4.2 Pembahasan
Dalam bagian pembahasan akan dibahas lebih lanjut mengenai hal-hal yang dianggap penting, termasuk tujuan penelitian, dengan mengaitkannya pada
teori-teori yang dijabarkan dalam Bab II. Berbicara mengenai gaya komunikasi, Deddy Mulyana 2004 menyatakan
bahwa seyogyanya bangsa Asia atau masyarakat Timur adalah bangsa yang mengandung budaya konteks-tinggi, sehingga bergaya komunikasi konteks-tinggi
dan berkomunikasi secara nonlinier, salah satu indikasinya adalah berbicara bertele-tele dan mahirnya melakukan basa-basi. Sebaliknya bangsa Eropa atau
Barat dikatakan berbudaya konteks-rendah, sehingga gaya komunikasi yang dianut adalah gaya komunikasi konteks-rendah dan linier, ciri-cirinya adalah sikap
langsung dan lugas dalam menyatakan pendapat. Seperti sudah diketahui, Tjong A Fie adalah sosok pemimpin yang banyak
berkomunikasi dengan masyarakatnya. Namun berbeda dengan mayoritas masyarakat Timur, dia berkomunikasi secara linier, ini dapat dilihat dari sikapnya
yang langsung menyikapi pokok pembicaraan dan kelugasannya dalam berkomunikasi dengan para kolega bisnisnya. Ini tentu sebagai bahan kritikan
bagi teori gaya komunikasi Deddy Mulyana, bahwa sebenarnya gaya komunikasi seseorang tidak bergantung pada asal-usulnya atau latar belakang yang
melingkupinya, namun masih dapat dipengaruhi dengan siapa dia bergaul dalam kehidupan sehari-harinya. Tjong A Fie adalah satu dari sekian banyak bukti,
dengan adanya pengaruh Eropa yang didapat dari pergaulannya dengan pihak pemerintah Belanda, sukses mempengaruhinya dalam bertutur kata.
Tjong A Fie, yang sejatinya berasal dari budaya konteks-tinggi, dalam kesehariannya lebih menonjolkan gaya komunikasi konteks-rendah, salah satunya
dengan kebiasaan dia bertutur kata yang lugas dan tidak bertele-tele dalam menyampaikan pesan. Apa yang dikehendakinya akan diucapkan dengan jelas,
sehingga lawan bicaranya tidak perlu lagi melakukan penafsiran yang bisa jadi berbeda dengan keinginan Tjong A Fie. Dia juga berkomunikasi secara linier
dimana dia akan langsung menyikapi pokok pembicaraan saat itu juga. Ini dapat
Universitas Sumatera Utara
dilakukannya karena sejak muda, dia sudah berpengalaman dalam mengambil keputusan dengan cepat. Gaya komunikasi yang ditunjukkannya ini pun sangat
disukai oleh masyarakat dan tergolong efektif membangun relasi sosialnya. Salah satu bukti betapa efektifnya gaya komunikasi yang dipakai Tjong A
Fie dalam berinteraksi sosial adalah melihat betapa langgengnya hubungan persahabatan yang dibangun dirinya dengan pihak Kesultanan Deli. Tanpa
kemampuan menjalin hubungan yang baik, pasti akan sulit baginya untuk terus bisa menjadi salah satu orang yang memiliki akses langsung dengan pihak Sultan.
Gaya komunikasi Tjong A Fie yang disukai oleh Sultan Deli, membuatnya bisa menjalin pengertian dan pemahaman yang kuat di antara keduanya.
Hal itu juga untuk menyatakan kemampuan Tjong A Fie sebagai salah satu pelakon komunikasi antarbudaya yang ulung. Tjong A Fie tidak mengalami
banyak hambatan dalam melakukan komunikasi antarbudaya ini, baik dengan masyarakat asli Tanah Deli, termasuk Sultan Deli, ataupun dengan pihak
pemerintah Belanda. Prasangka sosial yang dibangun oleh masyarakat pribumi dengan menyatakan bahwa pendatang, khususnya buruh-buruh asal China,
sebagai kaum yang mencoba mengambil alih wilayah kehidupan mereka, disanggah dengan bijak oleh Tjong A Fie melalui aktivitas sosialnya.
Keberadaannya diterima dengan baik oleh masyarakat asli, karena selain aktivitas sosial yang ditunjukkannya, dia juga membangun fondasi komunikasi yang kuat.
Salah satu buktinya adalah dia selalu membuka pintu rumahnya seluas-luasnya bagi siapa saja orang yang ingin berkunjung dan menemuinya. Dia tidak ragu
mendirikan tiga ruang tamu sekaligus di dalam rumahnya, yang selalu dia gunakan untuk menyambut para kolega dan masyarakat umum. Dari dalam
ruangan-ruangan inilah, dia melakukan komunikasi antarbudaya dengan sangat apik.
Tidak ada jarak sosial yang terlihat antara Tjong A Fie dengan masyarakat sekitar. Salah satu faktor penghambat komunikasi antarbudaya ini dimentahkan
oleh Tjong A Fie dengan selalu bersedia melayani semua masyarakat, bukan hanya kaum buruh China, yang hendak meminta saran dan pertolongannya.
Maklum saja, posisi dia sebagai salah satu wakil pemerintahan saat itu membuat
Universitas Sumatera Utara
dia dengan leluasa bertemu dengan banyak orang. Kehidupan bermasyarakat di kota Medan saat itu pun sangat kondusif. Tidak ada perang suku atau pergesekan
antar bangsa yang terjadi. Semua hidup dengan damai dilandaskan pengertian dan pemahaman sosial, yang salah satunya disebabkan, keberadaan sosok Tjong A Fie
yang ahli membangun hubungan-hubungan antarbudaya. Menurut Kealey dan Reuben 1983, efektifitas komunikasi antarbudaya
dapat ditunjukkan melalui beberapa variabel, salah satunya adalah kemampuan menyesuaikan diri dengan cepat dan kontak dengan orang setempat yang relatif
tinggi. Tjong A Fie yang memang pada awal kedatangannya mengalami kesulitan, tidak butuh waktu lama untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya. Dia juga
sering sekali berbicara atau melakukan kontak sosial dengan menyatakan pendapat-pendapatnya di masyarakat, khususnya ketika hendak menjadi penengah
keributan yang terjadi diantara buruh China dengan buruh kaum lainnya. Tjong A Fie juga sangat piawai dalam menghormati masyarakat. Dia jujur dan sangat
berempati, salah satunya dengan kerelaan dia membagikan sebagian hartanya kepada masyarakat. Kegiatan seperti itu tentu tidak dilakukan tanpa dasar yang
kuat, Tjong A Fie layak disebut memiliki agenda tersendiri, yakni demi membangun hubungan antarbudaya yang harmonis di kota Medan.
Dengan kemampuan bahasa yang dimilikinya, Tjong A Fie sama sekali tidak menemui kesulitan dalam berkomunikasi. Dia sadar, apabila ingin diterima
dan disukai oleh masyarakat asli, dia harus bisa berbahasa seperti mereka, agar tidak terjadi kesimpangsiuran makna pesan. Maka dia pun dengan cepat belajar
bahasa Melayu, bahasa yang saat itu sangat dominan di kalangan masyarakat. Kemampuan bahasa dan apresiasinya terhadap adat istiadat asli membuat sebagian
masyarakat tersanjung dan tidak lagi menaruh rasa curiga terhadap eksistensi dia, malah mereka dengan tangan terbuka menerima sosok pemimpin seperti Tjong A
Fie. Tjong A Fie pun berusaha loyal dan meningkatkan hubungan dari hati ke hati dengan anggota masyarakat melalui keterlibatan dia dalam sejumlah aksi-aksi
sosial, dari pembagian sedekah hingga pembangunan beragam bangunan ibadah lainnya.
Universitas Sumatera Utara
Identitas diri sosok Tjong A Fie juga mengalami perubahan pesat ketika dia memiliki seorang istri yang bukan seorang yang berdarah asli China. Tjong A
Fie yang memiliki darah China tulen dalam dirinya, berkembang menjadi salah satu anggota masyarakat yang menjunjung tinggi multikulturalisme, dia tidak
hanya membela kepentingan kaumnya sendiri, namun juga berusaha membantu seluruh lapisan masyarakat tanpa membeda-bedakan ras, agama, suku dan
golongannya. Dia mempelajari bahasa dan budaya Melayu yang merupakan budaya dominan di Tanah Deli saat itu, hal ini, salah satunya, disebabkan karena
pengaruh istrinya. Dia memperkenalkan budaya china peranakan kepada suaminya dan anak-anaknya kelak. Rumah baru mereka juga mengalami
pengaruh, setidaknya ada berbagai ornamen-ornamen yang kental dengan nuansa Melayu-nya. Seperti di dalam kamar tidur dan pakaian yang digunakan sehari-
hari. Bahasa yang digunakan di dalam rumah pun adalah bahasa melayu bukan bahasa hakka atau mandarin. Semua hal ini hanya memiliki satu tujuan yang
tampak jelas, yakni ingin secepatnya melebur dan diterima ke dalam masyarakat yang didominasi budaya Melayu.
Apa yang dilakukan oleh Tjong A Fie ini sejalan dengan Teori Identitas Sosial yang dipopulerkan oleh seorang tokoh yang bernama Henri Tajfel. Dia
mengatakan bahwa ada cara-cara atau usaha yang dilakukan oleh manusia dalam mencari atau memperoleh identitas tertentu. Mulai dari melakukan tindakan atau
perbuatan yang sesuai dengan kepentingan kelompok budaya tersebut maupun kepentingan personal.
Teori ini belakangan dikembangkan oleh Ralph Tyler 1996 dalam Molan, dkk 2009:33. Ilmuwan ini menyatakan bahwa keinginan suatu individu
untuk masuk dan melakukan hal-hal positif di dalam suatu kelompok, senantiasa dipengaruhi oleh adanya penilaian dari kelompok tersebut terhadap dirinya.
Alasan utama seorang individu mau bergabung dan bekerja di dalam sebuah kelompok adalah demi mendapatkan validasi diri atau harga diri yang merupakan
hasil akhir dari penilaian sebuah kelompok. Motivasi untuk memiliki dan menjaga harga diri menjadi alasan yang masuk akal bahwa individu dalam suatu
Universitas Sumatera Utara
kelompok akan melakukan suatu aktivitas yang seharusnya menguntungkan kelompoknya.
Setiap manusia selalu akan masuk dan bergabung dalam satu komunitas budaya tertentu. Tjong A Fie juga demikian. Dia akhirnya memang dihadapkan
dengan berbagai budaya yang berbeda dengan budaya asli dirinya. Namun jika ingin diterima dan memiliki sebuah identitas berupa harga diri maupun pengakuan
dan penghormatan, dia wajib bergabung dan berbaur dengan masyarakat sekitarnya dan melakukan hal-hal yang dianggap baik oleh para warganya. Karena
dengan menjadi anggota komunitas budaya, seseorang akan membentuk personalitasnya dan sekaligus juga dilingkupi oleh budaya dan diidentifikasi
dengan sekelompok orang di dalam budayanya. Tjong A Fie membangun reputasinya sekaligus identitas dirinya di mata
masyarakat dengan melakukan hal-hal positif yang menguntungkan, tidak hanya bagi dirinya, namun juga menguntungkan bagi masyarakat sekitarnya. Budaya
china peranakan yang dikembangkannya adalah salah satu contoh bahwa dia benar-benar ingin berbaur dan menyatu di dalam masyarakat. Bahasa melayu yang
dia gunakan dalam kehidupan sehari-hari, menanggalkan bahasa ibunya yaitu bahasa hakka, semata-mata agar bisa lebih mudah berkomunikasi dengan
lingkungannya. Aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan, seperti membangun tempat ibadah, rumah sakit, perhotelan, jembatan, dan mendirikan bank serta
menjadi salah satu wakil pemerintahan, juga disebabkan atas kesadaran dia untuk lebih banyak terlibat di dalam lingkungan masyarakatnya. Semua itu, pada
akhirnya, akan membawa keuntungan pada dirinya dan keluarganya. Mereka dihargai dan dihormati, tidak hanya atas apa yang mereka lakukan, tetapi juga
karena perilaku dan sikap mereka. Salah satu perilaku dan sikap Tjong A Fie yang banyak disukai oleh
masyarakat sekitar tercermin dari komunikasi verbalnya. Berbicara lembut dengan suara yang tidak terlalu keras membuat banyak orang suka berbicara dengannya.
Pemilihan kata yang tidak bertele-tele dan langsung menyikapi pokok pembahasan menunjukkan bahwa aktivitas komunikasi verbal Tjong A Fie
berjalan dengan baik. Dia tidak suka menghambur-hamburkan kata-katanya ke
Universitas Sumatera Utara
arah pembicaraan yang tidak penting. Komunikasi verbal yang dilakukannya lebih serius. Bahkan dia disebut jarang menambahkan humor ketika sedang berbicara
dengan rekan-rekannya bisnisnya ataupun dengan kerabat di pemerintahan. Walau memang sebelum mahir berbahasa Melayu dan Belanda yang
sangat diperlukan ketika melakukan komunikasi verbal, Tjong A Fie terlebih dulu memakai komunikasi nonverbal sebagai aktivitas dominan dalam berinteraksi.
Ketika pertama kali datang ke Tanah Deli dan belum mampu berbahasa Melayu ataupun Belanda, Tjong A Fie menggunakan bahasa nonverbal untuk
membantunya berinteraksi sosial dengan lingkungan sekitarnya. Tjong A Fie senantiasa tampil di depan publik dengan penampilan yang
rapi, sehingga dia banyak disukai dan dihormati oleh kalangan buruh. Ketika sudah menjadi pemimpin dan pengusaha sukses pun, dia selalu berpakaian yang
layak dan menampilkan fisik yang sehat. Ini adalah salah satu bentuk nonverbal yang hendak ditunjukkan oleh Tjong A Fie. Pesannya jelas, yakni, ingin
menunjukkan bahwa pemimpin masyarakat saat itu adalah orang yang layak diandalkan kapan saja. Ketika banyak orang yang mendatangi dia, orang-orang itu
selalu menghormati dia dan bertutur kata yang sopan. Sehingga hal ini akan membangun komunikasi selanjutnya ke arah yang lebih hangat.
Kontak tubuh yang dilakukan Tjong A Fie juga termasuk intens. Kontak tubuh ini sering dia lakukan, salah satunya kepada para buruh perkebunannya.
Jabat tangan atau sekedar rangkulan di pundak para buruh sangat sering ditemukan ketika dia datang mengawasi aktivitas perkebunannya. Hal ini
dilakukannya untuk menyampaikan kebahagiaan dan kepuasan dia terhadap hasil kerja para buruh. Selain itu, jabatan tangan ini juga hal lazim yang dilakukan
Tjong A Fie dalam bidang pemerintahan. Dalam aktivitas nonverbal dikenal adanya istilah prosemiks, yakni yang
berkaitan dengan jarak dan ruang. Tjong A Fie, dalam hal ini, tidak dikenal sebagai orang yang memberlakukan jarak dengan lawan bicaranya. Dia
membangun social distance dan public distance yang baik di dalam masyarakat. Namun dengan pihak Kesultanan Deli, jarak yang ada menjadi lebih intim,
Universitas Sumatera Utara
mereka tidak segan menunjukkan kedekatan hubungan mereka dengan hanya mau berbicara secara pribadi di ruang tamu Sultan Deli yang sudah disediakan oleh
keluarga Tjong A Fie. Keintiman hubungan komunikasi ini menunjukkan bahwa Tjong A Fie dan Sultan Deli memiliki sisi emosional yang teramat akrab dan
saling mendukung satu sama lain dalam semua aspek kehidupan yang ada. Ketika Tjong A Fie sudah mampu menguasai bahasa Melayu dan Belanda,
dia masih tetap menggunakan bentuk-bentuk komunikasi nonverbal yang ada, salah satunya dengan pergerakan kedua tangannya dan mimik muka yang tampak
jelas. Akan tetapi bentuk-bentuk komunikasi nonverbal ini dia lakukan dengan sengaja untuk sekedar melengkapi pesan verbal yang diucapkannya. Saat sedang
menyelesaikan sebuah konflik antar buruh misalnya, dia tak hanya berkata-kata yang bijak dan lembut, namun juga menampilkan mimik muka layaknya seorang
pemimpin kharismatik. Ketika mendidik anak-anaknya, komunikasi nonverbal-lah yang paling dominan. Dan satu hal yang pasti, Tjong A Fie sangat suka tersenyum
ketika sedang berbicara. Bahkan, dalam setiap foto, Tjong A Fie tidak ragu menatap kamera dan tersenyum, sebisa mungkin menunjukkan sikap bahagianya.
Hal ini disebabkan karena Tjong A Fie sadar kehidupannya yang dulu tidak jumawa, sehingga dengan banyak tersenyum dia bisa memanjatkan rasa
syukurnya ke Yang Maha Kuasa.
Universitas Sumatera Utara
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
i. Tjong A Fie lahir pada tahun 1860 tanggal dan bulan resmi tidak
diketahui dari keluarga Hakka, di kampung Sung-kow, daerah Mei Xian, provinsi Kwang Tung, China daratan. Ayahnya, Tjong Lian Xiang
memiliki sebuah toko kelontong kecil, bernama Wan Yun Chong, yang harus menghidupi sembilan jiwa, dua orang tua dan tujuh orang anak.
Hidup dalam kesederhanaan membuat Tjong A Fie, yang merupakan anak keempat dalam keluarga, berpikir untuk hidup merantau mencari
kehidupan baru sendiri. ii.
Sejak kecil, Tjong A Fie sudah diajarin kiat-kiat berdagang oleh ayahnya. Dia tumbuh berkembang menjadi anggota keluarga yang sangat ahli dalam
mengelola usaha keluarganya. Ketika ayahnya meninggal, Tjong A Fie mengambil alih usaha dagang keluarganya, namun ternyata hal ini tidak
memuaskannya, sehingga dia memutuskan untuk merantau ke Laboean Deli, menemui abangnya, Tjong Yong Hian yang telah terlebih dulu
datang dan saat itu menjabat sebagai Liutenant letnan China di Tanah Deli.
iii. Tjong A Fie meninggalkan Ibunya dan saudara-saudaranya yang lain
ketika dia merantau ke Tanah Deli. Tidak hanya itu, Tjong A Fie juga meninggalkan istrinya, Madam Lee, yang baru dinikahinya atas
permintaan kedua orang tuanya. Dari pernikahan pertama ini, dia tidak memiliki keturunan. Namun, Madam lee mengadopsi seorang anak laki-
laki yang bernama Po Liong. iv.
Dengan modal seadanya, Tjong A Fie akhirnya tiba di Laboean, yang saat itu dikenal sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Deli, sebelum dipindah
ke Medan. Tjong A Fie menemui abangnya dan akhirnya diterima bekerja di sebuah toko kelontong yang dimiliki oleh Tjong Sui Fo. Usaha Tjong
Sui Fo mengalami peningkatan pesat karena pengaruh semangat anak muda Tjong A Fie.
Universitas Sumatera Utara