Analisis Kemiskinan METODE PENELITIAN

117 2. Urban 2 adalah bukan angkatan kerja BAK di perkotaan, meliputi bukan angkatan kerja dan golongan tidak jelas. 3. Urban 3 adalah rumahtangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan, seperti pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas. Input primer yang digunakan meliputi tenaga kerja, lahan dan kapital. Tenaga kerja diklasifikasikan atas tenaga kerja terdidik skilled labor dan tenaga kerja tidak terdidik unskilled labor. Klasifikasi tenaga kerja yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti kategori yang ditemukan pada tabel SAM tahun 2003, dimana tenaga kerja dikategorikan menjadi 4 kelompok besar yaitu tenaga kerja pertanian, operator, tata usaha dan profesional. Pada penelitian ini, tenaga kerja pertanian dan operator dikelompokkan lagi menjadi tenaga kerja tidak terdidik unskilled, sedangkan tata usaha dan profesional dikelompokkan menjadi tenaga kerja terdidik skilled. Adapun input primer lainnya lahan dan kapital tidak didisagregasi lagi.

4.6. Analisis Kemiskinan

Untuk mengkaji dampak industrialisasi pertanian pada insiden kemiskinan poverty incidence digunakan indeks kemiskinan FGT Foster-Greer-Thorbecke. Perubahan pendapatan masing-masing golongan rumahtangga dari analisis simulasi kebijakan digunakan untuk menganalisis kemiskinan indeks FGT dengan menggunakan data SUSENAS tahun 2002. Meskipun menggunakan analisis di luar model CGE, pada dasarnya analisis kemiskinan dalam penelitian ini tetap mengacu pada kerangka SNSE, karena: 1 kelompok rumahtangga pada model CGE disusun berdasarkan SNSE yang bersumber dari data SUSENAS, dan 2 penggolongan rumahtangga pada data SUSENAS dibuat mengikuti 118 pengelompokan rumahtangga yang terdapat dalam SNSE. Dengan menyelaraskan pengelompokan rumahtangga pada data SUSENAS dengan model CGE akan diperoleh keterkaitan pembahasan antara analisis kemiskinan dengan model CGE. Dari data SUSENAS dapat dibentuk struktur data kelompok rumahtangga berdasarkan jenis pekerjaan, lokasi desa-kota, rata-rata pengeluaran dan jumlah anggota rumahtangga. Dari data rata-rata pengeluaran rumahtangga dan dengan menggunakan batas garis kemiskinan yang telah ditetapkan, maka dapat ditetapkan jumlah rumahtangga yang tergolong miskin, yaitu rumahtangga yang memiliki pendapatan yang diproksi dari pengeluaran di bawah garis kemiskinan. Adapun garis kemiskinan poverty line ditetapkan berdasarkan standar Bank Dunia yaitu sebesar 1 US per hari atau setara dengan Rp 285 000 per bulan. Data tersebut selanjutnya digunakan sebagai data dasar base data untuk menghitung indeks kemiskinan. Perubahan pendapatan rumahtangga hasil dari simulasi kebijakan, dianggap sebagai data setelah simulasi. Selanjutnya dapat dihitung indeks kemiskinan dari data dasar dan data hasil simulasi dengan menggunakan program analisis DAD 4.3 Distributive Analysis. Untuk menghitung indeks kemiskinan, data pendapatan rumahtangga berdasarkan golongan rumahtangga yang didekati dari data pengeluaran, diubah ke dalam pendapatan masing-masing individu. Hal ini dilakukan karena perhitungan FGT poverty index didasarkan pada pengeluaran masing-masing individu atau per kapita penduduk miskin. Ada dua pendekatan dalam menghitung pendapatan masing-masing individu sebagai dasar penghitungan kemiskinan. Pertama, berdasarkan rata-rata per kapita. Rata-rata per kapita ini belum mempertimbangkan tingkat konsumsi menurut golongan umur, jenis kelamin dan skala ekonomi dalam konsumsi. 119 Kedua, berdasarkan skala ekivalensi atau Equivalence Scales ES, yang menunjukkan ukuran pendapatan relatif dari masing-masing rumahtangga yang berbeda untuk mencapai standar hidup. Penghitungan melalui pendekatan skala ekivalensi didasarkan pada kenyataan bahwa kriteria untuk menentukan garis kemiskinan pada umumnya lebih banyak didasarkan pada kecukupan kebutuhan energi kalori, sementara kebutuhan kecukupan pangan individu berbeda menurut umur dan jenis kelamin LIPI, 2004. Dengan demikian penghitungan pendapatan masing-masing individu dengan menggunakan pendekatan rata-rata pendapatan per kapita dipandang kurang tepat. Konsep ES pada prinsipnya menyetarakan kebutuhan konsumsi anak dengan populasi dewasa untuk menghitung angka kemiskinan. United States Panel Poverty and Family Assistance menyetarakan kebutuhan konsumsi anak 0.7 populasi dewasa. Artinya secara umum anak mengkonsumsi 70 persen dari kebutuhan konsumsi dewasa Susilowati, 2007. Beberapa kajian di Australia menggunakan nilai pembobot untuk anak berkisar 0.3 sampai 0.7 Whiteford, 1985. Demikian pula beberapa negara telah menghitung dan menerapkan skala ekivalensi dalam menghasilkan ukuran kemiskinan. Sebagai contoh skala ekivalensi yang digunakan di Srilanka, Taiwan dan Peninsula nilainya berkisar 0.9 BPS, 2005b. Dengan angka ekivalensi mendekati satu, implikasinya skala ekivalen akan memberikan hasil yang tidak jauh berbeda dengan perhitungan angka kemiskinan melalui pendapatan pengeluaran per kapita. Dalam menentukan ES, berdasarkan economic of scale e yang nilainya ditentukan oleh jumlah anak dan anggota rumahtangga dewasa. Nilai e berkisar 0- 1. Jika e meningkat, maka ES akan menurun sehingga jika e = 1 atau tidak ada 120 skala ekonomi maka besaran ES dihitung sebagai jumlah orang anggota rumahtangga. Teknik menghitung ES yang telah dilakukan selama ini di negara- negara Luxemburg sangat beragam karena masing-masing memiliki preferensi dalam aspek tertentu. Tidak ada pedoman yang pasti teknik penghitungan ES sehingga Whiteford 1985 menyatakan tidak ada suatu metoda menghitung ES yang telah dilakukan selama ini di Australia yang dapat dikatakan metoda tertentu lebih baik dibanding metoda penghitungan ES yang lain. Meskipun penghitungan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan rata-rata pendapatan per kapita dipandang kurang tepat, penghitungan ukuran kemiskinan di Indonesia selama ini belum menerapkan skala ekivalensi karena belum dilakukan penelitian untuk menentukan besaran skala ekivalensi yang dapat mewakili Indonesia. Penelitian ini menggunakan metoda penghitungan ES yang dikembangkan oleh Cockburn 2001 yang telah diterapkan untuk mengkaji angka kemiskinan di Australia dan di Nepal dengan formula sebagai berikut: ES i = 1 + 0.7 Z i -1-K i + 0.5 K i ........................................................ 4.31 dimana: i = indeks rumahtangga Z = jumlah anggota rumahtangga dan K = jumlah anak. Formula tersebut menunjukkan bahwa dengan memperhitungkan skala ekonomi dan umur, maka kepala rumahtangga diperhitungkan 1, anggota rumahtangga dewasa lain diperhitungkan 0.7 dan anak-anak diperhitungkan 0.5. Formula yang sama telah digunakan oleh Oktaviani et al. 2005 untuk mengkaji dampak penurunan subsidi minyak di Indonesia terhadap kemiskinan, Astuti 121 2005 dan Sitepu 2007 untuk menghitung perubahan angka kemiskinan sebagai dampak investasi di sektor tertentu, serta Susilowati 2007 untuk mengkaji dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia. Formula Foster-Greer-Thorbecke FGT poverty index dinyatakan sebagai berikut Cockburn, 2001: P α y;z = α ∑ = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − q i i z y z n 1 1 , α ≥ 0 ...............................................4.32 dimana y i adalah rata-rata nilai pengeluaran per kapita individu ke i dalam rumahtangga yang sudah diranking berdasarkan tingkat pengeluaran, total populasi dinyatakan sebagai n dan jumlah populasi miskin adalah q, batas kemiskinan adalah z, sehingga poverty gap ratio adalah G i = z – y i z, dimana G i = 0 pada saat y i z. Nilai α ada tiga macam, yaitu: 1. Nilai α = 0, P menyatakan headcount index, merupakan proporsi populasi yang berada di bawah garis kemiskinan. Formula 4.34 di atas akan menjadi: P y;z = ∑ = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − q i i z y z n 1 1 atau P = qn …………………………..4.33 Misalnya terdapat sebanyak 10 persen populasi termasuk ke dalam kelompok miskin, maka P = 0.10. 2. Nilai α = 1, menunjukkan ukuran poverty gap ratio dimana masing-masing penduduk miskin dibobot berdasarkan jarak relatif mereka dari garis kemiskinan. Formula 4.34 menjadi: P 1 = 1n ∑ − i y z z …………………………………………….…4.34 Misalnya besaran P 1 = 0.1, artinya total kesenjangan kemiskinan seluruh populasi miskin terhadap garis kemiskinan adalah 10 persen. Adapun P 1 P = 122 1q ∑ − i y z z adalah rata-rata kesenjangan kemiskinan poverty gap yang dinyatakan sebagai proporsi terhadap garis kemiskinan. 3. Nilai α = 2, formula 4.34 menjadi: P 2 y;z = ∑ = ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − q i i z y z n 1 2 1 ……………………………………..…….4.35 Artinya bobot yang diberikan kepada masing-masing penduduk miskin proporsional dengan kuadrat kekurangan pendapatan mereka terhadap garis kemiskinan. Indeks tersebut merupakan ukuran yang sensitif terhadap perubahan pendapatan atau distribusi pendapatan populasi miskin distributionally sensitive index. Ukuran ini dinamakan rasio “keparahan” kemiskinan poverty severity. Pengukuran kemiskinan dengan FGT poverty index dapat digunakan juga apabila populasi rumahtangga dipisahkan disaggregated menurut kelompok subgroup populasi, sehingga kontribusi masing-masing kelompok dapat diketahui. Dalam penelitian ini populasi dibagi menjadi delapan kelompok, maka profil kemiskinan digambarkan melalui P j untuk j = 1, 2, ..., 8 sebagai berikut: P j = ∑ − 8 1 , 1 j j i j y z p n ..........................................................................4.36 Adapun kemiskinan agregat sebagai rata-rata ukuran kemiskinan kelompok, diformulasikan sebagai: P = ∑ = 8 1 1 j j j N P n ....................................................................................4.37 dimana: P j = ukuran kemiskinan untuk kelompok j, dimana j = 1, 2, ..., 8. N j = jumlah populasi kelompok j y i j = rata-rata pengeluaran individu i yang berada pada kelompok j i = individu1, 2, ..., n j yang berada dalam kelompok j. 123 Profil kemiskinan menurut kelompok tersebut menggambarkan konsistensi, dimana ketika kemiskinan dalam suatu kelompok meningkat, maka secara agregat kemiskinan populasi juga akan meningkat, demikian pula sebaliknya.

4.7. Diagram Alur Penelitian