84 Terkait dengan hutan hak, pada pasal 10 disebutkan:
‗…Perlindungan hutan pada hutan hak, dilaksanakan dan menjadi tanggungjawab pemegang hak meliputi kegiatan antara lain; a. pencegahan
gangguan dari pihak lain yang tidak berhak; b. pencegahan, pemadaman dan penanganan dampak kebakaran; c. penyediaan personil dan sarana
prasarana perlindungan hutan; d. mempertahankan dan memelihara sumber air; e. melakukan kerjasama dengan sesama pemilik hutan hak, pengelola
kawasan hutan, pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang izin
pemungutan, dan masyarakat...‘ Namun demikian, sebagian besar pemegang IPPKH tidak memahami
secara detail teknis dan mekanisme menjalankan kewajiban pengamanan dan perlindungan hutan. Respon mereka hanya terbatas pada Standard Operation
Procedure SOP yang dimiliki oleh masing-masing perusahaan dalam melakukan
pengamanan. Pengamanan dan perlindungan yang dilakukan rata-rata masih sebatas penyediaan tenaga pengaman security, baik dari satuan pengaman
Satpam, personel Kepolisian Sektor Polsek, personel Kepolisian Resort Polres sampai dengan personel Brigadir Mobil Brimob. Tenaga pengamanan
tersebut hanya bertugas untuk menjaga keamanan wilayah PKP2BIUPIPPKH selama perusahaan beroperasi. Sedangkan kegiatan pengamanan dan
perlindungan sesuai peraturan perundang-undangan kehutanan yang berlaku dengan mengerahkan tenaga pengaman tersebut tidak teridentifikasi.
Sebagian pemegang IPPKH terutama yanag berizin PKP2B, melaksanakan kegiatan perlindungan hutan dengan memasang rambu-rambu larangan
peringatanhimbauan di tempat-tempat yang strategis agar dapat diketahui oleh masyarakat. Papan-papan larangan yang dibuat antara lain; larangan memasuiki
kawasan hutan tanpa izin, berburu, mengambil hasil hutan dan membakar lahan. Namun demikian, pemegang IPPKH belum sepenuhnya dapat membuat steril
kawasan hutan dari masyarakat di sekitarnya dan praktik illegal logging. Hal itu menjadi sebuah dilemma tersendiri bagi pemegang IPPKH mengingat akses jalan
yang mereka bangun biasanya juga menjadi akses masyarakat dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari.
Pada indikator ini respon pemegang IPPKH berkategori buruk dengan skor adalah 77. Namun, jika dibandingkan respon antara pemegang IPPKH dengan
status izin PKP2B dan IUP, terdapat perbedaan kategori, yaitu cukup baik untuk PKP2B dengan skor 43 dan kategori buruk untuk pemegang IPPKH dengan IUP
dengan skor 34. Berdasarkan pengamatan di lapangan selama observasi, memang terlihat jelas perbedaan kinerjanya dalam menjalankan kewajiban IPPKH antara
pemegang IPPKH dari PKP2B dengan IUP. Pemegang IPPKH dari PKP2B terlihat lebih serius dan mempunyai komitmen yang lebih baik dibandingkan
pemegan IPPKH dari IUP. Perbedaan respon tersebut juga sebagai bukti tingkat kepedulian pemegang IPPKH terhadap kawasan hutan.
3. Pembayaran PNBP
Untuk indikator pembayaran PNBP juga berkategori buruk dengan skor 72. Baik pemegang IPPKH dengan izin PKP2B maupun IUP mempunyai nilai
85 skor yang sama yaitu 36 yang menunjukkan dalam pemenuhan kewajiban ini
perilakunya sama. Perusahaan tambang banyak yang terlambat dalam pembayaran dan ketidaksesuaian jumlah yang harus dibayarkan. Hasil observasi dan
wawancara di lapangan menunjukkan kenyataan bahwa saat ini para pemegang IPPKH sedang dilanda kebingungan terkait dengan kebijakan pembayaran PNBP.
Mereka mengeluhkan adanya kebijakan baru diskresi dari Direktur Jenderal Planologi
27
terkait dengan pembatalan pengembalian PNBP yang telah dibayarkan jika terdapat kelebihan bayar. Mereka telah berusaha keras untuk membayar
PNBP sesuai baseline
28
sebelum jatuh tempo agar tidak terkena denda. Namun saat dilakukan pengukuran oleh tim verifikasi, kelebihan bayar yang telah
disetorkan kepada negara tidak dapat dikembalikan. Hampir semua perusahaan tambang merasa dirugikan dengan diskresi
tersebut. Alih-alih membayar tepat waktu sebelum jatuh tempo, diskresi tersebut justru menurunkan niat baik pemegang IPPKH untuk membayar PNBP
sebelum jatuh tempo. Menurut mereka, sama saja antara membayar sebelum jatuh tempo dan terlambat membayar, bedanya tidak terlalu signifikan. Bahkan mereka
beranggapan lebih baik membayar terlambat agar mendapatkan kepastian terlebih dahulu berapa mereka harus membayar ditambah denda yang harus mereka
bayarkan dibandingkan dengan membayar sebelum jatuh tempo sesuai baseline ternyata kelebihan bayarnya jauh lebih besar dibandingkan dengan denda yang
harus ditanggung perusahaan.
Kondisi tersebut bertolak belakang dengan apa yang dinyatakan oleh Rusli 2008 yang pada saat itu menjabat sebagai Dirjen Planologi, bahwa PP Nomor 2
Tahun 2008 meletakkan dasar pengakuan sebagai insentif dan disinsentif bagi pelaku pengguna kawasan hutan dan wujud nyata tanggungjawab terukur dan
dipertanggungjawabkan secara finansial. Diskresi tersebut seakan menjadi disinsentif bagi pemegang IPPKH yang telah membayar PNBP tepat waktu.
Tabel 13 Target dan realisasi penerimaan negara bukan pajak
No Tahun
Jumlah Nilai Rupiah
Persentase Rata-rata Rp
Wajib Bayar Target
Realisasi Capaian
Per wajib bayar
1 2009
130 198,013,110,000
169,797,334,864 85.75
1,306,133,345 2
2010 182
100,000,000,000 175,859,249,949
175.86 966,259,615
3 2011
251 175,000,000,000
432,550,625,157 247.17
1,723,309,264 4
2012 338
227,293,588,500 472,956,976,846
208.08 1,399,280,997
5 2013
412 495,168,491,322
587,909,692,243 118.73
1,426,965,272 Rataan
1.313 1,195,475,189,822
1,839,073,879,059 153.84
1,400,665,559
Sumber : Data dan infomasi penggunaan kawasan hutan 2013. Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan, Direktorat
Jenderal Planologi, Kementerian Kehutanan dan Laporan Bulanan Kegiatan Subdirektorat PNBP Penggunaan Kawasan Hutan Bulan April 2014
27
Surat Direktur Jenderal Planologi Nomor S.209VII-PKH2012 tanggal 14 Pebruari 2012
28
Baseline PKH adalah deskripsi secara kuantitatif dan kualitatif kondisi awal penutupan lahan areal pinjam pakai pada masing-masing kategori L1, L2 dan L3 yang mengklasifikasikan
kondisi lahan yang dapat direvegetasi atau tidak dapat direvegetasi sebagai dasar penilaian keberhasilan reklamasi.
86
Tabel 13 di atas menggambarkan penerimaan negara bukan pajak PKH selama 5 tahun terakhir 2009-2013. Selama rentang waktu tersebut
terjadi lonjakan realisasi pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak untuk PKH PNBP-PKH
oleh wajib bayar
29
. Lonjakan realisasi tersebut berkisar antara 118.73 -247,17 kemungkinan besar disebabkan oleh kelebihan bayar yang dilakukan oleh wajib
bayar. Dalam konsep awal PNBP dirumuskan, pembayaran PNBP dilakukan oleh wajib bayar berdasarkan hasil realisasi pengukuran kawasan hutan yang
digunakan untuk kegiatan pertambangan. Pengukuran dilakukan oleh wajib bayar sendiri self assessment yang kemudian akan dilakukan verifikasi oleh
Kementerian Kehutanan untuk melihat kebenaran pengukuran dan pembayaran PNBP-PKH tersebut. Namun, konsep tersebut tidak diakomodir dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 maupun Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56Menhut-II2008 maupun peraturan-peraturan pelaksanaan di bawahnya.
Dalam Permenhut tersebut hanya disebutkan bahwa besarnya nilai PNBP- PKH didasarkan pada baseline yang disusun oleh pemegang IPPKH dengan
mengacu pada; a desain tambang mine design atau rencana kerja di bidangnya dan atau; b peta lampiran izin pinjam pakai kawasan hutan dan atau; c rencana
kerja anggaran biaya RKAB dan atau; d rencana kerja tahunan teknis dan lingkungan RKTTL dan atau; e AMDAL atau UKL-UPL dan atau; f survei
lapangan. Oleh karena itu pemegang IPPKH membayar PNBP-PKH sesuai dengan baseline yang telah disusun, namun pada kenyataannya bisa dikatakan
bahwa tidak satupun pemegang IPPKH yang bisa menjalankan rencana kerja tambangnya sesuai dengan apa yang mereka usulkan yang disebabkan oleh
banyak faktor, baik faktor teknis maupun non teknis.
Terkait dengan diskresi tersebut, Colombatto 2001 menyatakan bahwa adanya discretionary power akibat pendelegasian wewenang akan menimbulkan
pelanggaran atas kontrak keagenan, dan karenanya dapat diprediksi bahwa semakin besar discretionary power yang dimiliki suau pihak semakin besar pula
kecenderungan mereka mengutamakan kepentingan pribadinya.
Berdasarkan Tabel 13, setiap A rata-rata wajib membayar PNBP sebesar Rp 1.400.665.559tahun. Jika asumsi penyusunan target PNBP Kementerian
Kehutanan berdasarkan baseline oleh setiap perusahaan yang telah mendapatkan IPPKH, maka A seharusnya membayar PNBP sebesar Rp 910.491.386tahun
untuk setiap perusahaan. Selisih realisasi pembayaran PNBP dengan target yang ditetapkan Kementerian Kehutanan selama 4 tahun 2010-2013 adalah Rp
490.174.173tahun setiap perusahaan pemegang IPPKH wajib pajak akibat adanya diskresi Direktur Jenderal Planologi dan denda akibat keterlambatan
membayar PNBP pembayaran setelah jatuh tempo
29
Wajib Bayar adalah pemegang perjanjianizin pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri, bagi izin pada provinsi dengan luas kawasan hutannya lebih dari 30 tiga puluh persen dari luas
daratan provinsi Permenhut P.56Menhut-II2008.
87
Tabel 14 Rata-rata besarnya PNBP per hektar per tahun yang dibayarkan pemegang IPPKH berdasarkan rencana kerja PKH
No Perusa-
haan Komoditi
Tambang Luas Hektar
Waktu Tahun
Total PNBP Rp Rata2
PNBP Rphath
Permohonan Penggunaan
1 PT. A
Batubara 200.70
45.70 10
1,740,720,000 3,809,015 2
PT. B Batubara
136.67 136.67
9 3,429,576,000 2,788,205
3 PT. C
Batubara 725.00
546.87 11
10,623,600,000 1,766,017 4
PT. D Batubara
322.71 88.95
9 2,462,472,000 3,075,975
5 PT. E
Batubara 1,810.46
837.96 14
26,692,992,000 2,275,338 6
PT. F Batubara
155.45 98.84
13 2,889,864,000 2,249,061
7 PT. G
Nikel 890.00
302.00 19
11,134,560,000 1,940,495 8
PT. H Nikel
1,941.10 1,588.88
24 54,263,712,000 1,423,007
9 PT. I
Nikel 3,146.20
2,191.74 24
60,842,424,000 1,156,661 10
PT. J Emas
645.45 463.50
20 30,973,776,000 3,341,292
Jumlah 9,973.74
6,301.11 153
205,053,696,000 23,825,068 Rata-rata
997.37 630.11
15.30 20,505,369,600 2,382,507
Sumber : Hasil olah data sekunder dari rencana kerja PKH masing masing perusahaan
Apabila dari perhitungan pada Tabel 14 tersebut di atas dihasilkan rata-rata PNBP sebesar Rp. 2.382.507hatahun, maka dari luas areal yang akan digunakan
dalam setahun seluas kurang lebih 630,11 hektar akan menghasilkan PNBP rata- rata yang dikeluarkan oleh setiap perusahaan pemegang IPPKH sebesar Rp.
1.361.890.707tahun.
Maka jika dibandingkan dengan besarnya PNBP yang telah dibayarkan oleh semua perusahaan pemegang IPPKH rata-rata setiap tahunnya
sebesar Rp 1.400.665.559tahun, terdapat selisih sebesar Rp 38,774,852 tahun
untuk setiap pemegang IPPKH. Sama seperti perbandingan target dan realisasi PNBP pada Tabel 13 sebesar Rp 490.174.173tahun, selisih PNBP sebesar Rp
38,774,852 tahun tersebut merupakan denda keterlambatan maupun kelebihan
bayar yang tidak dapat ditarik kembali sebagai akibat dari diskresi Dirjen Planologi Kehutanan perihal pembatalan persetujuan kelebihan pembayaran
PNBP-PKH.
Dari hasil perhitungan pada Tabel 13 dan 14 di atas terdapat perbedaan selisih nilai PNBP yaitu berdasarkan target Kementerian Kehutanan Rp
910.491.321 perusahaantahun sedangkan berdasarkan perhitungan uji petik berdasarkan rencana kerja yang disusun oleh perusahaan diperkirakan adalah
sejumlah 1.361.890.707perusahaantahun. Namun demikian dapat disimpulkan bahwa kebijakan diskresi Dirjen Planologi Kehutanan tersebut meningkatkan nilai
PNBPperusahaantahun sebagai tambahan biaya transaksi yang harus dibayarkan kepada pemerintah.
Di samping PNBP, rendahnya pemenuhan kewajiban pembayaran PNBP juga disebabkan oleh belum dipenuhinya kewajiban menyerahkan citra satelit
resolusi sangat tinggi. Citra satelit tersebut digunakan untuk menganalisis bukaan tambang yang telah dilakukan oleh pemegang IPPKH dan membandingkannya
dengan citra satelit awal pada saat permohonan atau citra satelit pada pengukuranverivikasi PNBP sebelumnya. Tidak dipenuhinya kewajiban ini tidak
lepas dari ketidaktahuan dan kelalaian para pemegang IPPKH terkait dengan faktor-faktor non teknis di internal perusahaan pemegang IPPKH.
88
4. Reklamasi dan Revegetasi