5.1.2 Analisis Hambatan Masuk Pasar
Hambatan masuk pasar pada industri pengolahan susu dapat terlihat dari mudah tidaknya pesaing potensial untuk masuk ke suatu pasar. Segala sesuatu
yang memungkinkan terjadinya penurunan kesempatan atau kecepatan masuknya pesaing baru merupakan hambatan untuk masuk. Hambatan dalam industri
pengolahan susu tidak hanya dalam bentuk perangkat yang legal tapi juga dapat terjadi secara alami.
Sejalan dalam rangka reformasi dan restrukturisasi perekonomian nasional perkembangan industri pengolahan susu di Indonesia tidak luput dari perhatian
pemerintah. Keppres mengenai mekanisme rasio penyerapan susu yang ditiadakan mengharuskan mekanisme perdagangan yang terjadi diserahkan pada mekanisme
pasar. Pemerintah dalam mekanisme pasar berperan sebagai regulator terhadap perkembangan industri pengolahan susu untuk mencegah terjadinya persaingan
yang tidak sehat. Mekanisme pasar ini menyebabkan perusahaan-perusahaan baru lebih mudah untuk masuk dalam industri. Akan tetapi pada kenyataannya
mekanisme pasar ini justru dimanfaatkan antar produsen untuk membuat kesepakatan. Salah satu cara yang digunakan agar dapat bersaing maka para
pesaing harus memiliki Minimum Effisiency Scale MES. Dengan mengukur skala ekonomis melalui pendekatan nilai output perusahan terbesar dibagi dengan
total output industri, dapat mempertahankan keberadaan perusahaan susu dalam industri susu. Tinggiya MES dapat menjadi penghalang bagi pesaing baru untuk
memasuki pasar suatu industri.
Pada Tabel 7, terlihat Skala Efisiensi Minimum industri pengolahan susu tahun 1984-2008 memiliki nilai rata-rata sebesar 29,54 persen. Nilai tersebut
merupakan patokan output minimal bagi pesaing baru untuk bersaing dalam industri pegolahan susu. Apabila pesaing baru memasuki industri dengan nilai
output dibawah nilai MES, maka pesaing tersebut tidak dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan yang sudah eksis di industri susu tersebut. Menurut
Comanous dan Wilson 1967 dalam Alistair 2004 nilai MES yang lebih besar dari 10 persen mengambarkan hambatan masuk pasar yang tinggi pada industri.
Kondisi MES yang cukup tinggi ini dipengaruhi karena industri pengolahan susu termasuk ke dalam jenis industri yang padat modal, penguasaan teknologi yang
tinggi serta tingkat produksi minimal yang tinggi. Gambar 4. Fluktuasi Minnimum Efisiency Scale MES
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 P
E R
S E
N
MES
MES
Sumber : BPS, 1984-2008 Agar pesaing baru dapat memasuki industri, industri tersebut harus
menghasilkan output besar yang ditunjang dengan kapasitas produksi yang besar,
fasilitas yang menunjang serta modal yang mencukupi. Bila dilihat pada utilitas kapasitas produksi industri pengolahan susu di Indonesia, industri ini tidak pernah
berproduksi pada kapasitas penuh. Utilitas kapasitas tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 90,23 persen. Sedangkan utilitas kapasitas terendah terjadi
tahun 2006 yaitu sebesar 85,56 persen. Secara rata-rata utilitas kapasitas produksi industri pengolahan susu di Indonesia pada periode 2005-2010 cukup tinggi yaitu
sebesar 88,81 persen. Tabel 7. Utilitas Kapasitas Produksi Industri Pengolahan Susu
TAHUN SUSU
KAPASITAS IZIN Ton
PRODUKSI RIIL Ton
UTILITAS KAPASITAS PRODUKSI
2005 578919
536000 89,22
2006 624835
616500 85,56
2007 639894
636900 90,23
2008 699815
644540 88,98
2009 730312
658080 89,43
2010 769207
675600 89,42
RATA-RATA 88,81
Ket : angka perkiraan Sumber : Dit Mintem Kemenperin Diolah
Utilitas kapasitas produksi ini berpengaruh pada persaingan usaha dalam industri pengolahan susu di Indonesia. Kondisi industri yang belum berproduksi
sesuai dengan kapasitas yang dimiliki sengaja dimanfaatkan para produsen. Sehingga setiap ada perkembangan pasar, established firm masih dapat memenuhi
permintaan yang ada dengan menggunakan ekses kapasitas yang mereka miliki. Kondisi diatas bisa juga merupakan tindakan pre-emptive expansion untuk
menghambat masuknya pemain baru ke dalam pasar guna menjaga market share mereka. Peningkatan utilitas kapasitas produksi perusahaan susu yang sudah ada
akan mengancam keberadaan pesaing dalam industri pengolahan susu. Peningkatan utilitas kapasitas produksi akan meningkatkan jumlah produk susu di
pasar bahkan jumlah produk susu ini akan lebih beragam dengan inovasi-inovasi baru yang akan menarik konsumen. Hal ini menyebabkan para pelaku dalam
industri pengolahan susu baik baru maupun yang sudah ada merasa terancam karena takut produknya tersaingi.
Industri pengolahan susu di Indonesia yang padat modal menyebabkan biaya input bahan baku dan biaya investasi lebih besar dari pada pengeluaran
tenaga kerja. Selain itu industri pengolahan susu juga merupakan industri padat energi karena dalam biaya inputnya terdapat biaya untuk bahan bakar, tenaga
listrik dan gas. Ini dapat terlihat melalui Tabel 9. Tabel 8. Komposisi Biaya Input Industri Pengolahan Susu Tahun 2004-2008
JENIS INPUT TAHUN
2004 2005
2006 2007
2008 Bahan baku
77,25 93,01
88,99 89,41
88,87 Bahan bakar, tenaga kerja, listrik
gas 11,02
2,63 2,01
3,69 1,87
Sewa gedung, mesin alat-alat 0,34
0,60 0,40
0,52 0,37
Jasa non industry 11,39
3,76 8,60
6,38 8,89
Total 100,00
100,00 100,00
100,00 100,00
Sumber :BPS diolah
5.2 Analisis Perilaku Industri Pengolahan Susu di Indonesia 5.2.1 Strategi Produk