Komunikasi Antar Budaya Uraian Teoritis

2.2.2 Komunikasi Antar Budaya

Komunikasi antarbudaya terjadi diantara orang-orang yang berbeda budaya. Komunikasi antarbudaya memiliki tema pokok yang membedakannya dari studi komunikasi lainnya, yaitu perbedaan latar belakang -yang lebih banyak disebabkan oleh perbedaan budaya- diantara para pelaku komunikasinya. Konsekuensinya, jika ada dua orang yang berbeda budaya maka akan berbeda pula komunikasi dan makna yang dimilikinya. Istilah antarbudaya pertama kali diperkenalkan oleh Edward T.Hall pada tahun 1959. Namun demikian, Hall tidak menerangkan pengaruh perbedaan budaya terhadap proses komunikasi antarpribadi. Perbedaan antarbudaya dalam berkomunikasi baru dijelaskan David K. Berlo melalui bukunya The Process of Communication An Introduction to Theory and Practice pada tahun 1960. Menurut Liliweri 2001, komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh komunikator dan komunikan yang berbeda budaya, bahkan dalam satu bangsa sekalipun. Guo-Ming Chen dan William J. Sartosa Liliweri, 2003:11 mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok. Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan: 1. Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema penyampaian tema melalui simbol yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan. 2. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama. 3. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita. Universitas Sumatera Utara 4. Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan pelbagai cara. Liliweri, 2003:36 Komunikasi antarbudaya terjadi bila produsen pesan adalah anggota suatu budaya dan penerima pesannya adalah anggota suatu budaya lainnya. Dalam keadaan demikian, akan segera dihadapkan pada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi tempat suatu pesan disandi dalam suatu budaya dan harus disandi balik dalam budaya lain. Seperti diketahui bahwa budaya sangat mempengaruhi orang yang berkomunikasi dan budaya bertanggung jawab atas seluruh perbendaharaan perilaku komunikatif dan makna yang dimiliki setiap orang. Konsekuensinya, bila dua orang yang berbeda budaya maka akan berbeda pula perbendaharaan yang dimilikinya, dan itu jelas akan menimbulkan kesulitan tertentu. Sehubungan dengan itu, para ahli seperti William B. Gudykunst dan Young Yun Kim 1983 menerapkan sebuah model dalam komunikasi antarbudaya, yakni komunikasi antara orang-orang yang berasal dari budaya yang berlainan, atau komunikasi dengan orang asing stranger. Model komunikasi ini pada dasarnya sesuai untuk komunikasi tatap muka, khususnya antara dua orang. Meskipun model itu disebut model komunikasi antarbudaya atau model komunikasi dengan orang asing, model komunikasi tersebut dapat mempresentasikan komunikasi antara siapa saja, karena pada dasarnya tidak ada dua orang yang mempunyai budaya, sosiobudaya dan psikobudaya yang persis sama. Model Gudykunst dan Kim ini mengasumsikan dua orang yang setara dalam berkomunikasi, masing-masing sebagai pengirim dan sekaligus sebagai penerima, atau keduanya sekaligus melakukan penyandian encoding dan penyandian-balik decoding. Karena itu, tampak pula bahwa pesan suatu pihak sekaligus juga adalah umpan balik bagi pihak lainnya. Pesan dan umpan balik antara kedua peserta komunikasi dipresentasikan oleh garis dari penyandian seseorang ke penyandian-balik orang lain dan dari penyandian orang kedua ke penyandian-balik orang pertama. Kedua garis pesan dan umpan balik tersebut menunjukkan bahwa setiap kita berkomunikasi, secara serentak kita menyandi dan Universitas Sumatera Utara menyandi-balik pesan. Dengan kata lain, komunikasi tidak statis, kita tidak menyandi suatu pesan dan tidak melakukan apa-apa hingga kita menerima umpan balik. Alih-alih, kita memproses rangsangan yang datang menyandi-balik pada saat kita juga menyandi pesan. Menurut Gudykunst dan Kim, penyandian pesan dan penyandian-balik pesan merupakan suatu proses interaktif yang dipengaruhi oleh filter-filter konseptual yang dikategorikan menjadi faktor-faktor budaya, sosiobudaya, psikobudaya dan faktor lingkungan. Lingkaran paling dalam, yang mengandung interaksi antara penyandian pesan dan penyandian-balik pesan, dikelilingi tiga lingkaran lainnya yang mempresentasikan pengaruh budaya, sosiobudaya dan psikobudaya. Masing-masing peserta komunikasi, misal orang A dan orang B, dipengaruhi budaya, sosiobudaya dan psikobudaya, berupa lingkaran-lingkaran dengan garis yang terputus-putus. Garis terputus-putus itu menunjukkan bahwa budaya, sosiobudaya dan psikobudaya itu saling berhubungan atau saling mempengaruhi. Kedua orang yang mewakili model juga berada dalam suatu kotak dengan garis terputus-putus yang mewakili pengaruh lingkungan. Selanjutnya, garis terputus-putus yang membentuk kotak tersebut menunjukkan bahwa lingkungan tersebut bukanlah suatu sistem tertutup atau terisolasi. Kebanyakan komunikasi antara orang-orang berlangsung dalam suatu lingkungan sosial yang mencakup orang-orang lain yang juga terlibat dalam komunikasi. Gambar 2.1 Model Komunikasi Antarbudaya Gudykunst dan Kim. Sumber: William B. Gudykunst dan Young Yun Kim 1983:65 Universitas Sumatera Utara Seperti ditunjukkan gambar di atas, pengaruh-pengaruh budaya, sosiobudaya dan psikobudaya itu berfungsi sebagai filter konseptual untuk menyandi dan menyandi-balik pesan. Filter tersebut adalah mekanisme yang membatasi jumlah alternatif yang memungkinkan kita memilih ketika kita menyandi dan menyandi-balik pesan. Lebih khusus lagi, filter tersebut membatasi prediksi yang kita buat mengenai bagaimana orang lain mungkin menanggapi perilaku komunikasi kita. Pada gilirannya, sifat prediksi yang kita buat mempengaruhi cara kita menyandi pesan. Lebih jauh lagi, filter itu membatasi rangsangan apa yang kita perhatikan dan bagaimana kita menafsirkan rangsangan tersebut ketika kita menyandi-balik pesan yang datang. Gudykunst dan Kim berpendapat, pengaruh budaya dalam model itu meliputi faktor-faktor yang menjelaskan kemiripan dan perbedaan budaya, misalnya pandangan dunia agama, bahasa, juga sikap terhadap manusia, misalnya apakah kita harus peduli terhadap individu individualisme atau terhadap kelompok kolektivisme. Faktor-faktor tersebut mempengaruhi nilai, norma dan aturan yang mempengaruhi perilaku komunikasi. Pengaruh sosiobudaya adalah pengaruh yang menyangkut proses penataan sosial social ordering process. Penataan sosial berkembang berdasarkan interaksi dengan orang lain ketika pola-pola perilaku menjadi konsisten dengan berjalannya waktu. Sosiobudaya ini terdiri dari empat faktor utama: keanggotaan dalam kelompok sosial, konsep diri, ekspektasi peran, dan defenisi mengenai hubungan antarpribadi. Dimensi psikobudaya mencakup proses penataan pribadi personal ordering process. Penataan pribadi ini adalah proses yang memberi stabilitas pada proses psikologis. Faktor-faktor psikobudaya ini meliputi stereotip dan sikap misalnya etnosentrisme dan prasangka terhadap kelompok lain. Stereotip dan sikap menciptakan pengharapan mengenai bagaimana orang lain akan berperilaku. Pengharapan itu pada akhirnya mempengaruhi cara kita menafsirkan rangsangan yang datang dan prediksi yang dibuat mengenai perilaku orang lain. Etnosentrisme, misalnya, mendorong kita menafsirkan perilaku orang lain berdasarkan kerangka rujukan sendiri dan mengharapkan orang lain berperilaku sama seperti kita. Hal ini akan membuat salah penafsiran pesan orang lain dan meramalkan perilakunya yang akan datang secara salah pula. Universitas Sumatera Utara Salah satu unsur yang melengkapi model Gudykunst dan Kim adalah lingkungan. Lingkungan sangat berpengaruh dalam menyandi dan menyandi-balik pesan. Lokasi geografis, iklim, situasi arsitektural lingkungan fisik, dan persepsi atas lingkungan tersebut, mempengaruhi cara menafsirkan rangsangan yang datang dan prediksi yang dibuat mengenai perilaku orang lain. Oleh karena orang lain mungkin mempunyai persepsi dan orientasi yang berbeda dalam situasi yang sama. Intinya, model tersebut menunjukkan bahwa terdapat banyak ragam perbedaan dalam komunikasi antarbudaya.  Unsur Komunikasi Antarbudaya. Terdapat tiga unsur budaya yang secara hakekat mempengaruhi komunikasi antarbudaya yaitu sebagai berikut: a. Persepsi Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan dari lingkungan eksternal. Secara umum dipercaya bahwa orang berperilaku sedemikian rupa sebagai hasil dari cara mereka mempersepsikan dunia. Perilaku ini dipelajari sebagai bagian dari pengalaman budaya mereka Porter dan Samovar, dalam Mulyana dan Rakhmat, 1993:27. Masyarakat Timur pada umumnya adalah masyarakat kolektivitis. Dalam budaya kolektivitis, diri self tidak bersifat unik atau otonom, melainkan lebur dalam kelompok keluarga, klan, kelompok kerja, suku, bangsa, dan sebagainya, sementara diri dalam budaya individualis Barat bersifat otonom. Akan tetapi suatu budaya sebenarnya dapat saja memiliki kecenderungan individualis dan kolektivitis, hanya saja salah satu biasanya lebih menonjol. Dalam komunikasi antarbudaya yang ideal kita akan mengharapkan persamaan dalam pengalaman persepsi. Tetapi karakter budaya cenderung memperkenalkan kita kepada pengalaman-pengalaman yang tidak sama, dan oleh karenanya, membawa kita kepada persepsi yang berbeda atas dunia luar. Universitas Sumatera Utara Ada tiga unsur sosio-budaya yang mempunyai pengaruh besar atas makna-makna yang dibangun dalam persepsi, yaitu : - Sistem-sistem kepercayaan, nilai, dan sikap yang lahir dalam budayanya. - Pandangan dunia world view yang berorientasi dari pandangan dunia satu budaya terhadap hal-hal seperti Sang Maha Pencipta, alam semesta, kemanusiaan, dan konsep-konsep masalah filosofis lainnya yang berkenan dengan konsep makhluk. Singkatnya, pandangan dunia ini membantu kita untuk mengetahui posisi dan tingkatan kita di dalam alam semesta. - Organisasi sosial, dalam hal ini terkait dengan bagaimana cara suatu budaya mengorganisasikan masyarakatnya dan lembaga-lembaganya, juga mempengaruhi bagaimana anggota-anggota budaya mempersepsi dunia dan bagaimana cara mereka berkomunikasi. Dua unit sosial yang dominan dalam suatu organisasi sosial dalam perspektif budaya adalah keluarga dan lingkungan pendidikan sekolah. b. Proses Verbal Proses verbal tidak hanya meliputi bagaimana berbicara dengan orang lain, namun juga kegiatan-kegiatan internal berpikir dan pengembangan makna bagi kata-kata yang digunakan. Proses-proses ini secara vital berhubungan dengan proses pemberian makna saat melakukan komunikasi antarbudaya:  Bahasa Verbal Bahasa merupakan alat utama yang digunakan oleh budaya untuk menyalurkan kepercayaan, nilai dan norma. Bahasa merupakan alat bagi orang-orang untuk berinteraksi dengan orang lain dan juga sebagai alat untuk berpikir. Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan dan turut membentuk pikiran. Secara sederhana bahasa dapat diartikan sebagai suatu lambang yang terorganisasikan, disepakati secara umum dan merupakan Universitas Sumatera Utara hasil belajar, yang digunakan untuk menyajikan pengalaman-pengalaman dalam suatu komunitas budaya.  Pola Pikir Pola pikir suatu budaya mempengaruhi bagaimana individu- individu dalam budaya tersebut berkomunikasi, yang pada gilirannya akan mempengaruhi bagaimana setiap orang akan merespon individu-individu dari budaya lain. Kebanyakan orang menganggap bahwa setiap orang meiliki pola pikir yang sama. Namun, harus disadari bahwa terdapat perbedaan-perbedaan budaya dalam aspek berpikir. Kita tidak dapat mengharapkan setiap orang untuk menggunakan pola pikir yang sama, namun memahami bahwa terdapat pola pikir dan belajar menerima pola- pola tersebut akan memudahkan kita dalam berkomunikasi. c. Proses Nonverbal. Proses-proses nonverbal merupakan alat utama untuk bertukar pikiran dan gagasan secara simbolik, yang biasanya dilakukan melalui gerak isyarat, ekspresi wajah, pandangan mata, dan lain-lain. Lambang- lambang tersebut dan respon-respon yang ditimbulkannya merupakan bagian dari pengalaman budaya. Budaya mempengaruhi kita dalam mengirim, menerima dan merespon lambang-lambang tersebut.  Perilaku Nonverbal Kebanyakan komunikasi nonverbal berlandaskan budaya, apa yang dilambangkannya merupakan hal yang telah disebarkan budaya kepada anggota-anggotanya. Misalnya lambang bunuh diri berbeda-beda antara satu budaya dengan budaya lainnya. Di Amerika Serikat, hal ini dilambangkan dengan jari yang diarahkan ke pelipis, di Jepang dilambangkan dengan tangan yang diarahkan ke perut, dan di New Guinea dilambangkan dengan tangan yang diarahkan ke leher. Sentuhan sebagai bentuk komunikasi dapat menunjukkan bagaimana komunikasi nonverbal Universitas Sumatera Utara merupakan suatu produk budaya. Di Jerman, kaum wanita seperti juga kaum pria biasa berjabat tangan dalam pergaulan sosial, sedangkan Amerika wanita jarang berjabat tangan. Di Muangthai, orang-orang tidak bersentuhan berpegang tangan dengan lawan jenis di tempat umum, dan memegang kepala seseorang merupakan suatu pelanggaran sosial.  Konsep Waktu Waktu merupakan komponen budaya yang penting. Terdapat banyak perbedaan mengenai konsep waktu antara budaya yang satu dengan budaya yang lain, yang mempengaruhi komunikasi.  Penggunaan Ruang Cara seseorang menggunakan ruang sebagai bagian dalam komunikasi disebut dengan prosemik. Prosemik tidak hanya meliputi jarak antara orang-orang yang terlibat dalam percakapan, tetapi juga orientasi fisik mereka. Orang-orang dari budaya yang berbeda mempunyai cara-cara yang berbeda pula dalam menjaga jarak ketika bergaul dengan sesamanya. Bila berbicara dengan orang yang berbeda budaya, kita harus dapat memperkirakan pelanggaran-pelanggaran yang mungkin timbul, menghindari pelanggaran tersebut dan meneruskan interaksi kita tanpa memperlihatkan reaksi permusuhan.  Hambatan Komunikasi Antarbudaya. Melakukan komunikasi antarbudaya sebenarnya sangat sulit. Bukan hanya karena berbeda budaya, tetapi juga muncul hambatan- hambatan yang timbul dalam komunikasi antarbudaya atara lain disebabkan oleh: a. Prasangka Sosial Prasangka sosial merupakan sikap perasaan orang-orang terhadap golongan tertentu, golongan ras atau kebudayaan yang berlainan dengan Universitas Sumatera Utara golongannya. Prasangka sosial terdiri dari sikap sosial yang negatif terhadap golongan lain dan mempengaruhi perilakunya terhadap golongan tersebut. Batak memandang diri mereka sendiri sebagai berani, terbuka dan tangguh. Mereka menganggap orang Jawa dan Sunda sebagai orang yang terlampau sopan sehingga menimbulkan stigma bahwa mereka cenderung lebih penakut dan lemah serta ragu-ragu dalam berbicara. Bagi orang Batak, cara komunikasi yang dianggap sebagian orang kasar justru dianggap sebagai simbol kejujuran, sementara mereka menafsirkan kehalusan orang Sunda dan Jawa sebagai kemunafikan. Maka dapat disimpulkan bahwa faktor pengalaman dengan intra maupun antaretnik mempengaruhi komunikasi. Dalam berkomunikasi terjadi proses persepsi yang bersifat selektif sehingga terjadi generalisasi yang keliru terhadap objek. Prasangka sosial ini sendiri kemudian berkembang disebabkan oleh ketiga faktor dibawah ini, yakni: - Etnosentrisme yaitu merasa etniknya sendiri yang paling baik. - Terlalu mudah menganalisis perilaku etnik lain dengan pengetahuan dan pengalamannya yang terbatas. - Cenderung memilih stereotip yang mendukung kepercayaannya tentang hubungan dan hak-hak istimewa apa yang harus dimiliki oleh diri pribadi. b. Jarak Sosial Jarak sosial merupakan perasaan untuk memisahkan seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan tingkat penerimaan seseorang terhadap orang lain. Jarak sosial sebagai suatu penilaian di atas skala pada mulanya dilakukan oleh Borgadus, dengan mengambil sample 1725 orang Amerika asli dengan latar belakang 30 etnik. Borgadous menemukan bahwa pada setiap etnik ada perbedaan pilihan jarak sosial. Ada kecenderungan yang menunjukkan bentuk interaksi positif. Sikap ini dapat mempengaruhi efektifitas komunikasi antaretnik Liliweri, 2001:178. Menurut Zastrow, Universitas Sumatera Utara diskriminasi memberikan jarak sosial merupakan faktor yang merusak kerjasama antarmanusia maupun komunikasi di antara mereka. Doob, dalam Liliweri 2001:178 mengakui diskriminasi sebagai bentuk perilaku yang ditujukan untuk mencegah suatu kelompok atau membatasi kelompok lain yang berusaha memiliki atau mendapatkan sumberdaya kehidupan. Dari beberapa penelitian tentang diskriminasi, dapat disimpulkan bahwa diskriminasi terjadi karena alasan historis, seperti kebanggaan atas kejayaan suatu etnik, bisa juga berupa sistem nilai yang berbeda antara etnis mayoritas dan minoritas, pola kerja sama yang berlainan, juga pola pemukiman yang berbeda, seperti Timur dan Barat, urban dengan rural hingga terkait dengan faktor sosial budaya, ekonomi, agama, dimana hal itu memerlukan perbedaan perlakuan. Prasangka sosial dan stereotipe ini kemudian berpengaruh terhadap tingkah laku diskriminatis yang terinternalisasi melalui proses sosialisasi, persuasi, identifikasi dan penyesuaian. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap para anggota kelompok etnik lain dan mempengaruhi penilaian masing-masing anggota antarkelompok ini, karena mereka merefleksikan penilaian- penilaiannya yang berpengaruh terhadap identitas dirinya sendiri Cookie dan Walter, 1985 dalam Liliweri, 2001.  Efektifitas Komunikasi Antarbudaya. Terdapat beberapa orientasi jawaban logis apabila kita menanyakan mengenai keefektifan seseorang dalam melakukan komunikasi antarbudaya. Salah satunya adalah kemampuan menyesuaikan diri dan kualitas pertumbuhan pribadi pelaku komunikasi itu sendiri. Semakin cepat ia mampu menyesuaikan diri dengan kultur budaya yang berbeda, maka semakin baik pula dikatakan komunikasi antarbudaya-nya. Tidak banyak yang mampu dengan cepat atau setidaknya memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan kultur budaya yang berbeda, salah satunya harus didasari oleh kemampuan ia dalam melakukan komunikasi antarbudaya yang efektif. Universitas Sumatera Utara Faktor lain agar bisa mengatakan seseorang melakukan komunikasi antarbudaya yang efektif ialah bahwa ia harus memiliki sikap dan pengetahuan berbasis budaya yang menawan. Hal ini tentu tidak mudah, karena seseorang dituntut untuk memiliki sikap dan pengetahuan yang dalam terkait dengan budaya orang lain. Terakhir, kualitas komunikasi yang terjalin harus diharapkan menyinggung segala aspek kehidupan, bisa dimulai dari aspek ekonomi, politik, olahraga, bahasa, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Menurut hasil penelitian para ahli yakni Kealey dan Reuben 1983 tentang efektifitas komunikasi antarbudaya yang menunjukkan terdapatnya variabel-variabel yang menentukan efektif atau tidaknya komunikasi antarbudaya, yakni: - Kejujuran, empati, pengungkapan rasa hormat dan keluwesan dari pelaku komunikasi. - Variabel situasional yang terdiri atas kondisi kerja, batasan-batasan kerja dan tingkat kesulitan kerja, kondisi hidup, persoalan kesehatan, kesimpangsiuran politik hingga kesulitan bahasa dari pelaku komunikasi. - Kekuatan kepribadian, partisipasi sosial, kemampuan bahasa, dan apresiasi adat istiadat dari pelaku komunikasi. - Penyesuaian dan kepuasan pribadi, kepiawaian professional, dan hubungan dari hati ke hati dengan anggota budaya tuan rumah. - Sifat kepribadian yang terbuka dan tertarik kepada orang lain, percaya diri, luwes, dan piawai secara professional dari pelaku komunikasi. - Kemampuan melakukan penyesuaian diri dan mengatasi stress, kontak dengan orang setempat yang relatif tinggi, pemahaman dan keefektifan dalam hal pengetahuan dan teknologi dari pelaku komunikasi. Universitas Sumatera Utara Namun harus diakui, efektif atau tidaknya komunikasi antarbudaya bergantung pada budaya yang mewarnai perilaku manusianya. Semakin baik kita kita mengenal dan memahami budaya lawan bicara kita, maka akan semakin efektif pula proses komunikasi yang kita lakukan. Selain itu, sikap stereotipe atas beragam budaya harus kita terima sebagai makna yang positif atas ragam budaya dan uniknya manusia. Universitas Sumatera Utara

2.2.3 Teori Identitas Sosial.