Konteks Politik dan Pemerintahan

46

2. Konteks Politik dan Pemerintahan

Soeharto menjadi pejabat presiden pada tanggal 12 Maret 1966, setelah memperoleh Surat Perintah 11 Maret Supersemar untuk memulihkan stabilitas politik dan keamanan di Indonesia. Seperti pendahulunya, rezim Soeharto otoriter, sentralistik di dalam kekuasaan dan diwarnai oleh seorang pemimpin dengan visi personal yang kuat. Soeharto sebenarnya tidak kharismatik, bagaimanapun juga visinya j auh dari revolusioner Liddle 1998 dalam Hidayat 2008. Sejak penunjukan sebagai pejabat presiden tahun 1966, Soeharto telah membangun institusi yang mendorong lahirnya proses pemerintahan yang modern. Dalam perspektif politik, pemerintahan Soeharto telah menyederhanakan partai politik menjadi tiga partai. Soeharto menganut paradigma pertumbuhan ekonomi, maka ia memacu berbagai sektor seperti minyak bumi, kehutanan, pertambangan, perkebunan, pertanian sebagai prioritas program pembangunan rezim orde baru. Pada situasi dan kondisi politik dan pemerintahan yang otoriter tersebut, perumusan kebijakan penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan tanpa hambatan berarti, terlebih kebijakan tersebut merupakan amanat dari Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 yang pada intinya memprioritaskan usaha pertambangan yang berada di atas lahan untuk keperluan sektor apapun. Sehingga kebijakan penggunaan kawasan hutan tersebut dirumuskan dengan tujuan untuk membuka peluang sektor lain terutama pertambangan melakukan kegiatannya di dalam kawasan hutan dengan aman dan nyaman. Perumusan kebijakan penggunaan kawasan hutan diarahkan dengan maksud dan tujuan untuk memuluskan jalan bagi penyelenggaraan pembangunan yang pada akhirnya dapat mencapai pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Perkembangan kebijakan penggunaan kawasan hutan pada rezim orde baru terjadi beberapa kali perubahan perbaikan. Perubahan-perubahan peraturan tersebut tidak pada hal-hal yang substansial dan tidak mengubah tujuan utama dari kebijakan penggunaan kawasan hutan itu sendiri. Perubahan tersebut hanya pada tata cara pengajuan, kelengkapan persyaratan permohonan izin, kewajiban pemohonpemegang izin, mekanisme monitoring dan evaluasi serta jangka waktu izin pinjam pakai. Sedangkan bentuk izin tetap memberlakukan kompensasi lahan bagi pemegang izin dengan mekanisme perjanjian pinjam pakai antara Menteri Kehutanan dengan pemegang izin. Pada tahun 1998 terjadi krisis ekonomi yang melanda hampir di sebagian besar negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Nilai rupiah menjadi sangat rendah terhadap dollar Amerika Serikat, perekonomian bangsa Indonesia terpuruk, stabilitas politik terguncang dan situasi keamanan menjadi sangat kacau. Rakyat Indonesia yang dimotori oleh mahasiswa menuntut Soeharto turun sebagai presiden karena dianggap bertanggungjawab atas situasi negara yang chaos saat itu. Praktik kolusi, korupsi dan nepotisme KKN menjadi alasan kuat rakyat Indonesia pada saat itu untuk menggulingkan rezim Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun dan dianggap telah mengakibatkan kesengsaraan rakyat. Istilah KKN menjadi populer dan menjadi agenda utama kaum reformis untuk segera diberantas. Praktik korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara telah 47 menguras sumberdaya alam dan sumderdaya ekonomi negara sehingga anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk peningkatan kemakmuran rakyat tidak mencapai sasaran. Sikap kolutif yang dilakukan penguasa dengan para pengusaha hanya menguntungkan kedua belah pihak dan perilaku nepotis penguasa yang lebih mementingkan anggota keluarga, kerabat dekat atau golongan tertentu untuk memperoleh jabatan, prioritas utama, kemudahan-kemudahan serta kesempatan- kesempatan dalam dunia usaha hanya memperparah penderitaan rakyat. Semangat tersebut pada akhirnya berhasil meruntuhkan pemerintahan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 yang disertai dengan tuntutan reformasi dan demokratisasi disegala bidang telah mengubah situasi politik dan pemerintahan saat itu. Agenda reformasi yang diperkenalkan oleh BJ Habibie sebagai pengganti Soeharto pada pertengahan tahun 1998, dikonsentrasikan pada demokratisasi, tata kelola pemernintahan yang baik, akuntabilitas, desentralisasi, dan penghormatan atas hak-hak asasi. Demokrasi memerlukan hubungan yang kuat antara masyarakat sipil, keadaan politik dan kepercayanaan antara masyarakat, para aktivis, politisi, pejabat pemerintah, membangun tata pemerintahan yang baik dan akar rumput politik sampai tingkatan nasional. Sementara itu, desentralisasi bertujuan mendorong pemerintahan lokal untuk menentukan dirinya sendiri rencana berbagai aspek pembangunan, meningkatkan keterampilan dan kemampuan aparatur pemerintahan untuk memberikan pelayanan kepada publik. Ilmuwan politik menyetujui bahwa implementasi desentralisasi dapat mempercepat pembangunan di banyak sektor, seperti ekonomi, pemberdayaan masyarakat lokal, kesehatan, pendidikan dan infrastruktur. Jika dihubungkan dengan pengelolaan sektor kehutanan, esensi desentralisasi adalah untuk mendemokratisasi aparatur Kementerian Kehutanan melalui berbagai tingkatan baik pusat maupun daerah, untuk menerapkan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik, yaitu transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas publik Hidayat 2008. Semangat reformasi tersebut berimbas pada kebijakan-kebijakan di sektor kehutanan, termasuk kebijakan penggunaan kawasan hutan. Perubahan kebijakan yang utama adalah diterbitkannya Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan yang telah berumur 32 tahun. Undang- undang 41 Tahun 1999 bukan hanya memperbaharui kebijakan-kebijakan yang mendasar dalam pengelolaan hutan di Indonesia, namun juga menimbulkan permasalahan baru terkait dengan kebijakan penggunaan kawasan hutan. Masalah tersebut berawal dari adanya ketentuan pasal 38 ayat 4 bahwa penggunaan kawasan hutan untuk sektor pertambangan di dalam kawasan hutan lindung HL dilarang dengan sistem penambangan terbuka open pit miningsurface mining. Hal itu memaksa berbagai kalanganaktor di dunia pertambangan komplain dan mengajukan usulan untuk dilakukan review terhadap UU kehutanan tersebut, mengingat berbagai alasan yang merugikan sektor pertambangan, tertutupnya akses usaha pertambangan di kawasan hutan lindung diantaranya menurunnya target produksi energi dan mineral, menurunnya investasi dan lain-lain. Puncaknya, pada tahun 2004 terjadi salah satu momentum penting untuk dunia kehutanan di Indonesia, yaitu ketika pemerintah yang pada akhirnya melakukan amandemen terhadap UU Nomor 41 Tahun 1999 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu Nomor 1 48 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang selanjutnya disahkan sebagai UU melalui Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi undang-undang. Perubahan tersebut didasarkan pada diterimanya uji materi judicial review terhadap UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 033PUU-III2005 Kartodihardjo dan Jhamtani 2006 menjelaskan bahwa sepanjang tahun 2004, perhatian banyak pihak tertuju pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Perpu No. 1 tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang No 411999 tentang Kehutanan. Pemerintah mengeluarkan Perpu tersebut karena UU Kehutanan dianggap tidak memberi kepastian hukum bagi ijin pertambangan di kawasan hutan lindung yang dikeluarkan sebelum UU No. 411999 tersebut diberlakukan. Perpu tersebut menuai kontroversi pro-kontra yang harus diselesaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat DPR. Pada tahap awal, DPR menyatakan mereka akan menolak Perpu tersebut. Namun, ada perubahan yang terjadi secara cepat, dan akhirnya DPR menyetujui Perpu tersebut melalui voting dalam rapat paripurna, dengan mengesahkan UU No. 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Pada awal 2005 sejumlah aktivis lingkungan mengajukan UU No. 19 tahun 2004 kepada Mahkamah Konstitusi untuk uji formal dan material judicial review. Namun, permohonan uji materi tersebut di tolak oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan tidak dipenuhinya permintaan para pemohon uji materi tersebut maka 13 perusahaan pertambangan yang telah mendapat izin menambang di hutan lindung terus beroperasi dan disahkan melalui Keputusan Presiden No 412004. PP No 22008 merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari peraturan-perundangan sebelumnya, terutama yang berkaitan dengan penggunaan kawasan hutan. Dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004 tentang perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan yang berada di kawasan hutan, disetujui 13 konsesi tambang yang berada di dalam kawasan hutan lindung untuk melakukan kegiatan pertambangan dengan sistem pertambangan terbuka dengan alasan bahwa ke-13 konsesi tersebut telah dikeluarkan izinnya oleh pemerintah sebelum diterbitkannya UU 41 Tahun 1999. Seperti telah dijelaskan di atas bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas undang- undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terbit melalui perjalanan pro- kontra terhadap adanya opsi untuk memberikan ruang bagi kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan lindung. Proses penyusunan Perpu ini juga melalui jalan yang panjang dengan berbagai reaksi dari berbagai pihak. Dalam kronologi pengesahan Perpu tersebut, Kartodihardjo dan Jhamtani 2006 yang mengumpulkan informasi dari Advokasi Penyelamat Hutan Lindung dan beberapa artikel dalam harian Kompas mengungkap adanya praktik politik uang suap. Sebanyak 29 mantan anggota DPR mengadakan konferensi pers dan menyampaikan permohonan maaf atas keputusan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 menjadi UU, karena prosesnya sarat dengan politik uang. Bambang Setyo dari Fraksi-Partai Bulan Bintang, mantan anggota Pansus Perpu Hutan Lindung, dan 49 28 anggota DPR lain mengadakan konferensi pers untuk menyampaikan permohonan maaf atas keputusan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 menjadi UU, karena prosesnya sarat dengan politik uang. la menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada rakyat Indonesia, khususnya masyarakat yang akan terkena dampak akibat penambangan di hutan lindung. Kami sudah berusaha maksimal, tetapi ada kekuatan rakksasa yang menekan sehingga Perpu itu lolos,katanya. Salah seorang diantaranya mengaku pernah ditawari sejumlah uang oleh anggota DPR dari fraksi lain, narnun ia menoiak. ―Waktu itu tiga hari menjelang sidang paripurna, say ditawari 50 juta rupiah; Semakin dekat jumlah tawaran makin meningkat” Mantan anggota Pansus Perpu Hutan Lindung dari Fraksi Partai Golkar mengungkapkan hal senada. Saat pandangan mini fraksi di Pansus, semua fraksi menolak kecuali Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Tetapi ketika sidang paripurna, sebagian fraksi berubah sikap, termasuk Fraksi Partai Golkar. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi Sumberdaya dan Mineral, Kementerian Perekonomian dan Kementerian Keuangan berada pada satu kubu untuk memperjuangkan izin pertambangan di dalam kawasan hutan lindung dengan dalih pertumbuhan ekonomi dan kelangsungan pembangunan. Sementara itu, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup berada di kubu yang berseberangan untuk tetap mematuhi amanat Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Pasal 38 Ayat 4 bahwa pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Sehingga dengan mengizinkan praktik pertambangan di dalam kawasan hutan lindung secara terbuka, maka kebijakan tersebut telah melanggar Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999. Pola penambangan terbuka di hutan lindung diperbolehkan sebagai bentuk penyimpangan dari Pasal 38 ayat 4 Undang-Undang Kehutanan bagi 13 perusahaan tambang yang telah masuk dalam tahap eskplorasi, dan bagi perusahaan yang masih dalam tahap studi kelayakan dan tahap eksplorasi, diharuskan tunduk pada ketentuan Pasal 38 ayat 4 Undang-undang Kehutanan. Pemerintah seakan terpaksa mengizinkan 13 perusahaan tambang beroperasi di dalam kawasan hutan lindung secara terbuka. Hal itu tidak terlepas dari tekanan pihak asing dalam hal ini para investor yang sebagian besar adalah investor asing. Perusahaan-perusahaan asing yang telah menanamkan investasinya dalam jumlah yang sangat besar dalam bentuk Kontrak Karya pertambangan maupun Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara PKP2B yang ditandatangani sebelum Undang-undang 41 Tahun 1999 mempunyai kepentingan ekonomi dan politik terhadap keberadaannya di wilayah Republik Indonesia. Sedangkan bagi pemerintah sendiri hal itu menjadi buah simalakama, karena jika bersikukuh melaksanakan amanat Undang-undang 41 Tahun 1999, maka akan kehilangan investasi yang sangat besar dan berpeluang mendapatkan tuntutan dari Negara- negara yang telah menanamkan modalnya di Indonesia untuk pertambangan arbitrase. Sedangkan jika mengizinkan praktik pertambangan di dalam kawasan hutan lindung, maka hal itu sama saja dengan menjilat ludah sendiri karena dengan terang-terangan melanggar Undang-undang 41 Tahun 1999. Dalam telaahannya terhadap UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Kartodihardjo 2008b menjelaskan bahwa pemerintah masih mentolerir diadakannya eksplorasi pertambangan dalam kawaan hutan produksi 50 dan hutan lindung Pasal 38 ayat 1, meskipun terdapat batasan luas dan jangka waktu serta kelestarian lingkungan pasal 38 ayat 3, maupun adanya persetujuan DPR untuk pemberian izin pinjam pakai yang berdampak penting dengan cakupan luas. Dalam situasi beratnya kerusakan hutan di Indonesia, pasal ini dapat memicu pertambahan kerusakan hutan di masa mendatang, apabila kepentingan ekonomi melalui pertambangan tetap dinomor satukan baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Untuk mengantisipasi perubahan tersebut, Kementerian Kehutanan berreaksi cepat dengan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12Menhut-II2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Kegiatan Pertambangan yang kemudian disusul dengan diterbitkanya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14Menhut-II2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan sebagai pedoman pelaksanaan dalam penggunaan kawasan hutan. Pada awal tahun 2008, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 tanggal 4 Pebruari 2008 tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan untuk mengakomodir keinginan semua pihak yang berkepentingan dalam penggunaan kawasan hutan. PP Nomor 2 Tahun 2008 ini juga menuai banyak kritik dan perhatian hampir seluruh pemerhati kehutanan dan lingkungan, mengingat kawasan hutan hanya dihargai Rp. 120 – 300m 2 tahun. Angka yang terlalu kecil untuk ukuran sumberdaya alam yang dieksploitasi dan tingginya biaya pemulihan kerusakan kawasan hutan. Dewan Kehutanan Nasional DKN juga membahasnya dengan seluruh kamar chambers dan menyampaikan pandangannya sebagai berikut DKN 2008 diacu dalam Kartodihardjo 2008a: 1. Pemerintah perlu melakukan kajian menyeluruh general review tentang kebijakan pertambangan, khususnya yang berada di dalam kawasan hutan. Hal ini diperlukan untuk memberi kepastian pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara keseluruhan dan agar masyarakat mengetahui strategi usaha tambang dalam jangka pendek maupun strategi pencadangan kekayaan alam dalam jangka panjang. 2. Perlu dilakukannya penyempurnaan atas PP Nomor 2 Tahun 2008 dengan memperhatikan perkembangan dan praktik-praktik pertambangan di lapangan, melakukan kajian akademis, serta melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan sehingga tidak lagi terdapat perbedaan interpretasi dan sejalan dengan tujuan untuk menyeimbangkan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial dalam pelaksanaan penggunaan kawasan hutan bagi sektor lain di luar kehutanan. Kebijakan kehutanan di bidang penggunaan kawasan hutan pada dasarnya merupakan kebijakan yang strategis sekaligus dilematis. Di satu sisi keberadaan sumder daya pertambangan harus diakui keberadaannya, meskipun tidak harus diberikan ruang untuk merusak kawasan hutan dengan alasan peningkatan sumber daya ekonomi. Di sisi lain, keberadaan sumber daya hutan dan lahan dapat dipastikan menjadi korban dari adanya kebijakn tersebut. Sebenarnya kekhawatiran kerusakan sumber daya hutan akibat digulirkannya kebijakan tersebut dapat ditekan jika masing-masing pihak mempunyai perilaku yang sesuai 51 dengan harapan para perumus kebijakan. Namun pada kenyataannya, harapan itu masih jauh panggang dari api. Kebijakan tetap digulirkan dan dilaksanakan, sumber daya tambang digali dan dieksploitasi, sementara sumber daya hutan semakin terdegradasi dan terdeplesi.

3. Isu-isu Kunci Kebijakan