Sejarah Pendidikan dan Masa Pertumbuhannya Menjadi Dewasa.

Dengan hanya berbekal seadanya, Tjong A Fie yang saat itu berumur 18 tahun, menambatkan sampannya di tepi sungai dalam perjalanan ke Swatow, dimana dari daerah itu, dia menumpang sebuah junk, yakni sebuah kapal yang dipakai oleh orang-orang dari daratan Tiongkok yang terbuat dari kayu dan berlayar mengarungi laut antara laut selatan dan daratan China. Tua dan muda semua bergabung, mempunyai arah perjalanan dan tekad yang berbeda, namun mereka semua memiliki tujuan yang sama, yakni mengadu nasib. Keberangkatan rombongan pemuda dari negeri China yang menuju selatan pun disebabkan banyak faktor, selain alasan kondisi di China, banyaknya permintaan tenaga kerja dari Sumatera juga menjadi salah satu alasan kuat. Pemerintahan Sumatera yang dikuasai oleh Kesultanan Deli saat itu mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pusat pemerintahan yang ada di Laboean Deli berkembang menjadi pusat administrasi, pusat perdagangan bahan-bahan pokok hingga menawarkan fasilitas pelabuhan yang ramai dikunjungi. Pegawai-pegawai perkebunan yang dibutuhkan pun semakin banyak, namun karena pada mulanya masyarakat asli menolak bekerja sebagai buruh, maka akhirnya didatangkanlah pemuda-pemuda dari negeri China dan Semenanjung Malaya.

c. Sejarah Pendidikan dan Masa Pertumbuhannya Menjadi Dewasa.

“Berbekal uang 10 dolar uang logam berukir naga lambang kerajaan Manchu yang diikatkan di tali pinggangnya, Tjong A Fie meninggalkan kampung halamannya. Beliau tiba di Laboean Deli, Sumatera, dalam usia yang masih sangat muda, 18 tahun.” – Memoirs of a Nonya. Usia Tjong A Fie masih 18 tahun saat itu, namun dia telah berkembang menjadi seorang anak muda China yang tangguh dan tidak kenal takut demi mengejar cita-citanya di tanah harapannya, yakni Tanah Deli. Dia memang tidak mengenyam bangku pendidikan layaknya anak-anak kaya di China, kehidupannya lebih banyak dihabiskan bersama keluarganya sampai akhirnya dia menerima kenyataan harus hidup mandiri dan memulai segala hal dari nol. Satu-satunya keahlian yang dimilikinya saat itu hanya berdagang. Universitas Sumatera Utara Dia akhirnya bertemu dengan abangnya, Tjong Yong Hian yang memang sudah menyurati dirinya untuk datang menemuinya di Laboean. Saat itu, abangnya telah berhasil menjadi seorang pemuka dalam kelompok masyarakat Tionghoa dan bertugas dalam pemerintahan kolonial Belanda dengan mendapat pangkat sebagai seorang liutenant atau letnan. Tidak ada kesulitan bagi abangnya untuk memperkenalkan Tjong A Fie yang masih muda dan polos itu kepada sebangsanya. Keberadaannya tidak berjalan mulus pada awalnya. Perbedaan budaya dan bahasa sangat kentara di Laboean. Namun, tak lama bagi Tjong A Fie untuk beradaptasi di tampat tinggal barunya. Seorang pemilik toko kelontong, Tjong Sui Fo akhirnya memperkerjakannya, dimana tugas utama Tjong A Fie adalah menjual barang- barang pokok, seperti beras, gula, garam dan sebagainya. Karena sejak muda sudah lihai dalam berdagang, tidak butuh waktu yang lama bagi Tjong A Fie untuk sukses dalam bidang ini. Usaha Tjong Sui Fo pun mengalami banyak kemajuan sejak kedatangannya. Salah satunya disebabkan karena kejujuran Tjong A Fie dalam berdagang, sehingga banyak orang yang percaya padanya dan menjadi pelanggan tetap. Dia juga dipuji karena kemampuan komunikasinya dalam menagih hutang dari para kreditur. Setiap akhir pekan, dia selalu pergi menjumpai para kreditur dan menagih hutang-hutangnya. Hasilnya amat selalu memuaskan, karena tak sepeserpun yang tidak tertagih. “Hal lain yang membuat Tjong Sui Fo terkesima dengan anak muda itu adalah warna kulitnya yang berwarna tembaga dengan sinar kemerah-merahan, yang menurut astrologi, akan mempunyai kedudukan penting, berpengaruh dan kaya raya. Itu merupakan hal yang tidak bisa dipandang enteng.” – Memoirs of a Nonya. Tjong A Fie menunjukkan kemampuannya dalam berteman. Dia mudah bergaul dan berteman dengan orang-orang dari berbagai bangsa yang beraneka ragam. Mulai dari kalangan Melayu yang kebanyakan adalah para tengku dari kerabat kaum bangsawan tanah Deli, orang-orang Arab, orang-orang India dan juga orang-orang Belanda. Dia pun belajar Bahasa Melayu yang dianggapnya sangat penting. Hampir setiap hari, dia mulai berbahasa Melayu demi tujuan agar cepat akrab dengan masyarakat sekitar. Universitas Sumatera Utara Salah satu pihak yang saat itu menaruh kepercayaan lebih padanya adalah pihak Kesultanan Deli. Sebagai salah satu pemasok bahan-bahan pokok di kalangan Sultan, dia pun banyak dikenal oleh masyarakat setempat. Namun kemampuan komunikasinya pada saat itu memang masih sangat terbatas, karena baru memulai belajar Bahasa Melayu. Agar bisa berkomunikasi dengan masyarakat, beliau pun berkomunikasi dengan isyarat-isyarat atau simbol-simbol yang dapat dimengerti. Namun lama kelamaan, dengan ketekunan belajar Bahasa Melayu dan suasana kehidupan yang jamak berbahasa Melayu, beliau akhirnya mampu dengan lancar berkomunikasi dengan pihak Kesultanan, para buruh-buruh maupun masyarakat sekitar. “Pada awal kedatangannya, Tjong A Fie menggunakan bahasa tubuh dengan baik, karena itu adalah salah satu cara dia untuk mendapatkan simpati. Dia sering berimprovisasi. Segala cara dia lakukan agar orang lain dapat mengerti maksudnya. Tidak melulu harus menggunakan bahasa.” – Fon Prawira. Proses belajar bahasa yang cepat ini membuat banyak masyarakat setempat, termasuk kalangan Sultan Deli, yang merupakan pemegang wilayah saat itu, terpukau. Mereka yakin anak muda ini punya kemampuan lebih. Apalagi, Tjong A Fie membuktikan bahwa dia memiliki jiwa kepemimpinan yang tinggi. Salah satunya adalah keterlibatan dia menjadi penengah atau mediator di kalangan buruh China, ketika terdapat buruh-buruh China yang sedang bertikai. Hal ini tentu saja tidak luput dari pengetahuan pihak kesultanan. Adik kandung Sultan, atau Raja Muda biasa dipanggil, sangat menyukai kepribadian Tjong A Fie, yang dianggapnya seseorang yang cerdas, tipe pemimpin dan ramah. Akhirnya, Tjong A Fie mendapat kepercayaan di kota kecil itu, ketika dia dicalonkan oleh orang-orang Tionghoa sebagai pemimpin, pemerintah kolonial Belanda pun sepenuhnya menyetujui. Dia pun berhenti bekerja di toko kelontong Tjong Sui Fo dan fokus serius menjalani jabatannya sebagai pemimpin masyarakat Tionghoa kala itu. Bersama saudaranya, dia mendirikan Ban Jaen Tjong Co. Tahun 1886, dia diangkat menjadi Liutenant Letnan Deli. Universitas Sumatera Utara “Tjong A Fie melaksanakan tugas-tugas yang baru itu dengan sungguh-sungguh. Lalu dia pun turut pindah ke Medan bersama dengan pemerintah karena Medan akan dijadikan sebagai ibu kota baru di pantai timur. Kemudian disana dia mendirikan sebuah kantor dari papan yang beratapkan rumbia. Tak lama setelah itu, dia dinaikan pangkatnya menjadi letnan dan abangnya, Tjong Yong Hian sebagai kapten.” – Fon Prawira. Ketika kehidupannya sudah stabil, Tjong A Fie memutuskan untuk mencari pendamping hidup. Merasa kesepian hanya hidup sendirian di sini, karena istri pertamanya tidak bisa mendampinginya, membuat dia berpikir untuk menikah lagi. Tjong A Fie pun dibantu oleh teman-temannya untuk dipertemukan dengan seorang wanita muda asal Ipoh, Malaysia. Wanita yang diketahui bermarga Chew ini adalah anak dari salah satu saudagar dari Ipoh, yang memiliki hubungan bisnis di Sumatera. Kenal dan memadu kasih ketika usaha Tjong A Fie mulai menemui jalan kesuksesannya, mereka akhirnya menikah dan dikaruniai tiga orang anak, yaitu Kong-Liong, Song-Jin, dan Kwei-Jin. Mereka hidup bahagia layaknya sebuah keluarga utuh. Namun ketika Madam Chew berumur 32 tahun, beliau jatuh sakit dan tak lama berselang meninggal dunia. Tjong A Fie sangat terpukul saat itu dan mengalami sedikit kemunduran dalam usahanya. Butuh waktu lama baginya untuk bangkit sebelum akhirnya takdir mempertemukan dia dengan seorang anak perempuan berumur 16 tahun, Lim Koei Yap. Kelak, orang ini-lah yang akan memberi pengaruh sangat besar dalam sisa kehidupan Tjong A Fie. “Semasa hidupnya, Tjong A Fie menikah tiga kali. Pertama kali dengan Madam Lee di kampung halamannya. Istri kedua adalah Madam Chew, wanita dari Ipoh, Malaysia. Dan yang terakhir, dengan Lim Koei Yap.” – Penjelasan Tour Guide Tjong A Fie Mansion. Tjong A Fie mengalami pasang surut kehidupan sebelum dia bertemu dengan Lim Koei Yap, seorang anak mandor di perkebunan Sungai Mencirim, Binjai. Kematian istri keduanya sangat membuat dia terpukul. Ditinggal istri keduanya dan diharuskan untuk membesarkan ketiga anak kandungnya, Tjong A Fie memutuskan untuk memanggil istri pertamanya, Madam Lee untuk datang dan tinggal bersamanya di Sumatera, agar ketiga anak-anaknya bisa dirawat dan tidak terlantar di rumahnya. Madam Lee datang dan kemudian mengasuh ketiga anak Tjong A Fie dengan baik. Namun ternyata Tjong A Fie tidak bahagia, hal ini Universitas Sumatera Utara karena sosok Madam Lee bukanlah sosok perempuan yang dipilih hatinya, melainkan hanya merupakan paksaan dari kedua orang tuanya. Dia merasa tidak mencintai Madam Lee dengan tulus, walau dia menghargai kebaikan wanita itu dalam merawat dan mengasuh ketiga anaknya. Momen bahagia sebagai seorang lelaki yang penuh cinta itu pun datang menghampiri Tjong A Fie, ketika dia hadir dan berbisnis di kawasan Binjai, Sumatera Utara. Dia bertemu dan berkenalan dengan seorang mandor perkebunan yang bertugas di kawasan Sungai Mencirim, Binjai. Namanya adalah Lim Chang Hap. Tjong A Fie yang memiliki usaha bisnis berkembang, menjadi salah satu orang yang terhormat di kawasan ini, begitu pun bagi keluarga Lim Chang Hap. Tjong A Fie yang akhirnya mengetahui keberadaan anak perempuan Lim Chang Hap yang bernama Lim Koei Yap dan berkeinginan untuk menikahinya. Namun hal ini tidak mudah baginya. “Keluarga Lim Chang Hap awalnya menolak lamaran Tjong A Fie untuk menikahi putri tertua mereka, Lim Koei Yap, dikarenakan status Tjong A Fie yang masih memiliki istri dan umur Lim Koei Yap yang masih sangat muda. Namun, karena kadung cinta, Tjong A Fie pun nekat membujuk keluarganya. Ibunya dengan mudah setuju karena melihat sosok Tjong A Fie yang elegan dan bergelimang harta dan kuasa, namun tetap saja Kakek, Nenek dan Ayahnya bergeming.” – Memoirs of a Nonya. Namun, memang dasarnya jodoh rahasia semesta. Lim Koei Yap yang saat itu masih 16 tahun, akhirnya menjadi istri ketiga dan terakhir Tjong A Fie yang pada masa itu telah berusia 35 tahun. Awal yang sulit bagi mereka, karena ditentang keluarga pihak wanita, namun ternyata diam-diam Lim Koei Yap mengagumi sosok Tjong A Fie. Dia melihat Tjong A Fie adalah sosok yang akan bisa menuntunnya menuju sebuah hidup yang baru dan istimewa, sebaliknya Tjong A Fie melihat Lim Koei Yap sebagai permaisuri cintanya yang selama ini disembunyikan dewa jodoh. Mereka berdua pun akhirnya mencoba membujuk kedua orang tua dan kakek-nenek Lim Koei Yap agar mengijinkan mereka untuk menikah. Sebuah keputusan yang memang tepat, karena mengubah kehidupan mereka secara menyeluruh. Mereka diijinkan menikah dan hal ini disikapi dengan bahagia namun tenang oleh Tjong A Fie. Dia memang sangat mencintai perempuan pilihannya ini. Menurutnya, dengan usia yang sangat muda, tidak akan Universitas Sumatera Utara menjadi halangan bagi Lim Koei Yap untuk mendampingi dan menjaganya agar tidak salah langkah dalam mengarungi kehidupan yang kelak akan sangat bermanfaat dan disenangi semua orang. Gambar 4.1 Tjong A Fie dan istrinya, Lim Koei Yap. Ibarat pepatah yang mengatakan, di balik pria sukses, selalu ada wanita hebat di belakangnya, begitu juga kisah Tjong A Fie dengan Lim Koei Yap. Dari ketiga istri, Lim Koei Yap-lah yang paling memiliki peranan di dalam kisah kesuksesan Tjong A Fie. Menikah di 1895, atau saat Tjong A Fie telah berusia 35 tahun, Lim Koei Yap membuktikan kepantasannya untuk mendampingi Tjong A Fie. Lim Koei Yap sendiri lahir dan besar dalam sebuah keluarga peranakan, dimana ayahnya, Lim Chang Hap yang merupakan orang China dan ibunya adalah seorang wanita berdarah melayu dan Birma. Campuran ini yang memunculkan budaya yang disebut china peranakan. Budaya inilah yang dibawa dan dikembangkan oleh sosok Lim Koei Yap melalui pernikahannya dengan Tjong A Fie. Tjong A Fie dan istri mudanya sangat bahagia, mulanya mereka dikaruniai oleh seorang anak perempuan yang diberi nama Tjong Foek Yin atau yang sering dipanggil Queeny Chang. Anak ini lahir pada tahun 1896. Kemudian lahir anak Universitas Sumatera Utara kedua yang bernama Tjong Fa Liong, kedudukannya sebagai anak lelaki tertua membuatnya sangat disayang oleh Tjong A Fie. Setelah dikaruniai dua orang anak, mereka akhirnya pindah ke sebuah rumah di Jalan Kesawan, Medan. Rumah ini nantinya akan menjadi sebuah heritage bernilai sejarah tinggi bagi masyarakat Kota Medan. Tjong A Fie membangun rumah tersebut pada tahun 1895, namun baru selesai digarap pada tahun 1900, ketika usia perkawinan mereka berumur lima tahun. Rumah baru yang dibangun oleh arsitek asal Belanda memakai gaya arsitektur Melayu, China dan Eropa. Sebuah rumah yang sangat megah bagi sebuah keluarga perantau di Kota Medan saat itu. Di rumah barunya ini, Tjong A Fie memiliki sebuah keluarga yang sangat besar, karena Lim Koei Yap melahirkan tujuh orang anak dari rahimnya. Ketujuh orang anak ini dibesarkan dengan kasih sayang yang amat besar oleh Tjong A Fie, terutama bagi Queeny Chang dan Fa-Liong. Mereka berdua disebut sebagai anak yang paling disayang. Gambar 4.2 Keluarga besar Tjong A Fie. Universitas Sumatera Utara

d. Sejarah Pekerjaan dan Reputasi.