Insiden Kemiskinan Dampak Peningkatan Produktivitas terhadap Kemiskinan

204 Tabel 31. Karakteristik Pendapatan Rumahtangga Dirinci Menurut Kelompok Rumahtangga Juta Rupiah No. Kelompok Rumahtangga Pendapatan Rata-rata Minimum Maksimum 1. Buruh Pertanian di Perdesaan 543.84 44.54 999.91 2. Pengusaha Pertanian di Perdesaan 555.13 58.54 1 000.00 3. RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perdesaan 559.91 47.14 6 543.52 4. Bukan Angkatan Kerja di Perdesaan 565.32 35.24 6 935.20 5. RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perdesaan 560.28 68.15 4 175.76 6. RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perkotaan 1 001.79 102.16 8 878.63 7. Bukan Angkatan Kerja di Perkotaan 984.43 100.49 8 994.67 8. RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perkotaan 1 028.15 114.26 9 613.13 Sumber: SUSENAS, 2002 diolah. Pada Tabel 31, nampak bahwa rata-rata pendapatan rumahtangga berkisar antara Rp. 543.84 ribu sampai Rp. 1 028.15 ribu, dengan rata-rata pendapatan terendah diterima oleh kelompok rumahtangga buruh pertanian di perdesaan dan rata-rata pendapatan tertinggi diterima oleh kelompok rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan. Tingkat pendapatan minimum berkisar antara Rp. 35.24 ribu rumahtangga bukan angkatan kerja di perdesaan sampai Rp. 114.26 ribu rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan, sedangkan tingkat pendapatan maksimum berkisar antara Rp. 999.91 ribu rumahtangga buruh pertanian di perdesaan sampai Rp. 9 613.13 ribu rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan.

6.4.1. Insiden Kemiskinan

Data pendapatan yang diperoleh dari data SUSENAS tersebut selanjutnya digunakan untuk mengevaluasi insiden kemiskinan poverty incidence pada setiap kelompok rumahtangga. Pada Tabel 32 disajikan nilai head-count index 205 dasar dan hasil simulasi kebijakan pada setiap kelompok rumahtangga. Nilai head-count index dasar menunjukkan insiden kemiskinan sebelum dilakukan simulasi kebijakan. Nilai ini menunjukkan proporsi penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan terhadap total penduduk. Adapun simulasi kebijakan yang dilakukan adalah dampak peningkatan produktivitas industri pertanian yang juga diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan pada model CGE-AGRINDO. Sebelum simulasi kebijakan, nilai head-count index berkisar antara 0.0364-0.1245. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan rumahtangga berkisar antara 3.64-12.45 persen. Tingkat kemiskinan tertinggi terdapat pada kelompok rumahtangga bukan pertanian golongan rendah di perdesaan, sedangkan tingkat kemiskinan terendah terdapat pada kelompok rumahtangga golongan atas di perkotaan. Keberadaan penduduk miskin pada kelompok rumahtangga golongan atas, baik di perdesaan maupun di perkotaan, disebabkan karena pengelompokkan rumahtangga yang digunakan untuk membangun SNSE oleh BPS berdasarkan klasifikasi jenis pekerjaanjabatan, bukan berdasarkan tingkat pendapatan. Konsekuensinya, tidak semua rumahtangga golongan atas merupakan rumahtangga kaya atau berpendapatan di atas garis kemiskinan. Dari hasil kajian Susilowati 2007 dengan menggunakan metode yang sama skala ekivalensi diperoleh angka kemiskinan agregat sebesar 3.92 persen, sedangkan dengan menggunakan perhitungan rata-rata pendapatan per kapita seperti yang dilakukan oleh BPS diperoleh angka kemiskinan agregat sebesar 17.30 persen. 206 Tabel 32. Dampak Simulasi Kebijakan Peningkatan Produktivitas terhadap Insiden Kemiskinan No. Kelompok Rumahtangga Dasar 1 Sim 1 2 Sim 2 2 Sim 3 2 Perubahan 3 Sim 1 Sim 2 Sim 3 1 Buruh Pertanian di Perdesaan 0.1089 0.1053 0.1064 0.1096 -3.3175 -2.3075 0.6306 2 Pengusaha Pertanian di Perdesaan 0.0927 0.0909 0.0909 0.0920 -1.9605 -1.9605 -0.7741 3 RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perdesaan 0.1245 0.1244 0.1239 0.1238 -0.0795 -0.4811 -0.5614 4 Bukan Angkatan Kerja di Perdesaan 0.1194 0.1168 0.1176 0.1197 -2.1401 -1.4698 0.2897 5 RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perdesaan 0.1146 0.1145 0.1144 0.1135 -0.0851 -0.1724 -0.9577 6 RT Bukan Pert. Gol. Rendah di Perkotaan 0.0389 0.0387 0.0387 0.0387 -0.5308 -0.5308 -0.5308 7 Bukan Angkatan Kerja di Perkotaan 0.0378 0.0382 0.0380 0.0375 1.1894 0.6596 -0.6648 8 RT Bukan Pertanian Gol. Atas di Perkotaan 0.0364 0.0373 0.0373 0.0361 2.4184 2.4184 -0.8766 Keterangan: 1 Nilai headcount index sebelum dilakukan simulasi kebijakan. 2 Sim 1: peningkatan produktivitas industri pertanian Sim 2: sim 1 diikuti peningkatan produktivitas sektor pertanian Sim 3: sim 2 diikuti peningkatan produktivitas lembaga keuangan 3 Nilai perubahan antara indeks simulasi dasar dengan indeks masing-masing simulasi kebijakan 206 207 Sementara itu, dari hasil kajian Sitepu 2007 diperoleh angka kemiskinan berkisar antara 26.13 persen rumahtangga bukan pertanian golongan atas di kota sampai 62.52 persen rumahtangga bukan pertanian golongan bawah di desa. Perbedaan angka kemiskinan pada penelitian ini dengan hasil kajian Susilowati 2007 dan Sitepu 2007 disebabkan oleh penggunaan garis kemiskinan poverty line yang berbeda. Garis kemiskinan yang digunakan oleh Susilowati 2007 mengikuti garis kemiskinan nasional yang dikeluarkan oleh BPS untuk tahun 2002, yaitu daerah perdesaan sebesar Rp. 96 512 per kapita per bulan, perkotaan Rp 130 499 per kapita per bulan dan agregat Indonesia sebesar Rp. 108 889 per kapita per bulan. Adapun garis kemiskinan yang digunakan oleh Sitepu 2007 sebesar 2 US per kapita per hari atau setara dengan Rp. 570 000 per kapita per bulan. Sementara itu, garis kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada ukuran Bank Dunia yaitu sebesar 1 US per kapita per hari atau setara dengan Rp. 285 000 per kapita per bulan. Hasil analisis kemiskinan menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di perdesaan berkisar antara 9.27-12.45 persen yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan di perkotaan yang hanya berkisar antara 3.64-3.89 persen. Hal ini selaras dengan pendapat Thorbecke et al. 1993, bahwa sumber kemiskinan sebagian besar berada di wilayah perdesaan. Berdasarkan hasil penelitian Yusdja et al. 2003 menunjukkan bahwa lebih dari 62 persen angkatan kerja rumahtangga miskin bekerja di sektor pertanian di perdesaan, disusul pada kegiatan di sektor perdagangan sebagai pedagang kecil 10 persen, industri rumahtangga 7 persen dan jasa 6 persen. Pada umumnya sebagian besar anggota rumahtangga miskin bekerja pada kegiatan-kegiatan yang memiliki produktivitas tenaga kerja rendah. Hal ini erat kaitannya dengan rendahnya 208 aksesibilitas angkatan kerja terhadap penguasaan faktor-faktor produksi. Pada kenyataannya angkatan kerja tersebut cenderung lebih mengandalkan pekerjaan fisik dengan keterampilan yang minimal dibandingkan dengan faktor produksi lain berupa aset produktif dan permodalan. Menurut Sapuan dan Silitonga 1990, sumber-sumber kemiskinan di daerah perdesaan dapat diidentifikasi diantaranya sebagai berikut: 1 para petani yang memiliki lahan kurang dari 0.25 ha, 2 buruh tani yang pendapatannya kurang atau cukup dikonsumsi hari itu saja, 3 nelayan yang belum terjamah bantuan kredit lunak pemerintah, dan 4 perambah hutan dan pengangguran. Adapun untuk daerah perkotaan yaitu: 1 buruh kecil di pabrik-pabrik, 2 pegawai negeri atau swasta golongan rendah, 3 pegawai harian lepas, 4 pembantu rumahtangga, 5 pedagang asongan, 6 pemulung, dan 7 pengangguran. Pada Tabel 32, nampak bahwa peningkatan produktivitas industri pertanian simulasi 1 mampu menurunkan tingkat kemiskinan pada seluruh kelompok rumahtangga perdesaan. Adapun pada kelompok rumahtangga di perkotaan sebagian besar justru mengalami peningkatan tingkat kemiskinan, kecuali pada kelompok rumahtangga golongan rendah urban 1. Penurunan tingkat kemiskinan terbesar 3.32 persen terjadi pada kelompok rumahtangga buruh pertanian di perdesaan rural 1. Temuan ini selaras dengan hasil kajian Sumedi dan Supadi 2004, bahwa tingkat pendapatan masyarakat perdesaan lebih sensitif elastis terhadap perubahan struktur perekonomian. Diduga hal ini disebabkan karena sebagian besar masyarakat miskin di perdesaan memiliki tingkat pendapatan di sekitar batas garis kemiskinan, sementara di perkotaan sebagian besar masyarakat miskin memiliki tingkat pendapatan jauh di bawah batas garis kemiskinan. Dengan demikian, adanya perbaikan struktur 209 perekonomian yang berhasil meningkatkan pendapatan masyarakat, pengurangan jumlah penduduk miskin di perdesaan lebih besar daripada di perkotaan. Kondisi serupa dengan hal tersebut di atas juga terjadi apabila peningkatan produktivitas industri pertanian diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian simulasi 2. Dampak penurunan tingkat kemiskinan pada simulasi 2 selaras dengan dampak penurunan tingkat kemiskinan pada simulasi 1. Apabila peningkatan produktivitas industri pertanian dan sektor pertanian juga diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor lembaga keuangan simulasi 3, maka dampak terhadap penurunan kemiskinan bertolak belakang dengan dampak pada simulasi 1 dan simulasi 2. Pada simulasi 3, kelompok rumahtangga buruh pertanian di perdesaan rural 1 justru mengalami peningkatan tingkat kemiskinan. Hal ini diduga karena kelompok rumahtangga ini tidak mempunyai akses terhadap lembaga keuangan. Kondisi sebaliknya terjadi pada kelompok rumahtangga golongan atas, baik di perkotaan maupun di perdesaan, dimana kelompok rumahtangga ini mendapat manfaat benefit yang lebih besar dengan adanya peningkatan produktivitas lembaga keuangan.

6.4.2. Kedalaman Kemiskinan