menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, pengarang berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara
pengarang dengan pembacanya.
76
Pandangan yang amat populer adalah pandangan yang mengatakan bahwa sastra merupakan cerminan sosial, dalam kata lain karya sastra merupakan cermin
pada zaman ketika karya tersebut diciptakan. Konteks sastra sebagai cermin akan merujuk pada adanya hubungan timbal balik antara sastra dengan kehidupan
masyarakat. Konteks pandangan ini juga merujuk pada berbagai perubahan dalam masyarakat. Perubahan dan cara individu dalam bersosialisasi biasanya akan
menjadi sorotan pengarang yang tercermin lewat teks sastra.
77
Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat, mau tidak mau akan menjadi saksi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang berupaya
untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembaca. Hal ini menunjukkan bahwa adanya keterkaitan
antara sastra dengan masyarakat dan oleh karena masyarakat cenderung dinamis, karya sastra juga cenderung mencerminkan hal yang sama.
78
Dalam kaitannya dengan pendekatan cermin, setiap teks sastra mengandung resonansi sosial, historis, dan politik. Karya sastra sering berada
pada “ketaksadaran politik” yang mampu menghilangkan kontradiksi-kontradiksi sejarah. Pengarang sering dibius oleh ketaksadaran ini sehingga secara tak sadar
mengungkapkan heterogenitas di luar teks. Di antara heterogenitas itu adalah masalah-masalah sosial yang memperkaya teks sastra.
79
Pada konteks sosiologi sastra, sastra tidak terlepas dari konteks sosial dan juga sebaliknya berfungsi bagi kehidupan masyarakat. Akan tetapi, fungsi sastra
dapat berbeda-beda dari zaman ke zaman di pelbagai masyarakat. Di suatu zaman dan masyarakat tertentu, sastra mungkin berfungsi sebagai alat menyebarluaskan
ideologi, di zaman lain dan masyarakat lain mungkin sekali dianggap sebagai tempat pelarian yang aman dari kenyataan sehari-hari yang tak tertahankan.
76
Suwardi Endraswara, op. cit., h. 89.
77
Ibid., h. 88
78
Ibid., h. 89
79
Ibid., h. 90
Bahkan, mungkin juga sastra dianggap sebagai suatu hal yang mampu memberikan pengalaman hidup dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur bagi
pembacanya.
80
C. Potret Buruh dalam Sejarah Industrial Indonesia
Kata „buruh‟ bisa dipahami sebagai pekerja di bidang apa saja selama ia
tidak berada pada posisi sebagai pengusaha atau pihak yang membela kepentingan pengusaha.
81
Istilah buruh pada dasarnya dapat dikatakan sama dengan pekerja, tenaga kerja maupun karyawan. Akan tetapi, dalam kultur Indonesia, buruh
berkonotasi sebagai pekerja rendahan, hina, kasaran dan sebagainya. sedangkan pekerja, tenaga kerja dan karyawan adalah sebutan untuk buruh yang lebih tinggi,
dan diberikan cenderung kepada buruh yang tidak memakai otot tapi otak dalam melakukan kerja.
82
Sejarah industrial di Indonesia dimulai dengan sistem perbudakan. Upah yang diterima oleh budak biasanya berwujud makanan, pakaian, dan perumahan.
Mereka hampir tidak pernah menerima upah dalam bentuk uang.
83
Potret perbudakan yang begitu memilukan misalnya pernah terjadi pada 1877 ketika ada seorang raja di Sumba yang meninggal, seratus orang budak
harus dibunuh dengan maksud agar sang raja di dunia baka nanti mempunyai cukup pengiring, pelayan, dan pekerja.
84
Ini adalah salah satu contoh peristiwa tragis dalam dunia perbudakan yang pernah terjadi di wilayah yang sekarang ini
bernama Indonesia dulu Nusantara. Imam Soepomo dalam Abdul Jalil mengatakan pada zaman pendudukan
Inggris 1811-1816, Thomas Stamford Raffles yang merupakan seorang anti perbudakan pada 1816 sempat mendirikan The Java Benevolent Institution,
semacam lembaga yang bertujuan menghapus perbudakan. Sayangnya ia terlanjur
80
Ibid., h. 90-91
81
Anonim, “Sastra Buruh, Apa Itu”, Tangerang: Jurnal Pusat Dokumentasi Sastra Buruh
Edisi 1 Agustus 2000, h. 1.
82
Anonim, “Buruh”, http:id.wikipedia.orgwikiBuruh
, diunduh pada Kamis, 10 April 2014 Pukul 20:07.
83
Abdul Jalil, Teologi Buruh, Yogyakarta: Lkis Yogyakarta, 2008, h.33
84
Ibid., h.33-34
harus meninggalkan Hindia Belanda sebelum sempat mewujudkan cita-citanya itu.
85
Pada 1817 ketika Indonesia dikuasai oleh Belanda, pemerintah kolonial membuat beberapa peraturan tentang perbudakan di antaranya larangan
memasukkan budak ke pulau Jawa. Pemerintah kolonial juga membuat peraturan yang memungkinkan bagi seorang budak untuk merdeka. Sebagai contoh, budak
yang pernah mengikuti tuannya ke benua lain menjadi merdeka sepulangnya dari negeri tuannya. Budak yang menolong tuannya dari bahaya maut juga dinyatakan
merdeka.
86
Pada masa penjajahan Belanda, masalah perbudakan tak kunjung jua terhapuskan, malah timbul sistem perbudakan baru: kerja rodi. Di Jawa, kerja rodi
ini pada mulanya dilakukan untuk kepentingan raja dan anggota keluarganya, para pembesar, dan para pegawai lainnya, serta untuk kepentingan bersama. Akan
tetapi, tidak jarang para penguasa menggunakan kerja bersama ini untuk kepentingannya sendiri.
87
Salah satu kerja rodi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia adalah kerja rodi pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang dilakukan
oleh rakyat Indonesia atas paksaan pemerintah kolonial pimpinan Deandles. Berdasarkan catatan koloni, Indonesia yang dulu masih bernama Hindia
Belanda dikatakan bebas dari perbudakan pada tahun 1922 dan sistem kerja rodi dihapus pada 1 Februari 1938.
88
Sistem hubungan kerja industrial pada 1930-an mulai bersifat kapitalistik. Hal itu dipicu adanya produksi komoditas internasional
secara massal. Data statistik pemerintah Hindia Belanda tahun 1930 menyebutkan bahwa penduduk Indonesia yang berprofesi sebagai buruh ada sekitar enam juta
orang dan setengah jutanya adalah buruh yang sudah bersentuhan dengan teknologi seperti pertambangan, transportasi, dan perbengkelan. Sedangkan
sisanya terdiri atas buruh industri kecil 2.003.200, dan buruh musiman yang umumnya terdiri atas buruh tani dan tani miskin.
89
Kondisi buruh pada masa ini
85
Ibid., h.34
86
Ibid.
87
Ibid., h.39
88
Ibid., h.38-39
89
Ibid., h. 40
tetap tidak dapat dikatakan membaik, pemerintah kolonial banyak membuat peraturan yang kerap merugikan pihak buruh yang cenderung membuat para
buruh terus dieksploitasi. Sementara itu, pada masa awal kemerdekaan, hubungan industrial tampak
diwarnai pergolakan politik, namun relatif berjalan baik. Serikat-serikat buruh memunyai peranan penting dalam bidang ekonomi, pemerintahan, dan politik
praktis. Mereka pun berafiliasi dengan partai-partai politik dan aliran-aliran ideologi tertentu dengan tujuan menjadikannya sebagai alat perjuangan.
90
Tumbuh suburnya serikat-serikat buruh pada awal kemerdekaan tak telepas dari
diratifikasinya Kovensi ILO tahun 1948 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan berorganisasi. Pada 1956, pemerintah Indonesia kembali
meratifikasi Konvensi ILO No. 981949. Implikasinya, pada periode 1960-an jumlah dan keanggotaan serikat buruh menjamur dan sulit dihitung. Meskipun
demikian, tingkat kesejahteraan buruh ternyata tidak berubah secara signifikan.
91
Buruh Indonesia pada Masa Orde Baru
Pada saat Orde Baru berkuasa di Indonesia, agenda industrialisasi mulai dijalankan secara serius. Arah umum kebijakan jangka panjang yang ditetapkan
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara GBHN menyatakan bahwa salah satu tujuan utama pembangunan jangka panjang Indonesia adalah untuk mencapai
struktur ekonomi yang seimbang dengan industri manufaktur yang kuat dan maju didukung oleh sektor pertanian yang tangguh.
92
Dalam tempo yang relatif cepat, perubahan dalam dunia industrial di Indonesia ini membuat mulai tergeserkannya sektor pertanian sebagai motor
utama pertumbuhan. Pemerintah Orde Baru kemudian membentuk MPBI Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia untuk membicarakan berbagai hal guna
mengonsolidasi kehidupan para buruh yang kemudian diikuti dengan dileburkannya dua puluh satu serikat buruh pada 1972 menjadi Federasi Buruh
Seluruh Indonesia FBSI. Akan tetapi, dalam perjalanannya federasi ini dinilai tidak demokratis. Tuduhan itu dilontarkan oleh WCL World Convenderation of
90
Ibid., h.41
91
Ibid., h.43
92
Ibid., h.44
Labour dan ICFTU International Convenderation of Free Trade Unites yang menuntut agar pemerintah Indonesia membuka kesempatan seluas-luasnya kepada
buruh untuk berorganisasi dan menentukan tempat kerja yang nyaman, terhindar dari eksploitasi, tersusunnya syarat-syarat kerja yang sesuai dengan keinginan
buruh dan manajemen serta lingkungan kerja yang bebas dari polusi industri.
93
Menanggapi penilaian negatif tersebut pemerintah Orde Baru kemudian merumuskan Hubungan Industrial Pancasila HIP yang diharapkan dengan ini
hubungan industrial di Indonesia bisa berjalan sesuai dengan budaya bangsa yang tercermin
dalam Pancasila
dan UUD
1945.
94
Akan tetapi,
dalam perkembangannya, konsep hubungan ini tidak menghasilkan manfaat yang
optimal bagi buruh. Peraturan-peraturan tentang buruh yang dibuat pemerintah Orde Baru ternyata lebih mengedepankan stabilitas nasional sehingga nasib buruh
seringkali dikorbankan demi mewujudkan stabilitas. Tak pelak, peraturan- peraturan pemerintah itu memicu timbulnya gejolak dan gelombang protes dari
kaum buruh karena dirasa sangat merugikan dan membtasi gerak buruh dan akhirnya pada 1993 pemerintah mencabut bebrapa peraturan yang dianggap
merugikan kaum buruh.
95
Pada 1992, lahir sebuah serikat buruh yang berhaluan independen, yakni Serikat Buruh Sejahtera Indonesia SBSI sebagai tandingan Serikat Pekerja
Seluruh Indonesia SPSI. SBSI menuntut perubahan kepada pemerintah antara lain: agar menyediakan kesempatan yang luas bagi buruh untuk berorganisasi
sesuai dengan piliha mereka sendiri dan menaikkan upah minimum bagi buruh. Pemerintah Orde Baru kemudian memang menaikkan Upah Minimum Regional
UMR, akan tetapi presentase kenaikan UMR tersebut tidak sebanding dengan peningkatan kebutuhan buruh dan masyarakat. Keadaan inilah yang membuat
eskalasi tuntutan dan demonstrasi buruh semakin meningkat.
96
Dalam mengahadapi demonstrasi kaum buruh, pihak pemerintah tidak jarang menggunakan kekerasan dengan melibatkan militer karena demo buruh
93
Ibid., h.44-45
94
Ibid., h.45
95
Ibid., h.46-47
96
Ibid., h.47