Kesimpulan KESIMPULAN DAN SARAN

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

i. Tjong A Fie lahir pada tahun 1860 tanggal dan bulan resmi tidak diketahui dari keluarga Hakka, di kampung Sung-kow, daerah Mei Xian, provinsi Kwang Tung, China daratan. Ayahnya, Tjong Lian Xiang memiliki sebuah toko kelontong kecil, bernama Wan Yun Chong, yang harus menghidupi sembilan jiwa, dua orang tua dan tujuh orang anak. Hidup dalam kesederhanaan membuat Tjong A Fie, yang merupakan anak keempat dalam keluarga, berpikir untuk hidup merantau mencari kehidupan baru sendiri. ii. Sejak kecil, Tjong A Fie sudah diajarin kiat-kiat berdagang oleh ayahnya. Dia tumbuh berkembang menjadi anggota keluarga yang sangat ahli dalam mengelola usaha keluarganya. Ketika ayahnya meninggal, Tjong A Fie mengambil alih usaha dagang keluarganya, namun ternyata hal ini tidak memuaskannya, sehingga dia memutuskan untuk merantau ke Laboean Deli, menemui abangnya, Tjong Yong Hian yang telah terlebih dulu datang dan saat itu menjabat sebagai Liutenant letnan China di Tanah Deli. iii. Tjong A Fie meninggalkan Ibunya dan saudara-saudaranya yang lain ketika dia merantau ke Tanah Deli. Tidak hanya itu, Tjong A Fie juga meninggalkan istrinya, Madam Lee, yang baru dinikahinya atas permintaan kedua orang tuanya. Dari pernikahan pertama ini, dia tidak memiliki keturunan. Namun, Madam lee mengadopsi seorang anak laki- laki yang bernama Po Liong. iv. Dengan modal seadanya, Tjong A Fie akhirnya tiba di Laboean, yang saat itu dikenal sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Deli, sebelum dipindah ke Medan. Tjong A Fie menemui abangnya dan akhirnya diterima bekerja di sebuah toko kelontong yang dimiliki oleh Tjong Sui Fo. Usaha Tjong Sui Fo mengalami peningkatan pesat karena pengaruh semangat anak muda Tjong A Fie. Universitas Sumatera Utara v. Kemampuan komunikasi verbal Tjong A Fie disukai banyak orang. Dia juga menunjukkan jiwa kepemimpinannya, sehingga banyak buruh-buruh China saat itu mendukung dia menjabat sebagai salah satu pemimpin. Dia pun diangkat oleh Belanda sebagai Liutenant China pada tahun 1886. Kemudian menjadi Kapitein China pada tahun 1898. Di tahun 1911, dia menggantikan abangnya sebagai Mayor China. vi. Semasa hidupnya, Tjong A Fie memiliki tiga orang istri. Yang pertama adalah Madam Lee yang dinikahi atas permintaan kedua orang tuanya. Saat sampai di Medan, dan sudah menjabat sebagai letnan, Tjong A Fie menikah untuk kedua kalinya dengan Madam Chew. Rumah tangganya dengan Madam Chew tidak berlangsung lama, karena Madam Chew meninggal dunia. Ditinggal Madam Chew, Tjong A Fie akhirnya menemukan cinta sejatinya dari sosok perempuan muda asal Binjai, bernama Lim Koei Yap. vii. Pernikahannya dengan Lim Koei Yap tidak mudah. Keluarga Lim Koei Yap menolak mentah-mentah lamaran Tjong A Fie saat itu. Umur yang terpaut jauh, Tjong A Fie 35 tahun, Lim Koei Yap 16 tahun, menjadi salah satu alasan keluarga saat itu. Selain umur, mereka juga keberatan karena Tjong A Fie masih memiliki seorang istri di China. Namun, berbekal kemampuan lobi yang alot, Tjong A Fie berhasil meyakinkan keluarga Lim Koei Yap. Bersama dia, Tjong A Fie menemukan kebahagiaan sebagai seorang pria. Rumah tangganya berjalan harmonis dengan dikaruniai tujuh orang anak. viii. Lim Koei Yap sendiri lahir dari seorang ayah bernama Lim Chang Hap, yang asli China, sedangkan ibunya berasal dari keluarga Melayu. Campuran budaya ini disebut China Peranakan. Budaya china peranakan ini-lah yang dibawa Lim Koei Yap ketika dia menikahi Tjong A Fie. Dengan budaya ini, Tjong A Fie lebih dihargai oleh masyarakat sekitar, karena di dalam budaya ini terdapat nilai-nilai budaya Melayu, yang saat itu merupakan budaya dominan di Tanah Deli. Bahasa yang digunakan sehari-hari pun adalah bahasa melayu, bukan lagi bahasa mandarin atau hakka. Universitas Sumatera Utara ix. Identitas diri Tjong A Fie mengalami perubahan pesat di Tanah Deli jika dibandingkan dengan awal-awal kedatangan beliau. Dengan sadar, dia bergabung dengan komunitas masyarakat kota Medan yang memiliki beragam budaya. Dia menunjukkan perhatian dan sumbangsih kepada masyarakat kota Medan, tanpa membeda-bedakan ras, agama, suku dan golongan. Beragam bangunan yang dibangunnya kala itu menjadi saksi bisu bagaimana pengaruh yang ditunjukkan sosok Tjong A Fie di masyarakat ketika itu. x. Tjong A Fie berbicara apa adanya, alami, tegas, dan menyikapi materi pembicaraanya secara langsung. Dia tidak bertele-tele menanggapi sebuah masalah. Dia pengambil keputusan yang cepat dan dia menunjukkan komitmen penuh terhadap apapun yang telah menjadi keputusannya. Dia berkomunikasi dan menjalin hubungan sosial dengan semua kalangan masyarakat tanpa membeda-bedakan ras, agama, suku dan golongan. xi. Tjong A Fie seorang komunikator bergaya komunikasi konteks-rendah dan bergaya bicara linier. Hal ini dibuktikan dengan cara komunikasinya yang lugas dan to-the-point dalam menyikapi materi pembicaraannya. Gayanya ini membuat sosok dia disukai banyak kalangan, mulai dari pihak Kesultanan, pemerintah Belanda hingga masyarakat umum. xii. Gaya personal sosok Tjong A Fie dilihat dari cara dia berbicara yang lembut, tidak meledak-ledak, menyampaikan kata-katanya dengan nada suara rendah. Komunikasi nonverbal-nya pun sering digunakan ketika dia hendak menyampaikan sesuatu yang penting. Komunikasi nonverbal-nya sebagai alat pendukung dan pelengkap komunikasi verbal-nya. xiii. Tjong A Fie akhirnya harus meninggalkan semua cerita suksesnya di Tanah Deli ketika ajal menjemputnya. Di tanggal 4 Februari 1921, Tjong A Fie meninggal dunia karena penyakit apopleksia atau pecah pembuluh darah di otak-nya. Seluruh masyarakat kota Medan berduka, tak hanya itu, orang-orang dari Jawa, Borneo, Singapura dan Malaysia juga datang menyampaikan belasungkawanya dan sekaligus mengantar Tjong A Fie ke tempat peristirahatannya yang terakhir di Pulo Brayan. Universitas Sumatera Utara

5.2 Saran