Kontrol Implementasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pertambangan Perspektif Hubungan Principal Agent

149 ekstrim berupa fenomena penumpang gelap atau free rider, yang intinya mencari kesempatan gratis. Orang berupaya sampai di tempat tujuan tanpa harus membeli tiket. Mereka menikmati hasil tanpa bekerja keras.

7. Kontrol

Kontrol atau monitoring dalam pelaksanaan kontrak IPPKH menjadi salah satu permasalahan yang pelik dalam implementasi kebijakan PKH. Untuk mengatasi permasalahan hubungan keagenan antara P dan A tersebut, diperlukan sistem manajemen kontrol management control systems yang merupakan sarana untuk menyelaraskan tujuan antara P dengan A. Dengan disain sistem manajemen kontrol yang tepat, diharapkan akan mampu memahami hubungan antara P dan A tersebut dengan baik sehingga tujuan umum organisasi dapat dicapai Ekanayake 2004. Sistem manajemen kontrol tersebut memiliki peranan penting dalam mengelola hubungan P-A secara optimal dalam upaya untuk mencapai tujuan. Aspek-aspek dalam sistem tersebut antara lain sistem informasi dan proses informasi, internal control dan audits, pengukuran kinerja dan evaluasi, kompensasi dan insentif. Terdapat implikasi agency theory pada management control, yaitu, pertama, perilaku self-interest agen dapat dimonitor melalu sistem informasi. Kedua, kompensasi dan insentif dapat menjadi alat untuk menyelaraskan motivasi agen dengan tujuan organisasi. Ketiga, kondisi ketidakpastian dan pertimbangan risiko yang dijelaskan agency theory memerlukan perhatian mengenai sistem pengendalian. Sebagaimana dijelaskan dalam sub-bab kontrak, bahwa kontrak IPPKH yang disusun oleh P adalah kombinasi antara berbasis perilaku dan hasil akhir. Meskipun demikian, kontrak tersebut lebih cenderung berbasiskan perilaku. Demikian juga dengan kontrol yang dilakukan oleh P terhadap kinerja A, lebih condong kepada behavior based control. Dalam pelaksanaannya P akan selalu melakukan kontrol aktif kepada A, meskipun A tidak merasa nyaman dengan perilaku P tersebut. Hal itu dilakukan untuk mengeliminir terjadinya moral hazard oleh A sekaligus meyakinkan diri bahwa aksi A telah mengikuti prosedur dan memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan. Sebaliknya dengan kontrol Gambar 12 Tahapan penyusunan kontrak dan interaksi antara prinsipal dan agen Agent Mengajukan Permohonan Adverse Selection, Prinsipal tidak tahu siapa dan bagaimana kemampuan Agen Principal Menyusun Kontrak Agent Menerima Kontrak Principal Menerima Menolak Permohonan Agent Moral Hazard Principal Menerima Risiko Kontrol Lemah Informasi dan Pengetahuan Agent terbatas minim Agent Melaksanakan Kontrak 150 berbasis hasil akhir outcome based control lebih menitikberatkan pada outcome atau hasil akhir dari kinerja A, meskipun tanpa pengawasan dari P. Pada kenyataannya, kontrol berbasis perilaku tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik oleh P. Ketidakmampuan P dalam menjalankan fungsi kontrol menjadi penyebab tidak tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Keterbatasan anggaran dan sumberdaya aparatur menjadi alasan klasik bagi P dalam menjalankan fungsi kontrolnya terhadap kinerja A. P tidak bisa hanya mengandalkan komitmen A untuk menjalankan kontraknya dengan baik, terlebih P tidak dapat menilai kemampuan dan track record A sebelum kontrak IPPKH diberikan kepada A. Sementara A, dengan keterbatasan informasi dan pengetahuan dalam pengelolaan hutan seolah dibiarkan untuk menjalankan kontraknya. Pelaksanaan kontrol oleh P kepada A juga tidak didukung dengan peranan pemerintah daerah, terutama dalam monitoring dan evalusi pelaksanaan IPPKH. Desentralisasi yang telah bergulir belum dapat dilaksanakan dengan baik. Desentralisasi tidak secara otomatis menghasilkan metode pengelolaan sumber daya hutan yang lebih baik Nurrohmat et al 2006, Nurrochmat dan Purwandari 2006. Kontrol berbasis hasil akhir mempunyai keuntungan yaitu antara P dan A dapat mengamati hasil yang diinginkan. Namun usaha-usaha atau tindakan- tindakan yang dilakukan oleh A tidak dapat diamati oleh P dan hanya diketahui oleh pihak A itu sendiri. Untuk itu P menggunakan kontrol perilaku dengan maksud untuk dapat memonitoring tindakan-tindakan A. Rendahnya upaya A merupakan masalah moral hazard dalam teori keagenan. Masalah moral hazard dapat terjadi pada tahap ex ante yaitu pada kegiatan pra operasional pengajuan IPPKH dan pada tahap ex post yaitu saat eksekusi kontrak, monitoring saat operasional tambang meliputi; perlindungan kawasan hutan, pemeliharaan batas kawasan IPPKH, pembayaran PNBP, reklamasi dan revegetasi, pelaporan kegiatan, kontrol hasil pasca tambang revegetasi, rehabilitasi DAS. Dalam tahapan teori keagenan, masalah kedua adalah masalah kesalahan dalam pemilihan A. A mungkin tidak mempunyai kemampuan dan P tidak melakukan pengamatan terhadap kemampuan A. Gambar 13 Area kontrol prinsipal behavior based control dan outcome based control dalam proses implementasi kebijakan PKH. Area Kontrol Perilaku Area Kontrol Hasil Akhir Distribusi Manfaat PRINCIPAL Serah Terima Kawasan Hutan Pemulihan Kawasan Hutan Pajak dan Royalti Operasional Tambang AGENT Kesepakatan Kontrak IPPKH PRINCIPAL 151 Ketidaktahuan P terhadap kemampuan A mensyaratkan P untuk melakukan kontrol terhadap perilaku A ekstra ketat. Dalam situasi seperti itu kontrol berbasis perilaku menjadi pilihan utama, meskipun menimbulkan biaya transaksi yang lebih tinggi sebagai konsekuensi logis yang harus diterima. Ackere 1993 menyatakan bahwa dalam model kesalahan pemilihan agen , daripada berusaha menyesuaikan kemampuan A melalui kontrak, P mencoba memilih A sesuai dengan tingkat kemampuannya. P akan membuat kontrak dengan A yang mempunyai kemampuan yang tinggi dan akan menerima kontrak yang telah dibuat tersebut. Namun tidak demikian halnya dalam implementasi kebijakan PKH, P justru tidak mendapatkan pilihan untuk mengukur kemampuan A, sehingga P hanya berasumsi bahwa semua kemampuan A adalah sama. Seharusnya P menyusun kontrak seefisien dan seefektif mungkin dengan melihat kemampuan standar A agar kontrak dapat diimplementasikan dengan baik. Dengan demikian kontrol berbasis perilaku terhadap kinerja A juga dapat dilakukan dengan baik. Untuk mengoptimalkan fungsi kontrol terhadap A dalam melaksanakan kontrak IPPKH, P dituntut untuk menyediakan anggaran untuk melakukan kegiatan supervisi, monitoring dan evaluasi, menyiapkan sumber daya manusia pelaksana yang handal, kompeten dan cukup untuk melaksanakan kegiatan- kegiatan kontrol di lapangan. Di samping itu, pemerintah perlu meningkatkan fungsi kontrol implementasi kebijakan PKH dengan membangun institusi yang kuat di ranah tapak. Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH yang saat in sedang dipacu pembangunannya menjadi salah satu institusi yang dapat meningkatkan fungsi kontrol tersebut. Diharapkan dengan KPH dapat mengurangi kesenjangan informasi asymmetric information antara P dan A, mengeliminir terjadinya konflik di lapangan dan juga sekaligus mengurangi biaya transaksi A. Masalah Hubungan Prinsipal-Agen dalam Implementasi Kebijakan PKH Teori keagenan memberikan perhatian pada penyelesaian dua permasalahan yang dapat terjadi pada hubungan keagenan Murphy 2007. Teori keagenan menjadikan kontrak yang disepakati antara dua pihak P dan A sebagai unit analisis. A, selalu diposisikan sebagai pihak yang cenderung mendahulukan kepentingannya daripada kepentingan P. Kecenderungan tersebut pada akhirnya memunculkan permasalahan tersendiri atau masalah keagenan agency problem. Teori keagenan yang telah banyak berkembang umumnya diarahkan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan. Murphy 2007 menyatakan bahwa masalah pertama timbul sebagai akibat adanya konflik perbedaan tujuan antara kedua belah pihak. Permasalahan ini sulit bagi P untuk memverifikasi tindakan-tindakan yang dilakukan A, demikian juga dengan mampu tidaknya A menjalankan kewenangan yang diemban. Masalah kedua adalah terkait dengan pembagian dalam menanggung resiko, yaitu adanya perbedaan perilaku antara P dan A dalam menghadapi risiko adanya berbagai ketidakpastian. 152

1. Masalah Hubungan Prinsipal-Agen