Proses Pembentukan Kebijakan Implementasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pertambangan Perspektif Hubungan Principal Agent

56 dan Lahan Gambut : memperpanjang penundaan untuk masa waktu 2 tahun ke depan Dalam perkembangannya, muncul isu-isu lainnya terkait dengan implementasi kebijakan penggunaan kawasan hutan di lapangan, yaitu : - Kelestarian pada areal kawasan hutan yang telah memiliki IUPHHK - Kenaikan tarif PNBP penggunaan kawasan hutan - Kewajiban rehabilitasi DAS dan sulitnya mencari areal rehabilitasi DAS. - Uji Materi Permenhut terkait dengan pembatasan luas IPPKH dalam satu wilayah pengelolaan kawasan hutan maksimal 10 Kasus Kalsel

4. Proses Pembentukan Kebijakan

Adanya konflik pertambangan di dalam kawasan hutan, menimbulkan situasi politik yang tidak nyaman. Banyak aktor dan kepentingan yang muncul ke permukaan untuk memuluskan jalan bagi diizinkannya praktik penambangan di dalam kawasan hutan dan dirumuskan sekaligus ditetapkannya kebijakan penggunaan kawaan hutan. Kebijakan penggunaan kawasan hutan pertama kali terbit pada tahun 1978 dalam bentuk SK Dirjen Kehutanan Nomor No 64KptsDJI1978 tentang Pedoman Pinjam Pakai Tanah Kawasan Hutan. Tidak ada informasi apapun yang dapat diperoleh tentang proses perumusan kebijakan tersebut. Namun, jika melihat konteks politik dan pemerintahan saat itu maka diprediksi bahwa kebijakan tersebut dirumuskan oleh internal Direktorat Jenderal Kehutanan-Departemen Pertanian saat itu. Sementara aktor-aktor yang terkait dengan kebijakan tersebut didominasi oleh eksekutif dengan tujuan utama pertumbuhan ekonomi dan tercapainya pembangunan nasional . Sementara perumusan kebijakan penggunaan kawasan hutan pasca rezim orde baru dilakukan oleh internal Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Ditjen Planologi. Dalam prosesnya, perumusan kebijakan tersebut didahului oleh pengumpulan data dan informasi dari berbagai pihak terkait dengan penggunaan kawasan hutan. Saat itu, menurut Soetrisno 24 , Ditjen Planologi aktif mengumpulkan data dan informasi serta isu-isu yang berkembang saat itu, baik di daerah-daerah maupun di kesempatan-kesempatan forum seminar, workshop, diskusi dan lain-lain. Hal itu dilakukan untuk melihat realitas permasalahan dan isu yang berkembang di tengah-tengah para pihak. Ditjen planologi dalam beberapa kesempatan melibatkan beberapa pihak aktor yang berkompeten terkait dengan permasalahan dan isu yang berkembang, seperti Kementerian ESDM, Kementerian Perekonomian, Ditjen Bina Usaha Kehutanan BUK, Ditjen Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial BPDASPS, dan beberapa perusahaan pertambangan untuk memberikan saran dan masukan terutama dalam aspek teknis. Sementara aktor-aktor lainnya seperti Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, Himpunan Profesi Kehutanan maupun Pertambangan jarang dilibatkan. Meskipun terdapat beberapa aktorpihak, dalam proses perumusan kebijakan penggunaan kawasan hutan nyaris tidak ada perdebatan yang berarti terkait dengan adanya perbedaan kepentingan maupun diskursunarasi yang diusung oleh masing-masing aktor. Hal itu disebabkan oleh adanya kesamaan 24 Wawancara pada tanggal 24 Juli 2013 Pukul 09.05 57 maksud dan tujuan untuk menyusun peraturan tentang penggunaan kawasan hutan sebagai amanat dari peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya, sehingga para aktor hanya berperan memberikan saran dan pertimbangan baik dalam aspek teknis maupun non teknis. Terkait dengan analisis kebijakan, menurut Sutton 1999 a rus utama dalam pembuatan kebijakan yang berjalan saat ini biasa disebut sebagai model linier, model rasional, atau common-sense. Dalam pembuatannya mengandalkan hasil analisis rasional dan dianggap sebagai sesuatu yang rasional, berimbang, objektif dan analitis . Dalam model ini, keputusan dibuat dalam serangkaian tahap yang berurut mulai dari merumuskan isu dan masalah dan diakhiri sejumlah kegiatan untuk memecahkan masalah tersebut. Meskipun proses perumusan kebijakan penggunaan kawasan hutan didahului dengan pengumpulan data dan informasi, pemahaman isu dan permasalahan serta dilanjutkan dengan penetapan kebijakan sebagai sebuah pengambilan keputusan, namun kebijakan ini belum dapat dikatakan mengikuti model linear sebagaimana yang dikemukanan oleh Sutton 1999. Mencermati dari proses perumusan kebijakan penggunaan kawasan hutan bisa dikatakan bahwa model dari kebijakan ini adalah model inkrementalis atau model tahap demi tahap incrementalist model. Kebijakan penggunaan kawasan hutan telah mengalami delapan kali pergantian dan tujuh kali perubahan revisi terkait dengan isu atau masalah yang mengemuka saat itu. Proses pembuatan kebijakan ini cenderung mengikuti tindakan serial. Apabila terdapat kesalahan dikemudian hari akan kembali dilihat masalahnya dan kemudian diperbaiki. Proses tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sutton 1999 bahwa dalam model inkrementalis, kebijakan baru hanya mengubah hal-hal kecil dari kondisi sebelumnya. Biasanya pembaruan kebijakan ditetapkan berdasarkan satu hal yang dianggap paling penting. Penetapan kebijakan seperti ini dianggap tidak optimal. Suatu penetapan kebijakan dianggap optimal apabila disepakati oleh segenap pihak yang berkepentingan dan bukan sekedar dikatakan oleh pihak tertentu sebagai kebijakan paling baik untuk dapat menyelesaikan masalah. Mencermati perjalanan kebijakan penggunaan kawasan hutan yang sering mengalami perubahan sebagai respon dari adanya isu-isu yang menyertainya menguatkan sinyalemen seorang peserta pelatihan proses pembuatan kebijakan di Afrika IDS 2006 yang dikutip oleh Kartodihardjo 2008a sebagai berikut : ―…Proses pembuatan kebijakan sangat dinamis dan apa yang diketahui saat ini dapat berbeda dengan apa yang telah terjadi pada waktu sebelumnya. Kebijakan itu hidup dan perlu ruang untuk beradaptasi terhadap situasi baru...‖ Kartodihardjo 2008 menjelaskan bahwa dalam menetapkan kebijakan kehutanan yang semestinya menjadi perhatian adalah masalah kelembagaan. Termasuk di dalamnya mencakup analisis aktor yang berkepentingan dalam pembuatan kebijakan, pengertian dan pengetahuan yang digunakan, informasi yang tersedia, maupun proses pembuatan kebijakan itu sendiri. Dengan demikian masalah kebijakan mempunyai lingkup lebih luas dan tidak sekedar pengetahuan teknis mengenai obyek yang diatur. Kebijakan juga tidak dapat diartikan sebatas peraturan-perundangan, melainkan solusi atas masalah yang terjadi di lapangan. 58 Hasil pencermatan terhadap peraturan perundang-undangan terkait konteks politik dan pemerintahan dan hubungannya dengan terbitnya kebijakan penggunaan kawasan hutan, dapat dikategorikan ke dalam 2 dua periode sebagai berikut: Periode Penggunaan Meskipun Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan- kentetuan Pokok Kehutanan lahir pada tahun 1967, namun pada saat itu belum ada kebijakan pengaturan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan sektor lain secara jelas, terlebih dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Instruksi presiden Nomor 1 tahun 1976 yang memprioritaskan sektor pertambangan di atas sektor-sektor lain menjadi sumber acuan kebijakan pemerintah saat itu terkait dengan penggunaan lahantanah di Indonesia. Kebijakan tersebut kemudian di akomodir oleh Departemen Pertanian saat itu dengan menerbitkan SK Dirjen Kehutanan No 64KptsDJI1978 tentang Pedoman Pinjam Pakai Tanah Kawasan Hutan. SK Dirjen Kehutanan tersebut merupakan cikal bakal lahirnya terminologi ―pinjam pakai‘ untuk penggunaan kawasan hutan bagi kepentingan sektor-sektor lainnya. Pada masa ini sistem yang berlaku adalah ―perjanjian‖ pinjam pakai yang berlandaskan pada beberapa Surat Keputusan sebagai berikut : 1. Surat Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor 0120.K10M.PE1984, 029Kpts-II1984 tentang Pedoman Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan 2. Surat Keputusan Bersama Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor 969.K05M.PE1989, 429Kpts-II1989 tentang Pedoman Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan 3. SKB Menteri Pertambangan dan Energi dan Menteri Kehutanan Nomor 1101K702M.FE1991; 436Kpts-II1991 tentang Pembentukan Team Koordinasi Tetap Departemen Pertambagan dan Energi dan Departemen Kehutanan dan Perubahan Tata Cara Pengajuan Izin Usah Pertambangan dan Energi dalam Kawasan Hutan 4. Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 55Kpts-II1994 jo. Nomor 614Kpts-II1997 jo Nomor 720Kpts-II1998 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan Konten dalam peraturan-peraturan tersebut diatas hanya fokus pada pengaturan permohonan penggunaan kawasan hutan dan mekanisme perjanjian pinjam pakai kawasan hutan. Meskipun tersurat beberapa aturan lainnya seperti kewajiban menyediakan lahan pengganti kompensasi, reboisasi, reklamasi dan revegetasi sebagai upaya pemerintah untukmengendalikan dan memulihkan kawasan hutan , namun klausul itu tidak diimplementasikan dengan baik pada saati itu. Sehingga pada periode ini kebijakan terfokus pada pengaturan penggunaan kawasan hutannya saja. 59 Periode Pengendalian dan Pemulihan Pada periode ini pemerintah mulai membatasi sekaligus mengendalikan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan sektor lain. Polemik penggunaan kawasan hutan di dalam kawasan hutan lindung sampai pada perubahan Undang- undang Nomor 41 Tahun 1999. Terbitnya UU No 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU 41 tahun 1999 menjadi UU merupakan tonggak sejarah penting dalam perkembangan kebijakan penggunaan kawasan hutan, terutama untuk kegiatan pertambangan. Pada periode ini pula Kementerian Kehutanan menerbitkan Permenhut Nomor P.12Menhut- II2004 tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Kegiatan Pertambangan dan Permenhut P.14Menhut-II2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang secara garis besar berisi prosedur dan mengatur izin pinjam pakai kawasan hutan. Pada periode ini penggunaan kawasan hutan telah diatur sedemikian rupa dengan tujuan untuk membatasi dan mengatur pengendalian penggunaan kawasan hutan. Pengendalian penggunaan kawasan hutan dilakukan dengan menambah kewajiban pemohon untuk melengkapi berbagai syarat administratif dan teknis serta pemenuhan kewajiban-kewajiban dalam tahap persetujuan prinsip maupun izin pinjam pakai. Dalam P.14Menhut-II2006 jo P.64Menhut-II2006 telah dibatasi penggunaan kawasan hutan terutama pada kawasan hutan yang telah mempunyai izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu IUPHHK antara 3 -10 tergantung pada luas IUPHHK-nya yang kemudian dirubah menjadi 10 pada P43Menhut-II2008 untuk semua luas IUPHHK serta kewajiban untuk mendapatkan surat tidak keberatan dari pemegang IUPPHK. Pemohon juga tetap diwajibkan menyediakan lahan kompensaswi yang telah direboisasi dan apabila dalam jangka waktu 2 dua tahun hutan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut untuk pinjam pakai kawasan hutan yang bersifat komersial kewajiban tersebut diganti dengan dana yang dijadikan Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP Kementerian Kehutanan yang besarnya 1 dari harga per satuan produksi dari seluruh jumlah produksinya. Klausul tersebut menjadi cikal bakal diwajibkannya membayar PNBP bagi pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan. Pemerintah telah mewajibkan para pemegang IPPKH untuk mereklamasi dan merehabilitasi kawasan hutan yang dipinjam pakai sejak diterbitkannya kebijakan penggunaan kawaan hutan. Namun demikian pemerintah melalui PP Nomor 24 Tahun 2010 jo. PP Nomor 61 Tahun 2012 tentang PKH menambah kewajiban kepada pemegang IPPKH untuk merehabilitasi daerah aliran sungai sesuai dengan rasio luas minimal 1:1 terhadap luas areal yang dipinjam pakai, baik bagi kepentingan komersial maupun non komersial, kecuali untuk kepentingan pertahanan negara, sarana keselamatan lalu lintas laut dan udara, cek dam, embung, sabo dan sarana metereologi, klimatologi dan geofisika. Pemerintah juga berusaha untuk meningkatkan kontrol pelaksanaan kegiatan pemegang IPPKH di lapangan dengan menerbitkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Planologi Nomor 15VII-PKH2012 tentang petunjuk teknis pelaksanaan monitoring dan evaluasi penggunaan kawasan hutan. Upaya tersebut bertujuan untuk memulihkan kawasan hutan yang terdegradasi baik oleh aktivitas pertambangan, penebangan liar, perambahan, kebakaran hutan di dalam DAS dimana areal pemegang IPPKH berada. 60

5. Proses Implementasi Kebijakan