kenyataannya potret buruh yang mengalami lembur paksa memang masih sering terjadi. Women Research Institute melakukan sebuah penelitian tentang
pendidikan dan kesadaran hak-hak buruh terhadap buruh perempuan di Kawasan Berikat Nusantara Cakung. Dalam penelitian itu, Women Research Institute
mewawancarai seorang buruh bernama Ika yang bekerja di sebuah perusahaan di Kawasan Berikat Nusantara Cakung sejak tahun 1997. Ika menceritakan
pengalamannya terkait lembur kerja: “Karena perusahaan Graffika tempat Ika bekerja tidak menerapkan
sistem shift, setiap pekerja pasti terkena lemburan. Kerja lembur dilakukan hampir setiap hari, bahkan di hari Minggu. Usai kerja lembur Ika pulang
ke tempat indekost sekitar pukul sembilan malam. Terkadang dia kerja lembur hingga pukul sebelas malam. Kerja lembur terus-menerus tidak
lantas membuat Ika senang. Selain tubuh menjadi cepat lelah, upah yang diterima tidak sebanding dengan tenaga yang telah dikeluarkan. Bahkan,
uang kerja lembur terpaksa dihabiskan untuk membeli vitamin, obat, dan susu, agar staminanya tetap terjaga.
... Menurut Ika, perusahaan tidak pernah memberi pilihan kepada buruh
untuk menerima atau menolak kerja lembur. Perintah untuk bekerja lembur biasanya dilakukan mendadak tanpa pemberitahuan lebih dulu, kecuali
untuk kerja lembur di hari Minggu. Meskipun buruh
bisa “menampik” kerja lembur hari Minggu, mereka harus tetap lemburan. Alasan
perusahaan, deadline ekspor dan jadwal ekspor tidak dapat diubah, dan sebagainya.”
172
Pengalaman Ika sebagai buruh berkaitan dengan lembur kerja tersebut menunjukkan bahwa pada kenyataannya tindakan eksploitasi terhadap buruh yang
dilakukan oleh pihak perusahaan melalui lembur paksa memang benar-benar terjadi. Sebagaimana yang dialami oleh Ika, buruh tidak diberikan pilihan oleh
pihak perusahaan untuk menolak atau menerima perintah lembur kerja. Bahkan seringkali lembur kerja diadakan pada hari Minggu dan meskipun buruh bisa
“menampik” perintah lembur kerja di hari Minggu tersebut, pada akhirnya mereka diharuskan oleh pihak perusahaan untuk lembur dengan alasan deadline ekspor.
Sialnya, lembur kerja yang terpaksa dilakukan oleh para buruh tidak diimbangi oleh pemberian upah lembur yang sepadan, tidak sebanding dengan
172
Arif Mundayat, Aris dan Kawan-kawan, Bertahan Hidup di Desa atau Bertahan Hidup di Kota: Balada Buruh Perempuan, Jakarta: Women Research Institute, 2008, h. 43-44
tenaga para buruh yang terkuras dan terisap oleh beban pekerjaan yang berat. Buruh pun terpaksa menggunakan uang kerja lembur untuk membeli vitamin,
obat, dan susu, agar staminanya tetap terjaga. Perintah lembur kerja secara paksa yang dilakukan oleh pihak perusahaan
seperti yang dialami oleh Ika di perusahaan tempatnya bekerja yang terkadang sampai pukul sebelas malam atau yang dialami tokoh Siti dalam puisi
“Satu Mimpi Satu Barusan
” karya Wiji Thukul yang sampai 24 jam merupakan sebuah pelanggar hukum. Hal tersebut merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap
Pasal 77 dan Pasal 78 UU No.132003. Pasal 78 ayat 1 meny ebutkan “pengusaha
yang mempekerjakan pekerjaburuh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 77 ayat 2 harus memenuhi syarat ada persetujuan pekerjaburuh
yang bersangkutan; dan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak tiga jam dalam satu hari dan empat belas jam dalam seminggu.
173
Tokoh Siti dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan” dan apa yang dialaminya merupakan cerminan buruh seperti Ika dan buruh-buruh lainnya di
Indonesia yang kerap dieksploitasi daya dan tenaganya oleh pihak perusahaan melalui lembur paksa. Pihak perusahaan cenderung mempekerjakan para buruh
layaknya budak yang bebas diperintah apa saja. Mereka terus mengeksploitasi buruh dengan mempekerjakan para buruh semaksimal mungkin dan memberikan
upah seminimal mungkin. Buruh pun terus diisap daya dan tenaganya, diisap oleh pihak perusahaan yang hanya mementingkan laba perusahaan.
3. Kesehatan dan Keselamatan Kerja Buruh yang Kurang Dipedulikan
oleh Pihak Perusahaan
Berdasarkan Konvensi ILO 155 Tahun 1981 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Rekomendasi ILO No. 164 Tahun 1981, perusahaan harus
memperbaiki dan menjaga kondisi fisik, mental, dan sosial buruh di semua bidang pekerjaan; mencegah efek buruk pada kesehatan buruh akibat kondisi kerja,
melindungi buruh dari risiko di tempat kerja yang dapat mengakibatkan menurunnya tingkat kesehatan, menciptakan, dan menjaga lingkungan kerja
173
Ibid., h.43
sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental buruh.
174
Dengan demikian, sudahlah jelas bahwa salah satu kewajiban pihak perusahaan adalah menjaga kesehatan dan
keselamatan buruh dalam bekerja. Akan tetapi, dalam kenyataannya masih sering ditemukan kasus mengenai perusahaan yang kurang memedulikan kesehatan dan
keselamatan buruh dalam bekerja. Wiji Thukul dalam beberapa puisinya yang terhimpun dalam kumpulan
puisi Nyanyian Akar Rumput, beberapakali menampilkan potret buruh Indonesia pada masa Orde Baru yang kurang mendapatkan kepedulian dari pihak
perusahaan akan kesehatan dan keselamatan mereka dalam bekerja ini. Kekurangpedulian serta tidak adanya jaminan kesehatan dan keselamatan kerja
dari pihak perusahaan ini seringkali menyebabkan para buruh mengidap penyakit. Hal ini tergambarkan dalam puisi
“Satu Mimpi Satu Barisan”. “...
di cimahi ada kawan udin buruh sablon kemarin kami datang dia bilang
umpama dirontgen pasti tampak isi dadaku ini pasti rusak
karena amoniak, ya amoniak” “Satu Mimpi Satu Barisan”
Kutipan puisi tersebut merupakan sebuah potret tidak adanya jaminan kesehatan dan keselamatan yang diterima buruh dari pihak perusahaan, Udin dalam puisi
tersebut harus menerima “isi dadanya rusak” akibat terlalu banyak menghirup amoniak. Seharusnya, pihak perusahaan menyediakan alat pelindung dalam
bekerja seperti masker untuk para buruh sehingga tidak menyebabkan buruh terancam kesehatan dan keselamatannya dalam bekerja.
Apa yang digambarkan Thukul dalam puisi “Satu Mimpi Satu Barisan” tersebut rupanya bukanlah hal yang omong kosong belaka, melainkan suatu hal
yang benar-benar terjadi dalam dunia perburuhan Indonesia. Pada 11 Desember 1995 belasan ribu buruh mengadakan aksi demonstrasi di sepanjang jalan menuju
pabrik garmen PT. Sri Rejeki Isman Tektile Sritex di Desa Jetis, Sukoharjo. Wiji Thukul juga ikut dalam aksi demonstrasi itu. Rahardjo Waluyo Jati, anggota
174
Arif Mundayat, Aris dan Kawan-kawan, op.cit., h. 85
Jaringan Kesenian Rakyat Jaker Yogyakarta yang ikut aksi demonstrasi tersebut kepada Tim Liputan Khusus Wiji Thukul majalah Tempo mengatakan bahwa di
antara hal yang melatar belakangi aksi demonstrasi buruh kala itu adalah adanya laporan kasus buruh yang mengalami lembur berlebih, keguguran, dan sakit
saluran pernapasan akibat serat tekstil.
175
Sementara itu, beradasarkan penelitian yang dilakukan oleh Woman Research Institue terhadap seorang buruh yang
bernama Ika yang pada periode 1996 sampai 1997 bekerja di sebuah pabrik sepatu di daerah Tangerang diketahui bahwa buruh saat bekerja tidak diberi alat
pelindung seperti masker. Hal ini diungkapkan oleh Ika yang akibat terlalu sering menghirup bahan-bahan kimia mengidap penyakit radang paru-paru.
176
Hal ini tentunya merupakan bentuk pelanggaran terhadap Konvensi ILO 155 Tahun 1981 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja serta Rekomendasi
ILO No. 164 Tahun 1981 bahwa perusahaan harus memperbaiki dan menjaga kondisi fisik, mental, dan sosial buruh di semua bidang pekerjaan; mencegah efek
buruk pada kesehatan buruh akibat kondisi kerja, melindungi buruh dari risiko di tempat kerja yang dapat mengakibatkan menurunnya tingkat kesehatan,
menciptakan, dan menjaga lingkungan kerja sesuai dengan kebutuhan fisik dan mental buruh.
Agaknya, permasalahan tentang kesehatan dan keselamatan kerja buruh dalam bekerja juga berkaitan dengan upah buruh yang rendah, sebab seringkali
ketika sakit, buruh tidak mampu berobat ke rumah sakit karena kondisi keuangan yang tidak mencukupi. Hal itu diperparah dengan tidak adanya layanan kesehatan
yang diberikan oleh pihak perusahaan kepada buruh yang sakit. Dalam puisi yang berjudul Suti, Thukul menggambarkan potret buruh yang ketika sakit tidak
mampu berobat karena kondisi keuangan yang tidak mencukupi. “...
suti menggeleng tahu mereka dibayar murah
suti meludah dan lagi-lagi darah
175
Tim Liputan Khusus Wiji Thukul Majalah Tempo, op. cit., h. 120
176
Aris Arif Mundayat, op. cit., h.38
suti merenungi resep dokter tak ada uang
tak ada obat” “Suti”
Potret dalam puisi tersebut menggambarkan sebuah kesan bahwa pihak perusahaan cenderung sekadar memanfaatkan tenaga buruh tanpa memedulikan
hak-haknya. Mengenai persoalan tentang upah misalnya, sebagaimana yang dikatakan oleh Eggi Sudjana yang telah penulis kutip sebelumnya bahwa upah
yang diberikan kepada buruh haruslah dipertimbangkan berdasarkan pendekatan yang manusiawi, yang dapat memenuhi kebutuhan dasar buruh sebagai manusia,
dan salah satu kebutuhan dasar itu di antaranya adalah pelayanan kesehatan. Jadi, apabila ditemukan kasus seorang buruh yang tak bisa berobat ketika sakit karena
tidak memunyai uang sebab upah yang ia terima dari perusahaan rendah, maka hal itu termasuk bentuk pelanggaran terhadap hak-hak dasar buruh yang dilakukan
oleh pihak perusahaan. Ketika bekerja, buruh juga dihadapkan oleh bahaya kecelakaan bekerja
yang bisa dialami oleh buruh kapan saja. Peristiwa kecelakaan dalam bekerja tergambarkan dalam puisi Thukul,
“Leuwigajah”. “...
lidah-lidah penghuni rumah kontrak terus menyemburkan cerita buruk:
lembur paksa sampai pagi, upah rendah, jari jempol putus, kecelakaan-kecelakaan
kencing dilarang, sakit ongkos sendiri” “Leuwigajah”
Potret dalam kutipan puisi tersebut menggambarkan bahwa kecelakaan dalam bekerja seperti “jari jempol yang putus” merupakan salah satu hal yang sering
ditemukan dalam kehidupan kerja buruh. Di sisi lain, kecelakaan buruh dalam bekerja seperti yang tergambarkan dalam kutipan puisi tersebut juga
menggambarkan ketidakpedulian pihak perusahaan akan keselamatan buruh dalam bekerja. Sialnya, pihak perusahaan terkesan “lepas tangan” terhadap