Wawancara dengan Narasumber Utama

Lampiran 2: Transkrip data

1. Data Primer

1.1 Wawancara dengan Narasumber Utama

Berikut ini adalah hasil dari proses wawancara resmi yang dilakukan oleh peneliti dengan narasumber utama, Pak Fon Prawira, pada tanggal 23 April 2013. Dari semua literatur yang saya baca, Tjong A Fie datang ke Sumatera dalam usia yang sangat muda. Lantas, bagaimana cara beliau menyesuaikan diri di tempat barunya ini, apa yang beliau lakukan pertama kali? Fon Prawira FP: Dari segi umur, umur remaja ya. Kita anggap aja usia remaja ya. Ya itu, dia bersahabat sama adik Sultan Deli. Tentu dia bekerja di salah satu kedai untuk menjual barang, logistik, seperti beras dan lain sebagainya. Dengan begitu ada interaksi dia dengan orang lain. Nah, bahasa yang dia pakai tentu campur-campur, ini merupakan kepintaran dia untuk mendekatkan kepada pihak lain, bukan hanya dengan bahasa, tetapi juga dengan gaya. Sebut saja bicara bahasa tubuh ya, dia pergunakan. Karena dulu di zaman Kesultanan Deli, mana ada bahasa pengantar China, gak mungkin Bahasa China, sedangkan China perantauan baru masuk pada saat pembukaan kebon-kebon itu. Jadi, gak mungkin sudah ada bahasa China ataupun Hokian menjadi bahasa dominan. Jadi pertama dia menggunakan komunikasi nonverbal. Kita katakan komunikasi alami, melalui penempatan dia secara budaya, ya saling menghormati dan saling membantu, dengan bahasa melayu yang awam, yang sederhana. Beliau sangat dekat dengan Kesultanan Deli, apa yang dilakukan Tjong A Fie sehingga beliau bisa sangat dekat dengan pihak kesultanan? Apa sumbangsih kepada pihak kesultanan sehingga dia sangat dipercaya oleh mereka? FP: Ya itu, karena dia kan menjual barang, menjual barang keperluan-keperluan hidup, otomatis kan ketika dia mengantar kepada pelanggan, kan dia membuat jasa, service, ada permintaan dia antar, dan nanti dia pungut uangnya itu belakangan. Nah ini kan menimbulkan kepercayaan. Karna kemudahan- kemudahan yang dia berikan kepada pihak kesultanan meningkatkan penjualan dia, lalu dia tunjukkan kepada boss toke-nya itu bahwa dia mampu menjual dengan baik. Jadi dia mulai dengan cara menjual barang ke pihak kesultanan? FP: Iya Interaksi sosial-nya itu, karena awalnya dia pegawai di salah satu toko, toko Tjong Sui Fo. Ini bisa keluarga dia, bisa disebut juga orang lain, bercampur lah ya. Jadi sifat dia itu, dia bekerja untuk ditunjukkan kepada pihak lain. Jadi Universitas Sumatera Utara kalau banyak pelanggan, kan tentu banyak yang pakai dia untuk menjual barang, jadi dia bekerja dengan keluarga atau dengan orang lain bukan itu masalahnya, masalahnya dia membangun kepercayaannya dengan berdagang. Nah, selain dengan pihak kesultanan, dia juga dekat dengan pemerintah Belanda. Saya berkesimpulan, dia pasti menemukan kesulitan yang banyak dengan pihak pemerintah Belanda, dimana budaya dan bahasa pasti berbeda, dimana Tjong A Fie berbahasa China atau Mandarin, sedangkan pemerintah Belanda berbahasa Belanda. Nah, apa yang dilakukan Tjong A Fie untuk mengatasinya? FP: Dari zaman dulu, semua bangsa dari Eropa yang mau masuk ke negara China atau mau masuk ke negara Indonesia, mereka itu sudah bisa berbahasa China dan berbahasa Melayu. Nah, itu sudah terjadi sejak zaman kaisar, dimana Negara China dahulu, zaman kaisar Chi, atau sebelumnya, itu sudah banyak bangsa Eropa itu datang ke daratan China, untuk menguasai perekonomian mereka, otomatis orang-orang itu belajar bahasa, termasuk dialek-dialek China, mau Hakka mau Hokian. Nah ini untuk mereka juga yang berinteraksi di Negara China. Jangan salah, jadi orang-orang ini juga yang datang ke negara lain, yang mana mereka akan utus orang-orang yang punya pengalaman di Negeri China atau orang yang bisa berbahasa China, begitu juga dengan yang bisa berbahasa Melayu. Jadi, orang-orang Belanda yang dikirim kemari bukan cuma orang-orang yang tahu Bahasa Belanda. Dan saat itu tidak ada yang namanya tentara atau pegawai- pegawai Belanda, yang ada adalah VOC, perkumpulan dagang orang Belanda. Nah, Tjong A Fie terlibat dengan mereka, untuk berdagang lagi. Disitulah mulai interaksi dagang itu. Orang-orang VOC ini kan udah keliling, bukan hanya di Indonesia, mereka sudah di Melaka, Singapura, dan lain-lain, jadi mereka sudah terbiasa berinteraksi dengan orang-orang China seperti Tjong A Fie. Nah kebetulan, Tjong A Fie diutus oleh pihak kesultanan, lalu Belanda melihat dia sebagai salah satu tokoh, memanfaatkan dia untuk dapat memasukkan barang ke kebon-kebon mereka. Nah ini menarik ya, karena ketika Sultan sudah percaya dengan Tjong A Fie, kemudian Belanda juga percaya dengan dia. Akhirnya, dia sangat kuat posisinya di masyarakat, lalu dia bisa menjadi seorang pemimpin yang, katakanlah, sukses. Jadi awalnya, liutenant, lalu kapiten dan terakhir mayor. Selain kemampuan kepemimpinannya yang disukai oleh pihak sultan dan Belanda. Menurut Bapak, sifat apalagi yang dimiliki Tjong A Fie? FP: Karena dia punya sifat cepat dalam mencari jalan keluar dalam sebuah kesulitan yang dialami oleh masyarakat luas. Apa yang mereka ingini? Apa yang menjadi solusinya? Tjong A Fie yang selalu menjadi penengahnya, memberi jalan keluar. Dengan kedekatan dia kepada pihak sultan dan pihak Belanda, maka dia Universitas Sumatera Utara manfaatkan ini untuk kepentingan luas, sehingga akses yang dia dapatkan dari sana membawa keuntungan kepada masyarakat luas. Ini membuat dia terdukung dari tiga sisi, yakni dari pemegang kuasa, pada saat itu Belanda, dan kepada pemilik wilayah, yaitu pihak kesultanan, nah yang ketiga, masyarakat menjadi tulang punggung bagi Tjong A Fie di dalam kesuksesannya. Dengan kata lain, dia tipe seorang pemikir ya? FP: Iya Seorang pengambil keputusan juga? FP: Iya Nah ini pertanyaan paling penting, menurut Pak Fon, apa ciri khas Tjong A Fie yang paling menonjol dari segi cara dia komunikasi? FP: Dia berbicara secara sederhana, alami dan menjunjung materi pembahasannya. Dia berbicara pada pokok masalahnya. Dia tidak berbicara yang bertele-tele. Dia tegas, to-the-point dan menyikapi. Dia bukan hanya menampung tapi menyikapi. Dan dia komit terhadap apapun yang dia sikapi. Ini yang membuat dia dipercaya oleh masyarakat luas, tanpa membedakan suku, agama dan golongan. Dia berbicara untuk semua lapisan, tidak membeda-bedakan. Nah ini kan harus datang dari karakternya, dari jiwanya. Lalu apakah beliau adalah orang yang dominan dalam hal komunikasi nonverbal? Seperti yang Pak Fon katakan tadi, awalnya dia berbicara dengan simbol-simbol, lambang-lambang, dengan bahasa isyarat karena dia belum bisa bahasa Melayu kan? Nah, setelah dia bisa berbahasa melayu, apakah dia masih menggunakan lambang-lambang atau bahasa isyarat itu lagi? FP: Nah itu kan bahasa tubuh, itu kan otomatis melekat dalam diri seseorang. Sudah pasti dia menggunakannya, karena itu salah satu cara dia untuk mendapatkan simpati. Jadi kalau dia duduk diam dan tidak memberika gerakan tubuh, atau penjelasan bagaimana dia harus berbuat contoh-contoh soal, yang mungkin hanya bisa dimengerti dengan tulisan tangan atau isyarat. Tidak semua harus menggunakan bahasa kan? Saya dapat menarik kesimpulan, kalau Tjong A Fie itu orangnya aktif berkomunikasi. FP: Jadi dia sering berimprovisasi. Segala cara dia lakukan agar orang lain dapat mengerti maksudnya, dengan tulisan, dengan gerakan, dengan bahasa, sehingga orang dapat mengerti langsung pokok permasalahan yang dibahas. Jadi langsung Universitas Sumatera Utara dia sikapi, tidak melalui birokrasi-birokrasi yang dia inginkan, berarti dia kuat dalam soal lobi. Dari berbagai literatur yang saya dapat, Tjong A Fie dikatakan menguasai tiga bahasa, yaitu Bahasa Mandarin, Melayu dan Belanda. Sebenarnya ada berapa banyak bahasa dia kuasai? FP: Sebenarnya bukan bahasa Mandarin ya tapi bahasa ibu dia, yaitu bahasa Hakka ya. Untuk yang lain mungkin seperti Jerman dan Prancis, dia tidak berinteraksi langsung menggunakan bahasa itu, mungkin pegawai-pegawainya ya, tapi yang pasti dia tidak berkomunikasi dengan bahasa itu, selain Bahasa Hakka, Melayu dan Belanda. Tapi itu bahasa-bahasa lain tidak menjadi hambatan bagi dia, karena dia menggunakan bahasa isyarat tadi dengan benar. Menurut Pak Fon, hal-hal apa saja yang dapat dibanggakan dari seorang Tjong A Fie, selain tentunya Tjong A Fie Mansion yang sudah dijadikan heritage ini. FP: Pengetahuan masa lalu atau sejarah merupakan pemikiran keberadaan masa kini. Jadi kalau masa lalu tidak dijadikan sesuatu yang dipelajari, kebudayaan masa kini tidak akan sempurna. Jadi masa lalu itu bukan atas perbuatan seseorang tapi proses yg terjadi saat itu adalah sebuah prilaku yang dilakukan Tjong A Fie yang ikut berkontribusi. Sebuah kehidupan yang bisa dinikmati, yang bisa dilihat oleh semua masyarakat. Jadi bukan kita melihat sosok Tjong A Fie-nya, tidak. Tapi dia terlibat di dalam sebuah proses. Banyak yang dia lakukan, seperti memasukkan buruh-buruh China, dia sendiri punya kebon. Untuk tempat tinggal masyarakat, dia bangun juga rumah-rumah. Dia bangun bank untuk memudahkan perekonomian, simpan-pinjam dan lain sebagainya. Dia bangun juga perhotelan. Jadi, keterlibatan dia jangan dilihat dari apa yang dia lakukan saja, tetapi dia sudah terlibat dalam satu golongan yang besar. Yang mempunyai niat untuk membangun ekonomi Indonesia secara menyeluruh. Jadi kita menghargai dia bukan hanya sepotong tapi jauh ke belakang, ada gak buktinya bahwa dia itu benar terlibat? Ternyata ada kan. Salah satunya dia duduk sebagai salah satu dewan kota. Dan lain sebagainya. Kita diwajibkan melihat dia dalam konteks pembangunan ekonomi, pembangunan Sumatera Utara, dia itu ada atau tidak? Dan ternyata ada, dia terlibat dalam semua itu. Itu yang harus dihargai. Itulah yang harus dibanggakan. Keterlibatan dia, sebagai seorang pemuda yang datang dari daratan China. Itu sebagai catatan tersendiri. Dia bukan seorang keturunan ningrat, tapi dia adalah seorang perantau, tapi dia mampu berbuat banyak kepada masyarakat. Menyinggung sedikit tentang istri ketiga Tjong A Fie, yaitu Lim Koei Yap, yang merupakan seorang anak China peranakan. Ketika Tjong A Fie Universitas Sumatera Utara memutuskan menikahinya, otomatis budaya China peranakan ini akan terbawa. Jelaskan sedikit tentang budaya ini, Pak. FP: Budaya China peranakan ini adalah akulturasi dari budaya China dan budaya melayu. Budaya melayu ini sebelum ada di Medan, juga sudah berimigrasi luas. Dan sebelumnya budaya China ini juga sudah ber-akulturasi di Jawa sana, dengan budaya melayu, maka kita bilang budaya melayu sudah merupakan bagian dari budaya Indonesia. Nah ini yang dibawa masuk dari Pulau Pinang, yang tadinya terjadi di budaya selat, yaitu di abad ke-17. Jadi budaya ini bukan budaya baru yang dibawa istrinya. Cuma, belum terjadi di kota Medan, belum di pesisir timur pulau Sumatera. Nah, di sepanjang Malaka, Singapura, dan Pulau Pinang, itu namanya Budaya Selat. Ini akibat dari manusia-manusia yang datang dari negeri China untuk bermuara dulu disana, berinteraksi dulu dia dengan orang-orang Inggris dan lain-lain. Jadi budaya ini bukan dibuat sendiri di rumah ini, cuma memang dari dulu sudah ada. Menurut Pak Fon, apa yang membuat sosok Tjong A Fie dicintai dan dikenang oleh warga Medan dan sekitarnya hingga saat ini? FP: Kita harus melihat satu sejarah dimana kebanggaan itu sudah dia mulai sejak awal keberhasilan dia disini, sudah dia sikapi, sudah dia tunjukkan kedermawanan dia tanpa membedakan suku, agama dan golongan. Nah ini akan menjadi satu cerita bahwa ada seorang tokoh, seorang China yang bersikap demikian tanpa membedakan suku atau bangsa, yang telah berbuat dan dapat dilihat amal baktinya kepada masyarakat umum. Sehingga dia bisa menjadi satu panutan, sehingga bisa diikuti oleh orang-orang China lainnya, atau orang-orang pendatang lainnya untuk ikut jejak-jejak Tjong A Fie. Maka masyarakat ini sangat mendambakan sifat-sifat Tjong A Fie dapat menjadi panutan bagi generasi muda. Yang hanya satu tujuan dia, membantu membangun memberikan kemudahan bagi semua lapisan masyarakat tanpa membeda-bedakan suku, agama dan golongan. Universitas Sumatera Utara

1.2 Wawancara dengan Narasumber Pendukung