33 mengalami perkembangan seiring dengan tuntutan dan perubahan kebijakan
lainnya.
Proses Perumusan Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan
Mengacu pada tahapan proses analisis kebijakan yang dikemukakan oleh Baginski and Soussan 2002, narasi berikut menjelaskan hasil analisis proses
penyusunan kebijakan penggunaan kawasan hutan:
1. Tonggak Kunci Penetapan Kebijakan
Tonggak kunci penetapan kebijakan ini merupakan salah satu cara untuk memahami historis kebijakan PKH, sejauh mana kebijakan penggunaan kawasan
hutan dirumuskan dan ditetapkan Hal ini merupakan akumulasi dari kejadian kejadian masa lalu yang dianggap penting dalam mendefinisikanmenentukan
proses-proses kebijakan yang ada pada masa lalu kebijakan lama, peratuarn perundangan maupun kejadian-kejadian bersifat katalis penting. Dalam tahapan
analisis proses kebijakan ini akan diuraikan beberapa momentum yang sangat berpengaruh tonggak kunci dalam perjalanan perumusan kebijakan penggunaan
kawasan hutan, sebagai berikut:
Lahirnya Undang-undang Kehutanan, Pertambangan, Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri
Tonggak kunci kebijakan penggunaan kawasan hutan diawali dengan lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-kentetuan
Pokok Kehutanan dan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok- Pokok Pertambangan yang dilandasi oleh Undang Undang Dasar 1945 pasal 33
―Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-
besarnya untuk kemakmuran rakyat‖. Kedua undang- undang tersebut didahului dengan terbitnya Undang-undang No 1 Tahun 1967
tentang Penanaman Modal Asing yang kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 yang dirumuskan untuk mendatangkan investasi asing
sebesar-besarnya demi pertumbuhan ekonomi. Pemerintah melengkapinya dengan menerbitkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal
Dalam Negeri untuk maksud yang sama.
Keempat undang-undang tersebut lahir sesaat setelah rezim orde lama runtuh dan beralih ke rezim orde baru. Situasi politik saat itu memandang hutan
dan tambang sebagai aset dan dapat dieksploitasi untuk menumbuhkan iklim investasi. Hal tersebut memungkinkan untuk kegiatan pertambangan di seluruh
fungsi kawasan hutan kecuali di taman nasional, taman wisata, dan hutan dengan fungsi khusus. Kebijakan tersebut dimungkinkan karena kondisi hutan pada saat
itu masih utuh dan negara memerlukan dana dan investasi yang cukup besar untuk menjalankan roda pembangunan nasional. Terbitnya empat undang-undang
tersebut dalam waktu yang hampir bersamaan menjadi awal dimulainya praktik eksploitasi sumberdaya hutan dan pertambangan di Indonesia dengan dukungan
investasi asing dan dalam negeri.
Superioritas Sektor Pertambangan
Luasnya kawasan hutan yang ditunjuk oleh pemerintah saat itu, yaitu kurang lebih 70 dari total luas daratan Indonesia menjadi keterbatasan bagi
sektor lain untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalamnya, terutama sektor pertambangan dan energi. Untuk mengatur pertumpangtindihan
pengelolaan sumberdaya alam tersebut, pemerintah presiden mengambil kebijakan dengan menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976 tanggal 13
Januari 1976 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Bidang Keagrariaan dengan Bidang Kehutanan, Pertambangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum. Dalam
Inpres tersebut dijelaskan pada angka romawi II nomor 11 huruf ii dan iii:
―…Bila pertindihan penetapanpenggunaan tanah tidak dapat dicegah maka hak prioritas pertambangan harus diutamakan sesuai dengan
ketentuan UU Nomor 11 Tahun 1967, tidak meliputi areal tanah yang telah ditetapkan sebagai Suaka Alam dan Hutan Wisata Taman Wisata dan
Taman Buru…‖ Inpres tersebut menjadi pegangan bagi semua sektor dalam pengelolaan
sumberdaya yang terkait dengan penggunaan lahantanah di seluruh Indonesia. Sektor pertambangan lebih diutamakan prioritas pemanfaatannya dibandingkan
dengan sektor-sektor lainnya dalam penggunaan kawasan hutan atau areal lahantanah negara.
Kebijakan Pengaturan Aktifitas Pertambangan di dalam Kawasan Hutan
Atas dasar Inpres Nomor 1 Tahun 1976 tersebut, pada tahun 1978 Kementerian Pertanian menerbitkan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Kehutanan Nomor 64KptsDJI1978 tanggal 23 Mei 1978 tentang Pedoman Pinjam Pakai Tanah Kawasan Hutan. Surat keputusan tersebut bertujuan untuk
membatasi dan menertibkan penggunaan kawasan hutan yang menyimpang dari fungsi yang ditetapkan. Dalam surat keputusan tersebut pinjam pakai tanah
kawasan hutan didefinisikan sebagai penggunaan sebagian kawasan hutan untuk keperluan lain yang menyimpang dari fungsi yang telah ditetapkan oleh Menteri
Pertanian karena tidak dapat dirubah status hutannya dan bersifat sementara.
Isi dari surat keputusan Dirjen Kehutanan tersebut masih sangat sederhana, hanya mengatur prosedur penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan sektor
lain yang kemudian lazim diistilahkan dengan pinjam pakai dengan sistem perizinan yang dipergunakan saat itu adalah ―perjanjian‖. Namun, dalam
perjalanan sejarah perkembangan kebijakan penggunaan kawasan hutan, Surat Keputusan Direktur Jenderal Kehutanan ini menjadi tonggak kunci paling penting
dan mengilhami semua peraturan perundang-undangan tentang kebijakan penggunaan kawasan hutan.
Terbitnya surat keputusan Direktur Jenderal Kehutanan tersebut juga tidak terlepas dari kebutuhan penggunaan kawasan hutan untuk keperluan sektor
35 pertambangan yang saat itu dipengaruhi oleh PT. Freeport Indonesia Inc
7
yang telah mendapatkan izin Kontrak Karya dari pemerintah Indonesia pada tahun 1967
yang akan mulai melakukan aktifitasnya. Perusahaan tersebut mulai beroperasi pada tahun 1973 dan akan beroperasi selama 30 tahun setelah perusahaan tersebut
mulai beroperasi
8
.
Institusi dan Undang-Undang Baru Kehutanan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 dianggap belum cukup memberikan landasan hukum bagi perkembangan pembangunan kehutanan oleh karena itu
perlu diganti sehingga memberikan landasan hukum yang lebih kokoh dan lengkap bagi pembangunan kehutanan pada saat itu dan saat mendatang. Simon
2000 menjelaskan, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 mempunyai dua kelemahan, yaitu hutan yang dihadapi di luar Jawa bukan kebun kayu monokultur
dan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berbeda dengan keadaan di Jawa dan Madura awal abad ke-20 ini. Untuk itu sejak lama para pemerhati dan pengamat
kehutanan Indonesia mulai awal dekade 1990-an telah menyuarakan perlunya ditinjau kembali UU Nomor 5 Tahun 1967. Himbauan tersebut tidak ditanggapi
secara serius oleh Departemen Kehutanan. Walaupun pada mulanya dibentuk tim untuk mengkaji kemungkinan perubahan itu, namun pada tahun 1997 diputuskan
bahwa perubahan tersebut dianggap belum mendesak. Tetapi setelah terjadi perubahan politik nasional karena krisis ekonomi dan kepemimpinan tahun 1998,
maka Departemen Kehutanan dan Perkebunan membentuk tim untuk menyusun undang-undang kehutanan yang baru. Akhirnya lahirlah undang-undang yang baru
itu, dikenal sebagai Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Seiring dengan percepatan pembangunan di segala bidang yang dicanangkan pemerintah, Berbagai masalah yang berupa ancaman, gangguan, dan
hambatan dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan, tidak akan dapat terselesaikan secara tuntas apabila penanganannya tidak bersifat strategis, melalui
penanggulangan secara konsepsional dan paripurna dengan sistem manajemen yang dapat menampung seluruh aktivitas kegiatan kehutanan yang sudah semakin
meningkat. Dalam kondisi seperti itu maka perlu adanya suatu bentuk administrasi pemerintahan yang sesuai dan memadai, sebagai sarana yang sangat dibutuhkan
bagi terlaksananya keberhasilan pembangunan kehutanan.
7
Wawancara mendalam dengan Ir. Soetrisno MM, Dirjen Planologi Kementerian Kehutanan Tahun 2009-2010. Berdasarkan penelusuran data di Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan
Kementerian Kehutanan, izin pinjam pakai pertama kali diberikan pada tahun 1981 kepada PT. PLN Wilayah VII dengan Surat Persetujuan Direktur Jenderal Kehutanan Nomor 2421DJI81
tanggal 25 Juni 1981 untuk kepentingan pembangunan jaringan transmisi seluas 27,66 hektar di Kabupaten Pinrang Sulawesi Selatan. Kemudian pada tahun 1984 izin pinjam pakai diberikan
kepada TNI-AL di CA Cycloop untuk pembangunan statsiun pemancar radio seluas 3,5 heketar dengan SK Menhut 083Menhut-IV84 tanggal 17 Pebruari 1984. Sementara PT Freeport
Indonesia Inc yang mendapatkan izin pertambangan di Indonesia dengan Kontrak Karya dari Pemerintah Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presidium Nomor 82EKKEP41967
tanggal 7 April 1967 baru mendapatkan izin pinjam pakai pada tahun 1993 melalui Surat Persetujuan Menteri Kehutanan Nomor 242Menhut-VI93 tanggal 13 Pebruari 1993 untuk
keperluan areal pembuangan tailing di TN Lorentz.
8
http:id.wikipedia.orgwikiFreeport_Indonesia diunggah pada tanggal 8 Januari 2014 pukul
10:53.
Instansi kehutanan yang setingkat Direktorat Jenderal dirasakan tidak mampu mengatasi permasalahan dan perkembangan aktivitas pembangunan
kehutanan yang semakin meningkat. Sehingga pemerintah memandang perlu untuk membentuk Departemen Kehutanan tersendiri. Pada tanggl 16 Maret 1983,
Presiden dalam pidatonya pada pembentukan Kabinet Pembangunan IV memecah Departemen Pertanian menjadi Departemen Pertanian dan Departemen
Kehutanan
9
. Kelemahan-kelemahan dalam UU Nomor 5 Tahun 1967 membuat
pemerhati dan pengamat kehutanan Indonesia menyuarakan perlunya untuk ditinjau kembali. Himbauan tersebut tidak ditanggapi secara serius oleh
Departemen Kehutanan. Setelah terjadi perubahan konstelasi politik nasional karena krisis ekonomi dan kepemimpinan tahun 1998, Departemen Kehutanan dan
Perkebunan membentuk tim untuk menyusun undang-undang kehutanan yang baru, yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
Simon 2000.
Simon 2000 melanjutkan, dengan adanya pergantian Presiden dari Soeharto ke BJ Habibie bulan Mei 1998, terbentuklah Kabinet Reformasi. Nama
Departemen Kehutanan dan Perkebunan yang baru mulai muncul pada Kabinet Pembangunan VII yang berumur 70 hari itu tetap dipertahankan. Sebelumnya
organisasi yang mengurus pengelolaan hutan di Indonesia adalah Depertemen Kehutanan, yang merupakan peningkatan status dari Direktorat Jenderal sejak
tahun 1882. Walaupun banyak ahli yang mengusulkan agar perkebunan dipisah kembali dari kehutanan, namun nama Departemen Kehutanan dan Perkebunan
tetap bertahan sampai sekarang.
Setelah reformasi, Menteri Kehutanan dan Perkebunan Kabinet Reformasi segera membentuk tim penyusun undang-undang untuk mengganti UU Nomor 5
Tahun 1967. Di samping itu, Menteri Kehutanan dan Perkebunan juga membentuk Komite Reformasi untuk menyusun kebijakan baru dalam rangka memperbaiki
pengelolaan hutan nasional. Anggota Komite Reformasi terdiri atas pejabat teras Departemen Kehutanan, staf pengajar dari perguruan tinggi dan anggota LSM
10
. Pada awalnya Komite Reformasi sangat antusias dalam menyelesaikan tugas-
tugasnya, termasuk menyusun konsep undang-undang kehutanan. Nurrochmat 2005 menuturkan bahwa sesungguhnya reformasi di sektor
kehutanan dalam arti keinginan untuk merombak status quo, telah dimulai sejak
9
Departemen Kehutanan. 2007. Latar Belakang Lahirnya Departemen Kehutanan. http:www.dephut.go.idindex.phpnewsprofil_kemenhut
diunggah pada 10 Januari 2014
10
Simon 2000 lebih lanjut menjelaskan, sejak awal telah terjadi perbedaan pandangan yang cukup tajam, khususnya antara kelompok LSM dan staf perguruan tinggi dengan pejabat
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Bahkan akhirnya hampir seluruh anggota LSM menarik diri dari kegiatan pertemuan Komite Reformasi karena merasa perbedaan tersebut sulit
dipertemukan. Anehnya, anggota Komite dari pejabat teras Departemen Kehutanan dan Perkebunan sendiri jarang datang di dalam rapat. Antiklimaks sikap sebagian besar anggota
Komite terjadi tatkala konsep jiwa undang-undang yang diajukan oleh Departemen Kehutanan dan Perkebunan ke DPR berbeda jauh dengan konsep Komite Reformasi. Oleh karena itu
proses pembentukan undang-undang kehutanan yang kemudian disyahkan oleh DPR menjadi Undang-undang Nomor 41 Nomor 1999 sebenarnya tidak demokratis, tidak mencerminkan
amanat reformasi dan tetap berjiwa paradigma pengelolaan hutan yang lama
37 awal tahun 1990-an. Pada masa itu sejumlah rimbawan, LSM, dan akademisi
menimbang untuk perlu merevisi Undang-Undang Pokok Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967. Berbagai seri diskusi, seminar maupun lokakarya diadakan
sepanjang tahun 1990-1993. Upaya panjang ini mendapatkan respons positif dari berbagai pihak. Namun perdebatan terus terjadi selama kurun waktu 1993-1998
hingga pada tanggal 30 September 1999 Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 secara resmi disahkan menggantikan Undang-Undang Pokok
Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 yang telah menjadi payung hukum pengelolaan hutan di Indonesia selama lebih dari tiga dasawarsa.
Revisi Undang-undang Kehutanan
Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 disahkan dengan maksud mengatur tentang penetapan, pengurusan, pemanfaatan, dan pengelolaan
sumberdaya hutan, untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Indonesia. Mengingat bahwa Undang-Undang adalah produk politik, maka wacana yang ada
di dalam UU tersebut biasanya hanya menggambarkan persoalan-persoalan kepentingan para pihak, proses penguasaan sumberdaya, pelaku-pelaku kebijakan,
dan mekanisme kontrol. Masalahnya sekarang adalah sampai seberapa jauh negara pemerintah turun tangan dalam pengelolaan sumberdaya alam tersebut kemudian
menjadi sangat relevan dengan kebutuhan hidup masyarakat secara luas, sampai seberapa jauh nilai-nilai sosial budaya masyarakat justru berkembang setelah
adanya aturan legalistik-formalistik dari pemerintah, dan dapatkah politik pemerintah good will terhadap sumberdaya alam tersebut mampu menjamin
kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat yang bergantung kepada sumberdaya hutan tersebut Awang 2000.
Dibandingkan dengan Undang-Undang Kehutanan Nomor 5 Tahun 1967 yang hanya menekankan pada aspek produksi, Undang-Undang Kehutanan
Nomor 41 Tahun 1999 juga memberi perhatian yang cukup pada aspek konservasi dan partisipasi masyarakat. Banyak kalangan menilai, secara umum Undang-
Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 lebih baik dibandingkan Undang- Undang Kehutanan sebelumnya dalam memperhatikan hak-hak masyarakat
khususnya masyarakat hukum adat. Namun demikian, sebagian yang lain menilai bahwa keberpihakan Undang-Undang Kehutanan yang baru terhadap masyarakat
hukum adat hanyalah reotrika belaka karena beberapa ayat dalam Undang-Undang tersebut berpotensi menjadi pasal karet yang penafsirannya sangat tergantung
kepentingan penguasa Nurrochmat 2005.
Terkait dengan kebijakan penggunaan kawasan hutan, apabila kita mencermati UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan terutama ketentuan pada Pasal
38 ayat 4 diatur bahwa pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Klausul tersebut merupakan
perubahan yang cukup mendasar bagi pengaturan penggunaan kawasan hutan untuk sektor lain, terutama untuk sektor pertambangan. Klausul dalam pasal
tersebut menimbulkan keresahan di kalangan pengusaha tambang, organisasi profesi peretambangan maupun birokrat di kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral. Pasalnya, operasional pertambangan tidak lagi diperbolehkan dilakukan di dalam Hutan Lindung, kecuali dengan sistem tambang tertutuptambang
dalamtambang bawah tanah underground miningclosed mining. Mereka
khawatir akan investasi yang telah ditanamkan di Indonesia. Kekhawatiran itu terkait dengan ketidakpastian hukum dalam berusaha di bidang pertambangan di
kawasan hutan terutama bagi investor yang telah memiliki izin atau perjanjian sebelum berlakunya Undang-undang tersebut, baik Kontrak Karya KK,
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara PKP2B, maupun Kuasa Pertambangan KP.
Dalam perjalanannya, kontradiksi terhadap klausul tersebut semakin menguat hingga pada akhirnya aktor-aktor dunia usaha pertambangan mengajukan
keberatan terhadap klausul dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 tersebut. Upaya mereka berhasil, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pengganti Undang-undang
Perpu Nomor 1 Tahun 2004 pada tanggal 11 Maret 2004 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Inti dari Perpu
tersebut adalah menambah ketentuan pasal 83A baru yang berbunyi sebagai berikut:
…Semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 tentang Kehutanan dinyatakan tetap berlaku sampai
berakhirnya izin atau perjanjian dimaksud… Terbitnya Perpu tersebut menjadi blunder bagi pemerintah karena
menimbulkan reaksi keras dari para aktifis lingkungan dan akademisi. Sebagaimana yang dituturkan oleh Kartodihardjo dan Jhamtani 2006 bahwa
sepanjang 2004, perhatian para aktivis lingkungan dan akademisi yang peduli terhadap pelestarian kawasan hutan tersita oleh Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Perpu No. 1 tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pemerintah mengeluarkan Perpu
tersebut karena UU Kehutanan dianggap tidak memberi kepastian hukum bagi ijin pertambangan di kawasan hutan lindung yang dikeluarkan sebelum UU No.
411999 tersebut diberlakukan.
Kartodihardjo dan Jhamtani 2006 melanjutkan, Perpu tersebut menuai kontroversi pro-kontra yang harus diselesaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
DPR. Pada tahap awal, DPR menyatakan mereka akan menolak Perpu tersebut. Namun, ada perubahan yang terjadi secara cepat, dan akhirnya DPR menyetujui
Perpu tersebut melalui voting dalam rapat paripurna, dengan mengesahkan UU No. 19 tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi Undang-undang. Belakangan diketahui -
atas pengakuan anggota DPR sendiri - bahwa agar Perpu tersebut disetujui, ada suap antara 50 - 100 juta rupiah per orang. Pada awal 2005 sejumlah aktivis lingkungan
mengajukan UU No. 19 tahun 2004 kepada Mahkamah Konstitusi untuk uji formal dan materia judicial review.
Permintaan para pemohon uji materi judicial review Undang-Undang Nornor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomorr 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tidak dipenuhi oleh Mahkamah
Konstitusi.
39 Kartodihardjo
11
2005 menceritakan, bahwa pada tanggal 15 Juli 2004, rapat paripurna DPR melalui voting menyetujui perpu itu untuk disahkan menjadi
undang-undang. Keputusan DPR itu dinilai sejumlah koalisi dan lembaga swadaya masyarakat sebagai lambang kekalahan bangsa Indonesia di bawah tekanan
kepentingan asing.
Seperti dalam kasus-kasus lain sebelumnya, ketentuan seperti itu dikeluarkan karena unsur ketidakpastian usaha dan adanya ancaman gugatan
arbitrase dari perusahaan-perusahaan asing. Dari 13 perusahaan yang telah diberi izin penambangan, sebagian besar perusahaan sahamnya dikuasai asing dan
terdaftar di bursa saham New York Arnerika Serikat Kompas 16 Juli 2004 dalam Kartodihardjo 2005. Kontroversi lahirnya perpu itu yang diduga terkait politik
uang yang melibatkan anggota DPR masa itu Kompas 24 Juli 2004 dan 29 September 2004 dan judicial review terhadapnya terjawab sudah. Tanda-tanda
apakah peristiwa demikian ini ? Kartodihardjo 2005.
Pemerintah cq Kementerian Kehutanan segera menyusun ‗aturan main‘ penggunaan kawasan hutan terkait dengan revisinya UU Nomor 41 Tahun 1999
tersebut. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12Menhut-II2004 tanggal 29 September 2004 tentang Tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk
Kegiatan Pertambangan. Permenhut ini menjadi awal dimulainya era baru dengan
sistem ‗perizinan‘ pinjam pakai menggantikan sistem ‗perjanjian‘ pinjam pakai yang dijalankan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
55Kpts-II1994 jo Nomor 614Kpts-II1997 jo Nomor 720Kpts-II1998.
Kebijakan Energi Nasional
Permasalahan energi melanda hampir semua negara di dunia dalam beberapa tahun terakhir. Permasalahan tersebut terjadi karena persediaan dan
permintaan energi meningkat dalam kecepatan yang berbeda. Kecepatan permintaan lebih cepat dibandingkan kecepatan persediaan. Peningkatan
permintaan energi tidak lepas dari pertumbuhan penduduk yang meningkat tiap tahunnya.
Energi sangat penting peranannya dalam perekonomian Indonesia, baik sebagai bahan bakar untuk proses industrialisasi, sebagai bahan baku untuk proses
produksi, dan sebagai komoditas ekspor. Sumber energi yang digunakan untuk keperluan domestik meliputi energi fosil minyak bumi, gas bumi, dan batubara
serta energi terbarukan tenaga air dan tenaga panas bumi. Cadangan energi fosil akan terus berkurang seiring dengan penggunaannya. Saat ini cadangan batubara
masih cukup melimpah sedangkan gas bumi dan minyak bumi masing-masing masih tersedia untuk jangka waktu sekitar 30 tahun dan 10 tahun dengan tingkat
produksi seperti saat ini dan bila tidak ditemukan cadangan baru Sugiyono 2004.
Sugiyono 2004 melanjutkan, bahwa pada tahun tujuh puluhan sumber daya energi dianggap masih sangat melimpah sehingga ekspor komoditas ini
menjadi penyokong utama penerimaan negara. Mulai tahun delapan puluh limaan kebijakan energi sudah mulai diterapkan dengan penekanan pada intensifikasi,
diversifikasi, dan konservasi. Ekspor komoditas energi mulai berkurang peranannya digantikan dengan komoditas industri berbasis manufaktur. Ekspor
11
Kartodihardjo H. 2005 Nasib Tambang di Hutan Lindung. Harian Kompas. 9 Juli 2005. Jakarta
lebih diarahkan pada komoditas yang mempunyai nilai tambah yang tinggi dari pada ekspor sumber daya alam yang nilai tambahnya rendah. Seiring dengan
proses industrialisasi ini banyak terjadi kerusakan lingkungan. Aspek lingkungan mulai mendapat perhatian dan kebijakan energi mulai diarahkan untuk
menggunakan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Pada tahun sembilan puluh limaan mulai dirasakan keterbatasan sumber daya energi, terutama
minyak bumi. Dengan kondisi ini maka perlu kebijakan yang berlandaskan paradigma baru.
Sejalan dengan permasalahan tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tanggal 25 Januari
2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Kebijakan ini bertujuan untuk mewujudkan keamanan pasokan energi dalam negeri. Kebijakan utama meliputi
penyediaan energi yang optimal, pemanfaatan energi yang efisien, penetapan harga energi ke arah harga keekonomian dan pelestarian lingkungan. Kebijakan
utama tersebut didukung dengan pengembangan infrastruktur, kemitraan dunia usaha, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan penelitian. Kebijakan energi
nasional ini juga memuat upaya untuk melakukan diversifikasi dalam pemanfaatan energi.
Kebijakan energi nasional tersebut mempengaruhi gairah aktifitas pengusaha di sektor pertambangan untuk segera melakukan operasionalisasinya di
lapangan. Hal itu berimbas pada meningkatnya permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan ke Kementerian Kehutanan. Untuk mengantisipasi hal tersebut
Menteri Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan Permenhut Nomor P.14Menhut-II2006 tanggal 10 Maret 2006 tentang Pedoman Pinjam
Kawasan Hutan. Isi dari Permenhut ini tidak jauh berbeda dengan Permenhut P.12Menhut-II2004. Pada Permenhut ini terdapat penyesuaian-penyesuaian isi
mengingat permenhut merupakan aturan main penggunaan kawasan hutan di kawasan hutan produksi.
Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, bahwa era izin pinjam pakai dimulai pada saat digulirkannya Permenhut P.12Menhut-II2004, namun
pada saat itu Permenhut tersebut belum efektif digunakan. Hal itu disebabkan dari ke 13 perusahaan tambang yang diizinkan untuk menambang secara terbuka di
kawasan huta lindung sesuai Keputusan Presiden Nomor Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Perizinan atau Perjanjian Pertambangan yang Berada di Kawasan Hutan
belum mengajukan permohonan untuk melakukan kegiatannya di wilayah pertambangannya
12
. Era izin pinjam pakai justru lebih dulu aktif setelah terbitnya Permenhut P.14Menhut-II2006 seiring dengan meningkatnya permohonan izin
pinjam pakai kawasan hutan oleh para pengusaha tambang. Sehingga Permenhut P.14Menhut-II2006 pada praktiknya merupakan awal dimulainya era sistem izin
pinjam pakai kawasan hutan.
12
Izin pinjam pakai kawasan hutan untuk tambang terbuka baru terbit pada tahun 2008 atas nama PT. Indominco Mandiri di Hutan Lindung Bontang seluas 3.973,40 hektar
di Provinsi
Kalimnatan Timur dan PT. Aneka Tambang Antam Di Hutan Lindung Pulau Pakal seluas 456
hektar di Provinsi Maluku Utara.
41
Moratorium Izin Penggunaan Kawasan Hutan
Moratorium
13
merupakan sebuah upaya jeda eksploitasi yang dilakukan dalam suatu periode tertentu untuk menghentikan atau menunda kegiatan tertentu
dan mengisi periode tersebut dengan langkah-langkah untuk mencapai perubahan yang signifikan. Dalam isu hutan dan lahan gambut, moratorium adalah
penghentian untuk jangka waktu tertentu dari aktivitas penebangan dan konversi hutan untuk mengambil jarak dari masalah agar didapat jalan keluar yang bersifat
jangka panjang dan permanen. Dalam hal ini, moratorium mengandung makna korektif, tidak hanya sebuah upaya jeda tetapi terutama upaya memperbaiki
keadaan. Karena itu, moratorium berkaitan dengan target perubahan yang ingin dicapai. Target tersebut terumuskan dalam ukuran yang jelas sehingga pada
saatnya bisa menjadi ukuran yang menentukan apakah selama periode moratorium ukuran-ukuran yang telah direncanakan telah tercapai atau belum.
Pada tanggal 20 Mei 2011, presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang penundaan penerbitan izin baru dan
penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut. Inpres ini merupakan bagian dari kerja sama Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan
Norwegia, berdasarkan Surat Pernyataan KehendakLetter of Intent LoI yang ditandatangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 26 Mei 2010. Inpres tersebut,
yang mendorong moratorium selama dua tahun atas izin hak pengusahaan hutan HPH baru, menimbulkan wacana publik secara luas dan memiliki implikasi
terhadap sejumlah kebijakan penting Murdiyarso et al 2011.
Murdiyarso et al 2011 melanjutkan bahwa berdasarkan LoI ini, Indonesia sepakat untuk melakukan beberapa tindakan, antara lain: 1 menyusun Strategi
Nasional tentang REDD+
Reduce Emissions from Deforestation and Forest Degradationn Plus
, 2 menetapkan badan khusus untuk menerapkan strategi REDD+, termasuk sistem pemantauan, pelaporan dan pembuktian atas
pengurangan emisi dan instrumen keuangan untuk penyaluran dana; dan 3 mengembangkan dan menerapkan instrument kebijakan serta kemampuan untuk
melaksanakannya, termasuk penundaan selama dua tahun bagi pemberian izin Hak Pengusahaan Hutan HPH baru untuk konversi kawasan lahan gambut dan
hutan alam untuk penggunaan lainnya. Komitmen ini sesuai dengan janji sukarela Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang diumumkan tahun sebelumnya untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca Indonesia sebesar 26 pada tahun 2020 dengan sumber daya keuangan dalam negeri atau sebesar 41 dengan bantuan
internasional. Di lain pihak, Pemerintah Norwegia menjanjikan dana hingga AS1 miliar untuk mendukung sejumlah tindakan Indonesia.
Inpres merupakan seperangkat perintah presiden kepada kementerian dan lembaga pemerintahan lain yang terkait. Sebagai dokumen non legislatif, Inpres
tidak memiliki konsekuensi hukum jika tidak dilaksanakan. Inpres Nomor 10 Tahun 2011 memberi perintah kepada tiga menteri Kehutanan, Dalam Negeri dan
Lingkungan Hidup dan kepala lima lembaga Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Badan Pertanahan Nasional, Badan
13
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global. 2012. Moratorium Hutan Berbasis Capaian: Refleksi Satu Tahun Inpres Moratorium dan Peluncuran
Usulan Masyarakat Sipil untuk Perbaikan Kebijakan Moratorium Hutan Indonesia. Jakarta
Koordinasi Penataan Ruang Nasional, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional dan lembaga yang dibentuk untuk mengelola REDD+, serta para
gubernur dan bupati. Inpres ini menjelaskan tugas dan tanggung jawab masing- masing lembaga selama dua tahun sejak dikeluarkannya Inpres. Dua kementerian
penting yang sangat terkait dengan deforestasi dan emisi berbasis lahan tidak disebutkan dalam Inpres, yaitu: Kementerian Pertanian dan Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral. Kedua lembaga ini tidak dimasukkan dalam Inpres mungkin karena terkait dengan peran mereka dalam kebijakan ketahanan pangan
dan energi nasional. Pembatasan penerapan moratorium pada kegiatan di sektor- sektor ini dapat melemahkan kemampuan pemerintah untuk memenuhi tujuan
Inpres itu sendiri, serta komitmen Presiden untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Kebijakan moratorium tersebut berlaku bukan pada izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu IUPHHK saja, melainkan juga pada semua izin
yang terkait dengan hutan alam primer dan gambut di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan tambang dan
pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan. Kebijakan penundaan izin tersebut menjadi landasan kebijakan bagi Kementeiran Kehutanan untuk menolak
permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan yang wilayahnya berada di dalam kawasan hutan alam primer maupun hutan gambut. Hal itu yang menjadikan
jumlah permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan mengalami penurunan, sebagaimana yang disebutkan oleh beberapa orang pegawai Direktorat
Penggunaan Kawasan Hutan-Direktorat Planologi Kehutanan
14
. Tabel 6 Data izin pinjam pakai kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan
15
No Tahun
Unit Luas Hektar
1 sd 2008
89 153,535
2 2009
76 62,634
3 2010
46 55,981
4 2011
69 40,552
5 2012
88 50,434
6 2013
79 44.082
7 sd Maret 2014
40 24.975
Jumlah 487
432.193 Sumber : Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan 2013, 2014 dan
http:ppkh.dephut.go.idindex.phppagespost_publikasipost24
14
Penurunan permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan tidak mempengaruhi kinerja Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan-Direktorat Planologi Kehutanan. Data izin pinjam
pakai kawasan hutan menunjukkan bahwa jumlah dan luas kawasan hutan yang dipinjam pakai tidak mengalami penurunan, bahkan mengalami peningkatan, hal itu disebabkan izin-izin baru
yang diterbitkan setelah adanya moratorium izin merupakan permohonan lama yang masih diproses dan dianalisis di internal Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan dan selesai
penerbitan izin pada tahun setelah kebijakan moratorium izin dicanangkan. Izin pinjam pakai kawasan hutan yang dikeluarkan setelah tahun 2011 juga dimungkinkan merupakan
peningkatan izin dari persetujuan prinsip yang telah ditandatangani oleh Menteri Kehutanan sebelum terbitnya Inpres 10 Tahun 2011. Hal itu sesuai dengan dictum kedua Inpres tersebut.
15
Data izin pinjam pakai kawasan hutan merupakan data izin penggunaan kawasan hutan untuk tingkat operasi produksi, tidak termasuk izin penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan
penyelidikan umumsurvei eksplorasi dan izin persetujuan prinsip Menteri Kehutanan
43 Pada tanggal 13 Mei 2013, moratorium izin di hutan alam primer dan
hutan gambut diperpanjang 2 dua tahun ke depan dengan ditandatanganinya Intruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013. Dalam Inpres yang ditujukan kepada
Menteri Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan UKP4, Kepala Badan Pertanahan
Nasional BPN, Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, Kepala Badan Informasi Geospasial, Ketua Satgas Persiapan Pembentukan Kelembagaan
Redd+, para Gubernur dan BupatiWalikota itu, Presiden menegaskan agar penundaan pemberian izin baru juga dilakukan di area penggunaan lain
sebagaimana tercantum dalam Peta Indikatif Penundaan Izin Baru.
Khusus kepada Menteri Kehutanan, Presiden memerintahkan: 1. Melanjutkan penundaan terhadap penerbitan izin baru hutan alam primer dan
lahan gambut yang berada di hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi berdasarkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru.
2. Melanjutkan penyempurnaan kebijakan tata kelola bagi izin pinjam pakai dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam.
3. Melanjutkan peningkatan efektivitas pengelolaan lahan kritis dengan memperhatikan kebijakan tata kelola hutan dan lahan gambut yang baik,
antara lain melalui restorasi ekosistem. 4. Melakukan revisi terhadap Peta Indikatif Penundaan Izin Baru pada kawasan
hutan setiap 6 enam bulan sekali. 5. Menetapkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru hutan alam primer dan lahan
gambut pada kawasan hutan yang telah direvisi. Kebijakan moratorium izin tersebut diharapkan dapat mengurangi
kerusakan hutan oleh maraknya izin pertambangan di dalam kawasan hutan. Adapun perjalanan sejarah peraturan perundang-undangan penggunaan kawasan
hutan dan tonggak kunci kebijakan penggunaan kawasan hutan dalam sebuah bagan alir sebagai berikut:
KEPPRES Nomor 41 Tahun 2004 Tentang
Perizinan atau Perjanjian Pertambangan yang
Berada di Kawasan Hutan
Bersambung 1984
SKB Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor 0120.K10M.PE
1984; 029Kpts-II1984 SKB Menteri Pertambangan dan
Energi dan Menteri Kehutanan Nomor 1101K702M.FE1991; 436Kpts-
II1991 tentang Pembentukan Team Koordinasi Tetap Departemen
Pertambagan dan Energi dan Departemen Kehutanan dan
Perubahan Tata Cara Pengajuan Izin Usah Pertambangan dan Energi dalam
Kawasan Hutan
1991
SK Menteri Kehutanan Nomor
55Kpts-II1994 tentang Pedoman
Pinjam Pakai Kawasan Hutan
SK Menteri Kehutanan Nomor
614Kpts-II1997 tentang Perubahan
Pasal 8 dan 18 Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 55Kpts-II1994
tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan
1997 1998
1994
SK Menteri Kehutanan Nomor 41Kpts-II1996 tentang Perubahan Pasal 16
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55Kpts-II1994 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
1996
SK Menteri Kehutanan Nomor 720Kpts-II1998
tentang Perubahan Pasal 18 SK Menteri Kehutanan
Nomor 614Kpts-II1997 tentang Perubahan Pasal 8
dan 18 SK Menteri Kehutanan Nomor 55Kpts-
II1994 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan
Hutan INPRES NO 1 Tahun 1976
―Bila pertindihan penetapanpenggunaan tanah tidak dapat dicegah maka hak prioritas pertambangan harus
diutamakan sesuai dengan ketentuan UU Nomor 11 Tahun 1967, tidak meliputi areal tanah yang telah
ditetapkan sebagai Suaka Alam dan hutan Wisata Taman Wisata dan Taman Buru‖
SK Dirjen Kehutanan No 64KptsDJI1978
tentang Pedoman Pinjam Pakai Tanah Kawasan
Hutan
1978
UU No 5 Tahun 1967 Ketentuan-ketentuan
Pokok Kehutanan
UU No 11 Tahun 1967 Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertambangan
1967
UU No 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi Undang-undang
2004
PERPPU Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas undang- undang Nomor 41 Tahun
1999 Permenhut Nomor
P.12Menhut-II2004 Tentang Penggunaan
Kawasan Hutan Lindung untuk Kegiatan
Pertambangan UU Nomor 41
Tahun 1999 tentang KEHUTANAN
Gambar 4 Sejarah dan tonggak kunci dalam kebijakan penggunaan kawasan hutan
1976 1999
1989
SKB Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor 969.K05M.PE1989; 429Kpts-
II198 tentang Pedoman Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan
45
Lanjutan Gambar 4 Sejarah dan tonggak kunci dalam kebijakan penggunaan kawasan hutan
?
PP No 2 Tahun 2008 Tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan pajak yang
Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan yang
Berlaku pada Departemen Kehutanan
2008
Permenhut P.56Menhut- II2008 Tentang Tata Cara
Penentuan Luas Areal Terganggu dan Areal
Reklamasi dan Revegetasi untuk Perhitungan
Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan
Kawasan Hutan
Permenhut P.43Menhut-II2008
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
2006
PERPRES No 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional
Permenhut P.14Menhut-II2006
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Permenhut P.64Menhut- II2006 Perubahan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.14Menhut-II2006 tentang Pedoman Pinjam
Pakai Kawasan Hutan Keterangan
: Tonggak Kunci Kebijakan : Perubahanpenyempurnaantindaklanjut
2010 2011
INPRES RI No 10 Tahun 2011 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan
Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut
INPRES RI No 6 Tahun 2013 Tentang Penundaan Pemberian
Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer
dan Lahan Gambut : memperpanjang penundaan untuk
masa waktu 2 tahun ke depan
2013 2012
Permenhut P.18Menhut-
II2011 Pedoman
Pinjam Pakai Kawasan
Hutan Permenhut
P.38Menhut- II2012
Perubahan Permenhut
P.18Menhut- II2011
Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan Permenhut
P.14Menhut- II2013
Perubahan Kedua Permenhut
P.18Menhut- II2011 Pedoman
Pinjam Pakai Kawasan Hutan
PP No 24 Tahun 2010 Tentang
Penggunaan Kawasan Hutan
PP No 61 Tahun 2012 Tentang Perubahan PP No 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan
PERPRES RI No 28 Tahun 2011 Tentang Penggunaan Kawasan
Hutan Lindung untuk Penambangan Bawah Tanah
Permenhut P.16Menhut- II2014 Pedoman Pinjam
Pakai Kawasan Hutan
2014
46
2. Konteks Politik dan Pemerintahan