SK Menteri Pertanian Nomor 752KptsUm1082 tentang syarat-syarat teknik bibit sapi perah yang dimasukkan dari luar negeri.
SK Menteri Pertanian Nomor 753KptsUm1082 tentang kesehatan bibit sapi perah yang akan dimasukkan dari Australia dan Selandia Baru.
Inti dari kebijakan ini adalah menitikberatkan persyaratan teknis agar impor bibit sapi perah tidak berdampak negatif, terutama penyakit ternak atau
mutu genetis sapi perah yang rendah. Hal ini dimaksudkan agar bibit sapi perah yang masuk ke Indonesia terjamin kualitasnya dan mempunyai standar kualifikasi
tertentu. Sedangkan para peternak tersebut dilatih terlebih dahulu, agar memahami sepenuhnya apa yang harus dikerjakan untuk menghasilkan sapi-sapi prima. Jika
ada peternak berpotensi tetapi terhambat modal maka perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah.
4.5.2 Kebijakan Pemerintah terhadap Produksi Susu di Indonesia
Tanpa kebijakan pemerintah yang mendukung tingkat konsumsi masyarakat Indonesia akan sulit menyamai dengan negara lain di tingkat ASEAN.
Selain itu produk susu segar dalam negeri masih belum memenuhi kebutuhan industri pengolahan susu di Indonesia. Akibatnya sekitar 70 persen bahan baku
industri pengolahan susu masih diimpor dari Australia dan New Zealand. Pemerintah melakukan impor susu dalam bentuk bubuk untuk memenuhi
permintaan susu dalam negeri yang lebih menyukai susu bubuk dibandingkan susu segar. Susu tersebut diimpor dalam bentuk SMP Skim Milk Powder dan
AMF Anhydrous Milk Fat. Susu yang diimpor akan diolah kembali oleh Industri Pengolahan Susu IPS dan oleh non Industri Pengolahan Susu.
Perkembangan usaha sapi perah di Indonesia yang cukup signifikan itu tidak terlepas dari upaya pemerintah dalam bentuk dukungan kebijakan yang
bersifat lintas sektoral, perlindungan atau proteksi terhadap usaha peternakan rakyat dan penyediaan fasilitas kredit serta permodalan dalarn meningkatkan skala
usaha dan populasi sapi perah di tingkat keluarga peternak. Pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama SKB tiga Menteri, yakni Menteri Koperasi, Menteri
Pertanian dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan yang selanjutnya dikukuhkan dengan KEPRES Nomor 2 Tahun 1985 mengatur tentang pemasaran
susu segar dari peternak ke IPS. Oleh karena itu, IPS wajib menerima susu segar dalam negeri SSDN dan bukti serap sebagai pengaman harga SSDN dan harga
bahan baku impor. Beberapa instrumen kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah selama ini
adalah adanya a rasio impor bahan baku susu yang dikaitkan dengan keharusan serap susu segar domestik, atau yang lebih dikenal dengan rasio BUSEP Bukti
Serap, dan b penerapan tarif impor untuk bahan baku susu impor maupun produk susu susu bubuk, keju dan mentega. Namun, Sejak ditandatanganinya
kesepakatan antara Pemerintah RI dengan IMF pada bulan Januari 1998 tentang penghapusan tataniaga SSDN, maka sejak saat itu sistem rasio BUSEP juga telah
dihapus. Dengan ketentuan tersebut sesungguhnya komoditas susu telah memasuki era pasar bebas, meskipun seharusnya baru akan dimulai pada tahun
2003. Hal ini berarti bahwa komoditas susu memasuki pasar bebas lebih awal dari kesepakatan waktu yang telah ditetapkan, sehingga harus memiliki daya saing
kuat untuk mengantisipasi masuknya bahan baku susu impor. Oleh karenanya
harga SSDN yang berlaku harus merupakan harga pasar yang kompetitif, terutama jika dipertimbangkan ancaman dari produsen susu utama dunia seperti Australia
dan New Zealand. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145PMK.0112008, sejak
bulan November tahun 2008 untuk mengatasi permasalahan kurangnya supply susu serta tingginya harga susu di tingkat konsumen, pemerintah melakukan
program peningkatan daya saing industri susu di dalam negeri yaitu dengan memberikan insentif fiskal berupa penanggungan bea masuk oleh pemerintah atas
impor produk olahan dan bahan baku industri pengolahan susu. Hal tersebut juga diperparah dengan dikeluarkannya kebijakan terbaru mengenai penghapusan tarif
impor masuk dari 5 persen menjadi 0 persen berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 19PMK.0112009. Kondisi ini memberikan implikasi bahwa IPS
memiliki pilihan yang kuat dalam menentukan harga kontrak, mengingat harga susu impor bubuk jauh lebih murah hingga 15 persen dari susu lokal, serta
memperburuk kondisi peternak sapi perah, karena mendapatkan harga yang lebih rendah dan posisi tawar yang lemah.
Pada akhir Mei 2009, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan PMK Nomor :101PMK.0012009 tentang Tarif Bea Masuk sebesar
lima persen terhadap impor tujuh produk susu tertentu yang terdiri dari 6 produk “Full Cream Milk Powder” FCMP dan satu produk susu mentega. Kebijakan itu
mengubah kebijakan sebelumnya, yaitu PMK Nomor: 19PMK.0112009 pada 13 Februari 2009 yang tidak dikenai biaya atau 0 persen.
Secara garis besar, kebijakan Pemerintah Indonesia tidak pernah berpihak pada peternak kecil. Hal ini menyebabkan peternak kecil tetap miskin dan harga
susu tidak terjangkau oleh masyarakat bawah. Kebijakan tentang susu tersebut hanya ditujukan untuk kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional.
Petani tidak punya hak untuk menentukan harga. Yang berhak menentukan harga dan kuota susu dari peternak hanya IPS. Ketergantungan yang merugikan
itu terus berlanjut hingga hari ini. Sekitar 90 persen susu segar peternak diserap oleh IPS, yang hanya terdiri dari lima perusahaan besar. Kelima perusahaan itu
adalah PT Nestle, PT Frisian Flag, PT Ultra Jaya, PT Sari Husada, dan PT Indomilk.
Para peternak tidak pernah mendapatkan harga yang sesuai untuk produk susunya karena ketergantungan terhadap IPS. Nasib peternak tetap berada di
tangan perusahaan-perusahaan asing dan dipermainkan oleh mekanisme pasar global. Misalnya, dalam 6 bulan sejak akhir Desember 2008, Nestle telah dua kali
menurunkan harga beli susu dari peternak. Kebijakan yang berpihak kepada peternak kecil, serta pengalokasian dana
yang tepat oleh pemerintah akan menjamin terjadinya peningkatan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia,
ketersediaan suplai susu yang terjamin, meningkatnya pendapatan peternak dan pelaku usaha lainnya di bidang
peternakan dan terwujudnya masyarakat terutama anak-anak yang lebih sehat dan lebih pintar. Sehingga menjadikan usaha peternakan sapi perah rakyat dan
persusuan nasional menjadi instrumen untuk mengatasi pengangguran, dan meningkatkan potensi pedesaan.
V.HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Struktur Pasar Industri Pengolahan Susu di Indonesia