Gaya Komunikasi Uraian Teoritis

2.2 Uraian Teoritis

2.2.1 Gaya Komunikasi

Gaya komunikasi communication style didefinisikan sebagai seperangkat perilaku antarpribadi yang digunakan dalam suatu situasi tertentu. Gaya komunikasi terdiri dari sekumpulan perilaku komunikasi yang dipakai untuk mendapatkan respon atau tanggapan tertentu dalam situasi yang tertentu pula Mulyana, 2004:102. Kesesuaian dari satu gaya komunikasi yang digunakan, bergantung pada maksud dari komunikator dan harapan dari komunikan. Penampilan dan kecakapan komunikasi, yang biasanya dinilai dari cara seseorang memilih kata-kata, melakukan jeda saat berbicara hingga intonasi dan mimik muka sering kali mengambil peran tersendiri dalam sebuah proses komunikasi. Seseorang yang mahir memilih kata-katanya secara efektif dan memiliki intonasi yang bagus akan senantiasa lebih ingin didengarkan oleh lawan bicaranya daripada seseorang yang berbicara dengan cepat atau sering melakukan kesalahan kata. Begitupun dengan mimik muka yang biasanya akan mendukung proses pengalihan pesan ke komunikan. Penampilan diri yang elegan dan rapi juga memegang poin penting apabila kita membahas dengan keefektifan pesan komunikasi. Seorang pembicara atau motivator yang senantiasa berpenampilan rapi dan bersih akan selalu mampu menarik perhatian pendengarnya, sebaliknya tidak akan banyak yang mendengarkan apabila sang komunikator tidak menjaga penampilan dirinya saat sedang menyampaikan pesannya. Setiap individu yang melakukan proses komunikasi memiliki gaya khas- nya tersendiri. Apabila diperhatikan dengan seksama, gaya komunikasi seseorang seharusnya berbeda dengan orang lain. Ibarat pakaian, tidak semua orang memakai pakaian tebal di daerah yang dingin atau pakaian terbuka di daerah panas, begitupun gaya komunikasi, gaya komunikasi orang Batak, belum tentu cocok apabila diterapkan dengan orang Betawi. Gaya komunikasi biasanya dipengaruhi oleh kebudayaan tempat ia bernaung. Edward T. Hall dalam Mulyana 2004:130 membagi gaya komunikasi berdasarkan dua konteks, yaitu komunikasi konteks-tinggi dan komunikasi konteks-rendah. Universitas Sumatera Utara  Komunikasi Konteks-Tinggi dan Komunikasi Konteks-Rendah Suatu kebudayaan dimana suatu prosedur pengalihan informasi menjadi lebih sukar dikomunikasikan disebut High Context Culture atau Komunikasi Konteks-Tinggi. Sebaliknya, kebudayaan di mana suatu prosedur pengalihan informasi menjadi lebih mudah dikomunikasikan biasa disebut Low Context Culture atau Komunikasi Konteks-Rendah Mulyana, 2004:87. Para anggota kebudayaan konteks-tinggi sangat mengharapkan agar digunakan cara-cara yang lebih praktis yang dapat membantu mereka dalam mengakses informasi dalam variasi situasi apapun. Hal ini karena kebudayaan masyarakat konteks-tinggi umumnya bersifat implisit dan ambigu. Hal yang hendak disampaikan tersebut sudah ada dalam nilai-nilai, norma-norma, dan sistem kepercayaan mereka. Sedangkan, komunikasi konteks-rendah sangat berharap agar tidak menggunakan cara-cara praktis hanya untuk membantu mereka mengakses informasi dalam variasi situasi apapun. Pada kebudayaan ini, cukup diberikan informasi secara garis besar saja dan mereka mampu mengaksesnya dengan mudah. Hal ini karena kebudayaan masyarakat konteks-rendah umumnya bersifat eksplisit Stella Ting Toomey, 1986. Kebudayaan dengan komunikasi konteks-rendah lebih langsung dan tidak berbasa-basi. Mereka juga cenderung mencari dan menyerap informasi langsung dari sumbernya. Gaya komunikasi mereka lebih mengutamakan pertukaran informasi secara verbal hanya sedikit didukung oleh pesan nonverbal, pertemuannya bersifat formal, tatap muka, tanpa basa-basi, dan langsung pada tujuan. Sedangkan pada budaya dengan komunikasi konteks-tinggi selalu menggunakan gaya komunikasi yang tidak langsung. Gaya komunikasinya cenderung kurang formal, pesan- pesan lebih banyak didukung oleh pesan nonverbal dan lebih menyukai basa-basi. Adapun gaya komunikasi anggota masyarakat kebudayaan konteks-rendah cenderung melakukan negosiasi yang bersifat linier dan logis dalam menyelesaikan masalah. Analisis merupakan suatu prosedur yang esensial dari kebudayaan ini, negosiasi harus singkat dan tidak bertele-tele, masuk akal, dan menggunakan pendekatan bargaining. Universitas Sumatera Utara Sebaliknya pada masyarakat kebudayaan konteks-tinggi memakai sistem perundingan yang halus, pilihan komunikasinya meliputi perasaan dan intuisi. Gaya ini lebih mengutamakan hati daripada logika. Budaya konteks-tinggi selalu menggunakan gaya komunikasi tidak langsung dalam menyelesaikan konflik, mereka tidak serta merta menjadikan informasi sebagai sesuatu yang utama dalam proses resolusi konflik, tetapi mengutamakan faktor-faktor relasi antar manusia, emosi budaya, dan kadang-kadang menggunakan pendekatan human relations. Orang-orang dari negara barat cenderung menerapkan komunikasi konteks-rendah dimana proses komunikasi dilakukan secara langsung, tanpa tedeng aling-aling, tegas dan tidak berputar-putar. Masyarakat Inggris, Jerman, Amerika maupun Prancis atau negara-negara Eropa lainnya tidak melakukan komunikasi yang bertele-tele, apa yang hendak disampaikan akan tersampaikan begitu saja, hal ini dipengaruhi dengan kebudayaan masyarakat barat yang berbeda dengan kebudayaan masyarakat timur, dalam hal ini negara-negara di Asia, termasuk Indonesia. Masyarakat Jepang, China dan Indonesia cenderung menyukai komunikasi konteks-tinggi, yang lebih banyak berpusat pada lambang-lambang dan bahasa non-verbal. Bahasa nonverbal sering kali dijadikan sebagai fokus utama dalam komunikasi konteks-tinggi ini. Oleh karena itu, proses pengalihan pesan terkadang menjadi sedikit sulit disampaikan atau tidak berjalan dengan mulus. Namun, tidak jarang juga, dalam sebuah komunitas atau masyarakat di sebuah negara, terdapat dua buah konteks sekaligus, baik konteks-tinggi ataupun konteks-rendah, hanya saja salah satu akan lebih mendominasi. Gaya komunikasi personal dapat ditunjukkan dengan cara kognitif maupun sosial. Banyak tipe atau gaya personal yang dimiliki manusia dalam melakukan proses komunikasi. Diantaranya, terdapat orang yang senang bercakap dengan menampakkan wajah ceria atau penuh dengan kehangatan, namun ada juga orang yang berbicara tanpa ekspresi. Terkadang juga ditemukan orang yang bersikap otoriter, namun akan ditemui pula orang yang bersikap sangat demokratis. Ada orang yang Universitas Sumatera Utara menghargai lawan bicara dengan cara menatap mata, namun ada pula yang acuh dan menatap ke segala arah ketika proses komunikasi sedang berlangsung.  Gaya Bicara Linier dan Gaya Bicara Nonlinier Masyarakat yang berpola pikir linier biasanya akan berkomunikasi secara linier pula. Di Amerika atau negara Eropa yang berkonteks-rendah sering ditandai dengan masyarakat yang bergaya bicara linier. Salah satu ciri khas-nya adalah sifat langsung, lugas dan tegas saat berkomunikasi. Sebaliknya, dalam budaya konteks-tinggi, seperti China atau Jepang, masyarakatnya akan lebih banyak berbicara secara nonlinier, dimana proses pertukaran informasi terjadi secara tidak langsung dan lebih banyak melakukan basa-basi. Tujuannya antara lain untuk memelihara kelangsungan kelompok Deddy Mulyana, 2004. Oleh karena itu, seorang anggota budaya konteks-tinggi tidak suka dipermalukan di depan orang lain. Jika terjadi konflik, tidak jarang konflik diselesaikan dengan perantaraan pihak ketiga, sebabnya penganut budaya konteks-tinggi ini cenderung menghindari konfrontasi dalam berkomunikasi. Orang Timur yang berbicara secara nonlinier menganggap orang dari negara-negara Barat sebagai orang yang tidak perasaan, karena berbicara secara lugas dan tanpa basa-basi. Apa yang hendak disampaikan akan tersampaikan begitu saja, diucapkan tanpa melihat kondisi sosial maupun psikis lawan bicaranya. Misalnya saja, seorang manajer Jepang yang sedang melakukan kunjungan kerja ke Australia tampak terkejut ketika rekan sejawatnya disana menjelaskan secara panjang lebar prosedur bisnis baru kepadanya. Orang Australia itu berbicara dengan cepat, persis dari awal hingga akhir, menjelaskan bagaimana prosedur itu bekerja, menunjukkan masalah-masalah yang mungkin muncul, dan bertanya apabila ia memiliki pertanyaan. Orang Jepang itu tersinggung dan merasa diperlakukan layaknya anak kecil, lantas berkesimpulan bahwa rekannya dari Australia itu tidak punya pertimbangan atas perasaannya. Dari cerita Universitas Sumatera Utara ini, diketahui bahwa gaya komunikasi dan budaya yang melingkupinya memiliki peran langsung dalam gaya komunikasi personal individu.  Paralinguistik Paralinguistik merupakan seperangkat karakteristik verbal yang menyertai pesan komunikasi seseorang saat sedang melakukan proses pertukaran pesan. Hal itu terkait dengan kecepatan bicara, intonasi, nada suara, kelancaran vokal dan sebagainya Deddy Mulyana, 2004. Paralinguistik sebenarnya merupakan salah satu aspek komunikasi nonverbal. Namun seringkali kehadirannya juga terkair dengan komunikasi verbal. Paralinguistik seorang komunikator jelas akan berpengaruh dalam memberikan kesan tertentu kepada pendengarnya. Ditinjau dari segi paralinguistik, tiap individu sebenarnya mempunyai gayanya sendiri-sendiri. Pun tiap komunitas budaya memiliki gaya khas yang membedakannya dengan komunitas budaya lainnya. Contohnya dikatakan bahwa orang-orang dari etnis Batak misalnya cenderung berbicara lebih keras dan kasar, jauh berbeda apabila dibandingkan dengan orang Melayu yang berbicara halus dan lembut. Suara memberikan kesan tentang kepribadian seseorang. Suara yang parau pada pria akan dianggap matang dan dewasa, sedangkan suara parau pada wanita akan dianggap tidak cerdas, malas, neurotis, apatis dan tidak menarik. Seseorang, tidak perduli pria atau wanita, apabila berbicara secara lambat, dengan nada yang rendah dan menurun, memberi kesan bahwa orang itu menderita depresi. Bicara cepat namun tidak rata, dengan nada tinggi dan suara basah, dan kesalahan ucap yang beruntun, menunjukkan kegugupan. Seorang ekstrovert misalnya berbicara lebih keras, lebih cepat, dengan nada yang tinggi, dengan lebih sedikit jeda. Gaya ini terlihat asertif, cakap dan persuasif. Orang-orang yang berkepribadian agresif dan ambisius, dikenali lewat gaya bicara mereka yang keras, cepat dan meledak-ledak. Aspek paralinguistik ini membawa informasi mengenai emosi, sikap, kepribadian, dan latar belakang sosial individu yang bersangkutan. Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Komunikasi Antar Budaya