“Tjong A Fie berbicara lebih lembut kepada anak-anaknya, sangat jauh berbeda dengan istrinya yang berbicara lebih lantang. Tjong A Fie juga
berbicara dengan pelan dan penuh kharisma, dia tidak asal memilih kata- kata yang akan diucapkannya.” – Penjelasan Tour Guide Tjong A Fie
Mansion.
Selain berbicara tegas, berbicara lembut menjadi salah satu ciri khas Tjong A Fie dalam berkomunikasi dengan keluarganya. Kepada anak-anaknya yang
hampir setiap hari intens berkomunikasi, dia selalu menunjukkan kelembutannya. Mirip orang Melayu jika sedang berbicara, Tjong A Fie pun demikian. Hal ini
banyak disebabkan karena pergaulannya yang luas dan mencakup kalangan atas. Komunikasi verbal yang dilakukan Tjong A Fie cenderung menjaga reputasi dan
harga dirinya sebagai seorang cendekiawan dan wakil pemerintahan yang kharismatik.
e. Ideologi Agama dan Masyarakat yang Memengaruhinya.
Tjong A Fie lahir dari sebuah keluarga penganut agama Kong Hu Chu. Dan diketahui hingga akhir hayatnya, beliau tidak pernah mengganti agamanya
dan tetap setia mengikuti ajaran agama yang diturunkan dari keluarganya ini. Lain halnya jika berbicara mengenai budaya. Meskipun Tjong A Fie
berdarah China tulen dengan asal usul budaya China yang kental dari kedua orang tuanya, itu tidak membuatnya serta merta membawa dan menerapkan budaya
dirinya ke Tanah Deli. Dia menyadari bahwa budaya China dengan tradisi- tradisinya harus dilebur dengan budaya asli Indonesia agar kehadirannya sebagai
seorang perantau bisa diterima dengan baik oleh masyarakat asli. Itulah yang menjadi dasar pemikirannya ketika dia memilih menikahi Lim Koei Yap, yang
kental dengan budaya China Peranakan, sebuah budaya hasil akulturasi antara budaya China dengan budaya asli Indonesia.
“Keberadaan masyarakat Tionghoa Peranakan yang dihasilkan dari perkawinan pendatang Tionghoa dengan perempuan dari suku-suku asli
Nusantara sebenarnya sudah mengakar jauh sebelum zaman penjajahan Belanda.” – Fon Prawira.
Universitas Sumatera Utara
Budaya China atau Tionghoa Peranakan yang dimiliki dan diterapkan oleh keluarga Tjong A Fie sebenarnya bukan sebuah barang baru. Budaya ini sejatinya
sudah mengakar dan bahkan bisa disebut budaya lama Indonesia. “Kedatangan kaum Tionghoa dari dataran Tiongkok ke Indonesia sudah
diperkirakan terjadi sekitar abad 14 atau 15 Masehi. Mulanya tujuan awal kedatangan orang-orang China ini hanya untuk urusan berdagang,
bukan untuk menyiarkan budaya-budaya mereka.” – Memoirs of a Nonya.
Kekayaan alam dan budaya asli, serta keramahtamahan bangsa Indonesia ternyata memikat masyarakat pendatang China ini, termasuk Tjong A Fie,
sehingga mereka akhirnya memilih untuk menetap di Indonesia. Tidak hanya menetap, mereka pun memilih untuk menikahi perempuan-perempuan Indonesia
di sekitar pesisir, karena ketiadaan sosok perempuan-perempuan China. Pernikahan ini tak hanya menyatukan dua manusia berbeda bangsa saja, tetapi
juga menggabungkan ragam budaya dan kuliner kedua bangsa. Kebudayaan yang lahir sebagai hasil perkawinan antarbudaya inilah yang dikenal dengan
Kebudayaan Indo-China atau peranakan. Budaya ini dapat juga dikatakan sebagai proses sukses akulturasi atau
campuran dua budaya dimana tidak ada penghapusan nilai-nilai budaya yang mengalami pembauran. Baik budaya China dan budaya asli tidak hilang, tetapi
melebur menjadi satu, sehingga menciptakan banyak sekali tradisi baru, berikut juga bahasanya. Bahasa yang digunakan oleh kaum China Peranakan ini sangat
mudah dikenali dan diterima oleh masyarakat asli. Disebabkan karena mereka menggunakan bahasa melayu atau jawa, tetapi dibaur dengan aksen China.
Budaya peranakan ini juga disebut-sebut sebagai budaya paling kaya di Asia, karena tidak hanya melulu antara China dengan Jawa, tetapi juga dengan Belanda,
Inggris, Arab, India, Melayu, dan Portugis yang memang lebih lama berada di Indonesia.
Salah satu bukti berkembangnya budaya peranakan di Indonesia terlihat dari adanya kebaya encim atau kebaya nyonya. Meski kebaya adalah busana
nasional Indonesia, namun dalam perkembangannya, masyarakat Tionghoa di Indonesia juga tertarik dengan busana ini. Tak sedikit perempuan peranakan,
Universitas Sumatera Utara
termasuk istri Tjong A Fie dan anak perempuannya, yang memakai kain batik yang dipadukan dengan kebaya, dan akhirnya dikenal dengan kebaya nyonya
panggilan untuk perempuan peranakan. Percampuran budaya juga terlihat pada penggunaan warna putih pada kebaya encim. Di China, warna putih tidak lazim
digunakan karena melambangkan warna dukacita. Namun warna ini tetap digunakan pada kebaya encim oleh para perempuan peranakan.
“Tjong A Fie yang sudah lama berada di Medan, menyadari usaha bisnisnya akan dapat berkembang dengan pesat apabila dia menggunakan
budaya peranakan ini sebagai pintu masuknya ke dalam masyarakat. Bukan berarti dia harus menghapus tradisi-tradisi aslinya, tapi dia
meleburnya dengan budaya asli. Dia menikahi seorang perempuan peranakan, mempelajari bahasa Melayu dan menggunakanya dalam
kehidupan sehari-hari.” – Fon Prawira.
Tjong A Fie melakukan hal ini semata-mata agar mudah melebur dan diterima oleh kalangan masyarakat asli Kota Medan dan sekitarnya. Dia
membangun reputasinya melalui pendekatan budaya. Ini memudahkannya untuk menghapus stigma negatif dari masyarakat asli yang memang sinis dengan
masyarakat pendatang, yang banyak disebabkan oleh kesenjangan ekonomi dan struktur sosial waktu itu. Sadar dirinya termasuk salah satu orang yang memiliki
kuasa lebih, Tjong A Fie pun mencoba untuk tidak membangkitkan kecemburuan sosial antara dirinya dengan masyarakat asli. Dia menunjukkan bahwa kekayaan
dan kekuasaan yang dimilikinya saat ini bukan menjadi miliknya sendiri, dan tak layak disombongkan. Dia mengajak dan membaur ke masyarakat serta membuka
pintu seluas-luasnya bagi masyarakat sekitarnya agar masyarakat ini bisa menerima dan menghormatinya. Salah satu caranya adalah dengan pendekatan
budaya dan penggunaan bahasa melayu sebagai bahasanya, baik di dalam rumahnya maupun di lingkungan tempat tinggalnya. Ini terbukti efektif, dengan
budaya cina peranakannya, Tjong A Fie diterima dan bahkan sangat dihormati oleh masyarakat sekitar, bahkan Kesultanan Deli yang kental dengan budaya
melayunya tidak segan-segan menjadikan Tjong A Fie sebagai salah satu sosok kehormatan di dalam lingkungan kesultanan.
Universitas Sumatera Utara
f. Ajaran-ajaran Moral yang Diperjuangkan.