60
5. Proses Implementasi Kebijakan
Proses implementasi kebijakan penggunaan kawasan hutan dianalisis dengan mengidentifikasi aksi-aksi implementasi kebijakan terkait untuk output,
outcome, dan dampak atas capaian penggunaan kawasan hutan. Juga respon para pihak terhadap kebijakan penggunaan kawasan hutan. Langkah ini juga akan
digunakan sebagai bahan dalam menganalisis kesenjangan gap kebijakan.
Selengkapnya, proses dan hasil kajian implementasi kebijakan penggunaan kawasan hutan akan diuraikan pada bagianbab selanjutnya.
6. Arah Kebijakan yang Akan Datang
Dari perjalanan sejarah dan perubahan-perubahan peraturan perundang- undangan PKH yang terjadi dapat ditarik benang merah bahwa kebijakan PKH
dirumuskan atas dasar tekanan dari pihak di luar kementerian kehutanan, baik tekanan secara politik maupun ekonomi. Perubahan yang terjadi dari waktu ke
waktu tidak mengubah tujuan dan inti dari kebijakan PKH tersebut. Namun, dalam satu dekade terakhir, perubahan-perubahan yang terjadi menggambarkan
arah positif yang bertujuan untuk membatasi dan mengendalikan IPPKH.
Arah kebijakan yang akan datang masih berkisar pada penyempurnaan peraturan perundang-undangan, peningkatan pendapatan negara bukan pajak,
pengaturan pengawasan dan pengendalian, dan pengaturan yang berhubungan dengan proses pemulihan.
Simpulan
Kebijakan penggunaan kawasan hutan PKH merupakan kebijakan yang dikeluarkan oleh kementerian kehutanan untuk mengakomodir adanya
kepentingan sektor lain di dalam kawasan hutan. Pengaturan dan pelaksanaan kebijakan ini mulai dirumuskan pada tahun 1978 dengan diterbitkannya SK
Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 64KptsDJI1978 tentang pedoman pinjam pakai tanah kehutanan. SK Dirjen Kehutanan tersebut merupakan respon terhadap
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976. Inpres tersebut merupakan landasan hukum yang sangat kuat bagi sektor pertambangan. Dengan inpres tersebut sektor
pertambangan menjadi superior terhadap sektor lainnya. Posisi sektor kehutanan sangat lemah dalam berbagai kesempatan pengambilan kebijakan terkait dengan
aktifitas sektor pertambangan di dalam kawasan hutan.
Sejarah panjang perkembangan kebijakan PKH mengalami dua periodisasifase, yaitu periode penggunaan 1978-2004 dan periode pengendalian
dan pemulihan 2004-sekarang. Pada periode penggunaan, kebijakan lebih menitikberatkan pada pengaturan penggunaan kawasan hutan. Sedangkan pada
disusul periode pengendalian dan pemulihan kebijakan mulai mengatur pembatasan-pembatasan luas yang bertujuan untuk mengendalikan aktifitas
pertambangan dan pengaturan upaya-upaya pemulihan kawasan hutan.
Mencermati dari proses perumusan kebijakan penggunaan kawasan hutan bisa dikatakan bahwa model dari kebijakan ini adalah model inkrementalis atau
model tahap demi tahap incrementalist model. Pemerintah telah beberapa kali
61 melakukan penggantian danatau merevisi peraturan-peraturan terkait dengan
kebijakan PKH. Perubahan-perubahan tersebut dilakukan untuk menyesuaikan dengan situasi politik, pemerintahan, kebijakan-kebijakan maupun isu-isu yang
berkembang.
Berbagai tonggak kunci yang menyertai perumusan dan perkembangan kebijakan PKH antara lain; lahirnya undang-undang kehutanan, undang-undang
pertambangan, undangan-undang penanaman modal asing dan dalam negeri, Inpres Nomor 1 Tahun 1976, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 dan
revisinya, kebijakan energi nasional dan moratorium izin penggunaan kawasan hutan. Tonggak kunci tersebut tidak lepas dari sistem politik dan pemerintahan
yang berkuasa pada saat itu.
Perumusan kebijakan PKH menjadi tugas kehutanan, sehingga dalam prosesnya kurang melibatkan pihak lain di luar kehutanan. Meskipun demikian,
dalam beberapa kesempatan kementerian kehutanan mengundang pihak lain namun sebatas sebagai narasumber atau information sharing saja. Para pihak
tidak mempunyai kekuatan power yang berarti sebagai bagian pengambil keputusan dalam perumusan kebijakan PKH.
62
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN
Pendahuluan
Kebijakan kehutanan di bidang PKH pada dasarnya merupakan kebijakan yang strategis sekaligus dilematis. Di satu sisi keberadaan sumder daya
pertambangan harus diakui keberadaannya, meskipun tidak harus diberikan ruang untuk merusak kawasan hutan dengan alasan peningkatan sumber daya ekonomi.
Di sisi lain, keberadaan sumber daya hutan dan lahan dapat dipastikan menjadi korban dari adanya kebijakan tersebut. Kekhawatiran kerusakan sumber daya
hutan akibat digulirkannya kebijakan tersebut dapat ditekan jika masing-masing pihak mempunyai perilaku yang sesuai dengan harapan para perumus kebijakan.
Namun pada kenyataannya, kebijakan tidak selalu dapat diterapkan dengan baik sesuai rencana dan target yang telah ditetapkan. Kebijakan tetap digulirkan dan
dijalankan, sumber daya tambang digali dan dieksploitasi, sementara sumber daya hutan semakin terdegradasi.
Pada umumnya antara penelitian kebijakan dan analisis kebijakan tidak dibedakan dengan jelas, bahkan penggunaan kedua istilah ini sering dipertukarkan
karena menunjuk pada makna yang sama. Muhadjir 2004 dalam Nugroho 2009 menyatakan bahwa penelitian kebijakan sama dengan kegiatan analisis kebijakan.
Desain penelitian kebijakan merentang dari policy research dan action research, evaluation research
yang mencakup policy evaluation dan research of program planning
. Teknik analisis kebijakan meliputi beragam teknis pengamanan sampai ragam analisis kepentingan publik.
Isi kebijakan menurut Grindle 1980, mencakup kepentingan yang terpengaruh oleh kebijakan, jenis manfaat yang akan dihasilkan, derajat perubahan
yang diinginkan, kedudukan pembuat kebijakan, pelaksana program, dan sumber daya yang dikerahkan. Sementara itu, konteks implementasinya antara lain 1
kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat, 2 karakteristik lembaga dan penguasa dan 3 kepatuhan dan daya tanggap.
Sutton 1999 menjelaskan bahwa salah satu sebab hambatan perubahan kebijakan adalah terdapatnya narasi kebijakan dan diskursus, sebagai penyebab
terwujudnya kondisi sulit bagi tumbuhnya inovasi baru dalam pembuatan kebijakan. Kondisi tersebut akibat dari akumulasi pengaruh dalam pembuatan
kebijakan, misalnya pengetahuan dan bahkan keyakinan yang sudah usang, adanya kepentingan kelompok tertentu, kurang informasi yang diperlukan untuk
mengungkap suatu fenomena, pemimpin yang tidak mengambil peran yang seharusnya, perorangan yang dapat mengubah hasil-hasil kesepakatan dalam
pembuatan kebijakan street level bureaucracy maupun keterlanjuran yang tidak mungkin diubah saat itu sunk cost effect. Hal-hal tersebut dijumpai dalam
pembuatan kebijakan dari telaah ketiga kasus diatas, dan bahkan terjadi di negara- negara yang mengalami degradasi sumberdaya alam Sutton, 1999.
Sementara itu, banyak pakar menilai bahwa implementasi kebijakan merupakan tahapan yang paling sulit dari keseluruhan siklus kebijakan. Grindle
1980 meramalkan bahwa dalam setiap implementasi kebijakan, pemerintah pasti
63 dihadapkan pada banyak kendala, terutama yang berasal dari lingkungan konteks
di mana kebijakan itu akan diimplementasikan. Grindle 1980 menjelaskan bahwa implementasi kebijakan ditentukan
oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, barulah implementasi kebijakan dilakukan.
Keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut. Sementara Dye 1995 menyebutkan bahwa suatu sistem kebijakan policy
system
mencakup hubungan timbal balik antara tiga unsurkomponen utama yang dianggap mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu 1 kebijakan, 2
implementor dan kelompok target dan 3 Iingkungan. Oleh karena itu, analisis proses implementasi kebijakan PKH ini akan difokuskan kepada tiga komponen
utama tersebut.
Sedangkan Nugroho 2009 menyarankan prinsip lima tepat dalam mengukur efektifitas implementasi sebuah kebijakan. Pertama, apakah
kebijakannya sendiri sudah tepat. Ketepatan kebijakan ini dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah
yang hendak dipecahkan. Tepat yang kedua adalah tepat pelaksananya. Tepat yang ketiga adalah tepat target, tepat yang keempat adalah tepat lingkungan dan
tepat yang kelima adalah tepat proses.
Efektifitas implementasi suatu kebijakan dapat terjadi hanya apabila kebijakan dirumuskan atas dasar masalah yang tepat serta terdapat kemampuan
menjalankan solusinya di lapangan Dunn, 2003. Terkait dengan perumusan kebijakan PKH dan mengacu pada pendapat Dunn 2003 tersebut, pertanyaan
utama yang melatarbelakangi kajian kebijakan PKH ini adalah sejauh mana efektifitas implementasi kebijakan PKH, atau dengan kata lain bagaimana kinerja
kelembagaan yang terbangun dari pelaksanaan kebijakan PKH ini.
Tujuan
Dari pertanyaan utama penelitian tersebut di atas dirumuskan beberapa tujuan penelitian dalam bab ini yaitu:
1. Menganalisis implementasi kebijakan PKH 2. Mengetahui respon perusahaan tambang terhadap kebijakan PKH, dan
3. Mengetahui kinerja kebijakan PKH
Metode Analisis Analisis Implementasi Kebijakan
Analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa analisis yang akan mendukung proses analisis implementasi kebijakan PKH untuk
pertambangan. Kabijakan PKH merupakan kebijakan yang bersifat top-down untuk mengatur operasionalisasi pertambangan dan sektor lainnya di dalam
kawasan hutan. Analisis implementasi kebijakan PKH difokuskan pada pendapat
Nugroho 2009 dengan mengkaji 5 indikator ‗tepat‘ yaitu: tepat kebijakan, tepat pelaksanaan, tepat target, tepat lingkungan dan tepat proses. Dengan demikian,
semua analisis yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan alat tools untuk mengungkap fakta dan membedah permasalahan serta hambatan dalam
64 implementasi PKH dan memenuhi kriteria-kriteria yang ada dalam lima indikator
‗tepat‘ tersebut.
Berdasarkan pendapat Dunn 2003 menyebutkan bahwa suatu sistem
kebijakan policy system mencakup hubungan timbal balik antara tiga unsurkomponen utama yang dianggap mempengaruhi kinerja implementasi, yaitu
1 kebijakan, 2 implementor dan kelompok target dan 3 Iingkungan. Sedangkan Nugroho 2009, mengemukakan pada prinsipnya dalam proses
implementasi kebijakan memiliki ―lima tepat‖ yang perlu dipenuhi dalam hal keefektifan implemenatasi kebijakan, yaitu:
1. Ketepatan Kebijakan Ketepatan kebijakan ini dinilai dari:
- Sejauh mana kabijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang
memecahkan masalah yang hendak dipecahkan. Pertanyaannya adalah how excellent is the policy.
- Apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah
yang hendak dipecahkan. -
Apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan misi kelembagaan yang sesuai dengan karakter kebijakan.
2. Ketepatan Pelaksanaan Aktor implementasi kebijakan tidaklah hanya pemerintah. Ada tiga
lembaga yang bisa menjadi pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara Gambar 5 Kerangka analisis implementasi kebijakan PKH
TEPAT KEBIJAKAN TEPAT PELAKSANAAN
T E
PA T
T A
R GET
TEPAT LINGKUNGAN T
E P
A T
P R
O S
ES
ANALISIS BIAYA TRANSAKSI
ANALISIS RESPON
PERUSAHAAN
AGENT PRINCIPAL
ANALISIS PARA PIHAK
PEMERINTAH PEMERINTAH
DAERAH UPT
KEBIJAKAN
HAK DAN KEWAJIBAN
TEKS PERATURAN PERUNDANGAN
KONTRAK
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PKH
ANALISIS GAP ANALISIS ASUMSI
65 pemerintah-masyarakatswasta, atau implementasi kebijakan yang diswastakan
privatization atau contracting out.
3. Ketepatan Target Ketepatan target berkenaan dengan tiga hal, yaitu:
- Apakah target yang dintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah
tidak ada tumpang tindih dengan intervensi lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan lain.
- Apakah targetnya dalam kondisi siap untuk dintervensi atau tidak. Kesiapan
bukan saja dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam konflik atau harmoni, dan apakah kondisi target ada dalam kondisi
mendukung atau menolak.
- Apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui
implementasi kebijakan sebelumnya. Terlalu banyak kebijakan yang tampaknya baru namun pada prinsipnya mengulang kebijakan yang lama
dengan hasil yang sama tidak efektifnya dengan kebijakan sebelumnya.
4. Ketepatan Lingkungan Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu:
- Lingkungan Kebijakan, yaitu interaksi antara lembaga perumus kebijakan
dengan pelaksana kebijakan dengan lembaga yang terkait. Donald J. Calista tanpa tahun dalam Nugroho 2009 menyebutnya sebagai variabel endogen,
yaitu authoritative arrangement yang berkenaan dengan kekuatan sumber otoritas dari kebijakan, network composition yang berkenaan dengan
komposisi jejaring dari berbagai organisasi yang terlibat kebijakan, baik dari pemerintah maupun masyarakat, implementation setting yang berkenaan
dengan posisi tawar-menawar antara otoritas yang mengeluarkan kebijakan dan jejaring yang berkenaan dengan implementasi kebijakan.
- Lingkungan Eksternal Kebijakan, yang terdiri dari atas public opinion, yaitu
persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan, interpretive institutions
yang berkenaan dengan interprestasi lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat, seperti media massa, kelompok penekan, dan kelompok
kepentingan, dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan, dan individuals, yakni individu-individu tertentu yang mampu
memainkan peran penting dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan.
5. Ketepatan Proses Secara umum, implemetnasi kebijakan publik terdiri dari tiga proses,
yaitu: -
Policy acceptance , yaitu publik memahami kebijakan sebagai sebuah ―aturan
main‖ yang diperlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah memahami kebijakan sebagai tugas yang harus dilaksanakan.
- Policy adoption
, yaitu publik mene rima kebijakan sebagai sebuah ―aturan
main‖ yang diperlukan untuk masa depan, di sisi lain pemerintah menerima kebijakan sebagai tugas yang harus dilaksanakan
66 -
Strategic readiness , yaitu publik siap melaksanakan atau menjadi bagian dari
kebijakan, disisi lain birokrat on the street atau birokrat pelaksana siap menjadi pelaksana
kebijakan. Kelima ―tepat‖ tersebut masih perlu didukung oleh tiga jenis dukungan,
yaitu: -
Dukungan politik; -
Dukungan strategik; dan -
Dukungan teknis.
Analisis Respon
Keberhasilan implementasi kebijakan pemerintah sangat tergantung pada respon para pihak terhadap kebijakan tersebut. Jika para pihak memberikan respon
yang cukup baik maka terdapat peluang untuk tercapainya tujuan digulirkannya kebijakan tersebut. Akan tetapi jika kebijakan tersebut mendapatkan respon yang
negatif dari berbagai pihak, maka implementasi kebijakan bisa dikatakan gagal.
Respon perusahaan dalam proses implementasi kebijakan PKH dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi lapangan dan kajian dokumen berupa
laporan kegiatan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pencapaian pelaksanaan kebijakan PKH. Analisis ini disebut juga sebagai analisis situasional.
Data yang diperoleh dianalisis dengan melihat tingkat pencapaian tahap implementasi kebijakan PKH, dimulai dari kegiatan permohonan izin PKH sampai
dengan tahapan penutupan areal tambang pasca tambang dan pengembalian areal kepada Kementerian Kehutanan.
Selanjutnya dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pencapaian implementasi kebijakan PKH tersebut. Tujuannya untuk menggali
faktor-faktor yang menjadi pendorong dan penghambat terhadap pelaksanaan implementasi. Analisis data hasil observasi terkait implementasi kebijakan PKH
disajikan dengan teknik analisis deskriptif.
Respon perusahaan pertambangan terhadap peraturan dan kebijakan diketahui dari data hasil penilaian kinerja perusahaan pertambangan yang telah
memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan. Respon perusahaan adalah berupa informasi tindakan-tindakan perusahaan yang dicerminkan dalam pengukuran
indikator-indikator respon yang terdiri atas beberapa verifier. Verifier adalah ukuran atau informasi yang membandingkan antara ketentuan, standar atau aturan
dengan kondisi pelaksanaannya di lapangan. Dengan demikian data ini merupakan informasi kondisi riil lapangan terkini.
Data ini meliputi kinerja perusahaan memenuhi persyaratan izin pinjam pakai kawasan hutan yang dimiliki necessary conditions, data tentang
pelaksanaan produksi, data tentang pengelolaan aspek ekologi dan pengelolaan aspek sosial. Indikator, tolok ukur dan verifier yang diamati dalam peneltian ini
terdiri dari sejumlah bukti lapangan field evidence yang menunjukkan respon perilaku perusahaan Tabel 8.
67 Tabel 8 Matriks indiktator-indikator respon perilaku perusahaan
No Indikator
Tolok Ukur Verifier
Skor 1
Pemeliharaan dan pengamanan
batas areal IPPKH
Pemeliharaan dan pengamanan tata
batas areal IPPKH dilaksanakan
dengan kontinyu terprogram
- Pemeliharaan dilakukan, pal batas banyak ditemukan
5 - Pemeliharaan dilakukan, pal batas
cukup banyak ditemukan atau Pemeliharaan tidak dilakukan tetapi Pal
batas banyak ditemukan 4
- Pemeliharaan tidak dilakukan, pal batas banyak ditemukan
3 - Pemeliharaan tidak dilakukan, pal batas
hanya beberapa ditemukan 2
- Pemeliharaan tidak dilakukan, pal batas tidak ditemukan
1 2 Perlindungan dan
pengamanan kawasan hutan
Kegiatan perlindungan dan
pengamanan kawasan hutan
dilaksanakan dengan kontinyu
terprogam - Pengamanan dan perlindungan
dilakukan, tidak terjadi perladangan, illegal logging, perburuan dll
5 - Pengamanan dan perlindungan
dilakukan, ada perladangan atau illegal logging atau perburuan
4 - Pengamanan dilakukan, perlindungan
tidak dilakukan, ada perladangan atau illegal logging atau perburuan
3 - Pengamanan dilakukan, perlindungan
tidak dilakukan, ada perladangan dan atau illegal logging dan atau perburuan
dan atau kegiatan lainnya 2
- Pengamanan dan perlindungan tidak dilakukan, ada perladangan dan atau
illegal logging dan atau perburuan dan atau kegiatan lainnya
1
3 Pembayaran PNBP
Pembayaran PNBP dilakukan tepat
waktu dan jumlah sesuai dengan luas
bukaan tambang - PNBP dibayarkan tepat waktu, tidak
tepat jumlah, disertai dengan citra satelit resolusi sangat tinggi
5
- PNBP dibayarkan tidak tepat waktu, tidak tepat jumlah, disertai dengan citra
satelit resolusi sangat tinggi 4
- PNBP dibayarkan tepat waktu, tidak tepat jumlah, tidak disertai dengan citra
satelit resoulsi sangat tinggi 3
- PNBP dibayarkan tidak tepat waktu, tidak tepat jumlah dan tidak disertai
dengan citra satelit resoulsi sangat tinggi
2
- Belum dibayarkan 1
4 Reklamasi dan revegetasi
Kegiatan reklamasi dan revegetasi
lahan tambang dilaksanakan
dengan baik tepat teknis dan waktu
- Reklamasi dan Revegetasi dilakukan dengan baik lulus penilaian
5 - Reklamasi dan revegetasi dilakukan
namun belum lulus penilaian maupun belum dilakukan penilaian
4 - Reklamasi dilakukan, revegetasi belum
dilakukan 3
- Belum ada kegiatan penambangan 2
- Belum melakukan reklamasi dan revegetasi
1
68
Lanjutan Tabel 8
No Indikator
Tolok Ukur Verifier
Skor 5 Rehabilitasi DAS Kegiatan
rehabilitasi DAS dilakukan dengan
baik tepat teknis, areal dan waktu
- Sudah melakukan kegiatan rehabilitasi DAS
5 - Sudah ada SK Menhut, sedang
menyusun rancangan teknis, rencana tahunan dan rancangan kerja
rehabilitasi DAS 4
- Sedang dalam proses penetapan areal rehabilitasi DAS telah diverifikasi dan
Supervisi 3
- Sedang dalam proses pengusulan areal rehabilitasi DAS Sedang dalam proses
verifikasi dan supervisi 2
- Belum melakukan kegiatan apapun 1
6 Laporan periodik Penyerahan laporan tepat waktu dan
sesuai ketentuan yang telah
ditetapkan - Laporan diserahkan tepat waktu
5 - Laporan diserahkan kadang tidak tepat
waktu 4
- Laporan diserahkan tidak tepat waktu 3
- Belum menyerahkan laporan terakhir 2
- Tidak menyerahkan laporan dalam kurun waktu 1 tahun terakhir
1
Respon perusahaan terhadap kebijakan PKH dalam pemenuhan kewajiban IPPKH
necessary conditions
ditentukan berdasarkan skala intensitas indikator dari masing-masing verifier. Karena setiap indikator memiliki bobot yang sama, maka
nilai total kinerja diperoleh melalui total penjumlahan dari seluruh indikator yang digunakan Tabel 9.
Tabel 9 Penentuan tingkat responsifitas perusahaan dalam implementasi kebijakan PKH
Kategori Skor Jenis Izin
Skor Total IPPKH 1
Baik =
53 - 65 105 -130
2 Cukup baik
= 40 - 52
79 - 104 3
Buruk =
27 - 39 53 - 78
4 Sangat buruk
= 13 - 26
26 - 52
Analisis Kesenjangan Kebijakan Analisis Asumsi
Menurut Dewar et al 1993 dan Dewar 2002, asumsi adalah sebuah pernyataan yang tegas tentang beberapa karakteristik masa depan berdasarkan
pelaksanaan atau perencanaan organisasi saat ini. Pernyataan tersebut dapat berupa fakta atau penilaian. Sedangkan analisis asumsi Assumptional Analysis
merupakan sebuah teknik yang bertujuan mensintesiskan secara kreatif asumsi- asumsi yang saling bertentangan mengenai masalah-masalah kebijakan Mitroff
dan Emshoff 1979. Dalam beberapa hal analisis asumsi adalah yang paling komprehensif dari semua metode perumusan masalah, karena analisis asumsi
mencakup prosedur yang digunakan dalam hubungannya dengan teknik-teknik lain dan dapat difokuskan pada kelompok-kelompok, individu, atau keduanya.
69 Gambaran analisis asumsi yang paling penting adalah bahwa secara eksplisit
analisis asumsi diciptakan untuk mengurusi masalah-masalah yang rumit, yaitu masalah-masalah di mana para analis kebijakan, pembuat kebijakan, dan pelaku
kebijakan lainnya tidak dapat sepakat tentang bagaimana merumuskan masalah. Kriteria utama untuk mutu suatu rumusan masalah adalah apakah asumsi-asumsi
yang saling bertentangan mengenai suatu situasi masalah telah dimunculkan, dikupas, dan disintesiskan secara kreatif Dunn 2003.
Analisis asumsi secara eksplisit memperhatikan gambaran positif maupun negatif dari konflik dan komitmen. Konflik dibutuhkan untuk menunjukkan
keberadaan kebijakan-kebijakan yang sangat bertentangan untuk menemukan dan menghadapi asumsi-asumsi dari setiap kebijakan yang dibuat. Pada pihak yang
lain komitmen juga penting agar para pendukung dari setiap kebijakan dapat menunjukkan bukti yang paling kuat tidak perlu yang terbaik untuk mendukung
pokok pandangan mereka Mitroff dan Emshoff 1979.
Tujuan analisis asumsi dalam penelitian ini adalah : a mengidentifikasi peran pelaku kebijakan dalam PKH dari aspek legal formal dan b
mengidentifikasi realisasi atau implementasi peran tersebut di lokasi studi. Berdasarkan kedua literatur di atas, tahapan asumsi yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah:
1. Identifikasi pelaku kebijakan yang terkait dengan kegiatan PKH
2. Asumsi penting diidentifikasi dari peraturan perundang-undangan yang
mengatur pembagian peran para pelaku dalam kegiatan PKH 3.
Asumsi yang dipertentangkan adalah asumsi yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan yang sifatnya umum dengan asumsi pelaksanaan
peraturan perundang-undangan di lokasi studi. Sumber data yang digunakan untuk asumsi yang tertulis adalah dokumen peraturan perundang-undangan
PKH yang dapat diacu oleh semua lokasi. Sedangkan sumber data untuk asumsi pelaksanaan kebijakan PKH berasal dari dokumen peraturan
perundang-undangan tertulis yang dikeluarkan oleh pemerintah dan hasil pengumpulan data primer observasi
4. Kedua asumsi dikelompokkan dan dianalisis sejauhmana kesenjangan gap
antara keduanya. 5.
Sintesis masalah Dunn 2003 menjelaskan tahapan analisis asumsi dalam lima tahapan
prosedur, yaitu: 1.
Identifikasi pelaku kebijakan. Pada tahap pertama pelaku kebijakan
diidentifikasi, diurutkan, dan diprioritaskan. Identifikasi, pengurutan, dan penyusunan prioritas pelaku kebijakan didasarkan pada penilaian tentang
seberapa jauh masing-masing mempengaruhi dan dipengaruhi oleh proses kebijakan. Prosedur ini menghaslkan identifikasi para pelaku kebijakan yang
biasanya dikeluarkan dalam analisis masalah kebijakan.
2. Memunculkan asumsi.
Pada tahap kedua para analis bekerja mundur dari solusi masalah yang direkomendasikan ke seleksi data yang mendukung
rekomendasi dan yang mendasari asumsi-asumsi, sehingga dengan data yang ada, seseorang dapat menarik kesimpulan deduktif terhadap rekomendasi
sebagai konsekuensi dari data yang ada. Masing-masing solusi yang direkomendasikan oleh para pelaku kebijakan harus mengandung sebuah
daftar asumsi yang secara eksplisit dan implisit mendasari rekomendasi.
70 Dengan mendaftar semua asumsi
—misalnya bahwa kemiskinan merupakan konsekuensi dari ketidaksengajaan sejarah, dominasi elit, pengangguran,
depriasi kultural, dan sebagainya — terdapat spesifikasi masalah secara
eksplisit yang dituju oleh masing-masing rekomendasi. 3.
Mempertentangkan asumsi. Pada tahap ketiga para analis membandingkan dan
mengevaluasi serangkaian
rekomendasi dan
asumsi-asumsi yang
mendasarinya. Hal ini dikerjakan dengan membandingkan asumsi-asumsi yang ada dengan asumsi-asumsi tandingan yang berlawanan. Jika asumsi
tandingan tidak masuk akal, maka tidak perlu pertimbangan lebih lanjut, jika asumsi tandingan masuk akal, asumsi tersebut diuji untuk menentukan
kemungkinan untuk dipakai sebagai landasan bagi konseptualisasi baru terhadap masalah dan solusinya secara menyeluruh.
4. Mengelompokkan asumsi.
Ketika tahap mengumpulkan asumsi telah selesai, sejumlah usulan solusi yang berbeda-beda yang dihasilkan dalam fase
sebelutnnya dikelompokkan. Di sini asumsi-asumsi lebih dari rekomendasi dinegosiasikan dengan memprioritaskan asumsi-asumsi dari segi kepastian
dan kepentingannya bagi para pelaku kebijakan yang berbeda. Hanya asumsi- asumsi yang paling penting dan tidak pasti yang dikelompokkan. Tujuan yang
paling akhir adalah untuk menciptakan dasar asumsi yang diterima oleh sebanyak mungkin pelaku kebijakan.
5. Sintesis asumsi.
Fase terakhir adalah penciptaan solusi gabungan atau sintesis terhadap masalah. Suatu satuan gabungan asumsi yang diterima dapat menjadi
basis untuk menciptakan konseptualisasi baru dari masalah. Ketika isu-isu seputar konseptualisasi masalah dan potensi pemecahannya telah mencapai
titik ini, aktivitas-aktivitas dari para pembuat kebijakan dapat menjadi kooperatif dan secara kumulatif produktif.
Analisis asumsi dengan menggabungkan tahapan yang dilakukan oleh Dewar et al 1993 dan Dunn 2003 pernah dilakukan oleh Pratiwi 2008 dalam
penelitiannya tentang model pengembangan institusi ekowisata untuk penyelesaian konflik di Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan Ekawati
2012 dalam penelitiannya yang menganalisis proses pembuatan dan implementasi kebijakan desentralisasi pengelolaan hutan lindung yang mengambil
studi kasus di tiga kabupaten dalam DAS Batanghari. Sedangkan dalam penelitian hanya akan dilakukan analisis kesenjangan kebijakan dengan tahapan
metode yang dijelaskan oleh Dunn 2003 tersebut di atas.
Hasil dan Pembahasan Ketepatan Kebijakan dan Implementasinya
1.
Ketepatan Kebijakan
Izin kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan merupakan kebijakan pemerintah pada saat rezim orde baru berkuasa untuk meningkatkan pertumbuhan
ekonomi. Saat itu perkembangan politik, dukungan ilmu pengetahuan, pemikiran- pemikiran baru dan gejolak sosial tidak seperti sekarang ini, sehingga suatu
kebijakan dapat diputuskan dan dirumuskan dengan relatif mudah.
71 Pada dasarnya, kebijakan PKH merupakan produk dari pertentangan antara
dua sektoraktor utama dalam pengelolaan sumber daya alam, yaitu sektor kementerian kehutanan dan pertambangan. Argumen penolakan pertambangan
di dalam kawasan didasarkan pada diskursus dan narasi para aktor yang berada satu kubu dengan kementerian kehutanan, yang memegang erat asumsi bahwa
penambangan dalam kawasan hutan berpotensi merusak lingkungan dan menguras sumberdaya alam. Sementara di kubu yang berseberangan menganggap bahwa
pertumbuhan ekonomi tetap menjadi tujuan utama bagi pembangunan.
Tabel 10 Matriks Perbedaan Motivasi dan Nilai Sektor Pertambangan dan Kehutanan
Sektor Motivasi
Nilai Kehutanan
- Pengelolaan hutan lestari keseimbangan
ekologi, ekonomi dan sosial
- Sumberdaya hutan harus dikelola secara arif dan bijaksana dengan pemanfaatan,
perlindungan, pengawetan dan pemantapan kawasan hutan.
- Sumberdaya hutan merupakan SDA terbarukan sehingga menganut azas
sustainable yield Pertambangan
- Optimalisasi pemanfaatan
sumberdaya energi dan mineral sebesar-
besarnya bagi pertumbuhan ekonomi
- Sumberdaya alam dalam bentuk energi dan mineral merupakan asset yang harus
dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kepentingan dan kemakmuran rakyat.
- Sumberdaya energi dan mineral merupakan SDA non renewable sehingga tidak menganut
azas pemanfaatan berkelanjutan
Hingga saat ini, kebijakan PKH dapat dikatakan memecahkan masalah perbedaan kepentingan tersebut yang tentunya harus diikuti dengan kontrol yang
sangat ketat dan pembentukan institusi yang kokoh agar dapat mencapai tujuan yang ditetapkan. Ketiadaan alternatif penyelesaian masalah hingga saat ini,
membuat kebijakan ini seolah m,enjadi obat paling cocok bagi masalah yang sedang dihadapi.
Perumusan masalah merupakan langkah awal dalam pembuatan suatu kebijakan publik. Menurut Dunn 2003 suatu perumusan masalah dapat
memasok pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi masalah dan memasuki proses pembuatan
kebijakan melalui penyusunan agenda agenda setting. Selanjutnya dijelaskan
bahwa perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan
yang memungkinkan memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru Dunn 2003.
Merumuskan masalah dalam proses perumusan kebijakan tidaklah mudah mengingat sifat dankarakter dari masalah publik sangat kompleks. Oleh sebab
itu lebih baik dalam merumuskan masalah mengetahui lebih dulu karakteristik permasalahannya. Suatu masalah tidak dapat berdiri sendiri, selalu ada keterkaitan
antara masalah yang satu dengan yang lain. Oleh karena itu dalam analisis
72 kebijakan mengharuskan kita untuk menggunakan pendekatan yang holistik
dalam memecahkan masalah agar dapat mengetahui akar dari permasalahan tersebut. Masalah kebijakan seringkali bersifat subyektif, dimana suatu
masalah merupakan hasil dari pemikiran dalam lingkungan tertentu. Kemudian, suatu masalah kebijakan mempunyai solusi yang tidak selalu sama.
Kebijakan yang sama untuk masalah yang sama tidak selalu mempunyai solusi yang sama, karena dimungkinkan adanya perbedaan situasi dan kondisi
lingkungan, kesiapan institusi maupun waktu pelaksanaan kebijakan.
UU Nomor 5 Tahun 1967 tidak menyebutkan larangan kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan, termasuk di dalam kawasan hutan
lindung. Namun demikian, tidak berarti bahwa kegiatan pertambangan di dalam hutan lindung serta merta diperbolehkan oleh UU tersebut. Dukungan politik
terhadap pertumbuhan ekonomi saat itu mengarusutamakan persetujuan legalisasi praktik penambangan di dalam kawasan hutan. Kegiatan
pertambangan di dalam kawasan hutan itu dilakukan dengan alas hak pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan di luar kehutanan. Sejak saat itu berduyun-
duyunlah kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan bermunculan. Situasi tersebut melahirkan kenyataan bahwa pola fragmentasi yang menginginkan setiap
sektor-sektor pengelolaan sumberdaya alam memiliki otonomi kawasan tidak dapat terwujud karena sumberdaya alam memiliki karakteristik yang tidak bisa
disektoralisasi baik secara administratif, ekonomi, dan ekologis.
Perubahan konfigurasi politik pada tahun 1998 membawa banyak perubahan di berbagai sektor. UU Nomor 41 Tahun 1999 berupaya melakukan
perubahan-perubahan tetapi masih menyisakan bagian yang rusak dari UU Kehutanan yang lama serta praktik pengelolaan hutan yang sudah terlanjur dalam
situasi permasalahan yang sangat kompleks. Perbedaan cara pandang antara sektor kehutanan dan pertambangan terhadap sumber daya alam melahirkan motivasi
yang bertolak belakang diantara keduanya. Dilematis dihadapi oleh bagi sektor
kehutanan ketika harus memilih ‗mempertahankan pengelolaan kawasan hutan atau memberikan kewenangan pengelolaannya kepada sektor
lain‘. Maka lahirlah kebijakan PKH sebagai langkah yang dianggap sebagai win-win solution.
Kebijakan tersebut juga disertai dengan serangkain perbaikan-perbaikan yang dimaksudkan untuk membatasi, mengendalikan dan upaya pemulihan kawasan
hutan akibat kegiatan perambangan di dalam kawasan hutan.
Terkait dengan karakteristik permasalahan yang melatarbelakangi perumusan kebijakan PKH, Dewan Kehutanan Nasional DKN menyampaikan
pandangannya yaitu bahwa pemerintah perlu melakukan kajian menyeluruh general review tentang kebijakan pertambangan, khususnya yang berada di
dalam kawasan hutan. Hal ini diperlukan untuk memberi kepastian pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara keseluruhan dan agar masyarakat
mengetahui strategi usaha tambang dalam jangka pendek maupun strategi pencadangan kekayaan alam dalam jangka panjang DKN 2008 dalam
Kartodihardjo 2008a
Kebijakan PKH sejak pertama kali digulirkan 1978 merupakan kewenangan yang mengurusi kehutanan pada saat itu Direktorat Jenderal
Kehutanan. Hingga saat ini kebijakan tersebut menjadi kewenangan Kementerian Kehutanan sepenuhnya, tepatnya menjadi tugas pokok dan fungsi
dari Direktorat Jenderal Planologi. Meningkatnya permohonan IPPKH sejak
73 tahun 2004 hingga saat ini mendorong Kementerian Kehutanan membentuk
lembaga khusus setingkat eselon II di Ditjen Planologi yang mengurusi pinjam pakai kawasan hutan, yaitu Direktorat PKH pada tahun 2010. Selanjutnya,
direktorat ini yang akhirnya mengakomodir dan memfasilitasi perumusan perubahanperbaikan kebijakan PKH.
Selama ini proses perumusan kebijakan PKH terkesan dilakukan oleh kementerian kehutanan sendiri tanpa melibatkan aktorpihak lainnya. Hal tersebut
yang mengakibatkan
kurang efektifnya
kebijakan tersebut
dalam pengimplementasiannya. Perbedaan latar belakang teknis antara perumus
kebijakan dan pelaksana utama di lapangan menimbulkan gap dalam pelaksanaan di lapangan. Perumus kebijakan menganggap bahwa pemegang
IPPKH telah mengerti teknik pengelolaan hutan dan mampu melaksanakannya di lapangan. Sementara perusahaan pemegang IPPKH lebih fokus pada teknis
pertambangannya. Kebijakan PKH masih perlu penyempurnaan dengan memperhatikan teknik dan praktik-praktik pertambangan di lapangan, melakukan
kajian akademis, serta melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan sehingga tidak lagi terdapat perbedaan interpretasi dan sejalan dengan tujuan untuk
menyeimbangkan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial.
2. Ketepatan Pelaksana