139 kementerian kehutanan sebagai P. Sementara perusahaan pemegang IPPKH
hampir tidak mempunyai informasi tersebut, sehingga A hanya mengikuti instruksi dan kebijakan yang berlaku di lingkup kementerian kehutanan serta
menerima apa yang termaktub dalam klausul IPPKH sebagai kontrak antara kementerian kehutanan sebagai P dan perusahaan pertambangan sebagai A.
Ketiadaan informasi, pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh A tentang pengelolaan hutan menyebabkan terjadinya kesenjangan yang lebar antara
tujuan yang ingin dicapai oleh P dengan apa yang dilakukan oleh A. Di sisi lain, A mempunyai tujuan untuk mengoptimalkan produksi hasil pertambangan yang
berada di dalam kawasan hutan, yang pastinya akan mendayaupayakan semua kemampuannya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Ketiadaan informasi
tersebut dapat menjadi penyebab utama A melakukan moral hazard akibat ketidaktahuan meskipun P telah berusaha untuk mengeliminirnya. Melalui
Permenhut Nomor P.16Menhut-II2014 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan, P mewajibkan A untuk mempekerjakan seorang teknisi kehutanan untuk
mengangani masalah-masalah teknis dan seorang forestry policy advisor
45
untuk perrmasalahan kebijakan dan peraturan-peraturan di bidang kehutanan. Namun,
sampai saat ini kebijakan tersebut belum efektif karena belum semua A mengikuti kebijakan tersebut. Bahkan, menurut penuturan beberapa responden dari
pemegang IPPKH, kebijakan tersebut hanya akan meningkatkan biaya transaksi saja, karena tenaga forestry policy advisor hanya makan gaji buta, tidak
memberikan manfaat yang berarti. Alasan yang dikemukanan oleh pemegang IPPKH adalah bahwa mereka telah memiliki legal advisor yang bisa difungsikan
sebagai forestry policy advisor.
4. Insentif
Keterbatasan rasionalitas manusia merupakan salah satu asumsi yang digunakan dalam teori keagenan. Keterbatasan tersebut menjadi dasar bagi A
untuk melakukan tindakan apapun untuk mendapatkan keuntungan sebagai tujuan utama dalam mengelola pertambangan di dalam kawasan hutan. Sehingga
perilaku oportunistik maupun perilaku moral hazard lainnya dapat saja dilakukan oleh A untuk mencapai tujuannya tersebut. Di lain pihak, keterbatasan P dalam
melakukan kontrol terhadap kinerja A meningkatkan risiko bagi P dalam upayanya mencapai tujuan akhirnya, pemulihan kondisi hutan. P seharusnya
melakukan upaya untuk meminimasi risiko kegagalan. Upaya tersebut bisa dilakukan secara aktif dari dalam diri P sendiri dengan penguatan kontrol dan
penegakan hukum maupun dengan memacu A untuk meningkatkan kinerja, motivasi dan komitmennya terhadap kontrak.
Rajan dan Saouma 2006 menyatakan bahwa besarnya kompensasi yang diterima oleh pihak A tergantung pada besarnya labaprofit yang dihasilkan sesuai
45
Policy Advisor Bidang Kehutanan adalah pejabat atau purna tugas yang berasal dari
Kementerian Kehutanan atau pejabat instansi lain yang berkompetensi di bidang kebijakan pembangunan kehutanan yang ditempatkan dan diangkat oleh pemegang izin pinjam pakai
kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan operasi produksi Permenhut P.65Menhut- II2013 tentang Policy Advisor Bidang Kehutanan pada Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
untuk Kegiatan Pertambangan Operasi Produksi
140 dengan kontrak yang telah disepakati dengan pihak P. Dengan demikian, maka A
seharusnya menerima incentives dari keberhasilannya mengelola kawasan hutan sebesar atau sebanding dengan tercapainya harapan atau kepentingan P. Dalam
implementasi kebijakan PKH hal itu sulit diterapkan mengingat tidak ada standar atau parameter pengukuran yang jelas. Namun demikian, incentives merupakan
bentuk penghargaan yang harus diterapkan oleh P untuk merangsang A menjalankan kontraknya dengan baik, benar dan mencapai tujuan.
Salah satu cara untuk merangsang agar A dapat bertindak seperti yang diinginkan P adalah dengan memberikan insentif. Insentif, dalam berbagai teori
ekonomi telah banyak dikupas. Secara spesifik, dalam konteks kebijakan PKH ini insentif merupakan pemberian penghargaan atau kemudahan yang diberikan oleh
pemerintah kementerian kehutanan kepada perusahaan pemegang IPPKH atas kinerjanya dalam melaksanakan kewajibannya sesuai dengan IPPKH yang
dimilikinya. Tujuan pemberian insentif tersebut antara lain: menghargai prestasi kinerja agen, meningkatkan motivasi dan komitmen agen, menjamin keadilan,
mempertahankan kinerja, mengurangi risiko kegagalan.
Adanya kontradiksi pengenaan PNBP sebagai salah satu mekanisme pemerintah untuk menggantikan nilai kerusakan kawasan hutan dan pengurangan
jumlah kewajiban PNBP sebagai salah satu bentuk intensif masih harus dikaji lebih mendalam. Pengenaan PNBP dirasakan oleh para penggiat terlalu kecil
untuk ukuran kerusakan yang tak ternilai, sementara bagi perusahaan pemilik IPPKH justru sebaliknya, merupakan beban yang sangat berat. Di sisi lain,
menurut beberapa birokrat di kementerian kehutanan P, pengurangan PNBP melalui keberhasilan dalam reklamasi dan revegetasi adalah bentuk intensif bagi
A. Sedangkan bagi A pengurangan PNBP tidak berarti banyak dan tidak menarik, terlebih dengan adanya diskresi Direktur Jenderal Planologi tentang PNBP yang
justru menjadi disinsentif bagi A.
A lebih tertarik dengan kepastian hukum dan keberlanjutan usaha mereka di dalam kawasan hutan. Adanya peraturan yang dirumuskan oleh P yang
membatasi kuota 10 pada kawasan hutan yang telah memiliki IUPHHK, merupakan kartu mati bagi A untuk mengajukan perluasan areal IPPKH di dalam
aeal IUPHHK yang sama, walaupun A telah dengan baik melakukan kontrak IPPKH. Diterimanya kawasan hutan yang telah direklamasi dan revegetasi tidak
menjamin bagi A untuk mendapatkan areal pengganti, karena belum ada peraturan yang mengatur tentang hal itu.
Terkait dengan hal tersebut di atas, berdasarkan informasi dari salah satu perusahaan
46
yang sedang mengajukan pengembalian kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan sekaligus memohon penggantian areal lain di dalam kawasan
hutan ber-IUPHHK yang telah habis kuotanya, Menteri Kehutanan menyetujui kedua permohonan tersebut. Kebijakan Menteri Kehutanan sebagai P tersebut
bisa dikatakan sebagai diskresi yang sekaligus menjadi insentif bagi IPPKH yang mengembalikan kawasan hutan dan dinyatakan lulus untuk kemudian
mendapatkan reward berupa IPPKH baru. Persetujuan P juga merupakan salah
46
Informasi diperoleh dari staf perusahaan yang menjadi salah satu responden dalam penelitian ini. Penulis mengikuti rapat pembahasan rencana pengajuan pengembalian kawasan hutan yang
difasilitasi oleh BPKH Wilayah IV-Samarinda dan dihadiri oleh berbagai para pihak dari pemegang IPPKH, pemegang IUPHHK, Dinas Kehutanan Provinsi dan Dinas Kehutanan
Kabupaten
141 satu langkah untuk mengurangi kesalahan dalam memilih A yang baru, mengingat
P dalam konteks teori keagenan PKH ini tidak mempunyai kemampuan untuk melakukan pemilihan terhadap A.
Insentif juga bisa diberikan oleh P misalkan dalam bentuk sertifikat penghargaan yang menunjukkan pencapaian kinerja A dalam menjalankan
kontraknya. Sebagaimana yang dilakukan oleh Kementerian ESDM yang memberikan sertifikat piagam penghargaan untuk berbagai katagori dalam
bidang pengelolaan lingkungan dan pengelolaan tambang. Piagam penghargaan tersebut mempunyai tiga tingkatan yaitu aditama, utama dan pratama. Dalam
rangka pemberian sertifikat atau piagam penghargaan pengelolaan kawasan hutan kepada A, tentunya P terlebih dahulu melakukan penilaian kepada semua A
dengan batasan, kriteria dan indikator yang telah ditetapkan sebelumnya. Sertifikat penghargaan tersebut merupakan gambaran prestasi dan partisipasi A
dalam mengelola hutan dengan baik. Sertifikat tersebut dapat menjadi salah satu syarat tambahan bagi A yang akan mengajukan IPPKH pada areal lain.
Insentif berupa kepastian hukum dan jaminan keberlanjutan usaha maupun dalam bentuk lainnya sangat diharapkan oleh A, oleh karena itu P perlu membuat
batasan atau aturan tentang instrument insentif dalam IPPKH untuk meningkatkan motivasi dan komitmen A dalam menjalankan kontraknya dengan baik dan sesuai
dengan keinginan P.
5. Risk Preference