93 pemegang IPPKH menunda pemenuhan kewajiban tersebut karena kedua alasan
di atas, namun terdapat pula perusahaan yang menundanya karena belum aktifnya kegiatan tambang di lapangan yang disebabkan oleh kesulitan financial, harga
komoditi yang anjlok, konflik dengan pihak lain Pemegang IUPHHK danatau masyarakat.
Di samping faktor kurangnya sosialisasi dan panjangnya rantai pengurusan permohonan, terbatasnya kawasan hutan yang akan dijadikan lokasi rehabilitasi
DAS juga menghambat progres pemenuhan kewajiban ini. Kendala tersebut sangat dirasakan terutama di Provinsi Kalimantan Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Sebagian besar kawasan hutan di kedua provinsi tersebut telah dibebani hak, baik IUPHHK, IPPKH, maupun IUP. Sementara hutan lindung dan kawasan
konservasi mempunyai akses yang sangat sulit, sehingga pemegang IPPKH merasa enggan untuk mendapatkan calon lokasi dengan akses yang menyulitkan
pelaksanaan kegiatan rehabilitasinya karena akan berimbas pada tingginya biaya transaksi yang harus ditanggung.
Beberapa pemegang IPPKH juga mengeluhkan kebijakan rehabilitasi DAS ini, terutama pada penentuan luas kawasan hutan yang harus direhabilitasi.
Mereka berpendat bahwa ‗seharusnya luas kawasan hutan yang direhabilitasi berdasarkan luas kawasan hutan yang digunakandibuka untuk kegiatan tambang,
bukan luas kawasan hutan yang dipinjam pakai‘. Situasi ini juga menjadi beban tersendiri untuk semua pemegang IPPKH karena luas kawasan hutan yang harus
direhabilitasi lebih luar dari luas IPPKH, mengingat dalam ketentuannya pemegang IPPKH harus merehabilitasi DAS seluas IPPKH ditambah dengan areal
kawasan hutan yang secara teknis tidak dapat dilakukan reklamasi dan revegetasi atau masuk dalam kategori L3
33
. Berbagai faktor tersebut di atas yang menyebabkan respon pemegang
IPPKH sangat rendah, berkategori buruk skor 72. Pemegang IPPKH dengan PKP2BKK mempunyai komitmen yang jauh lebih baik dalam pemenuhan
kewajiban ini dengan kategori cukup baik skor 42 dibandingkan dengan pemegang IPPKH dengan IUP yang berkategori sangat buruk skor 30.
6. Penyerahan Laporan Periodik
Berdasarkan kategori respon yang telah ditetapkan, tidak terdapat perbedaan respon yang mencolok antara perusahaan tambang yang mempunyai
izin dalam bentuk PKP2BKK dengan izin dalam bentuk IUP. Untuk indikator penyerahan laporan, respon pemegang IPPKH sama-sama dalam kategori buruk
skor 67. Respon perusahaan tambang PKP2B sedikit lebih baik dengan skor 34 sedangkan perusahaan tambang IUP mempunyai nilai skor 33.
Skor tersebut menunjukkan bahwa kewajiban penyerahan laporan banyak diabaikan oleh pemegang IPPKH. Sebagian besar perusahaan beralasan tidak
mengetahhui format bakustandar laporan yang diinginkan oleh kementerian kehutanan, sebagian lainnya beralasan lupa dan terlambat menyeahkan laporan
karena waktu tersita oleh kegiatan produksi di lapangan.
33
L3 adalah sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 yaitu area terganggu karena PKH yang bersifat permanen yang secara teknis tidak dapat dilakukan
reklamasi ha yang selanjutnya dikenakan 2 dua kali tarif PNBP sampai areal diserahkan kembali.
94
Asumsi Kebijakan PKH
Berdasarkan analisis isi terhadap peraturan-perundangan terkait dengan kebijakan PKH, hasil wawancara dengan para pihak dan observsi di lapangan,
terdapat beberapa asumsi dalam kebijakan PKH, yaitu: 1. Pemegang IPPKH mengerti tentang pengelolaan hutan
Pertambangan dan energi merupakan sektor pembangunan penting bagi Indonesia. Industri pertambangan sebagai bentuk kongkret sektor pertambangan
telah banyak berkontribusi terhadap pendapatan domestik bruto PDB. Industri pertambangan juga telah banyak mempekerjakan tenaga kerja masyarakat
Indonesia. Namun dari sisi lingkungan hidup, pertambangan dianggap paling merusak dibanding kegiatan-kegiatan eksploitasi sumberdaya alam lainnya.
Pertambangan dapat mengubah bentuk bentang alam, merusak dan atau menghilangkan vegetasi, menghasilkan limbah tailing, maupun batuan limbah,
serta menguras air tanah dan air permukaan. Jika tidak direhabilitasi, lahan-lahan bekas pertambangan akan membentuk kubangan raksasa dan hamparan tanah
gersang yang bersifat asam.
Praktik kegiatan tambang yang merusak tersebut harus diantisipasi dengan baik oleh sektor kehutanan. Banyaknya persyaratan dan kewajiban yang
dibebankan kepada perusahaan tambang menjadi gambaran bahwa pemerintah, dalam hal ini kementerian kehutanan, berusaha keras untuk menjaga kondisi
kawasan hutannya meminimalisir dari kerusakan akibat kegiatan tambang. Pada kenyataannya perusahaan tambang hanya mampu menyiapkan persyaratan
permohonan IPPKH saja, sementara kewajiban-kewajiban lainnya masih perlu waktu untuk mendapatkan buktinyata. Perbedaan latar belakang, tujuan dan
motivasi, jenis komoditi dan teknik pengelolaan antara sektor pertambangan dan kehutanan menjadi kendala bagi implementasi kebijakan PKH. Hal itu dikarena
sulitnya memadukan kepentingan kedua sektor tersebut.
Kebijakan PKH disusun oleh kementerian kehutanan yang minim aspirasi publik. Tidak banyak pihak yang dilibatkan dalam proses perumusannya,
sehingga kementerian kehutanan terkesan berjalan di atas rel-nya sendiri dengan cara pandangnya sendiri yang terbatas hanya pada sektor kehutanan saja.
Sementara kebijakan PKH merupakan ‗rule of the game‘ yang diperuntukkan bagi sektor pertambangan dan sektor lainnya. Ketiadaan pertimbangan teknis dalam
perumusan kebijakan ini meng akibatkan banyaknya ‗gap‘ yang terjadi antara
narasi kebijakan dengan praktik pertambangan di lapangan. Dari data respon yang tersaji di atas menunjukkan bahwa pemegang IPPKH masih mengalami kesulitan
dalam memenuhi hampir semua keweajiban. Banyaknya aturan main sektor kehutanan yang tidak mereka ketahui, belum familiarnya dalam pengelolaan
kawasan hutan, kurangnya sosialisasi dan permasalahan-permasalahan yang harus mereka hadapi terkait dengan teknis maupun administrative sektor pertambangan
menjadi alasan sulitnya kebijakan PKH untuk diimplementasikan.
95 2. Pemegang IPPKH mampu dan mau berkomitmen memenuhi semua
kewajiban Asumsi kedua ini merupakan efek lanjutan dari asumsi pertama. Dengan
dukungan financial yang rata-rata sangat kuat, pemegang IPPKH dianggap mampu untuk memenuhi semua kewajiban yang diberikan oleh pemerintah.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah seberapa besar pemerintah menaruh kepercayaan trust kepada para pemegang IPPKH ? Diperlukan kemauan atau
komitmen dari pemegang IPPKH untuk melaksanakan kebijakan PKH dengan baik dan benar.
Berdasarkan data respon terhadap enam indikator yang ditetapkan di atas, terutama pelaksanaan kebiatan reklamasi dan revegetasi serta rehabilitasi DAS,
maka sangat perlu ditingkatkan sistem kontrol terhadap pelaksanaan kebijakan PKH di lapangan. Kontrol terutama kepada pemegang IPPKH yang mempunyai
izin tambang IUP dari Bupati yang rata-rata berkinerja buruk. Sementara pemegang IPPKH dari PKP2B KK rata-rata berkategori cukup baik. Diharapkan
dengan ketatnya control terhadap para pemegang IPPKH dapat meningkatkan kemauan atau komitmen mereka terhadap keberhasilan implementasi kebijakan
PKH.
3. Perencanaan kegiatan pertambangan sama dengan kegiatan kehutanan Asumsi bahwa kegiatan pertambangan sama dengan kegiatan kehutanan
dapat diketahui melalui pencermatan terhadap peraturan PKH mulai dari penyiapan persyaratan permohonan, kewajiban-kewajiban pada saat mendapatkan
izin prinsip PKH sampai dengan pemenuhan kewajiban pada saat IPPKH.
Persyaratan permohonan IPPKH dalam bentuk rencana kerja
34
PKH untuk kegiatan pertambangan disusun dengan konten yang mirip dengan perencanaan
eksploitasi hasil hutan kayu. Perencanaan eksplotiasi tambang dengan metode back filling
digambarkan seperti eksploitasi hasil hutan kayu dengan siklus daur pertumbuhannya. Pada kenyataan tidak demikian, sifat komoditi pertambangan
yang tidak dapat diprediksi dengan tepat unpredictable menjadi masalah tersendiri bagi pemegang IPPKH pada saat implementasi kebijakan PKH di
lapangan. Pelaksanaan penambangan di lapangan sebagian besar tidak sesuai dengan rencana yang telah disusun. Selain tidak tepatnya letak, arah, ketebalan,
mutu dan jumlah deposit yang terkandung dalam wilayah pertambangan, permintaan pasar dan pengaruh kebijakan lain dari pemerintah juga sangat
mempengaruhi kinerja pemegang IPPKH dalam memenuhi kewajiban dalam implementasi kebijakan PKH.
Pelaksanaan kegiatan pertambangan yang tidak sesuai dengan rencana kerja tersebut di atas akan mengubah perencanaan penambangan, atau setidaknya
34
Penyusunan rencana kerja merupakan persyaratan yang diwajibkan oleh Kementerian Kehutanan yang disertai dengan peta lokasi dan citra landsat terbaru resolusi minimal
15mx15m. Rencana kerja tersebut disusun berdasarkan format outline baku yang telah disepakati di internal Direktorat PKH, Direktorat Jenderal Planologi. Dalam praktiknya, format
rencana kerja tersebut bersifat fleksibel, namun secara garis besar berisi materi-materi pokok yang dikehendaki oleh Kementerian Kehutanan. Rencana kerja ini menjadi acuan bagi
penyusunan baseline untuk pembayaran PNBP
96 menunda waktu pelaksanaan penambangan. Imbas dari perubahan rencana
tersebut adalah tidak sesuainya baseline yang disusun oleh pemegang IPPKH terkait dengan kewajiban pembayaran PNBP. Efek lanjutannya adalah melesetnya
target PNBP yang telah dicanangkan oleh Kementerian Kehutanan. Meskipun Direktur Jenderal Planologi mengambil kebijakan untuk memberikan kesempatan
kepada pemegang IPPKH untuk mengubah rencana kerja dan baseline, namun hal itu tidak menyelesaikan masalah karena masalah tersebut bukan hanya masalah
teknis dan pasar saja, tapi juga persoalan non-teknis dan politis. Karakteristik sumbder daya tambang yang unpredictable underground resources tersebut
tidak bisa disamakan dengan sumberdaya kayu yang dapat dilihat di atas permukaan bumi, dapat ditentukan ketersediaannya, diketahui jumlah dan
kualitasnya serta dapat dipastikan pemanfaatannya.
4. Para pihak yang berkepentingan mampu dan siap mengimplementasikan kebijakan
Institusi kehutanan yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah pusat siap dengan segala tugas dan peranannya dalam implementasi PKH. Dari tiga
provinsi yang menjadi lokus penelitian, dua provinsi mempunyai beban yang berat. Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan merupakan provinsi
dengan IPPKH yang paling banyak. Beban tersebut tidak diimbangi dengan kesiapan pendanaan dan keterbatasan sumber daya manusia.
Sampai dengan bulan Oktober 2013 telah terbit 71 IPPKH untuk kegiatan pertambangan di Kalimantan Timur dan 60 IPPKH di Kalimantan Selatan. Jika
terhadap perusahaan-perusahaan pemegang IPPKH tersebut dilaksanakan verifikasi pembayaran PNBP, maka akan memerlukan sumber daya manusia yang
sangat besar untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Demikian juga jika akan dilakukan kegiatan monitoring yang dikoordinasikan oleh Dinas Kehutanan
KabupatenKota, maka akan menjadi dua kali kebutuhan sumber daya manusia pelaksana. Ketersediaan dana kegiatan juga masih sangat terbatas, terutama untuk
kegiatan monitoring IPPKH. Keterbatasan kemampuan institusi tersebut harus dicarikan jalan keluarnya agar implementasi kebijakan PKH dapat berjalan
dengan lebih baik.
Sementara pemegang IPPKH sebagai implementor utama ‗mau tidak mau‘ menyatakan siap dan mampu melaksanakan kebijakan PKH. Bagi pemegang
IPPKH, akses untuk melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan adalah hal yang paling utama. Sebesar apapun biaya korbanan yang harus
dikeluarkan, asalkan masih dalam batas kewajaran dan masih dalam batas kemampuan finansial pemegang IPPKH akan dikerahkan demi lancarnya produksi
tambang mereka. Pemegang IPPKH memahami segala konsekuensi akibat terbitnya IPPKH atas nama perusahaannya. Namun demikian, semakin kecil
korbanan yang mereka keluarkan akan semakin baik. Bahkan menurut salah seorang kepala teknik tambang KTT yang menjadi salah satu responden
menyatakan bahwa sebenarnya setiap penurunan biaya transaksi yang diakibatkan pelaksanaan IPPKH bagi perusahaan adalah insentif.
97
Analisis Asumsi Gap Analysis
Analisis asumsi diciptakan untuk mengatasi empat kelemahan utama dalam analisis kebijakan: 1 analisis kebijakan seringkali didasarkan pada asumsi
dari satu pembuat keputusan dengan nilai-nilai yang ditata secara jelas yang dapat direalisasikan pada satu titik waktu, 2 analisis kebijakan biasanya gagal
mempertimbangkan secara sistematis dan eksplisit pandangan-pandangan yang sangat berlawanan mengenai sifat, masalah-masalah dan potensi pemecahannya,
3 kebanyakan analisis kebijakan dilakukan dalam organisasi-organisasi di mana sifat self-sealingnya membuat sulit atau tidak mungkin untuk menghadapi
rumusan-rumusan masalah yang besar, dan 4 kriteria yang digunakan untuk menilai kecukupan masalah dan solusinya sering kali hanya menyentuh
karakteristik permukaannya misalnya konsistensi logis, daripada dengan asumsi- asumsi dasar yang melandasi konseptualisasi masalah
Dunn, 2003
. Hasil analisis asumsi terhadap implementasi kebijakan PKH sebagaimana
dijelaskan pada bagian sebelumnya terrangkum dalam Tabel 18. Tabel 18 Matriks hasil analisis asumsi gap analysis yang digunakan dalam
implementasi kebijakan PKH
No Asumsi Kabijakan
Hasil Analisis Keterangan
1. Pemegang IPPKH mengerti tentang pengelolaan hutan
Perbedaan tujuan dan motivasi pengelolaan sumber daya alam, rigidnya peraturan perundang-undangan
sektor kehutanan terkait dengan kewajiban- kewajiban pemegang IPPKH, kurangnya aspirasi
publik dan pertimbangan teknis pertambangan dalam proses perumusan kebijakan PKH menjadi dasar
implementor tidak mengerti dan memahami pengelolaan hutan seperti yang diharapkan oleh
perumus kebijakan. Terdapat gap
2. Pemegang IPPKH mampu dan mau berkomitmen
memenuhi semua kewajiban Kemampuan pemegang IPPKH dalam implementasi
kebijakan PKH tidak diragukan, namun data respon pemegang IPPKH menunjukkan hal yang
sebaliknya. Perlu kontrol yang lebih ketat dari pemerintah.
Terdapat gap
3. Perencanaan kegiatan pertambangan sama dengan
kegiatan kehutanan Karakteristik sumberdaya tambang yang
unpredictable menyebabkan kegiatan tambang di
lapangan tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana kerja PKH yang telah disusun. Berbeda
dengan sumber daya hutan yang kayu yang dapat dilihat di atas permukaan bumi, dapat ditentukan
ketersediaannya, diketahui jumlah dan kualitasnya serta dapat dipastikan pemanfaatannya
Terdapat gap
4. Para pihak mampu dan siap mengimplementasikannya
Beban dan tanggung jawab yang harus diemban oleh institusi kehutanan di daerah tidak sebanding dengan
jumlah IPPKH yang berada di daerahnya. Hal itu harus diimbangi dengan kesiapan sumber daya
manusia dan ketersediaan dana. Sementara kesiapan dan kemampuan pemegang IPPKH untuk
mengimplementasikan kebijakan PKH tidak perlu diragukan.
Terdapat gap di beberapa
provinsi
98
Isu-isu dalam Implementasi Kebijakan dan Arah Kebijakan PKH
1. Illegal mining dalam kawasan hutan Keberadaan kebijakan PKH tidak secara otomatis membuat perusahaan
sadar dan kemudian mematuhinya. Illegal mining masih terjadi di beberapa daerah, baik dalam skala yang kecil maupun besar, dilakukan secara tersembunyi
maupun terbuka. Beberapa faktor yang menjadi alasan perusahaan melakukan illegal mining terkait dengan kebijakan PKH antara lain; berbelit-belitnya
prosedur perizinan, membutuhkan waktu yang lama, biaya transaksi yang tinggi, keberadaan aktor kuat sebagai backing perusahaan, kurangnya pengawasan aparat
pemerintah yang berwenang, dan lemahnya penegakan hukum.
Salah satu maksud dirumuskannya kebijakan PKH adalah untuk meminimalisir terjadinya illegal mining dan mengendalikan penggunaan kawasan
hutannya. Di satu sisi maksud tersebut mencapai sasaran, namun di sisi yang lain justru mengakibatkan perilaku moral hazard bagi beberapa perusahaan. Hal itu
tidak terlepas dari prosedur perizinan yang berbelit-belit, membutuhkan waktu yang lama dan biaya transaksi yang tinggi. Sebagai langkah konkrit untuk
mengurangi praktik illegal mining yang disebabkan oleh buruknya prosedur perizinan, kementerian kehutanan mengambil langkah-langkah melalui kebijakan
perizinan satu pintu
35
, penyusunan standar pelayanan perizinan PKH melalui Surat Keputusan SK Dirjen Planologi Nomor SK.8VII-PKH2013 tanggal 14
Juni 2013 tentang standar pelayanan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan IPPKH. Kedua kebijakan tersebut juga merupakan respon dari Inpres Nomor 1
Tahun 2013 tentang aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi tahun 2013
36
. Diharapkan dengan kebijakan tersebut, pemohon IPPKH tidak lagi mengalami
kesulitan, birokrasi menjadi semakin ringkas, pelayanan semakin cepat, transparan dan biaya transaksi proses perizinan dapat ditekan, sehingga praktik illegal mining
di lapangan bisa dikurangi.
Hasil pengamatan dan wawancara dengan berbagai pihak di lapangan mendapatkan kenyataan bahwa sebagian praktik illegal mining dilakukan di dalam
kawasan hutan lindung. Para pelaku merasa tidak ada jalan lain untuk
35
Untuk memperbaiki pelayanan perizinan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan
resmi meluncurkan pelayanan informasi perizinan satu pintu Kementerian Kehutanan, Rabu, 11 September 2013.
Pelayanan ini, katanya, merupakan bentuk reformasi birokrasi dari kementeriannya. Dengan pelayanan ini, menurut dia, proses perizinan akan menjadi lebih mudah dan transparan. Dalam
layanan baru itu, proses perizinan dilakukan melalui satu pintu sehingga lebih cepat. …Selama
ini, orang selalu pikir birokrasi itu berbelit... kata Zulkifli. Selain itu, pemohon dapat mengetahui secara jelas waktu yang dibutuhkan untuk proses perizinan.
…Biaya yang dibutuhkan juga jelas ditampilkan... Menurut Zulkifli, selama ini memang banyak pihak yang
mengeluhkan lamanya waktu perizinan di kementeriannya. Namun, yang perlu dicatat adalah ketersediaan kelengkapan yang dimiliki oleh pemohon. Chairunnisa N. 2013. Kemenhut
luncurkan perizinan satu pintu. [internet] Tempo. Diakses di http:www.tempo.co
readnews20130911090512449Kemenhut-Luncurkan-Perizinan-Satu-Pintu pada tanggal 29
Januari 2014.
36
Dalam lampiran Inpres Nomor 1 Tahun 2013 disebutkan bahwa kementerian kehutanan diberikan tanggungjawab untuk melaksanakan pelayanan perizinan tepat waktu secara online
untuk 8 jenis perizinan dengan ukuran keberhasilan terselenggaranya monitoring dan evaluasi pelayanan perizinan secara online untuk 8 jenis perizinan
99 mengembalikan investasi yang terlanjur dikeluarkan untuk mengurus perizinan
dan biaya operasional lainnya dengan melakukan penambangan di kawasan hutan lindung tanpa izin dari menteri kehutanan. Para pelaku mengetahui bahwa
melakukan penambangan di hutan lindung secara terbuka open surface mining dilarang oleh pemerintah. Keberanian para pelaku melanggar ketentuan tersebut
tidak lepas dari kekuatan aktor yang mem-back up perusahaan.
Kekuatan para aktor tersebut harus dihadapi dengan sikap penegakan hukum yang ketat dan tegas. Melihat kecenderungan modus lain dalam praktik
illegal mining, pemerintah dirasa perlu untuk mengambil langkah-langkah konkrit atau kebijakan pemberantasan illegal mining. Kebijakan tersebut bisa dalam
bentuk penguatan peraturan perundangan, perumusan peraturan baru, penguatan kelembagaan PKH, pembentukan satgas pemberantasan illegal mining maupun
kebijakan starategis lainnya yang sesuai untuk menjawab permasalahan tersebut.
2. Naiknya tarif PNBP Pro-kontra terhadap lahirnya PP Nomor 2 Tahun 2008 tentang pengenaan
tarif PNBP PKH tidak menyurutkan upaya pemerintah untuk menaikkan pemasukan negara melalui PNBP dari pemegang IPPKH. Informasi dari berbagai
sumber menyebutkan bahwa pemerintah berencana menaikkan tarif PNBP PKH. Pemegang IPPKH juga sebagian besar sudah mengetahui rencana pemerintah
tersebut.
Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan
37
mengatakan tarif pinjam pakai kawasan hutan akan dinaikkan 55 persen hingga 179 persen per hektar. Dengan
kenaikan ini diharapkan PNBP kehutanan bisa 5 triliun hingga 6 triliun. Kenaikan tarif berbeda untuk masing-masing perusahaan, tergantung pada luas kawasan
hutan yang digunakan. Semakin luas lahan hutan yang dipinjam, maka semakin besar pula kenaikan tarifnya. Hal lain yang menentukan besaran kenaikan yaitu
tingkat kerusakan lahan. Jika ada area yang mengalami kerusakan sangat berat, akan masuk kategori L3, tarifnya akan menjadi tujuh kali. Selain itu, tarif pinjam
pakai kawasan hutan yang semula hanya dikenakan pada area pertambangan, nantinya juga akan dikenakan pada area penyanggapencadangan. Sehingga, jika
dulu area pencadangan tidak dikenai tarif, sekarang masuk kategori wajib PNBP, harus bayar.
Zulkifli Hasan
38
juga menjelaskan, kenaikan tarif ini diberlakukan setelah Badan Pemeriksa Keuangan BPK menilai tarif pinjam pakai kawasan hutan yang
dikenakan kepada pengusaha pertambangan selama ini terlalu murah. Karena itu, lanjutnya, harus ada keadilan bagi negara. Jangan sampai negara justru dirugikan
di tengah keuntungan perusahaan tambang mengeruk hasil alam di tanah air.
Pemerintah menilai tarif pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan sektor lain, terutama sektor pertambangan sudah tidak memadai lagi. Kementerian Kehutanan
akan menaikkan tarif pinjam pakai kawasan hutan untuk berbagai kegiatan di luar sektor kehutanan sampai 45,8 persen.
37
Herdiman FS. 2013. Tarif naik: PNBP Kehutanan bisa capai Rp. 6T. [Internet] Jurnas.com. Diakses di
http:www.jurnas.comnews82703 pada tanggal 29 Januari 2014
38
Ibid
100 Direktur
Jenderal Planologi
Kementerian Kehutanan
Bambang Soepijanto
39
mengatakan, Kementerian Kehutanan terus merevisi sejumlah peraturan untuk menyederhanakan perizinan dan meningkatkan penerimaan
negara bukan pajak PNBP sektor kehutanan. Regulasi yang direvisi adalah Peraturan Pemerintah No 2 2008 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis PNBP yang
Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan Kehutanan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan. Tarif
pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan di hutan lindung akan naik dari Rp 3 juta per hektar menjadi Rp 4 juta per hektar 33,3 persen dan di
hutan produksi naik dari Rp 2,4 jutahektar per tahun menjadi Rp 3,5 juta per hektar per tahun 45,8 persen.
Meski sampai saat ini kebijakan tersebut belum dituangkan dalam bentuk PP sebagai revisi atau mengganti dari PP Nomor 2 Tahun 2008, namun isu
tersebut telah menyita perhatian dari para pemegang IPPKH dan pemerhatipraktisi bidang pertambangan. Keresahan tersebut terkait dengan
rencana pemerintah yang akan menghitung areal yang tidak dibuka untuk keperluan tambang sebagai wajib PNBP. Dengan demikian maksud pengenaan
PNBP sebagai tarif atas kerusakan kawasan hutan akan berubah menjadi tarif atas kawasan hutan yang dipinjam pakai untuk kepentingan sektor lain.
3. Terbatasnya lokasi rehabilitasi DAS. Rehabilitasi hutan dan lahan menurut PP Nomor 76 Tahun 2009 adalah
upaya untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung
sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Permenhut Nomor P.63Menhut- II2011 tentang Pedoman Penanaman bagi Pemegang izin Pinjam Pakai Kawasan
Hutan dalam rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai, mendefinisikan Daerah Aliran Sungai DAS sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan satu
kesatuan dengan sungai dan anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke
laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
Sedangkan Penanaman dalam rangka Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi Daerah
Aliran Sungai sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
Selanjutnya pada pasal 4 Permenhut tersebut dinyatakan bahwa sasaran lokasi penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS dilakukan pada wilayah DAS
yang sama dengan lokasi izin pinjam pakai kawasan hutan bagian hulu, tengah danatau hilir. Jikalah tidak tersedia pada wilayah DAS yang sama, maka sasaran
lokasi penanaman dapat dilakukan pada wilayah DAS yang lain di kabupatenprovinsi yang sama atau di kabupatenprovinsi terdekat. Sedangkan
untuk sasaran lokasi penanaman pada wilayah DAS yang sama pada bagian hilir dikhususkan di areal hutan mangrovepantai.
39
Kompas. 2014 Februari 24. Tarip pinjam pakai kawasan untuk tambang dinaikkan: 17 Kol 1-5
101 Batasan tentang kriteria lokasi rehabilitasi DAS lainnya adalah lokasi
penanaman adalah lahan kritis baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, diutamakan pada wilayah yang kompak dan bebas konflik
tenurial, diutamakan pada kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional. Sedangkan untuk lokasi
penanaman di luar kawasan hutan adalah pada ruang terbuka hijau, hutan kota, fasilitas sosial dan fasilitas umum, lahan dibebani hak milik yang berfungsi
lindung, sesuai rencana tata ruang wilayah provinsikabupatenkota.
Batasan-batasan tersebut bisa dikatakan cukup fleksibel, namun pada kenyataannya, lokasi seperti yang digambarkan dalam Permenhut tersebut sulit
diterima oleh para pemegang IPPKH. Pemegang IPPKH biasanya menginginkan lokasi rehabilitasi DAS yang dekat dengan areal tambang mereka, atau setidaknya
mempunyai akses yang mudah bagi mereka. Namun lokasi yang diharapkan sangat sulit, karena kawasan hutan yang berdekatan dengan areal IPPKH juga
merupakan aeal IPPKH perusahaan lain, atau wilayah pertambangan perusahaan lain, atau merupakan areal IUPHHK-HAHT. Sedangkan untuk APL sangat sulit
untuk mendapatkan lokasi yang sesuai. Sehingga lokasi reahbailitasi DAS dicalonkan pada kawasan hutan yang jauh dari areal IPPKH. Kriteria calon lokasi
rehabilitasi DAS berupa lahan kritissangat kritis yang berada di dalam kawasan hutan tersebut rata-rata adalah di dalam hutan lindung maupun hutan konservasi
taman nasional. Sehingga mau tidak mau pemegang IPPKH menerima penetapan lokasi rehabilitasi tersebut sebagai sebuah konsekuensi.
4. Pembatasan luas IPPKH Pembatasan luas bagi pemegang IPPKH mulai diberlakukan sejak
terbitnya Permenhut Nomor P.14Menhut-II2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Dalam Permenhut tersebut disebutkan bahwa batasan luas
IPPKH pada kawasan hutan yang berada di dalam wilayah kerja Perum Perhutani atau telah dibebani Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IUPHHK pada
hutan alam atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IUPHHK pada hutan tanaman dapat diberikan hanya jika mengakibatkan kehilangan produksi kayu atau
bukan kayu setinggi-tingginya 10 dari rencana kelestarian pengelolaan hutan. Pengurangan produksi kayu atau bukan kayu tersebut diatur sebagai berikut; untuk
luas ≤ 30.000 hektar maksimum pengurangan 10, luas 30.000 – 50.000 hektar maksimum 6, luas 50.000
–70.000 hektar maksimum 4 dan luas ≥70.000 hektar maksimum 3
Pembatasan tersebut kemudian direvisi pada Permenhut Nomor P.43Menhut-II2008, yaitu k
awasan hutan yang telah dibebani izin di bidang kehutanan atau areal kerja Perum Perhutani, maka pinjam pakai kawasan hutan untuk
pembangunan di luar kehutanan, dapat dipertimbangkan setinggi-tingginya 10 sepuluh perseratus dari luas areal izinnya atau areal kerjanya. Hingga kini aturan
pembatasan seluas 10 tersebut masih berlaku.
Saat ini telah banyak IUPHHK-Hutan Alam HA danatau Hutan Tanaman HT yang areal kerjanya telah maksimum untuk IPPKH. Kondisi
tersebut menyebabkan perusahaan pertambangan tidak dapat beroperasi lagi di dalam IUPHHK-HAHT, baik untuk menambah laus areal IPPKH-nya maupun
diterbitkannya IPPKH baru untuk perusahaan lain. Untuk mendapatkan perluasan
102 areal IPPKH-nya, perusahaan yang telah mendapatkan IPPKH dalam IUPHHK-
HAHT tersebut akan berusaha untuk mengambalikan sebagian areal yang telah dipinjam pakai kepada pemerintah untuk kemudian mengajukan kembali IPPKH
pada wilayah PKP2BKKIUP miliknya. Pemegang IPPKH berharap mendapatkan insentif ataupun kemudahan untuk mendapatkan pengganti kawasan
hutan yang telah dikembalikan tersebut. Pada dasarnya pemegang IPPKH sedang berjudi gambling, karena tidak ada jaminan dari pemerintah bahwa pemegang
IPPKH yang telah mengembalikan sebagianseluruh kawasan hutan yang dipinjam pakai akan mendapatkan IPPKH kembali pada areal IUPHHK-HAHT yang sama.
Hal itu yang membuat keresahan bagi pemegang IPPKH yang telah mengembalikan sebagianseluruh kawasan hutannya terkait dengan keberlanjutan
investasi dan usaha mereka, mengingat masih banyak perusahaan tambang lainnya yang telah mengajukan permohonan IPPKH pada areal yang sama.
Sementara untuk perusahaan tambang yang belum mendapatkan IPPKH tentunya juga berharap akan mendapatkan izin tersebut dari Menhut segera setelah
diterimanya semua pesyaratan yang diwajibkan oleh kementerian kehutanan. Sebuah dilemma baru bagi kementerian kehutanan untuk mengambil keputusan,
memberikan izin penambahan areal IPPKH kepada perusahaan tambang yang telah mengembalikan kawasan hutan yang dipinjam pakai, ataukah memberikan
IPPKH kepada perusahaan baru. Sampai saat ini belum ada aturan yang mendasari pengambilan keputusan untuk isu tersebut. Kuota 10 di Provinsi
Kalimantan Selatan telah habis. Itu berarti tidak ada lagi IPPKH di dalam kawasan hutan yang telah memperoleh IUPHHK-HAHT di provinsi tersebut.
Tentunya situasi ini sangat tidak menguntungkan bagi perusahaan-perusahaan tambang yang belum mendapatkan IPPKH, hingga menyiratkan niat seorang aktor
yang paling berpengaruh di Provinsi Kalimantan Selatan terkait dengan usaha pertambangan dan perkayuan. Aktor tersebut tengah menghimpun kekuatan untuk
mengajukan uji materi terhadap Permenhut yang membatasi IPPKH hanya 10 pada kawasan hutan yang telah memiliki IUPHHK-HAHT maupun pada unit
pengelolaann lainnya
40
. Berdasarkan pengakuan para aktor perumus kebijakan PKH, besaran 10
tersebut hanyalah perkiraan semata, sehingga masih perlu kajian akademis yang tepat untuk menentukan batasan luas bagi PKH di dalam suatu IUPHHK-HAHT
maupun di dalam unit pengelolaan lainnya. Hal itu yang memberikan inspirasi Djuwita 2013 untuk melakukan penelitian terkait dengan keberadaan IPPKH di
dalam sebauah IUPHHK-HT di Kalimantan Timur.
Djuwita 2013 dalam disertasinya menjelaskan bahwa hasil simulasi menunjukan bahwa pada kondisi penggunaan kawasan hutan seluas 20, 30
dan 40, nilai NPV tanaman pokok, hutan tanaman dan tambang batubara tetap memberikan hasil NPV yang positif, artinya bahwa ketiga kegiatan tersebut dapat
terus dilanjutkan karena layak dari sisi ekonomi.
Jika dibandingkan antara simulasi yang satu dengan yang lainnya, dapat dilihat bahwa simulasi yang memberikan gambaran keberlanjutan sustainable
pada pengelolaan hutan tanaman dan tambang batubara adalah simulasi dengan penggunaan kawasan hutan sebanyak 30, karena pada penggunaan kawasan
hutan 30, nilai kelayakan hutan tanaman, tanaman pokok dan tambang batubara
40
Wawancara dengan Ir. Suwandi, Kepala Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi BP2HP Wilayah XI-Banjarbaru pada tanggal 29 Oktober 2013 pukul 15.10 WITA.
103 menunjukan grafik yang terus meningkat. Pada penggunaan kawasan hutan seluas
40, menunjukan grafik yang meningkat hingga tahun 2038 untuk kegiatan hutan tanaman dan tanaman pokok, sedangkan setelah itu grafik kegiatan hutan tanaman
dan tanaman pokok, menunjukan penurunan.
Selanjutnya Djuwita et al 2013 menyimpulkan bahwa model pembangunan berkelanjutan pada pengelolaan hutan tanaman dan tambang
batubara adalah layak dilakukan secara bersinergi pada areal penggunaan kawasan hutan seluas 30 dan membayarkan nilai ganti rugi kepada pengusaha hutan
tanaman sebesar US 11,699hektar, kepada pemerintah sebesar US 30,493hektar dan kepada masyarakat sebesar US 638hektar. Namun, dalam
wawancara dengan Soetrisno
41
, kesimpulan tersebut masih harus dikaji lagi mengingat penelitian yang dilakukan merupakan kasus spesifik di IUPHHK-HT
dengan metode simulasi. Belum tentu hasilnya akan sama pada kasus yang lain. Sementara menurut Boen M Purnama
42
, pembatasan luas pada dasarnya tidak terlalu penting, jika pemerintah dapat menentukan kawasan-kawasan hutan
yang relatif amandiperbolehkan atau tidak bagi kegiatan tambang berdasarkan kajian ekologis. Hal itu lebih memudahkan dalam pengambilan keputusan bagi
kebijakan pertambangan di dalam kawasan hutan sebagaimana diberlakukannya moratorium izin di dalam kawasan hutan primer danatau gambut.
Tabel 19 Matriks isu-isu dalam implementasi kebijakan PKH dan arah kebijakan yang akan datang
No Isu Kebijakan
Hasil Analisis Arah kebijakan
1. Illegal mining dalam kawasan
hutan Perusahaan pertambangan melakukan illegal mining
terkait dengan kebijakan PKH yang disebabkan oleh; berbelit-belitnya prosedur perizinan, membutuhkan
waktu yang lama, biaya transaksi yang tinggi, keberadaan aktor kuat sebagai backing perusahaan,
kurangnya pengawasan aparat pemerintah yang berwenang, dan lemahnya penegakan hukum
Sementara ini kementerian kehutanan baru
meluncurkan kebijakan pelayanan perizinan satu
pintu online dan dan standar pelayanan IPPKH
2. Naiknya tarif PNBP
Pro-kontra tarif PNBP untuk PKH telah lama ada. Pemerintah tidak menjadikan situasi tersebut sebagai
hambatan untuk memuluskan niat menaikkan tarif PNBP PKH dengan dalih peningkatan pendapatan
negara, mengendalikan kerusakan kawasan hutan dan berbagi tanggung jawab terhadap lingkungan.
Penyesuaian tarif PNBP
3. Terbatasnya lokasi rehabilitasi DAS
Kenyataan bahwa hampir semua kawasan hutan produksi telah memiliki izin, baik itu IUPHHK-
HAHT maupun izin pertambangan, membuat alokasi kawasan hutan untuk rehabilitasi DAS menjadi
terbatas. Lahan kiritssangat kritis yang bisa ditetapkan adalah di dalam kawasan hutan lindung
dan hutan konservasi taman nasional. Kesulitan memperoleh lokasi yang sesuai mengakibatkan
perkembangan kegiatan rahabilitasi DAS oleh pemegang IPPKH terhambat.
Terdapat gap antara luas areal DAS yang
dibutuhkan oleh pemegang IPPKH dengan DAS kritis
yang tersedia. Perlu review
batasan tingkat kekritisan lahan, dan
kemudahan bagi rehabilitasi DAS di lahan
milik masyarakat areal penggunaan lainAPL
41
Wawancara dengan Ir Soetrisno MM, penggagas besarnya prosentase luas IPPKH di dalam suatu unit pengelolaan Perum Perhutani maupun IUHHK-HAHT.
42
Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan Periode 2005-2010
104 Lanjutan Tabel 19
No Isu Kebijakan
Hasil Analisis Arah kebijakan
4. Pembatasan luas IPPKH dalam satu
wilayah pengelolaan
kawasan hutan maksimal 10
Semakin sempitnya kawasan hutan yang akan digunakan untuk aktifitas pertambangan, terutama
dalam suatu unit pengelolaan, memicu aksi kolektif collective action para pengusaha tambang untuk
mengajukan uji materi terhadap Permenhut yang mengatur tentang pembatasan luas IPPKH.
Perubahan Permenhut tentang pedoman pinjam
pakai, terkait dengan prosentase luas kawasan
hutan yang diizinkan di dalam suatu unit
pengelolaan
Simpulan
Kebijakan PKH dapat dikatakan telah memenuhi tepat prinsip-prinsip efektifitas dalam implementasinya. Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan
PKH telah memenuhi empat prinsip tepat dari lima prinsip yang disyaratkan yaitu; tepat kebijakan, tepat pelaksanaan, tepat sasaran, tepat proses dan didukung
oleh situasi dan kekuatan politik. Namun,
hal itu tidak didukung oleh kemampuan untuk menjalankannya. Ketepatan prinsip-prinsip efektifitas implementasi
kebijakan PKH tidak menjamin mendapatkan respon yang baik dari pemegang IPPKH sebagai pemangku kepentingan atau subyek utama dalam menjalankan
kebijakan tersebut.
Buruknya respon pemegang IPPKH terhadap kebijakan PKH dipengaruhi oleh rendahnya komitmen pemegang IPPKH, minimnya pengetahuan dan
informasi teknis tentang isi kebijakan serta kejelasan dan kemudahan dalam melaksanakan kebijakan tersebut. Buruknya respon pemegang IPPKH
mencerminkan kegagalan implementasi kebijakan PKH. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses panjang perumusan dan implementasi kebijakan PKH
tidak menjadi jaminan efektifitas dan keberhasilan implementasi kebijakan tersebut.
Dalam kebijakan PKH terdapat beberapa asumsi yang dibangun oleh para perumus kebijakan. Kesenjangan terjadi ketika dalam tataran implementasi
kebijakan PKH asumsi tersebut justru menjadi sumber persoalan dalam pelaksanaan di lapangan. Sehingga hampir semua asumsi yang dibangun dalam
kebijakan PKH tersebut tidak terpenuhi.
105
PERANAN PARA PIHAK DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN
Pendahuluan
Kebijakan PKH dirumuskan dengan maksud mengakomodasi kepentingan sektor lain di dalam kawasan hutan. Kebijakan ini lahir untuk menyatukan
kepentingan, tujuan dan motivasi dua sektor yang berbeda, yaitu sektor pertambangan dan energi dan sektor kehutanan. Namun, pada saat kebijakan
tersebut dirumuskan, kedua sektor pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama yaitu pertumbuhan ekonomi sebagai modal pembangunan nasional.
Hingga saat ini kebijakan PKH telah mengalami beberapa kali perubahan peraturan dalam perjalanan implementasinya. Proses implementasi kebijakan
PKH selama kurun waktu 36 tahun 1978-2014 tidak terlepas dari peranan berbagai pihak. Perkembangan kebijakan PKH juga mengakibatkan semakin
beragamnya para pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan PKH tersebut. Perkembangan tersebut juga disebabkan oleh kondisi politik dan pemerintahan
yang memberikan peranan lebih besar kepada pemerintah daerah. Dalam proses implementasi kebijakan PKH, Pemerintah telah membagi habis peran bagi para
pihak yang berkepentingan baik di pusat maupun di daerah sesuai kewenangannya.
Para pihak atau pemangku kepentingan stakeholders didefinisikan sebagai setiap individu, kelompok, atau lembaga yang memiliki kepentingan
dalam sumber daya alam dari wilayah proyek danatau yang berpotensi akan terpengaruh oleh kegiatan proyek dan memiliki sesuatu untuk mendapatkan atau
kehilangan jika terjadi atau tidak terjadi perubahan situasi atau kondisi Golder dan Gawler 2005. Para pihak perlu dipertimbangkan dalam mencapai tujuan
suatu kegiatanproyek dimana partisipasi dan dukungannya sangat diperlukan dalam proses keberhasilan mencapai tujuan institusi.
Para pihak dapat mencakup kelompok yang dipengaruhi oleh keputusan manajemen, kelompok yang tergantung pada sumber daya yang akan dikelola,
kelompok dengan klaim atas wilayah sumber daya, dan kelompok dengan kegiatan yang berdampak pada daerah atau sumber daya. Para pihak sering
mengadakan pengaruh politik danatau ekonomi yang cukup besar atas sumber daya, berdasarkan ketergantungan historis mereka dan asosiasi, mandat
kelembagaan, kepentingan ekonomi, atau berbagai masalah lain Pomeroy dan Rivera-Guieb 2006.
Freeman 1984 mendefinisikan para pihak atau pemangku kepentingan sebagai kelompok atau individu yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh
pencapaian tujuan. Pomeroy dan Rivera-Guieb 2006 memberikan definisi yang lebih holistik terhadap para pihak yang berkepentingan dan menggambarkan
mereka sebagai individu, kelompok atau organisasi, dalam berbagai cara, tertarik, terlibat atau terpengaruh positif atau negatif oleh suatu kegiatanproyek tertentu
atau tindakan terhadap sumber daya.
Menurut Golder dan Gawler 2005 melanjutkan bahwa untuk mengidentifikasi semua pihak baik primer maupun sekunder yang memiliki
kepentingan dengan kegiatanproyek atau kebijakan yang bersangkutan dapat
106 dilakukan dengan analisis para pihak. Tujuan dari analisis para pihak adalah untuk
mengembangkan pandangan strategis dari sudut pandang manusia dan kelembagaan, dan hubungan antara berbagai pemangku kepentingan dan isu-isu
yang menjadi perhatian mereka.
Sementara Grimble dan Wellard 1997 berpendapat, analisis para pihak adalah sebuah alat yang sangat baik untuk digunakan dalam menganalisis
kebijakan dan perumusannya serta dapat dipertimbangan dalam perumusan kebijakan program-program pengelolaan sumberdaya alam. Analisis ini
merupakan sebuah pendekatan untuk memahami sebuah sistem kebijakan dan perubahan di dalamnya dengan mengidentifikasi aktor-aktor kunci atau para pihak
dan sejauh mana peranan maupun kepentingan-kepentingan mereka di dalamnya.
Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi kepentingan dan pengaruh para pihak serta peranan dan hubungannya dalam proses implementasi kebijakan
PKH untuk pertambangan. Analisis para pihak dalam penelitian ini berguna untuk mengetahui bagaimana dukungan, kepentingan, pengaruh, peranan serta
tingkat dan bentuk hubungan antar pihak yang berkepentingan dalam implementasi kebijakan PKH. Dalam tulisan ini akan disajikan hasil kajian
analisis para pihak tersebut di atas dalam implementasi kebijakan PKH.
Metode Analisis
Analisis para pihak adalah suatu metode untuk menilai secara mendalam tentang karakteristik individu atau kelompok dan hubungannya terhadap
sumberdaya atau suatu proyek. Kegiatan ini menilai para pihak yang berhadapan dengan sumberdaya dan akibat yang ditimbulkan suatu aktivitas.
Untuk mengetahui karakteristik para pihak yang berkepentingan dalam proses dan implementasi kebijakan PKH, digunakan analisis para pihak
stakeholders analysis untuk menilai pihak-pihak yang berkepentingan dan terlibat. Analisis para pihak mengacu pada berbagai alat untuk identifikasi dan
deskripsi para pihak, hubungan antarmereka, kepentingan masa depan saat ini dan potensial dan tujuan Pomeroy dan Fanny 2008, dan meneliti pertanyaan
tentang bagaimana dan sejauh mana mereka mewakili berbagai segmen masyarakat.
Menurut Reed et al 2009, analisis para pihak dilakukan dengan cara: 1 melakukan identifikasi para pihak; 2 mengelompokkan dan membedakan antar
pihak; dan 3 menyelidiki hubungan antar pihak. Identifikasi para pihak merupakan proses yang dilakukan secara berulang, hingga ditetapkan pihak-pihak
yang benar-benar mengetahui permasalahan. Jika pembatasan telah ditetapkan sejak awal, maka para pihak yang berkepentingan memang dapat lebih mudah
terindetifikasi. Namun hal ini mengandung resiko bahwa beberapa pihak akan terabaikan, dan tentu saja identifikasi ini tidak relevan lagi.
107
1. Identifikasi Para Pihak