuat suatu imaji pendengaran berupa suara mesin pabrik yang menggelegar dalam benak Suti seorang buruh perempuan yang tengah sakit keras. Imaji suara mesin pabrik yang menggelegar itu merupakan suatu lambang dari pekerjaan buruh yang begitu berat dan keras yang seolah-olah terus menghantui para buruh, bahkan terus terbayang oleh buruh ketika ia sedang sakit. Sementara itu, dalam puisi “Nonton Harga”, digambarkan oleh Thukul kehidupan buruh yang sulit bertempat tinggal di rumah kontrakan “tidur berjejer seperti ikan tangkapan”. “ayo kita pulang ke rumah kontrakan tidur berderet-deret seperti ikan tangkapan siap dijual di pelelangan” “Nonton Harga” Kehidupan sulit yang dialami oleh buruh ini begitu kontras dengan kehidupan orang-orang kelas menengah ke atas yang cenderung hidup konsumtif. Kesenjangan sosial yang kontras ini secara cermat dan singkat mampu digambarkan oleh Thukul melalui puisinya, “Seorang Buruh Masuk Toko ”. “aku melihat harga-harga kebutuhan di etalase aku melihat bayanganku makin letih dan terus diisap” “Seorang Buruh Masuk Toko” Sementara itu, pada puisi lain yang berjudul “Bukan Kata Baru”, Thukul menggambarkan pemogokan buruh yang kemudian diikuti oleh datangnya aparat sebatalion. “buruh mogok dia telpon kodim, pangdam Datang senjata sebatalion” “Bukan Kata Baru” Penggunaan imaji visual ini merupakan suatu gambaran aksi mogok kerja yang dilakukan oleh buruh seringkali diikuti oleh datangnya aparat. Peristiwa ini seringkali menyebabkan terjadinya bentrokan antara buruh dengan aparat yang seringkali diawali oleh tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat terlebih dahulu untuk memaksa buruh untuk kembali bekerja. Secara keseluruhan dari 21 puisi Wiji Thukul yang berbicara tentang buruh dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput imaji yang paling dominan adalah imaji visual. Meskipun begitu, adakalanya Thukul menggunakan imaji-imaji lain untuk menggambarkan potret buruh dalam puisi- puisinya. Misalnya, dalam puisi “Nonton Harga”, untuk menggambarkan keadaan buruh yang hanya bisa menikmati bau buah- buahan tanpa bisa membelinya Thukul menggunakan imaji penciuman yang mebuat seolah-olah pembaca secara langsung mencium wangi dari buah-buahan tersebut. “kalau pengin durian apel, pisang, rambutan, anggur, ayo kita bisa mencium baunya.” “Nonton Harga” Dalam puisi “Seorang Buruh Masuk Toko”, Thukul menggunakan imaji taktil sentuhan untuk menggambarkan rasa minder yang dirasakan oleh seorang buruh yang masuk toko. “bulu tubuhku berdiri merasakan desir kipas angin yang berputar- putar halus lembut.” “Seorang Buruh Masuk Toko” Pada puisi Suti, Thukul memanfaatkan imaji auditif pendengaran untuk menggambarkan kondisi seorang buruh bernama Suti yang sakit tengah terbatuk-batuk dan dahak batukunya mengeluarkan darah. “suti tidak ke rumah sakit batuknya memburu dahaknya berdarah” “Suti” Penggambaran Wiji Thukul melalui imaji auditif ini menggambarkan bagaimana kesehatan dan keselamatan buruh tidak mendapatkan perhatian dari pihak perusahaan yang sudah memperkerjakannya secara berat dan keras. Hal ini membuat buruh yang sakit tidak dapat berobat ke rumah sakit, sebab tidak memunyai uang. c Kata Konkret Untuk membangkitkan imajinasi pembaca, kata-kata harus diperkonkret atau diperjelas. Dengan kata lain, kata-kata itu dapat menyaran kepada arti yang menyeluruh. Jika penyair mahir memperkonkret kata-kata, maka pembaca seolah dapat melihat, mendengar, atau merasa apa yang dilukiskan penyair. Sebab itu, kemahiran dalam memperkonkret kata-kata menjadi salah satu hal yang harus dikuasai oleh seorang penyair. Wiji Thukul adalah salah seorang penyair yang mampu memperkonkret kata-kata dalam puisinya dengan baik. Pernyataan ini bisa dibuktikan dengan meneliti bagaimana cara Wiji Thukul dalam memperkonkret kata-kata dalam puisinya untuk menggambarkan potret buruh Indonesia secara luas sekaligus jelas. Dalam puisi “Kuburan Purwoloyo ” misalnya, dengan luas dan jelas Thukul menggambarkan kehidupan buruh yang sulit, banyak hutang, tenaganya terhisap oleh beban pekerjaan yang berat. “di tanah ini terkubur orang-orang yang sepanjang hidupnya memburuh t erisap dan menanggung hutang” “Kuburan Purwoloyo” Larik-larik tersebut digunakan oleh Thukul untuk memperkonkret sebuah gambaran kehidupan buruh yang sulit “sepanjang hidupnya memburuh, terisap, dan menanggung hutang”. Thukul mengkonkretkan berat dan kerasnya pekerjaan para buruh yang menyebabkan mereka seolah-olah diperas tenaganya oleh perusahaan tempat mereka bekerja cukup dengan kata “terisap”. Kesulitan hidup para buruh ditambah lagi dengan beban hutang yang disebabkan oleh upah mereka sebagai buruh yang tidak sepadan dengan kebutuhan hidup yang bermacam. Potret buruh yang bekerja begitu berat, keras, dan diperas tenaganya oleh pihak perusahaan juga terdapat dalam puisi “Suti”. Dalam puisi ini, bahkan, Thukul menggambarkan secara lebih detil potret buruh perempuan yang tengah menderita sakit parah akibat beban pekerjaan yang berat. “suti meraba wajahnya sendiri tubuhnya makin susut saja makin kurus menonjol tulang pipinya loyo tenaganya bertahun-tahun diisap kerja “Suti” Lagi- lagi, Thukul menggunakan kata “diisap” untuk mengkonkretkan gambaran buruh yang tenaganya diperas oleh pekerjaan yang berat. Dalam potongan puisi Suti tersebut, pembaca seolah-olah dapat melihat dan merasakan secara langsung apa yang dialami oleh Suti, tokoh dalam puisi tersebut. Pembaca seolah-olah dapat melihat bagaimana tubuh Suti yang kurus akibat sakit yang dialaminya, lemah tubuhnya akibat beban pekerjaan yang begitu berat. Hal ini dapat terjadi oleh sebab kemahiran Wiji Thukul dalam memperkonkret kata-kata dalam puisinya. Thukul mampu memperkonkret sebuah potret buruh yang tengah sakit akibat beban pekerjaan yang berat cukup dengan “tubuhnya makin susut saja, makin kurus menonjol tulang pipinya, loyo tenaganya bertahun-tahun diisap kerja ”. Begitu beratnya beban pekerjaan para buruh ternyata tidak diimbangi oleh upah yang diterima oleh para buruh. Hal ini dijelaskan oleh Thukul dalam puisinya, “Teka-teki yang Ganjil”. “Mengapa sedemikian susahnya buruh membeli sekaleng cat p adahal tiap hari ia bekerja tak kurang dari 8 jam” “Teka-teki yang Ganjil” Melalui potongan puisi tersebut, dapat dilihat bagaimana Thukul mampu mengkonkretkan gambaran ketidaksepadanan beban pekerjaan buruh yang berat dengan upah mereka yang rendah cukup dengan dua larik puisi berbunyi “mengapa sedemikian susahnya buruh membeli sekaleng cat padahal tiap hari ia bekerja tak kurang dari 8 jam ”. Potret ketidaksepadanan antara beban pekerjaan para buruh yang berat dengan upah mereka yang rendah juga gambaran oleh Thukul dalam puisi “Sajak kepada Bung Dadi ”. “buruh-buruh berangkat pagi pulang sore dengan gaji yang tak pantas” “Sajak kepada Bung Dadi” Thukul mengkonkretkan sebuah potret ketidaksepadanan beban pekerjaan buruh yang berat dengan upah mereka yang rendah dengan sebuah perbandingan para buruh yang sudah bekerja sejak pagi hingga sore, namun mereka mendapatkan gaji yang tak pantas. Rendahnya upah yang diterima oleh para buruh rupanya juga tidak sesuai dengan beban kebutuhan hidup mereka yang semakin meningkat. Thukul mengkonkretkan potret buruh ini dal am puisinya, “Teka-teki yang Ganjil ”. “dan upah kami dalam waktu singkat telah berubah menjadi odol-sampo-sewa rumah dan bon- bon di warung yang harus kami lunasi” “Teka-teki yang Ganjil” Thukul mengkonkretkan potret ketidaksepadanan antara upah para buruh yang rendah dengan tingginya kebutuhan hidup mereka dengan gambaran “upah yang dalam waktu singkat berubah menjadi kebutuhan hidup sehari- hari seperti odol, sampo, sewa rumah, dan bon-bon di warung yang harus mereka lunasi. Dalam puisinya-puisinya yang berbicara tentang buruh, Thukul tidak hanya menampilkan potret buruh dari sisi yang lemah, tetapi juga dari sisi tekad buruh untuk memperjuangkan nasibnya. Misalnya, dalam puisi “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”, Thukul menampilkan potret buruh yang bertekad untuk menentukan masa depan mereka sendiri. “hari depan buruh di tangan kami sendiri bukan di mulut politikus bukan di meja SPSI “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI” Wiji Thukul mengkonkretkan sebuah tekad buruh untuk memperjuangkan nasib mereka sendiri dengan tiga larik puisi tersebut. Lebih jauh, Thukul juga menyindir dengan seolah-seolah mengungkapkan bahwa para buruh tidak butuh para politikus untuk memperbaiki nasib. Potret tekad buruh untuk memperjuangkan nasib mereka sendiri ini juga ditampilkan Thukul dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”. Pada puisi ini, Thukul mengkonkretkan semangat dan tekad para buruh untuk bersatu memperjuang nasib mereka secara bersama-sama hanya dengan ungkapan “satu mimpi satu barisan”. Bahkan, dengan nada yang lebih tegas, Thukul mengkonkretkan semangat dan tekad para buruh yang seolah-olah mengancam pihak perusahaan yang sering bertindak sewenang-wenang dalam memperkerjakan mereka dalam sebuah bait dalam puisi “Makin Terang Bagi Kami”. “kami satu: buruh Kami punya tenaga Jika kami satu hati Kami tahun mesin berhenti Sebab kami adalah nyawa Yang menggerakkannya” “Makin Terang Bagi Kami” Berdasarkan penjabaran mengenai bagaimana seorang Wiji Thukul menggunakan kata konkret untuk mengkonkretkan kata-kata sekaligus untuk menggambarkan potret buruh Indonesia dalam puisi-puisinya tersebut, peneliti berpendapat bahwa Wiji Thukul adalah salah seorang penyair yang mampu menggunakan kata konkret secara baik. d Diksi Diksi yang digunakan oleh Wiji Thukul dalam puisi-puisinya yang berbicara tentang buruh cenderung merupakan bahasa sehari-hari yang sederhana. Penggunaan diksi yang sederhana itulah yang menjadi kekuatan puisi-puisi Thukul. Dengan bahasa yang sederhana, puisi-puisi Thukul akan lebih mudah dipahami oleh setiap orang, termasuk orang yang awam tentang puisi. Selain itu, yang merupakan salah satu ciri khas dalam puisi-puisi Thukul adalah penggunaan diksi bahasa Jawa seperti mbok, mbordir, mingkup, dan mbayar. Hal ini dapat peneliti pahami karena Thukul berasal dari suku Jawa, maka merupakan suatu yang wajar apabila ia menggunakan diksi bahasa Jawa dalam puisi-puisinya. Thukul juga sering menggunakan istilah-istilah dunia buruh dalam puisinya seperti upah, mogok, pecat, mandor, pabrik, kapitalis, dan tekstil. Diksi-diksi yang akrab dalam dunia buruh ini sangat memungkinkan digunakan oleh Thukul dalam puisi-puisinya, sebab ia merupakan seorang aktivis yang memperjuangkan buruh dan ia sendiri juga pernah menjadi buruh. Diksi-diksi puisi Wiji Thukul yang merupakan bahasa percakapan sehari-hari yang sederhana bisa dilihat pada salah satu puisinya , “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”. “... pas tepat di kepala kami bokong-bokomg kiri-kanan telapak kaki, tas, sandal, sepatu tak apa di pertemuan ketemu lagi kawan. ... sepanjang jalan hujan kami jongkok di tempat duduk nempel jendela ...” “Bukan di Mulut Politikus, Bukan di Meja SPSI” Dalam potongan puisi tersebut, dapat dilihat bagaimana Thukul menggunakan kosakata percakapan sehari-hari dalam puisinya seperti ketemu, jongkok, dan nempel. Kata ketemu sebenarnya bukan merupakan bahasa baku, melainkan bahasa percakapan yang tidak baku, kosakata dalam bahasa baku yang tepat adalah bertemu. Begitu pula dalam hal penggunaan kosakata nempel. Kata nempel adalah bahasa yang tidak baku, sebab merupakan sebuah penyimpangan morfologis, yang benar seharusnya menempel. Wiji Thukul menghilangkan imbuhan me- pada kata menempel. Kata nempel merupakan bahasa percakapan yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Thukul menggunakan diksi-diksi seperti ketemu dan nempel tersebut untuk membuat puisi yang berkesan mudah dipahami oleh siapa pun termasuk orang yang awam tentang puisi sekalipun. Dalam 22 puisi Thukul yang berbicara tentang buruh, peneliti menemukan suatu hal yang menarik, yakni penggunaan diksi yang berasal dari kata dasar isap yang sering Thukul gunakan dalam puisinya. Dari 22 puisi Wiji Thukul yang berbicara tentang buruh, terdapat enam puisi yang menggunakan kata yang berasal dari kata dasar isap, di antaranya terisap “Kuburan Purwoloyo”, mengisap “Teka-teki yang Ganjil”, “Lingkungan Kita Si Mulut Besar ”, dan diisap “Suti”, “Bukan Kata Baru”, “Seorang Buruh Masuk Toko”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata isap berarti tarik sampai masuk, hirup, sedot. 168 Berdasarkan hal itu, peneliti berpendapat bahwa Thukul mengibaratkan buruh Indonesia pada masa Orde Baru seperti makhluk yang senantiasa disedot atau diisap daya kekuatannya dengan cara dipekerjakan secara berat. Dalam puisi “Kuburuan Purwoloyo” misalnya, Thukul menggambarkan kuburan yang di dalamnya terdapat para buruh yang semasa hidupnya terisap dan menanggung hutang. “di tanah ini terkubur orang-orang yang sepanjang hidupnya memburuh terisap dan menanggung utang” “Kuburan Purwoloyo” 168 Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008, h.548 Kemudian, di puisi “Suti”, Thukul menggunakan kata diisap untuk menerangkan seorang buruh bernama Suti yang tengah sakit parah akibat beban pekerjaannya sebagai buruh yang berat. “suti meraba wajahnya sendiri tubuhnya makin susut saja makin kurus menonjol tulang pipinya loyo tenaganya bertahun-tahun diisap kerja” “Suti” Begitu pula dalam puisi “Teka-teki yang Ganjil”, Thukul menggunakan kata mengisap untuk mengungkapkan suatu pertanyaan dalam benak para buruh perihal “kekuatan” apakah yang telah mengisap tenaga dan hasil kerja mereka. “kami selalu heran dan bertanya-tanya kekuatan macam apakah yang telah mengisap t enaga dan hasil kerja kami?” “Teka-teki yang Ganjil” Dari ketiga potongan puisi tersebut dapat dilihat bagaimana Thukul mengibaratkan buruh sebagai suatu makhluk yang terus-menerus diisap daya kekuatannya. Kemudian yang menjadi pertanyaan, siapakah pihak yang mengisap daya kekuatan para buruh seperti yang dipertanyakan Thukul dalam puisi “Teka-teki yang Ganjil”? Untuk menjawab pertanyaan itu, peneliti melihat pada puisi Thukul lainnya yang berjudul “Terus Terang Saja”. Dalam puisi tersebut, Thukul mengibaratkan para buruh seperti jugun ianfu para perempuan Indonesia yang dipaksa untuk menjadi perempuan penghibur bagi tentara Jepang pada masa penjajahan Jepang. “apakah aku ini si bagero yang sudah merdeka? ataukah tetap jugun ianfu yang tak henti-henti diperkosa perusahaan multinasional , yang menuntut kenaikan upah ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara?” Terus Terang Saja Dalam puisi tersebut, Thukul menggunakan diksi yang berasal dari bahasa Jepang atau lebih tepatnya istilah yang lahir pada zaman penjajahan Jepang, yakni jugun ianfu untuk mengibaratkan buruh pada masa Orde Baru. Berdasarkan potongan puisi tersebut pula, peneliti berpendapat bahwa pihak yang dimaksud Thukul telah mengisap daya kekuatan para buruh adalah perusahaan multinasional yang seringkali bertindak sewenang-wenang terhadap buruh dengan memperkerjakannya secara berat, namun tidak sepadan dengan upah buruh yang rendah. Bagi para buruh yang berani menuntut kenaikan upah, maka mereka harus siap ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Wiji Thukul dalam puisi-puisinya yang berbicara tentang buruh juga sering menggunakan diksi-diksi yang bernada perlawanan, misalnya seperti yang terdapat dalam puisinya yang berjudul “Bukan Kata Baru”. “kau-aku buruh, mereka kapitalis sama-sama hidup bertarung ya, bertarung ” “Bukan Kata Baru” Thukul dengan tegas menyatakan diri dan kawan-kawannya sebagai buruh yang seolah-olah memang ditakdirkan untuk bertarung dengan kapitalis. Penggunaan kata bertarung ini menunjukkan tekad buruh yang siap bertarung untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai buruh yang seringkali diabaikan oleh kapitalis. Penggunaan kata kapitalis yang digambarkan sebagai “musuh” buruh ini sendiri merupakan suatu bentuk potret zaman sekarang yang memang cenderung bersifat kapitalisme, yang memiliki modal yang menang. Semen tara itu, dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”, Thukul menggunakan diksi yang bernada perlawanan kepada pihak aparat yang seringkali dimintai bantuan oleh pihak perusahaan untuk ikut dalam usaha meredam perlawanan para buruh. “di mana-mana ada eman Tak bisa dibungkam kodim Tak bisa dibungkam popor senanpan Satu mimpi Satu barisan” “Satu Mimpi Satu Barisan” Dalam puisi tersebut, Thukul menggunakan diksi yang bernada perlawanan, tak bisa dibungkam kodim, tak bisa dibungkam popor senapan, yang kemudian diikuti dengan diksi-diksi yang menyatakan tekad untuk bersatu memperjuangkan hak mereka sebagai buruh, satu mimpi, satu barisan. Berdasarkan hal itu, dapat disimpulkan bahwa Thukul juga seringkali menggunakan diksi-diksi yang bernada perlawanan di samping diksi-diksi yang merupakan istilah dalam dunia buruh, kosakata bahasa Jawa, dan bahasa percakapan sehari-hari dalam puisi-puisinya. e Bahasa Figuratif Majas Beberapa majas yang sering digunakan oleh Thukul dalam puisi- puisinya tentang buruh adalah majas simile, metafor, simbolik, personifikasi, dan sarkasme. Majas simile sering digunakan oleh Thukul untuk menggambarkan potret buruh dengan cara membandingkannya dengan suatu hal lain. Misalnya, dalam puisi “Leuwigajah” Thukul membandingkan buruh-buruh muda seperti buah yang terus-menerus disedot vitaminnya. “tubuh-tubuh muda terus mengalir ke Leuwigajah seperti buah-buah disedot vitaminnya ” “Leuwigajah” Sementara itu, dalam puisi “Nonton Harga”, Thukul menggambarkan potret buruh Indonesia yang tinggal di rumah-rumah kontrakan yang sempit dengan menggunakan majas simile seperti berikut ini. “tidur berderet-deret seperti ikan tangkapan s iap dijual di pelelangan” “Nonton Harga” Wiji Thukul juga seringkali menggunakan majas personifikasi untuk menggambarkan potret buruh Indonesia dalam puisi-puisinya. Dalam puisi yang berjudul “Suti”, Thukul menggambarkan potret kehidupan buruh Indonesia yang sulit dengan menggunakan majas personifikasi. “hidup pas-pasan gaji kurang dicekik kebutuhan ” “Suti” Dalam puisi tersebut, Thukul mempersonifikasikan kebutuhan hidup yang seolah-olah mencekik para buruh yang berupah rendah. Potret buruh yang tercekik oleh kebutuhan hidup ini menggambarkan betapa sulitnya kehidupan buruh akibat upah yang rendah, yang tidak sepadan dengan beratnya beban pekerjaan yang mereka tanggung. Beban pekerjaan yang berat ini seringkali membuat para buruh merasa keletihan dan jatuh sakit. Ironisnya, para buruh tidak memiliki banyak uang untuk berobat ke rumah sakit untuk menyembuhkan penyakitnya. Potret buruh yang tengah sakit namun tidak memiliki cukup uang ini juga terdapat dalam puisi Thukul yang berjudul “Suti”. Dengan menggunakan majas personifikasi, Thukul menggambarkan seorang buruh bernama Suti yang sakit-sakitan tidak mampu ke rumah sakit sebab tak ada biaya. “suti tidak ke rumah sakit batuknya memburu dahaknya berdarah t ak ada biaya” “Suti” Wiji Thukul dalam puisi tersebut, mempersonifikasikan batuk yang seolah-olah terus memburu Suti yang tengah sakit. Ada kalanya, Thukul menggambarkan potret buruh Indonesia dengan cara melebih-lebihkan gambaran buruh Indonesia tersebut dengan menggunakan hiperbola. Masih dalam puisi “Suti”, Thukul menggambarkan potret Suti yang sakit dengan menggunakan hiperbola. “suti kusut masai ... Suti meraba wajahnya sendiri Tubuhnya makin susut saja ” “Suti” Dalam puisi tersebut, Thukul menggambarkan kondisi Suti yang sakit dengan cara melebih- lebihkan penggambarannya, “kusut masai, tubuhnya makin susut saja ”. Cara yang sama juga digunakan oleh Thukul dalam menggambarkan potret para buruh perempuan di sebuah desa yang pulang kelelahan setelah bekerja. “lalu gadis-gadis umur belasan keluar kampung menuju pabrik pulang petang bermata kusut keletihan ” “Kampung” Thukul menggunakan hiperbola dalam menggambarkan para buruh perempuan yang keletihan sehabis bekerja dengan menyebutkan para buruh perempuan yang “bermata kusut keletihan”. Thukul juga seringkali menggunakan metafora dalam puisi- puisinya. Dalam puisi “Catatan Malam”, Thukul menggunakan metafora dalam menggambarkan pikiran seorang penyair miskin yang tengah merenungi nasib dan kisah cintanya dengan seorang kekasih yang seorang buruh berupah rendah. “kukibaskan pikiran tadi dalam gelap makin pekat aku ini penyair miskin t etapi kekasihku cinta” “Catatan Malam” Dalam puisi tersebut, Thukul membandingkan pikiran tokoh Aku lirik dengan sayap yang bisa dikibaskan. Selain itu, Thukul juga seringkali menggunakan simbolik dalam puisi-puisinya. Sebagai contoh, dalam puisi “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”, Thukul menggunakan sebutan Si Mulut Besar dan Raksasa yang Membisu sebagai simbol dari penguasa. “lingkungan kita si mulut besar raksasa yang membisu yang anak-anaknya terus dirampok dan dihibur film- film kartun Amerika” Lingkungan Kita Si Mulut Besar Thukul menyimbolkan pabrik sebagai lingkungan dunia buruh dengan “Si Mulut Besar” yang kerap memberikan janji kepada buruh yang ternyata tidak dipenuhi. Kemudian, dalam puisi “Leuwigajah” dan “Leuwigajah Masih Haus ”, Thukul menjadikan “Leuwigajah” sebagai simbol dari kapitalisme yang terus-menerus menggerus kehidupan para buruh dengan cara mempekerjakan mereka secara berat namun dengan upah yang rendah. “tubuh-tubuh muda terus mengalir ke Leuwigajah seperti buah-buah disedot vitaminnya mesin-mesin terus menggilas memerah tenaga murah ... Leuwigajah terus minta darah tenaga muda Leuwigajah makin panas berputar dan terus menguras tenaga- tenaga murah” “Leuwigajah” Leuwigajah sebenarnya merupakan sebuah daerah industri di Jawa Barat, namun Wiji Thukul dalam puisinya menggunakan Leuwigajah sebagai simbol yang mencerminkan bagaimana kapitalisme menggerus kehidupan para buruh dengan cara mempekerjakan mereka secara berat, memberikan upah yang rendah, “mengisap” daya kekuatan buruh secara terus-menerus. Wiji Thukul seringkali juga menggunakan majas sarkasme yang tergolong kasar. “dia belum hilang kapitalis dia terus makan tetes ya tetes-tetes keringat kita dia terus makan “Bukan Kata Baru” Secara kasar, Thukul mengungkapkan bahwa para kapitalis akan terus memakan tetes-tetes keringat mereka para buruh. Penggunaan majas sarkasme yang digunakan oleh Thukul ini adalah suatu bentuk perlawanan kepada kapitalis, yakni pihak perusahaan yang sering mengabaikan hak para buruh dan bertindak sewenang-wenang. Penggunaan majas sarkasme juga ditemukan dalam puisi Thukul lainnya, “Lingkungan Kita Si Mulut Besar”. “lingkungan kita si mulut besar di huni lintah-lintah yang kenyang mengisap darah keringat tetangga dan anjing-anjing yang taat beribadah menyingkiri para penganggur yang mabuk minuman murahan ... lingkungan kita si mulut besar sakit perut dan terus berak mencret oli dan logam busa dan plastik ” “Lingkungan Kita si mulut Besar” Dalam puisi tersebut, Thukul menggunakan kata-kata yang tergolong kasar seperti “lintah-lintah yang kenyang mengisap darah keringat tetangga”, “anjing-anjing yang taat beribadah”, dan “lingkungan kita si mulut besar sakit perut dan terus berak, mencret oli, dan logam, busa dan plastik” untuk menggambarkan lingkungan pabrik sebagai dunia buruh. “Lintah- lintah yang kenyang mengisap darah keringat tetangga” merepresentasikan kehidupan antarburuh yang kerap saling “mengisap”. Dalam dunia buruh, tindakan saling mengisap ini dapat direpresentasikan dengan tindakan sebagian buruh yang kerap menjelek-jelekkan kawan buruh lainnya di hadapan pimpinan mandor atau pun bos dengan harapan melalui cara itu ia terlihat lebih baik dalam hal bekerja. Sementara itu, “Lingkungan kita si mulut besar yang sakit perut dan terus berak mencret oli, logam, busa, dan plastik” ini mengambarkan sisi lain pabrik yang kerap menebarkan polusi dan limbah yang merusak lingkungan. f Versifikasi Semua puisi-puisi Wiji Thukul yang berbicara tentang buruh adalah puisi bebas yang pengaturan rimanya tidak begitu ketat. Maka dari itu, dari 22 puisi Thukul yang berbicara tentang buruh, tidak ada yang menggunakan aturan rima yang ketat seperti a-a-a-a, a-b-a-b atau a-a-b-b. Akan tetapi, dalam beberapa puisinya, untuk membuat puisinya berirama, Thukul seringkali menggunakan pengulangan kata atau larik. Misalnya dalam puisi “Suti”, Thukul selalu mengawali tiap baitnya sengan kata “Suti”. “suti tidak pergi kerja bait pertama suti kusut masai bait kedua suti meraba wajahnya sendiri bait ketiga suti batuk-batuk lagi bait keempat suti meludah bait kelima suti memejamkan mata bait keenam suti meludah bait ketujuh suti merenungi resep dokter bait kedelapan ” “Suti” Cara yang sama juga Thukul gunakan dalam puisi “Ayolah Warsini”. Pada puisi yang terdiri dari tiga bait ini, Thukul selalu mengawali bait puisinya dengan larik yang mengandung kata “warsini”. “Warsini, Warsini” bait pertama, “Ayolah, Warsini” bait kedua dan ketiga. Begitu pula dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan”, kecuali pada bait terakhir, Thukul selalu mengawali tiap baitnya denga kata depan di yang diikuti oleh nama daerah di Jaw a Barat “di Lembang” bait pertama, “di Ciroyom” bait kedua, “di Cimahi” bait ketiga, “di Cigugur” bait keempat, “di Majalaya” bait kelima, sementara di bait keenam Thukul mengawalinya dengan kata “di mana-mana”. Sementara itu, dalam puisi “Makin Terang Bagi Kami”, Thukul mengawali bait pertama, ketiga, keempat, dan keenam selalu dengan larik “tempat pertemuan kami sempit”. Sedangkan pada bait kedua, kelima, dan ketujuh, dalam dua larik paling awal, Thukul selalu menggunakan dua larik berbunyi “kami satu: buruh kami punya tenaga”. Semua pengulangan kata atau larik yang dilakukan oleh Thukul dalam mengawali setiap bait puisinya merupakan suatu usaha Thukul untuk membuat puisinya memiliki rima dan irama sehingga terasa enak ketika dibaca maupun dideklamasikan.

2. Struktur Batin Puisi

a Tema Seperti yang sudah peneliti jelaskan sebelumnya, dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput ini terdapat 22 puisi yang membahas tentang potret buruh Indonesia. 22 puisi tersebut kemudian diklasifikasikan lagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok puisi yang membahas buruh secara dominan dan kelompok puisi yang membahas buruh secara samar. Berdasarkan proses klasifikasi, ditemukan sebanyak 10 puisi yang membicarakan buruh secara samar dan 12 puisi yang membahas tentang buruh secara dominan. Kelompok puisi yang membahas potret buruh Indonesia secara dominan adalah puisi yang temanya adalah potret buruh Indonesia yang memang potret buruh Indonesia dijelaskan secara dominan dalam puisi tersebut. Sementara itu, kelompok puisi yang membahas potret buruh Indonesia secara samar adalah puisi-puisi yang bukan memiliki tema tentang buruh Indonesia, namun dalam puisi-puisi tersebut terdapat potret buruh Indonesia yang tergambarkan secara samar di balik tema puisi tersebut. Agar lebih jelas, peneliti membuat tabel tema puisi Wiji Thukul tentang buruh berikut ini. Tabel Tema Puisi Wiji Thukul tentang Buruh No Judul Puisi Kelompok Puisi Tema 1 “Catatan Malam” samar Seorang penyair miskin yang merenungkan nasib dan kisah cintanya dengan kekasihnya yang seorang buruh berupah rendah 2 “Sajak kepada Bung Dadi” samar Nasihat kepada seorang bernama Bung Dadi bahwa kampung yang di dalamnya terdapat banyak peristiwa tentang kehidupan rakyat kecil yang sulit adalah tanah airnya juga 3 “Lingkungan Kita Si Mulut Besar ” samar Kritik sosial kepada penguasa 4 “Kuburan Purwoloyo” samar Kritik sosial tentang kehidupan rakyat kecil yang menderita 5 ”Lumut” samar Kehidupan orang yang dalam hidupnya bertempat tinggal berpindah-pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lainnya 6 „Suti” dominan Seorang buruh yang sakit, namun tidak bisa berobat ke rumah sakit karena tak punya biaya 7 “Kampung” samar Keadaan sebuah kampung dengan segala peristiwa yang dialami oleh penduduknya 8 “Jangan Lupa, Kekasihku ” samar Seorang yang menasihati kekasihnya yang seorang buruh utuk tidak melupakan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya 9 “Ayolah, Warsini” dominan Para buruh yang menunggu kawannya, seorang buruh bernama Warsini yang belum pulang kerja 10 “Teka-teki yang Ganjil ” dominan Para buruh yang berkumpul saling bercerita tentang kehidupan mereka yang sulit 11 “Satu Mimpi Satu Barisan ” dominan Berbagai tindakan sewenang- wenang terhadap para buruh yang membuat mereka bertekad untuk melakukan perlawanan 12 “Nonton Harga” dominan Kehidupan buruh yang sulit 13 “Terus Terang Saja” samar Protes sosial tentang kemerdekaan yang semu 14 “Harimau” samar Tindak represif yang dilakukan oleh penguasa 15 “Leuwigajah” dominan Kapitalisme yang terus- menerus menghisap daya kekuatan buruh 16 “Leuwigajah Masih Haus ” dominan Kapitalisme yang terus- menerus menghisap daya kekuatan buruh 17 “Makin Terang Bagi Kami ” dominan Buruh bertekad untuk bersatu memperjuangkan hak-hak mereka 18 “Bukan Kata Baru” dominan Perlawanan buruh terhadap kapitalis 19 “Seorang Buruh Masuk Toko ” dominan Kesenjangan sosial 20 “Bukan di Mulut Politikus, Bukan di Meja SPSI ” dominan Perjuangan dan tekad buruh untuk memperbaiki hidup mereka 21 “Edan” dominan Tindak sewenang-wenang yang dilakukan pihak perusahaan kepada buruh 22 “Gunung Batu” samar Keadaan masyarakat gunung batu yang hidup dengan keperihatinan Dari tabel tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat 12 puisi yang tergolong puisi yang membahas tentang buruh secara dominan, yakni “Suti”, “Nonton Harga”, “Ayolah Warsini”, “Teka-teki yang Ganjil”, “Satu Mimpi Satu Barisan”, “Leuwigajah”, “Leuwigajah Masih Haus”, “Bukan Kata Baru”, “Makin Terang Bagi Kami”, “Seorang Buruh Masuk Toko ”, “Bukan di Mulut Politikus Bukan di Meja SPSI”, dan “Edan”. Sementara, terdapat 10 puisi yang membahas buruh secara samar, yakni “Catatan Malam”, “Sajak kepada Bung Dadi”, “Lingkungan Kita si Mulut Besar ”, “Kuburan Purwoloyo”, “Lumut”, “Gunung Batu”, “Kampung”, “Harimau”, “Jangan Lupa Kekasihku”, dan “Terus Terang Saja”. Seperti yang sudah dijelaskan oleh peneliti sebelumnya, 12 puisi yang membahas buruh Indonesia secara dominan adalah puisi yang memiliki tema tentang buruh yang secara dominan membahas tentang buruh. Sementara, 10 puisi yang mambahas buruh secara samar adalah puisi yang memiliki tema bukan tentang buruh, akan tetapi di dalamnya terdapat potret buruh Indonesia. Misalnya, puisi Thukul yang berjudul “Lingkungan Kita Si Mulut Besar” memiliki tema tentang kritik sosial kepada penguasa, namun di dalamnya terdapat potret buruh Indonesia. “lingkungan kita si mulut besar

Dokumen yang terkait

MAKNA KRITIK SOSIAL PADA PUISI KARYA WIJI THUKUL ( Analisis Semiotika Puisi Wiji Thukul pada Buku Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput )

14 78 22

Fenomena Sosial dalam Puisi "Pesan Uang" dan "Bercukur Sebelum Tidur" Karya Joko Pinurbo dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

7 35 123

Potret buruh Indonesia pada masa orde baru dalam kumpulan puisi Nyanyian Akar Rumput karya Wiji Thukul dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah

2 61 0

Potret Sejarah Revolusi Indonesia dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Karya Mochtar Lubis dan Implikasinya Terhadap Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

6 81 167

NILAI-NILAI EDUKASI DALAM NOVEL AKAR KARYA DEWI LESTARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai-Nilai Edukasi Dalam Novel Akar Karya Dewi Lestari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA.

0 3 12

NILAI-NILAI EDUKASI DALAM NOVEL AKAR KARYA DEWI LESTARI: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA DAN Nilai-Nilai Edukasi Dalam Novel Akar Karya Dewi Lestari: Tinjauan Sosiologi Sastra Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra Di SMA.

0 2 11

KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN PUISI LALU AKU KARYA RADHAR PANCA DAHANA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Kritik Sosial Dalam Kumpulan Puisi Lalu Aku Karya Radhar Panca Dahana: Tinjauan Sosiologi Sastra.

0 1 12

KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN PUISI LALU AKU KARYA RADHAR PANCA DAHANA: TINJAUAN SOSIOLOGI SASTRA Kritik Sosial Dalam Kumpulan Puisi Lalu Aku Karya Radhar Panca Dahana: Tinjauan Sosiologi Sastra.

2 10 13

SAJAK NYANYIAN ANGSA KARYA WS. RENDRA AN

0 2 19

Aspek-aspek Stilistika dan Nilai Pendidikan Karakter pada Buku Kumpulan Puisi Nyanyian Akar Rumput Karya Wiji Thukul serta Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa Indonesia di Sekolah Menengah Atas - UNS Institutional Repository

0 0 17