137
3. Asymmetric Information Ketidaksepadanan Informasi
Asymmetric information terjadi jika satu atau lebih pihak mempunyai
informasi yang lebih baik mengenai kualitas suatu produk atau jasa yang dipertukarkan dibandingkan pihak lain, sehingga tidak terjadi proses komunikasi
dan pertukaran informasi yang seimbang antara para pelaku kemitraan. Asymmetric information
bukan berarti tidak dimilikinya informasi, tetapi terkadang informasi tersebut tidak dapat diperoleh dan berbiaya tinggi sampai
dengan pertukaran terjadi, atau terkadang diperoleh namun sudah sangat terlambat. Munculnya asymmetric information dan adanya kepentingan pribadi
yang tidak selalu sama antara P dan A, mempengaruhi tindakan yang dilakukan oleh A.
Hal ini mengakibatkan pertukaran tersebut rawan terhadap resiko salah pilih mitra adverse selection pada ex ante sebelum kejadian dan bahaya ingkar janji
moral hazard pada ex post setelah kejadian, dan bahkan dalam suatu kemitraan terdapat kemungkinan terjadinya double moral hazard Maskin, 2001. Salah satu
bentuk moral hazard adalah munculnya perilaku oportunis dari salah satu pihak yang melakukan pertukaran. Perilaku oportunis umumnya terjadi pada situasi ex post atau
disebut sebagai oportunis pasca kontrak post-contractual opportunistic behavior.
Lemahnya pengawasan P terhadap kinerja A berpotensi menimbulkan masalah keagenan. Masalah keagenan timbul karena adanya ketidaksepadanan
informasi asymmetric information. ketidaksepadanan informasi merupakan suatu kondisi dimana satu pihak mempunyai lebih banyak informasipengetahuan
tertentu dibandingkan pihak lainnya.
Ketidaksepadanan informasi yang terjadi dalam proses implementasi kebijakan PKH dapat diidentifikasi dalam 2 dua sel dari 4 empat sel menurut
Waterman dan Meier 1998 yang terkait dengan perbedaan tujuan antara P dan A Gambar 11.
Tingkat Informasi A
Tingka t Inf
or masi P
Sedikit Banyak
B an
y ak
C D
Sed ik
it
A B
Gambar 11 Ketidaksepadanan informasi terkait dengan perbedaan tujuan antara P dan A diadopsi dari Waterman dan Meier 1998
Dalam implementasi kebijakan PKH hanya teridentifikasi sel B dan C dengan materi informasi yang berbeda terkait dengan perbedaan tujuan antara P
dan A. Jika materi informasi tersebut adalah berdasarkan tujuan P, maka hubungan ketidaksepadanan informasi akan berlaku seperti sel C, yaitu P
138 menguasai sepenuhnya informasi. Sedangkan apabila materi informasinya
berdasarkan pada tujuan A, maka situasinya akan berlawanan menjadi B, dimana informasi banyak dikuasai oleh A. Sementara sel A dan D tidak teridentifikasi
dalam kajian ini.
Dalam berbagai studi dan literatur ketidaksepadanan informasi tipe sel B banyak ditemukan dan dibahas. Dimana A menguasai sebagian besar informasi
atau pengetahuan tentang potensi sumberdaya, materi teknis dan kekuatan institusi organisasi. Tipe ketidaksepadanan informasi tersebut oleh Waterman dan Meier
1998
disebut sebagai
kasus klasik
dari sebuah
hubungan P-A.
Ketidaksepadanan informasi ini yang memicu timbulnya moral hazard pada diri A. Untuk mengatasi hal tersebut P harus melakukan sistem pengawasan atas
kinerja A dengan menerapkan kontrak yang telah ditandatangani oleh P dan disepakati oleh A.
P selaku pemegang kewenangan pengelolaan kawasan hutan memberikan kewenangan pengelolaannya kepada A untuk mengelola kawasan hutan secara
efisien dan efektif, memberikan profit kepada kedua belah pihak yang berkelanjutan. Permasalahan yang sering terjadi yaitu adanya conflict of interest
antara P dan A yang dapat menimbulkan masalah keagenan, dimana A tidak bertindak sesuai dengan kepentingan P dan hal ini akan berpengaruh kepada
kinerja kebijakan PKH.
Perbedaan tujuan atau kepentingan antara P dan A conflict of intersest yang disebabkan oleh perbedaan motivasi dan perbedaan sektor usaha core
business mengakibatkan perbedaan materi informasi yang dimiliki oleh kedua
belah pihak. Perbedaan itulah yang menciptakan adanya dua tipe ketidaksepadanan informasi dalam kajian implementasi kebijakan PKH ini. Tipe
yang disebut sebagai kasus klasik dalam teori keagenan di atas mengacu pada tujuan yang ingin dicapai oleh A. P tidak memiliki informasi, pengetahuan
maupun pengalaman apapun tentang tujuan A, sehingga P tidak dapat melakukan pengawasan terkait dengan aktifitas dan proses produksi tambang yang dilakukan
oleh A. Sehingga P tidak mengetahui kinerja A dan sangat sulit mengetahui apakah A melakukan penyimpangan terhadap kontrak atau tidak moral hazard
Sebaliknya, dalam kajian ini terdapat situasi yang menarik, yaitu teridentifikasinya ketidaksepadanan informasi dengan tipe C, di mana P
menguasai informasi dominan sedangkan A memiliki sangat sedikit minim informasi. Waterman dan Meier 1998 mencontohkan situasi seperti ini terjadi di
dalam organisasi besar dimana A melakukan pekerjaan yang sangat terspesialisasi sehingga mereka tidak dapat melihat bagaimana pekerjaan mereka berkontribusi
terhadap apa yang telah organisasi lakukan. Situasi tersebut juga terjadi di lembaga-lembaga militer di mana A melakukan tugas khusus tetapi hanya atasan
atau P yang tahu persis alasan dari pelaksanaan tugas tersebut. Lebih lanjut Waterman dan Meier 1998 menjelaskan bahwa dalam kedua contoh ini hanya
atasan di dalam hirarki P yang bisa melihat seluruh rentang operasi. Dalam kaitannya dengan P dan A, situasi seperti ini mungkin terjadi di antara P yang
mengarahkan kebijakan dan instruksinya kepada A. Sementara A hanya mengetahui sebagian kecil rencana kebijakan P dan karena itu A berada pada
kondisi kekurangan informasi.
Implementasi kebijakan PKH cenderung memiliki tipe sel C, karena hampir semua informasi tentang pengelolaan hutan merupakan domain
139 kementerian kehutanan sebagai P. Sementara perusahaan pemegang IPPKH
hampir tidak mempunyai informasi tersebut, sehingga A hanya mengikuti instruksi dan kebijakan yang berlaku di lingkup kementerian kehutanan serta
menerima apa yang termaktub dalam klausul IPPKH sebagai kontrak antara kementerian kehutanan sebagai P dan perusahaan pertambangan sebagai A.
Ketiadaan informasi, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh A tentang pengelolaan hutan menyebabkan terjadinya kesenjangan yang lebar antara
tujuan yang ingin dicapai oleh P dengan apa yang dilakukan oleh A. Di sisi lain, A mempunyai tujuan untuk mengoptimalkan produksi hasil pertambangan yang
berada di dalam kawasan hutan, yang pastinya akan mendayaupayakan semua kemampuannya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Ketiadaan informasi
tersebut dapat menjadi penyebab utama A melakukan moral hazard akibat ketidaktahuan meskipun P telah berusaha untuk mengeliminirnya. Melalui
Permenhut Nomor P.16Menhut-II2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, P mewajibkan A untuk mempekerjakan seorang teknisi kehutanan untuk
mengangani masalah-masalah teknis dan seorang forestry policy advisor
45
untuk perrmasalahan kebijakan dan peraturan-peraturan di bidang kehutanan. Namun,
sampai saat ini kebijakan tersebut belum efektif karena belum semua A mengikuti kebijakan tersebut. Bahkan, menurut penuturan beberapa responden dari
pemegang IPPKH, kebijakan tersebut hanya akan meningkatkan biaya transaksi saja, karena tenaga forestry policy advisor hanya makan gaji buta, tidak
memberikan manfaat yang berarti. Alasan yang dikemukanan oleh pemegang IPPKH adalah bahwa mereka telah memiliki legal advisor yang bisa difungsikan
sebagai forestry policy advisor.
4. Insentif