yang belum baik. Dengan kegiatan eksperimen siswa terdorong untuk mencari informasi mengenai data-data yang mendukung penyelesaian masalah, dan data-
data yang diperlukan bisa diperoleh melalui proses mengukur. Keterampilan mengukur sangat penting karena merupakan cara siswa menerima umpan balik
dari sebuah penelitian berupa nilai. Peningkatan keterampilan mengukur kelas eksperimen tidak lebih tinggi
daripada kelas kontrol karena dalam pembelajaran DI, dari awal pelajaran siswa diberikan arahan oleh guru bagaimana cara menggunakan alat dan mengukur,
sehingga pada pertemuan selanjutnya siswa sudah bisa dan terbiasa. Berbeda dengan kelas eksperimen yang tidak mempunyai kemampuan awal yang tinggi,
sehingga keterampilan mengukur siswa kurang berkembang jika siswa tidak mau berusaha sendiri untuk mencari tahu. Jadi faktor pengetahuan awal yang baik dan
kemandirian siswa merupakan hal yang sangat penting dalam suksesnya pembelajaran PBL Berbasis Inkuiri
4.2.2.3 Keterampilan Menyusun Hipotesis
Aspek keterampilan proses sains dasar yang muncul pertama kali untuk menggiring siswa pada sebuah penemuan adalah memprediksi atau hipotesis. Dari
permasalahan yang dikemukakan oleh peneliti sebagai guru, siswa digiring pada suatu prediksi dengan melakukan tanya jawab. Tanya jawab perlu dilakukan
untuk menghasilkan stimulus atau rangsangan yang berguna untuk siswa dalam merencanakan dan melaksanakan investigasi Ango, 2002. Indikator dari aspek
memprediksi yaitu mengemukakan pendapat mengenai apa yang akan terjadi pada keadaan yang belum diamati. Berawal dari berbagai macam pendapat yang
mereka kemukakan, siswa diberi tugas untuk menyelesaikan Lembar Kerja Siswa. Permasalahan yang diberikan kepada siswa merupakan fenomena yang sering
mereka jumpai dalam kehidupan sehari-hari tanpa mereka sadari, jadi siswa dapat menebak dengan mengingat-ingat hal berkaitan dengan permasalahan tersebut.
Berdasarkan analisis hasil observasi selama dua kali eksperimen nampak bahwa terdapat peningkatan pada aspek hipotesis di kelas eksperimen. Nilai faktor
gain aspek hipotesis kelas eksperimen 0,47 termasuk kategori sedang sedangkan untuk kelas kontrol tidak memiliki keterampilan hipotesis karena perlakuan yang
diberikan berupa pembelajaran DI tidak berbasis masalah, sehingga siswa tidak dituntut untuk berhipotesis. Nilai rata-rata aspek hipotesis pada eksperimen
terakhir di kelas kontrol sebesar 25,00 yang masuk dalam kategori kurang dan kelas eksperimen mencapai 73,44 yang masuk dalam kategori baik. Hal ini
menunjukkan bahwa model pembelajaran PBL Berbasis Inkuiri lebih efektif untuk
meningkatkan keterampilan
hipotesis dibanding
dengan model
pembelajaran DI. Kondisi ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Assriyanto 2014 yang menyatakan bahwa siswa dengan pembelajaran metode
inkuiri terbimbing lebih antusias untuk menentukan hipotesis yang akan diuji kebenarannya dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran
metode eksperimen sederhana. Pembelajaran PBL melatih siswa untuk menyusun hipotesis terhadap
masalah yang disajikan, berbeda dengan pembelajaran DI yang tidak menyajikan masalah sehingga hipotesis tidak dapat dirumuskan. Jadi, keterampilan hipotesis
ini merupakan salah satu bagian penting dari proses pembelajaran PBL yang belum tentu bisa diperoleh dalam model pembelajaran lainnya.
Keterampilan hipotesis siswa memang berkembang tidak terlalu signifikan karena kurangnya pengetahuan awal siswa mengenai materi pelajaran sehingga
hipotesis yang disusun kurang terarah. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan awal merupakan suatu hal yang fundamental yang harus dimiliki oleh seseorang
dalam menyusun hipotesis. Selain itu kurangnya pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk menggiring siswa juga dapat mengakibatkan kurang baiknya
peningkatan keterampilan hipotesis. Menurut Martland pertanyaan-pertanyaan yang digunakan merupakan nilai penting untuk mengantarkan jalan pemikiran
siswa Ango, 2002.
4.2.2.4 Keterampilan Mengolah Data