75 Dalam perjalannya, kebijakan ini sering sekali mengalami perubahan
seiring dengan isumasalah yang menyertai kebijakan tersebut. Berdasarkan analisis terhadap isi peraturan perundang-undangan PKH, perubahan-perubahan
tersebut pada prinsipnya tidak terlalu mengubah maksud, tujuan dan target kebijakan tersebut. Perubahan kebijakan lebih pada penambahanperbaikan
persyaratan dan kewajiban yang dibebankan kepada pemohon izin. Tak pelak, perubahan-perubahan tersebut justru menambah beban pemohon izin terutama
meningkatnya biaya transaksi pada saat mengimplementasikan kebijakan tersebut. Banyaknya permasalahan yang dihadapi pemohon IPPKH sampai dengan proses
pemenuhan kewajiban dan konflik yang harus dihadapi di lapangan menunjukkan bahwa perubahan-perubahan kebijakan tersebut tidak efektif meningkatkan
kinerja implementasi kebijakan tersebut.
4. Ketepatan Lingkungan
Kebijakan PKH bisa dikatakan murni diinisiasi dan dirumuskan sendiri oleh Kementerian Kehutanan sejak digulirkannya pertama kali pada tahun 1978.
Kementerian kehutanan menjadi aktor kunci dalam perumusan kebijakan tersebut. Namun, beberapa kebijakan terkait dengan PKH seperti kebijakan PKH di dalam
hutan lindung dan pengenaan PNBP melibatkan aktor-aktor lain, seperti DPR, Pemerintah Presiden dan wakil Presiden, Kementerian ESDM, Kementerian
Perekonomian, para akademisi dan beberapa perusahaan pertambangan. Kedua kebijakan tersebut hanya mengatur tata cara penambangan di hutan lindung dan
kewajihan pembayaran PNBP, tidak mengatur substansi dari kebijakan PKH tersebut.
Terbatasnya peranan para aktor dalam perumusan kebijakan PKH mengakibatkan actor networking tidak terbangun dan tidak berkelanjutan, hanya
terbatas pada masalah-masalah khusus saja. Adapun isu-isu lain terkait dengan teknis kehutanan cenderung tidak melibatkan aktor-aktor di luar kementerian
kehutanan. Dengan demikian, meskipun ‗sempat‘ melibatkan beberapa aktor lain, namun dalam proses perubahanperbaikan peraturan perundang-undangan tentang
PKH seolah menjadi domain Kementerian Kehutanan, sehingga dominansi Kementerian Kehutanan dalam perumusan kebijakan menjadi tidak terbantahkan.
Dominasi tersebut juga terdeteksi dalam proses implementasinya. Unit Pelaksana Teknis UPT Kementerian Kehutanan di daerah seperti Balai
Pemantapan Kawasan Hutan BPKH, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai BPDAS dam Balai Pemantauan dan Pemanfaatan Hutan Produksi BP2HP
menjadi aktor kunci dalam implementasi kebijakan tersebut. Hampir dalam setiap kegiatan yang terkait dengan kebijakan tersebut ketiga UPT tersebut menjadi
bagian dalam pelaksanaannya. Sementara unsur-unsur dari daerah Dinas Kehutanan dan Dinas Pertambangan dan Energi baik tingkat provinsi,
kabupatenKota lebih banyak menjadi anggota tim pelaksanaan kegiatan, kecuali pada kegiatan monitoring dimana Dinas Kehutanan KabupatenKota mendapat
kewenangan dari Menhut untuk menjadi penanggungjawab dan kegiatan evaluasi, dimana Dinas Kehutanan Provinsi yang menjadi penanggungjawabnya.
Dari sisi lain, hasil wawancara dengan beberapa pihak dan pengamatan di lapangan mendapatkan respon yang cukup baik, terutama dari instansi-instansi
pusat di daerah. Sedangkan respon dari instansi daerah masih mendapatkan
76 kekurangpuasan terkait dengan peranan mereka dalam proses perumusan
kebijakan sampai dengan implementasinya. Aroma desentralisasi masih sangat terasa, terkait dengan pemberian kewenangan pengelolaan kawasan hutan kepada
daerah yang dianggap masih setengah hati. Bahkan masih ada yang berpendapat bahwa pemberian IPPKH seharusnya menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Sementara pendapat dari aktor-aktor lain di luar instansi pemerintah pusat maupun daerah, hanya terkait dengan isu penambangan di kawasan hutan lindung dan
kewajiban pembayaran PNBP.
Sementara perusahaan pemegang IPPKH hanya mengeluhkan pada ketidakjelasan status kawasan hutan yang tidak bebas konflik. Hampir semua
responden perusahaan pemegang IPPKH mengalami permasalahan yang sama, konflik kawasan hutan dengan masyarakat di sekitar kawasan hutan yang dipinjam
pakai sehingga mereka harus mengeluarkan biaya transaksi yang lebih tinggi untuk membebaskan kawasan hutan tersebut.
Hampir semua pihak merasa tidak mempunyai interpretasi yang berbeda terhadap isi peraturan tentang PKH. Hal itu menunjukkan bahwa kebijakan PKH
mempunyai tingkat ambiguitas kemenduaan yang rendah. Namun, rendahnya ambiguitas tersebut tidak menjadikan kebijakan ini rendahminim konflik.
Kebijakan ini justru lahir dari konflik para aktor akibat perbedaan kepentingan, perbedaan nilai dan motivasi serta konflik penguasaan lahan di ranah tapak.
Matland 1995 mengembangkan sebuah model yang disebut dengan ‗model matriks ambiguitas-konflik‘ yang menjelaskan bahwa implementasi secara
admiministratif adalah implementasi yang dilakukan dalam keseharian operasi birokrasi pemerintahan. Kebijakan di sini memiliki ambiguitas atau kemenduaan
yang rendah dan konflik yang rendah. Implementasi secara politik adalah implementasi yang perlu dipaksakan secara politik, karena, walaupun
ambiguitasnya rendah, tingkat konfliknya tinggi. Implementasi secara eksperimen dilakukan pada kebijakan yang mendua, namun tingkat konfliknya rendah.
Implementasi secara simbolik dilakukan pada kebijakan yang mempunyai ambiguitas tinggi dan konflik yang tinggi. Nugroho 2009 menganjurkan untuk
melakukan model implementasi sesuai dengan isu kebijakannya.
Gambar 6 Posisi kebijakan PKH dalam matriks ambiguitas-konflik Matland
1995
IPPKH
A m
bi g
ui tas
Konflik
Re n
d ah
Ti n
g g
i
Rendah Tinggi
Politik
Administratif Simbolik
Eksperimental
77
5. Ketepatan Proses