Hubungan antar pihak Implementasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pertambangan Perspektif Hubungan Principal Agent

111

3. Hubungan antar pihak

Dalam stakeholders analysis guidelines dijelaskan bahwa peran para pihak dalam suatu kebijakan dapat dilihat dari kepentingan, keterlibatan, pengetahuan, posisi dan kekuatan para pihak untuk mengidentifikasi berbagai komponen permasalahan yang akan dianalisis Schmeer 2000. Analisis para pihak dalam penelitian ini berguna untuk mengetahui bagaimana dukungan dan pengaruh para pihak terhadap kebijakan PKH dan peranannya dalam implementasi kebijakan. Sebagaimana dalam mengidentifikasi 3Rs, untuk mengidentifikasi relationships juga menggunakan cara yang sama, hanya sedikit berbeda dalam memberikan bobot nilai skor untuk menilai interaksi, sinergi, keberlanjuatan kontinuitas dan kekuatan hubungan bahkan untuk mengetahui ada tidaknya konflik atau peluang terjadinya konflik akibat hubungan tersebut. Tabel 22 berikut memberikan batasan verifier terhadap pembobotan yang dilakukan terhadap hubungan antar pihak. Tabel 22 Bobot nilai skor dan verifier untuk mengetahui hubungan yang diharapkandidapatkan oleh para pihak dalam implementasi kebijakan PKH. Skor Katagori Hubungan Interaksi Kontinuitas Sinergitas Kekuatan Konflik 5 Sangat Baik Ada Kontinyu Ada Kuat Tidak 4 Baik Ada Kontinyu Ada Cukup Tidak 3 Cukup Baik Ada Kontinyu Tidak Lemah Tidak 2 Kurang Baik Ada Tidak Tidak Lemah Tidak 1 Tidak ada hubungan Tidak Tidak Tidak Lemah Tidak 0 Tidak teridentifikasi - - - - - -1 Potensial terjadi konflik Ada Tidak Tidak Lemah Ada -2 Sering terjadi konflik Ada Kontinyu Tidak Cukup Ada Hasil dan Pembahasan Di dalam proses implementasi kebijakan PKH terdapat aktor-aktor yang berperan aktif. McCracken dan Narayan 1998 berpendapat bahwa dengan melakukan analisis para pihak kita bisa memahami konteks sosial dan institusi dari sebuah kegiatanproyek atau kebijakan. Temuan tersebut dapat memberikan informasi awal yang penting tentang siapa yang akan mempengaruhi atau dipengaruhi oleh proyek positif atau negatif; individu, kelompok, atau lembaga yang terlibat dalam proyek, dan bagaimana kapasitas dibangun untuk memungkinkan mereka berpartisipasi. Identifikasi Para pihak Identifikasi para pihak merupakan langkah awal yang dapat dilakukan dalam analisis para pihak. Para pihak dapat diidentifikasi berdasarkan beberapa sudut pandang, diantaranya: pihak yang menerima manfaat, siapa yang terkena dampak, siapa yang rentan, siapa yang mendukung dan siapa lawan, hubungan 112 antar pihak McCracken dan Narayan 1998, kepentingan interest dan pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan ODA 1995. Para pihak yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan PKH teridentifikasi sebanyak 15 lima belas pihak. Berdasarkan batasan dalam identifikasi yang dirangkum oleh Crosby 1991 diklasifikasikan ke dalam para pihak kunci, para pihak utama, dan para pihak pendukung, yaitu sebagai berikut: 1. Para pihak kunci key stakeholder, merupakan para pihak yang secara legalitas memiliki kewenangan atau dengan kata lain memiliki pengaruh dan kepentingan yang tinggi dalam pengambilan keputusan pada proses pembuatan dan implementasi kebijakan PKH, yaitu: Kementerian Kehutanan, Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH, Balai Pengelolaan Daerah ALiran Sungai BPDAS, Balai Pemantauan dan Pemanfaatan Hutan Produksi BP2HP dan Balai Konservasi Sumber daya Alam BKSDA. 2. Para pihak utama primary stakeholder,, yaitu para pihak yang terkena dampak langsung, baik positif maupun negatif oleh suatu program atau proyek serta mempunyai kepentingan langsung dengan kegiatan tersebut. Para pihak menjadi penentu utama dalam pelaksanaan kebijakan. Para pihak tersebut adalah perusahaan pemegang IPPKH. 3. Para pihak pendukung secondary stakeholder,, yaitu para pihak yang tidak memiliki kepentingan secara langsung terhadap implementasi kebijakan PKH, tetapi memiliki kepedulian. Mereka berperan sebagai pendukung dalam implementasi kebijakan atau dapat juga sebagai intermediaries atau fasilitator dalam proses dan cukup berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Para pihak pendukung ini adalah: 1 Kementerian Energi Sumber Daya Mineral KemESDM, 2 Pemerintah Provinsi Gubernur, Dinas Kehutanan ProvinsiDishutprov, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi DisESDM Prov; 3 Pemerintah Kabupaten Bupati, Dinas Kehutanan KabupatenDishutkab, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral KabupatenDisESDM Kab, Badan Lingkungan Hidup DaerahBLHD. Selain lima belas pihak tersebut, terdapat beberapa pihak lain yang teridentifikasi keterlibatannya dalam implementasi kebijakan PKH, meskipun tidak mempunyai kepentingan dan pengaruh secara langsung. Para pihak tersebut yaitu masyarakat, aparat keamanan, lembaga swadaya masyarakat LSM dan organisasi massa Ormas. Dari kelima belas pihak yang teridentifikasi tersebut, hanya 10 sepuluh pihak yang berhasil teridentifikasi tingkat kepentingan dan pengaruhnya. Hasil identifikasi dan kategorisasi terhadap 10 sepuluh pihak tersebut disajikan pada Tabel 23. 113 Tabel 23 Nilai rataan skor dan tingkat kepentingan dan pengaruh para pihak dalam implementasi kebijakan PKH. No Para pihak Kepentingan Pengaruh Skor Tingkat Skor Tingkat 1. BPKH 17.00 Tinggi 24.00 Sangat Tinggi 2. BPDAS 16.33 Tinggi 18.00 Tinggi 3. BP2HP 8.50 Rendah 8.50 Rendah 4. Dishut Provinsi 15.00 Cukup Tinggi 15.67 Tinggi 5. Dishut Kabupaten 15.00 Cukup Tinggi 13.00 Cukup tinggi 6. Dis ESDM Provinsi 5,67 Rendah 5,67 Rendah 7. DisESDM Kabupaten 5.33 Rendah 5.00 Sangat Rendah 8. BLHD Kabupaten 8.00 Rendah 7.50 Rendah 9. Pemegang IPPKH 20.36 Sangat Tinggi 16.82 Tinggi 10. Pemegang IUPHHK 13.00 Cukup tinggi 10.67 Cukup tinggi Keterangan: Hasil olah data dan interpretasi peneliti berdasarkan wawancara semi terstruktur. Untuk memperjelas posisi masing-masing pihak dilakukan pemetaan posisi para pihak dalam matriks kepentingan-pengaruh Reed et al 2009 sebagaimana dapat dilihat pada gambar 8. Gambar 8 Posisi para pihak dalam matriks kepentingan dan pengaruh Key player merupakan para pihak yang aktif karena mereka mempunyai kepentingan dan pengaruh yang tinggi terhadap implementasi kebijakan PKH. Subjects memiliki kepentingan yang tinggi tetapi pengaruhnya rendah dan walaupun mereka mendukung kegiatan, kapasistasnya terhadap dampak mungkin tidak ada. Namun para pihak dalam kategori ini akan mempunyai pengaruh terhadap implementasi kebijakan jika mempunyai modal dan aksi bersama yang kuat. Context setter memiliki pengaruh yang tinggi tetapi sedikit kepentingan. Pengaruh K epent ing a n 5 25 20 15 10 5 25 20 15 10 PEMEGANG IPPKH DISESDM PROV Context Setter Key Players Subjects Crowd BPDAS BPKH BLHD KAB BP2HP PEMEGANG IUPHHK DISHUT PROV DISESDM KAB DISHUT KAB 114 Sedangkan crowd merupakan para pihak yang memiliki sedikit kepentingan dan pengaruh terhadap hasil yang diinginkan dan hal ini menjadi pertimbangan untuk mengikutsertakannya dalam pengambilan keputusan. Hasil pemetaan posisi para pihak menunjukkan bahwa para pihak yang masuk dalam kuadran key players adalah Pemegang IPPKH, BPKH, BPDAS. Ketiganya mempunyai kepentingan dan pengaruh yang besar terhadap keberhasilan implementasi kebijakan PKH. Pemegang IPPKH merupakan para pihak utama dalam implementasi kebijakan PKH, keberhasilan implementasi sangat ditentukan oleh kinerja pemegang IPPKH. Baik buruknya respon pemegang IPPKH sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya terhadap kebijakan PKH sangat menentukan keberhasilan implementasi kebijakan tersebut. Sedangkan BPKH dan BPDAS merupakan pihak-pihak kunci yang merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat kementerian kehutanan di daerah. Kedua UPT tersebut merupakan ujung tombak dalam pelaksanaan kegiatan IPPKH di lapangan, sehingga keduanya mempunyai kepentingan dan pengaruh yang besar terhadap keberhasilan implementasi kebijakan PKH. Adapun pada kuadran crowd terdapat pemegang IUPHHK, BP2HP, BLHD Kabupaten, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi. Pada kuadran ini setiap pihak dikatagorikan tidak mempunyai kepentingan dan pengaruh yang besar seperti pada kuadran key players. BP2HP meskipun sebagai UPT pemerintah pusat, namun kepentingan dan pengaruh tidak terlalu besar. Hal itu terkait dengan peranan BP2HP yang juga tidak terlalu besar terhadap keberhasilan implementasi kebijakan PKH. Peranan BP2HP hanya sebagai pendukung dalam pelaksanaan kebijakan PKH di lapangan. Sementara pemegang IUPHHK, BLHD Kabupaten dan Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi juga tidak mempunyai kepentingan dan pengaruh yang besar. Hal itu sesuai dengan hasil identifikasi bahwa ketiga institusi tersebut merupaka pihak pendukung secondary stakehoders. Dinas Kehutanan Provinsi, maupun Dinas Kehutanan Kabupaten mempunyai tingkat kepentingan yang sama, namun mempunyai tingkat pengaruh yang berbeda. Dishut Prov mempunyai pengaruh yang lebih besar dibanding Dishut Kab yang disebabkan oleh peranan Dishut Prov dalam implementasi kebijakan PKH juga lebih besar. Peranan tersebut terkait dengan pemberian pertimbangan teknis dalam rangka penerbitan rekomendasi Gubernur untuk calon pemegang IPPKH dan koordinator tim evaluasi IPPKH dalam rangka persetujuan prinisp IPPKH, perpanjangan IPPKH eksplorasi maupun eksploitasi, pengembalian lahan IPPKH maupun evaluasi IPPKH periodik. Sementara peranan Dishut Kab adalah pada monitoring IPPKH periodik sekali dalam satu tahun. Pihak-pihak lain yang teridentifikasi yaitu LSM, ormas dan masyarakat di sekitar kawasan hutan tidak mempunyai kepentingan maupun pengaruh terhadap tingkat keberhasilan implementasi kebijakan PKH. Namun demikian, dalam realitanya ketiga pihak tersebut mempengaruhi kinerja pemegang IPPKH. Masyarakat memanfaatkan keberadaan perusahaan tambang dengan melakukan klaim atas kawasan hutan dengan harapan mendapatkan ganti rugi atau kompensasi. Sedangkan LSM dan ormas berharap mendapatkan keuntungan dari adanya konflik tersebut dengan berperan sebagai mediator. Pada akhirnya LSM dan ormas juga meminta ‗imbalan jasa‘ atas peranannya sebagai mediator tersebut. 115 Kondisi tersebut jamak terjadi hampir di seluruh kawasan hutan di Indonesia, dimana keterlibatan atau akses masyarakat yang sangat rendah terhadap sumber daya hutan dan lahan serta hasil-hasilnya. Pemerintah seolah tidak memperdulikan keberadaan masyarakat di sekitar kawasan hutan. Bagaimanapun masyarakat di sekitar kawasan hutan mempunyai kepentingan terhadap sumber daya hutan maupun lahan sebagai sumber pemenuhan kebutuhan dalam aspek ekonomi, sosial maupun budaya Kusumedi dan Rizal 2010, Roslinda et al 2012. Kepentingan dan pengaruh para pihak dalam implementasi kebijakan PKH ini bersifat dinamis, bisa berubah-ubah yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Kepentingan dan pengaruh institusi kehutanan baik UPT maupun institusi daerah dipengaruhi oleh peranan mereka yang telah digariskan dalam peraturan perundang-undangan. Sedangkan kepentingan dan pengaruh pemegang IPPKH dipengaruhi oleh hak dan kewajiban pemegang IPPKH, keuntungan yang akan diperoleh, partisipasi dan komitmen pemegang IPPKH dalam implementasi kebijakan IPPKH. Berbeda dengan pemegang IPPKH, kepentingan dan pengaruh pemegang IUPHHK dipengaruhi oleh motivasinya terhadap keberadaan sumber daya tambang dan energi di dalam areal konsesinya. Jika motivasi pemegang IUPHHK adalah mengambil atau mencari keuntunganrente rent seeking maka akan semakin tinggi kepentingan pemegang IUPHHK tersebut terhadap keberadaan sumber daya tambang dan mineral atau perusahaan tambang yang berada di dalam konsesi IUPHHK-nya. Demikian juga jika motivasi pemegang IUPHHK adalah keinginan untuk bisa bekerjasama atau berkoordinasi dalam pengelolaan hutan. Namun, jika pemegang IUPHHK bersikap tidak peduli maka kepentingan mereka akan rendah, demikian juga dengan pengaruhnya terhadap implementasi kebijakan PKH. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, wawancara dengan responden dan informasi yang diperoleh selama peneliti menjadi salah satu staf Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan Kementerian Kehutanan, menunjukkan bahwa perbedaan kepentingan dan pengaruh yang dimiliki oleh pemegang IPPKH dan IUPHHK sering menimbulkan konflik. Konflik tersebut terkait dengan hak dan kewajiban yang diberikan oleh pemerintah kepada masing-masing pemegang izin terkait dengan pengelolaan kawasan hutan. Konflik akan semakin tinggi ketika pemegang IUPHHK memanfaatkan situasi opportunistic bahavior untuk mencari keuntungan atas keberadaan perusahaan tambang di dalam areal konsesi IUPHHK-nya. Konflik tersebut menimbulkan permasalahan tersendiri dalam proses implementasi kebijakan PKH. Pemerintah perlu peran aktif dalam menyelesaikan konflik-konflik tersebut yang sebenarnya telah diketahui sejak lama. Sementara ini, sebagian besar konflik diselesaikan dengan kompromistis, dimana pemegang IPPKH dengan kekuatan modal cenderung mengalah untuk mengikuti permintaan pemegang IUPHHK. Kompromi juga terjadi dengan melakukan hubungan ‗business to business‘ atau B to B, sehingga terjadi kesepakatan bersama, win-win solution, meskipun pada hakekatnya pemegang IPPKH hanya berusaha untuk mengurangi biaya transaksi akibat sikap ambil kesempatan yang dilakukan oleh pemegang IUPHHK 43 . 43 Pembahasan tentang konflik yang terjadi sebagai akibat hubungan antar para pihak akan dibahas tersendiri dalam bab selanjutnya. 116 Peranan para pihak Peranan para pihak juga dapat dilihat dengan menggunakan analisis 4Rs. 4Rs merupakan alat analisis bagaimana orang berhubungan satu sama lain atas pemanfaatan sumber daya alam dalam peran pemangku kepentingan yang dibagi menjadi hak rights, tanggung jawab responsibilities dan manfaat revenues, dan kemudian menilai hubungan relationships antara peran ini IIED 2005, Salam dan Noguchi 2006. Kerangka pendekatan 4Rs ini dapat diterapkan pada berbagai tingkatan yang berbeda, baik di tingkatan lokal atau proyek, wilayah, dan nasional. Pendekatan 4Rs dianggap paling efektif sebagai participatory tool untuk membangun dialog diantara para pihak IIED 2005. Sebagai langkah awal, identifikasi akan dilakukan pada 3Rs pertama, yaitu rights, responsibilities dan revenues. Analisis 3Rs ini dilakukan secara bersamaan di dalam serta diantara kelompok-kelompok para pihak, karena keseimbangan balance diantara hak, tanggungjawab, dan manfaat merupakan indikasi yang baik dalam membentuk struktur kekuatan serta insentif atau disinsentif dalam mencapai pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan, misalnya : a tanggung- jawab yang tinggi akan meningkatkan insentif yang diberikan; dan b pelaksana swasta memiliki hak dan pendapatan dari pengelolaan sumberdaya alam tetapi memiliki beban tanggung-jawab rendah atau tanggung-jawab terhadap publik yang kurang. Hubungan diantara pihak dianalisis dengan memperhatikan: a kualitas hubungan misalnya: baik, sedang, atau terjadi konflik; b kekuatan hubungan, berkaitan dengan frekuensi dan intensitas kontak diantara pihak; c formalitas hubungan, berkaitan dengan tipe hubungan yang bersifat formal atau informal; serta d ketergantungan dependence antar pihak IIED, 2005. Keberhasilan implementasi kebijakan salah satunya ditentukan oleh berfungsinya institusi yang dibangun. Aturan main dijalankan dengan baik, para pihak yang berkompeten dapat menjalankan peranannya sesuai dengan hak, tugas, tanggungjawab serta mendapatkan manfaat yang diharapkan. Dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan PKH, Kementerian Kehutanan berusaha membagi habis tugas kepada para pihak yang berkompeten baik di institusi pusat di daerah maupun institusi pemerintah daerah. Namun demikian, masih terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaannya. Keterbatasan sumberdaya manusia pelaksana, minimnya anggaran dan lemahnya koordinasi menjadi permasalahan klasik dalam implementasi kebijakan. Hasil identifikasi terhadap peranan para pihak dalam implementasi kebijakan PKH disajikan dalam Tabel 24. 117 Tabel 24 Peranan para pihak berdasaskan hak, tanggung jawab dan manfaat yang diperoleh dalam implementasi PKH Para pihak Rigths Skor Responsibilities Skor Revenues Skor Kunci : 1. Kemenhut Menyusun Kebijakan Peraturan, menganlisis permohonan IPPKH 5 Mengolah, menganalisis, memproses dan menerbitkan IPPKH 5 Mendapatkan penerimaan negara dari PNBP 5 2. BPKH Memberikan pertimbangan teknis, bimbingan dan pembinaan bidang keplanologian 4 - Tata batas dan inventarisasi - Penilaian hasil revegetasi - Verifikasi calon lokasi rehabilitasi DAS - Penilaian hasil rehabilitasi DAS - Monitoring dan atau evaluasi IPPKH - Verifikasi PNBP - Pemeriksaan Lapangan Lahan Kompensasi 5 Penyerapan anggaran, Pemberdayaan, peningkatan kualitas dan kesejahteraan SDM 4 3. BPDAS Bimbingan dan pembinaan rehabilitasi DAS 4 - Penilaian hasil revegetasi - Verifikasi calon lokasi rehabilitasi DAS - Penilaian hasil rehabilitasi DAS - Monitoring dan atau evaluasi IPPKH - Verifikasi PNBP - Pemeriksaan Lapangan Lahan Kompensasi 4 Penyerapan anggaran, Pemberdayaan, peningkatan kualitas dan kesejahteraan SDM 4 4. BP2HP Bimbingan dan pembinaan tata usaha kayu 3 - Bimbingan dan pembinaan dalam kegiatan inventarisasi tegakan - Penilaian hasil revegetasi - Verifikasi calon lokasi rehabilitasi DAS - Penilaian hasil rehabilitasi DAS - Evaluasi IPPKH, - Verifikasi PNBP, 3 Pemberdayaan, peningkatan kualitas dan kesejahteraan SDM 3 5. BKSDA, BTN, Tahura Menentukan lokasi rehabilitasi DAS dalam kawasan konservasi 3 - Verifikasi calon lokasi rehabilitasi DAS - Penilaian hasil rehabilitasi DAS 3 Rahabilitasi kawasan konservasi 2 Utama : 1. Perusahaan Pertambangan Pemegang IPPKH Mendapatkan akses menggunakan kawasan hutan untuk eksploitasi tambang 5 Memenuhi semua kewajiban IPPKH. 5 Keuntungan finansial dari eksploitasi tambang dalam kawasan hutan 5 Pendukung : 1. Kementerian ESDM Menerbitkan PKP2BKK 5 Bimbingan dan Pembinaan pelaksanaan kegiatan pertambangan supproting 3 Pendapatn negara 5 2. Gubernur Menerbitkan rekomendasi 5 Pengawasan supproting 3 Pendapatan daerah 5 3. Bupati Menerbitkan IUP 5 Pengawasan supproting 3 Pendapatn daerah 5 4. Dinas Kehutanan Prov Memberikan pertimbangan teknis, evaluasi IPPKH 4 - Tata batas dan inventarisasi - Verifikasi calon lokasi rehabilitasi DAS - Penilaian hasil rehabilitasi DAS - Evaluasi dan atau Monitoring IPPKH, - Verifikasi PNBP - Pemeriksaan Lapangan Lahan Kompensasi 4 Pemberdayaan, peningkatan kualitas dan kesejahteraan SDM 2 5. Dinas Kehutanan KabKota Monitoring IPPKH 4 - Tata batas dan inventarisasi - Penilaian hasil revegetasi - Verifikasi calon lokasi rehabilitasi DAS - Penilaian hasil rehabilitasi DAS - Evaluasi dan atau Monitoring IPPKH, - Verifikasi PNBP - Pemeriksaan Lapangan Lahan Kompensasi 4 Pemberdayaan, peningkatan kualitas dan kesejahteraan SDM 2 6. Distamben Provinsi - 1 - Memberikan pertimbangan teknis dalam rekomendasi Gubernur - Penilaian hasil penanaman revegetasi 3 1 118 Lanjutan Tabel 24 Para pihak Rigths Skor Responsibilities Skor Revenues Skor 7. Distamben Provinsi - 1 - Memberikan pertimbangan teknis dalam rekomendasi Gubernur - Penilaian hasil penanaman revegetasi 3 1 8. Distamben Kabupaten - 1 Pemantauan pelaksanaan kegiatan pertambangan supproting 1 1 9. Badan Lingkungan Hidup - 1 Pemantauan lingkungan hidup supproting 1 Membantu monitoring dan evaluasi kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup 2 10. Perusahaan Kehutanan Pemegang IUPHHK Melakukan kerjasamakoordinasi dengan pemegang IPPKH 3 Memantau kegiatan pemegang IPPKH 2 Positif : menarik retribusi, membuat MoU dengan pemegang ippkh Negatif: kegagalan sertifikasi PHPL, terganggunya pengelolaan hutan dan pemurunan kualitas lingkungan 3 11. Masyarakat Mendapatkan manfaat kawasan hutan 3 Melindungi dan menjaga kawasan hutan supproting 2 Pendapatan, kesejahteraan 3 12. LSM - 1 - 1 Bantuan finansial dari perusahaan 3 13. Ormas - 1 - 1 Bantuan finansial dari perusahaan 3 14. Aparat - 1 - 1 Bantuan financial pendapatan dari perusahaan 3 Keterangan : Supporting merupakan peranan sebuah institusi yang mendukung berjalannya implementasi kebijakan PKH. Kementerian kehutanan sebagai key players merupakan aktor dominan sejak perumusan kebijakan PKH sampai dengan implementasinya. Dukungan UPT kementerian kehutanan di daerah BPKH, BPDAS, BP2HP dan BKSDATN memudahkan dalam pelaksanaan kebijakan. Pemberian kewenangan monitoring kepada pemerintah kabupatenkota dan evaluasi IPPKH kepada pemerintah provinsi pada dasarnya meringankan beban tugas dan tanggungjawab pemerintah pusat. Meskipun pemerintah daerah hanya mendapatkan sedikit porsi kewenangan dalam implementasi kebijakan PKH, namun keterlibatan pemerintah daerah dalam implementasi kebijakan tersebut cukup besar. Hasil inventarisasi terhadap keterlibatan para pihak dalam implementasi kebijakan PKH menunjukkan perbedaan yang tidak menyolok, yaitu 52,9 keterlibatan pemerintah pusat berbanding 47,1 keterlibatan pemerintah daerah untuk semua kegiatan dari proses pengajuan permohonan izin sampai dengan implementasi di lapangan Tabel 25. Keseimbangan antara rights, responsibilities dan revenues atau 3Rs hampir pada setiap pihak yang terlibat menunjukkan tingkat peranan dan keterlibatan para pihak dalam implementasi kebijakan PKH relatif merata. Nilai bobot skor juga menunjukkan kecenderungan yang menurun dari para pihak kunci, para pihak utama dan para pihak pendukung. Selain pemegang IPPKH 119 yang mendapatkan haknya atas akses memasuki dan menggunakan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan, para pihak lain yang mempunyai skor rights dan responsibilities maksimal adalah kementerian kehutanan, kementerian ESDM, Gubernur dan Bupati. Keempat lembaga tersebut mempunyai kewenangan untuk menerbitkan surat izin, pertimbangan teknis maupun rekomendasi yang diperlukan dalam permohonan izin IPPKH. Dengan demikian peranan para pihak terkait dengan rights dan responsibilities para pihak mempunyai korelasi dengan power yang dimiliki dan besarnya pengaruh yang ditimbulkan sebagai akibat penggunaan rights tersebut. Sebaliknya, terdapat lima pihak yang teridentifikasi tidak memiliki rights dan responsibilities apapun dalam implementasi kebijakan PKH, yaitu Distamben Provinsi, Distamben Kabupaten, Badan Lingkungan Hiduap Daerah Kabupaten, LSM, Ormas dan Aparat. Namun keberadaan kelima pihak tersebut mempunyai pengaruh terhadap implementasi kebijakan PKH, walaupun kecil. Bahkan masyarakat, LSM, ormas dan aparat mendapatkan manfaat langsung dari keberadaan pemegang IPPKH. Mereka memanfaatkan situasi untuk mengambil untung. Masyarakat melakukan klaim atas kawasan hutan yang dipinjam pakai sebagai lahan garapan mereka yang menyebabkan terjadinya konflik atas kawasan hutan yang dipinjam pakai. Sementara LSM dan Ormas mengatasnamankan masyarakat berpura-pura membantu memediasi pemegang IPPKH dengan masyarakat. Namun, ujung-ujungnya baik LSM maupun ormas hanya ingin mendapatkan keuntungan dari pemegang IPPKH. Adapun aparat keamanan bersikap pasif, yaitu menunggu laporan dari pihak-pihak yang berkonflik, kemudian melihat dan menganalisis konflik. Tindakan yang akan dilakukan oleh aparat keamanan sangat tergantung pada situasi dan kondisi masyarakat, seberapa besar konflik yang terjadi, pendekatan pemegang IPPKH, siapa pemilik pemegang IPPKH dan bagaimana kebijakan pimpinan kesatuan dari aparat tersebut. Pada akhirnya apapun upaya yang dilakukan oleh aparat, mereka tetap mempunyai kepentingan untuk bisa mendapatkan manfaat dari konflik yang terjadi.. Keseimbangan pembagian peran dan keterlibatan tersebut di atas tidak menjadikan pemerintah daerah menerima kewenangan penerbitan IPPKH oleh pemerintah pusat. Baik pemerintah provinsi maupun kabupaten berpendapat bahwa pada era desentralisasi seperti sekarang ini, seharusnya kewenangan IPPKH diberikan kepada daerah, karena daerah lebih mengetahui situasi dan kondisi daerahnya masing-masing. Mereka menganggap bahwa pemerintah pusat melakukan tebang pilih kewenangan. Alasan mereka adalah, terdapat kewenangan pengelolaan kawasan hutan yang memerlukan dana diberikan ke daerah tetapi pemerintah pusat tidak memberikan anggaran yang mencukupi. Sementara kewenangan yang menghasilkan pendapatan asli daerah PAD diambil oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat terkesan setengah hati dalam memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah. Demikian pendapat dan persepsi para pihak terhadap kewenangan pemberian IPPKH. Dalam Permenhut Nomor P.16Menhut-II2014 telah dijelaskan dengan cukup lengkap peranan para pihak dalam implementasi kebijakan PKH. Para pihak mendapatkan peranannya sesuai dengan tugas pokok dan fungsi yang melekat pada institusinya. Dari 17 jenis kegiatan yang teridentifikasi dalam proses implementasi kebijakan PKH, Dishutkab dan Dishutprov mempunyai keterlibatan paling tinggi 11 kali sementara BPKH 10 kali, BPDAS 7 kali, 120 dan BP2HP 7 kali. Kelima pihak tersebut secara bersamaan melakukan kegiatan- kegiatan; pemeriksanaan lapangan calon lahan kompensasi, verifikasi calon lokasi rehabilitasi DAS, penetapan lokasi rehabilitasi DAS, penilaian tegakan hasil revegetasi, penilaian hasil penanaman rehabilitasi DAS, monitoring IPPKH dan evaluasi IPPKH. Keterlibatan pemerintah daerah bersama dengan pemerintah pusat yang diwakili oleh Unit Pelaksana Teknis Pusat di daerah menunjukkan adanya sinergi dan koordinasi yang cukup bagus dalam implementasi kebijakan PKH Tabel 25. Pemerintah pusat juga telah memberikan kewenangan yang cukup besar kepada pemerintah daerah dengan selalu melibatkannya dalam setiap pengambilan keputusan mulai dari kegiatan pengajuan permohonan IPPKH oleh perusahaan tambang sampai dengan penilaian pengembalian areal IPPKH-nya. Namun, Pemerintah daerah masih menuntut kewenangan pemberian IPPKH seharusnya berada di pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten. Mereka juga mengeluhkan keterlambatan dan tidak memadainya anggaran dekonsentrasi untuk kegiatan monitoring dan evaluasi. Tabel 25 Matriks keterlibatan para pihak dalam kegiatan implementasi kebijakan penggunaan kawasan hutan No Jenis Kegiatan Keterlibatan Para pihak M en hu t M en E SD M G ub er nu r B up at i D itj en P la n D itj en B P D A SP S D itj en B U K D itj en P H K A D itj en M in er ba D is hu t P ro v D is tE SD M P ro v D is hu t K ab K ot a Dis E SD M K ab k ot a B PK H B PD A S B P2 H P B K SD A B T N B L H D B PN Pe rh ut an i 1 Penerbitan izin tambang √ √ √ 2 Penerbitan dokumen lingkungan √ √ √ √ √ √ 3 Pertimbangan teknis wilayah pertambangan √ √ √ √ √ √ 4 Penerbitan rekomendasi GubernurBupati √ √ 5 Proses dan analisis perizinan PPKH √ 6 Pertimbangan teknis kawasan hutan √ √ 7 Pemeriksaan lapangan calon lahan kompensasi √ √ √ √ √ √ √ 8 Penerbitan IPPKH √ 9 Tata batas kawasan hutan √ √ √ 10 Inventarisasi tegakan √ √ √ √ 11 Verifikasi calon lokasi rehabilitasi DAS √ √ √ √ √ √ √ 12 Penetapan lokasi rehabilitasi DAS √ √ √ √ √ √ 13 Verifikasi PNBP 14 Penilaian tegakan hasil revegetasi √ √ √ √ √ √ √ 15 Penilaian hasil penanaman rehabilitasi DAS √ √ √ √ √ √ √ 16 Monitoring IPPKH √ √ √ √ √ 17 Evaluasi IPPKH √ √ √ √ √ Jumlah 2 1 2 3 1 1 1 1 1 11 2 11 3 10 7 7 2 2 1 1 2 Keterangan = prosentase keterlibatan pemerintah pusat 37 peran 52,9, pemerintah daerah 33 peran 47,1 121 Hubungan antar pihak Hubungan antar pihak dalam implementasi kebijakan PKH bisa terjadi dalam dua bentuk, yaitu kooperasi dan konflik. Hubungan kooperasi terjadi ketika dua atau lebih pihak menjalin interaksi dan bersinergi untuk melaksanakan kebijakan PKH, sedangkan hubungan konflik terjadi jika interaksi yang terbangun antar pihak menyebabkan ketidakharmonisan akibat perbedaan-perbedaan yang timbul akibat implementasi kebijakan PKH tidak dapat dipersatukan. Tabel 26 Matriks hubungan relationship antara pihak dalam implementasi kebijakan PKH Para pihak D is hu t P ro v D is ta m en P ro v D is hu t K ab K ot a D Is ta m be n K ab k ot a B PK H B PD A S B P2 H P B K SD A B T N B L H D L S M O rm as P em eg an g IP PK H P em eg an g IU PH H K A pa ra t M as ya ra ka t Dishut Prov 2 3 5 5 3 1 2 4 1 1 Distamben Prov 2 2 2 1 1 1 2 1 1 Dishut KabKota 2 4 4 3 2 3 1 1 Distamben KabKota 1 1 1 1 1 2 4 1 1 BPKH 4 3 2 2 1 4 1 1 BPDAS 3 4 4 1 4 1 1 BP2HP 1 1 1 2 1 1 BKSDA 4 1 3 1 BTN 1 3 1 BLHD 3 1 LSM 4 -1 1 4 Ormas -2 1 5 Pemegang IPPKH -1 -1 -2 Pemegang IUPHHK Aparat 2 Masyarakat Keterangan : Hasil olah data dan informasi wawancara tidak terstruktur dan studi literatur kemudian diinterpretasikan peneliti menjadi 8 katagori hubungan antar pihak. Tabel 26 di atas memperlihatkan bentuk hubungan antar pihak dalam implementasi kebijakan PKH. Tanda positif berarti bahwa hubungan yang dibangun dalam bentuk kooperatif, meskipun nilainya bervariasi dari 2 positif dua dengan kategori terjalin hubungan yang kurang baik sampai dengan 5 positif lima dengan kategori hubungan sangat baik. Nilai 1 positif satu dikategorikan sebagai tidak ada hubungan yang terjalin dalam konteks pelaksanaan implementasi kebijakan PKH di lapangan, nilai 0 nol tidak teridentifikasi dalam penelitian ini. Sedangkan nilai yang bertanda negatif berarti terjadi hubungan dalam bentuk konflik, yaitu nilai -1 negatif satu yang berarti hubungan biasanya 122 disertai dengan konflik dan skor -2 negatif dua yang berarti hubungan sering disertai dengan konflik. Hubungan sangat baik ditunjukkan oleh Dinas Kehutanan Provinsi dengan BPKH dan BPDAS, sementara hubungan BPKH dengan BPDAS berkategori baik. Hubungan baik juga ditunjukkan oleh pemegang IPPKH dengan BPKH, BPDAS, Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten dan antara BPDAS dengan BKSDA dan BTN. Sebaliknya, hubungan konflik 44 dengan intensitas sering ditunjukkan oleh pemegang IPPKH dengan masyarakat di sekitar wilayah IPPKH dan organisasi massa, sedangkan konflik dalam kategori biasa terjadi ditunjukkan oleh pemegang IPPKH dengan pemegang IUPHHK, LSM dan kadang-kadang dengan aparat keamanan. Sementara hubungan antar pihak dengan kategori lainnya terjalin dalam batas-batas yang wajar sesuai dengan keterlibatannya dalam implementasi PKH Hasil observasi di lapangan, wawancara dengan informan kunci dan informasi lain yang diperoleh selama penelitian menunjukkan bahwa perbedaan kepentingan dan pengaruh yang dimiliki oleh pemegang IPPKH dan IUPHHK sering menimbulkan konflik. Konflik tersebut terkait dengan hak dan kewajiban yang diberikan oleh pemerintah kepada masing-masing pemegang izin terkait dengan pengelolaan kawasan hutan. Pada umumnya, konflik muncul karena pemegang IUPHHK tidak menyetujui aktifitas pemegang IPPKH yang dianggap mengganggu status kelestarian hutan pemegang IUPHHK. Alasan lainnya adalah tidak disepakatinya nilai ganti rugi tegakan dan sarana prasarana yang telah dibangun. Sementara pemegang IPPKH merasa telah memiliki izin dari Menteri Kehutanan yang sah secara hukum untuk dapat melakukan kegiatan di kawasan hutan yang telah ditetapkan. Selain itu, banyak pemegang IPPKH mengeluhkan tuntutan nilai ganti rugi tegakan dan sarana prasarana yang tidak rasional dari pemegang IUPPHK. Konflik akan semakin tinggi ketika pemegang IUPHHK memanfaatkan situasi rent seekingopportunistic behavior untuk mencari keuntungan atas keberadaan perusahaan tambang di dalam areal konsesi IUPHHK-nya. Konflik tersebut menimbulkan permasalahan tersendiri dalam proses implementasi kebijakan PKH. Pemerintah perlu peran aktif dalam menyelesaikan konflik- konflik tersebut yang sebenarnya telah diketahui sejak lama. Sementara ini, sebagian besar konflik diselesaikan dengan kompromistis, di mana pemegang IPPKH dengan kekuatan modal cenderung mengalah untuk mengikuti permintaan pemegang IUPHHK. Kompromi juga terjadi dengan melakukan hubungan ‗business to business‘. Beberapa masalah lanjutan akibat overlapping izin dalam areal yang sama tersebut adalah ketidakjelasan batas kewenangan pengelolaan hutan, terbukanya akses ke dalam wilayah IUPHHK tanpa bisa dikontrol oleh kedua belah pihak. Sedangkan hubungan konflik yang terjadi antara pemegang IPPKH dengan masyarakat, ormas LSM maupun aparat keamanan terkait dengan klaim masyarakat terhadap kawasan hutan. Sebagian besar kawasan hutan yang telah mendapatkan IPPKH telah diklaim oleh masyarakat di sekitar wilayah tersebut. Dengan berbagai modus yang dipakai, masyarakat berusaha untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi terhadap lahan yang merekea klaim. Kemudian 44 Pembahasan tentang konflik yang terjadi sebagai akibat hubungan antar para pihak akan dibahas tersendiri dalam bab selanjutnya. 123 masyarakat menanami lahan tersebut dengan berbagai jenis tanaman kayu yang mempunyai nilai jual. Masyarakat juga berusaha mendapatkan surat keterangan kepemilikan lahan tersebut dari aparat yang berwenang. Sementara pemegang IPPKH berusaha untuk membawa permasalahan tersebut ke institusi yang berwenang namun tidak mendapatkan respon positif, hingga pada akhirnya melaporkannya kepada aparat keamanan. Konflik pemegang IPPKH dengan masyarakat tersebut dimanfaatkan oleh banyak ormas yang bermunculan di dalam masyarakat yang mengatasnamakan masyarakat asli atau masyarakat adat. LSM juga memanfaatkan kondisi tersebut untuk mendapatkan keuntungan dari pemegang IPPKH. Sementara aparat mendapatkan keuntungan dari peranannya dalam memediasi konflik di antara mereka. Hubungan konflik ini sangat merugikan pemegang IPPKH. Selain harus mengeluarkan biaya transaksi tambahan untuk penyelesaian konflik, perusahaan juga mengalami kerugian finansial atas biaya sewa peralatan dan waktu produksi. Selama penyelesaian konflik tersebut tidak jarang masyarakat melakukan pemblokiran terhadap produksi perusahaan. Dalam kurun waktu tersebut perusahaan harus menerima kerugian dari penyewaan alat-alat berat dan alat-alat produksi tambang yang lain. Sementara keberadaan aparat keamanan juga mempunyai kecenderungan yang merugikan bagi perusahaan. Aparat keamanan cenderung untuk mengulur-ulur waktu penyelesaian konflik bahkan lebih condong ‗melindungi‘ masyarakat untuk mendapatkan kompensasi. Terlebih terdapat beberapa oknum aparat keamanan yang mempunyai klaim lahan di dalam kawasan hutan. Simpulan Dari hasil identifikasi para pihak dalam implementasi kebijakan PKH ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Terdapat lima belas pihak yang terkait dengan implementasi kebijakan PKH secara langsung. Kementerian Kehutanan menjadi pihak kunci key stakeholder sedangkan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan IPPKH menjadi pihak utama primary stakeholder dalam implementasi kebijakan PKH. Peranan keduanya menjadi tolok ukur keberhasilan implementasi kebijakan ini. 2. Para pihak menjalankan peranannya dengan baik. Terdapat keseimbangan yang cukup baik antara rights, responsibility dan revenues untuk masing- masing pihak. 3. Keseimbangan juga terjadi dalam keterlibatan pemerintah daerah, baik Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kabupaten dalam implementasi kebijakan IPPKH. Hal ini menunjukkan bahwa Kementerian Kehutanan telah berusaha membagi habis tugas kepada para pihak yang berkompeten baik di institusi pusat di daerah maupun institusi pemerintah daerah. 4. Hubungan antar pihak terjalin dalam berbagai tingkat, dari bekerjasama sampai dengan adanya konflik. 5. Keseimbangan peranan, keterlibatan dan hubungan para pihak yang baik tidak menjamin keberhasilan implementasi sebuah kebijakan. Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak faktor, diantaranya adalah 124 berfungsinya institusi yang dibangun dan aturan main yang dijalankan dengan baik. 6. Dalam implementasi kebijakan PKH ini masih terdapat berbagai kendala dalam pelaksanaannya diantaranya adalah: keterbatasan sumberdaya manusia pelaksana, minimnya anggaran, pengawasan dan penegakkan hukum yang lemah masih menjadi permasalahan dalam implementasi kebijakan ini. 125 HUBUNGAN PRINCIPAL-AGENT DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN Pendahuluan Konsep hubungan principal-agent atau prinsipal-agen P-A dalam kebijakan kehutanan di Indonesia dipraktikkan dalam pemberian IUPHHK, dimana pemerintah sebagai prinsipal P memberikan kewenangan pengelolaan hutannya kepada perusahaan kehutanan sebagai agen A yang terpercaya dengan IUPHHK-nya sebagai bentuk kespekatan contract yang disepakati oleh kedua belah pihak. IPPKH juga pada prinsipnya merupakan bentuk hubungan P-A, dimana pemerintah memberikan kewenangan kepada perusahaan pertambangan untuk menggunakan dan memanfaatkan sumberdaya energi dan sumber daya mineral di dalam kawasan hutan baik untuk kegiatan penyelidikan umum, survei, eksplorasi maupun eksploitasi operasi produksi. Kebijakan PKH merupakan kebijakan yang mengatur diperbolehkannya sektor lain di luar sektor kehutanan untuk menggunakan danatau memanfaatkan sumberdaya alam di dalam kawasan hutan. Dalam perkembangannya, kebijakan PKH telah mengalami metamorfosis dalam rentang waktu yang cukup lama tanpa mengubah tujuan dan substansi kebijakan itu sendiri. Perubahan yang dilakukan oleh para perumus kebijakan hanya pada tatacara permohonan izin dan penyesuain penambahan persyaratan dan kewajiban terkait dengan isu-isu yang mengiringinya. Dalam tahapan implementasi, hubungan antara pemerintah dan perusahaan pertambangan dalam kebijakan PKH diikat dalam sebuah kontrak yang berisi hak dan kewajiban kedua belah pihak. Dengan demikian kebijakan PKH merupakan bentuk hubungan prinsipal-agen P-A sebagai bentuk pemberian kewenangan kontrak pengelolaan hutan dari pemerintah sebagai prinsipal P kepada perusahaan tambang sebagai agen A. Kontrak yang dimaksud adalah IPPKH yang diberikan oleh Menteri Kehutanan atas kepercayaannya kepada sebuah perusahaan pertambangan untuk menggunakan sekaligus memanfaatkan sumberdaya tambang dan mineral yang berada di dalam kawasan hutan, baik untuk kegiatan penyelidikan umum, survei, eksplorasi maupun eksploitasi operasi produksi sekaligus mengelola kawasan hutan yang digunakan. Hubungan kontraktual tersebut tidak selamanya berjalan mulus, banyak permasalahan yang terjadi pada saat diimplementasikan di lapangan sebagai akibat dari ketidaksempurnaan kebijakan tersebut. Hubungan keagenan agency relationship adalah suatu kontrak dimana satu orang atau lebih prinsipal menugaskan orang lain agen untuk melakukan sebagian kewenangan prinsipal dan meliputi juga pendelegasian sebagian wewenang untuk mengambil keputusan Jensen dan Meckling 1986. Hubungan kemitraan antara P dan A tersebut merupakan suatu pertukaran yang kompleks sehingga mempunyai berbagai potensi permasalahan. Eisenhardt 1980 menjelaskan, hubungan P-A atau dikenal dengan teori keagenan agency theory dilandasi oleh tiga buah asumsi, yaitu: 126 1. Asumsi tentang sifat manusia, yang menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri self interest, memiliki keterbatasan rasionalitas bounded rationality dan tidak menyukai resiko risk aversion 2. Asumsi tentang keorganisasian, adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisien sebagai kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information antara prinsipal dan agen, dan 3. Asumsi tentang informasi, adalah informasi yang dipandang sebagai barang komoditi yang diperjualbelikan. Beberapa peneliti berpendapat bahwa pendekatan PA dapat dilakukan dalam ranah kebijakan Tabel 27. Tabel 27 Pendapat beberapa peneliti tentang penggunaan hubungan P-A dalam kebijakan publik No Referensi Prinsipal-agen dalam kebijakan 1. Jensen dan Meckling 1976 Teori agensi mampu menjelaskan potensi konflik kepentingan diantara berbagai pihak yang berkepentingan 2. Andvig et al 2001 Model PA merupakan kerangka analitik yang sangat berguna dalam menjelaskan masalah insentif dalam institusi publik dengan dua kemungkinan kondisi, yakni 1 terdapat beberapa prinsipal dengan masing-masing tujuan dan kepentingan yang tidak koheren dan 2 prinsipal juga bisa bertindak tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat, tetapi mengutamakan kepentingannya yang sifatnya lebih sempit. 3. Bergman dan Lane 1990 Kerangka PA merupakan pendekatan untuk menganalisis komitmen kebijakan publik karena perumusan dan pengimplementasiannya melibatkan persoalan kontraktual yang berkaitan dengan asssymetric information , moral hazard, bounded rationality, dan adverse selection . 4. Lane 2013 Model PA dapat digunakan untuk menjelaskan masalah utama dalam interaksi antara prinsipal dengan agen dalam perumusan dan implementasi kebijakan publik terkait dengan kinerja dan pelayanannya, diantaranya; 1 pemerintah sebagai prinsipal untuk agen dalam pelayanan publik; 2 masyarakat sebagai prinsipal untuk agen politik dalam berbagai bentuk pemerintahan. Secara garis besar, agency theory ditujukan untuk memecahkan dua permasalahan yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan. Pertama, masalah keagenan timbul pada saat: a keinginan-keinginan atau tujuan-tujuan dari P dan A berlawanan; dan b merupakan suatu hal yang mahal bagi P untuk memverifikasi tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh A. Kedua, adanya masalah pembagian risiko yang timbul pada saat P dan A memiliki sikap yang berbeda terhadap risiko Rungtusanatham et al 2007. Teori keagenan berfokus pada persoalan asimetri informasi, dimana agen mempunyai informasi lebih banyak tentang kinerja aktual, motivasi, dan tujuan, yang berpotensi menciptakan moral hazard dan adverse selection. P sendiri harus mengeluarkan biaya costs untuk memonitor kinerja A dan menentukan struktur insentif dan monitoring yang efisien Petrie 2002. Hubungan P-A akan efisien apabila tingkat harapan keuntungan reward kedua belah pihak seimbang dengan korbanan masing-masing serta biaya 127 transaksi sehubungan dengan pembuatan kontrak-kontrak atau kesepakatan- kesepakatan dapat diminimalkan Rodgers 1994 dalam Nugroho 2003 Selanjutnya Nugroho 2003 menjelaskan hubungan P-A yang efisien menjadi sesuatu yang kompleks untuk dipecahkan. Besarnya biaya transaksi sangat dipengaruhi oleh derajat ketidaksepadanan informasi asssymetric information , kekuasaan, kepemilikan asset endowment yang dimiliki oleh pihak yang terlibat dalam transaksi tersebut. Asssymetric information muncul karena pada umumnya pihak A menguasai informasi tentang keragaan work effort yang ada pada dirinya, sedangkan informasi tentang keragaan agen yang dimiliki oleh P umumnya sangat terbatas. Pada kondisi demikian, maka P menghadapi dua risiko yaitu risiko salah memilih agen yang sesuai dengan keinginan adverse selection of risk pada ex ante sebelum kontrak dibuat dan resiko agen ingkar janji moral hazard pada ex post setelah kontrak disepakati. Semakin tidak sepadan informasi, kekuasaan dan endowment yang dimiliki oleh para pihak yang mengadakan pertukaran, biaya transaksi ini akan semakin besar. Sementara itu menurut Ostrom et al 1993, teori dan konsep biaya transaksi menyatakan bahwa pada prinsipnya situasi biaya transaksi tinggi yang terjadi akan menyebabkan perilaku moral hazard dari para pihak yang terlibat dalam pengelolaan hutan yaitu bentuk perilaku opurtunistis atau free riding, antara lain terdiri dari perilaku sub optimal, melalaikan shirking dan pencarian rente rent seeking dan korupsi corruption. Apabila biaya transaksi dalam pemenuhan kewajiban IPPKH sangat tinggi, maka moral hazard seperti yang dikhawatirkan Ostrom et al 1993 kemungkinan besar akan terjadi. Akibatnya adalah tidak dilaksanakannya sebagian atau bahkan seluruh kewajiban yang dipersyaratkan dalam IPPKH, sehingga tujuan kebijakan PKH tidak akan tercapai. Oleh karena itu perlu dikaji teks kebijakan PKH dan implementasinya dengan monitoring dan evaluasi yang benar dan ketat. Tujuan Tujuan penelitian dalam bab ini adalah: 1. Menganalisis implementasi kebijakan PKH dengan pendekatan hubungan antara pemerintah prinsipal dan perusahaan pemegang IPPKH agen. 2. Mengidentifikasi permasalahan dan hambatan dalam implementasi kebijakan PKH. 3. Memberikan masukan kepada pemerintah dalam perbaikan kebijakan PKH. Hasil dan Pembahasan Tinjauan Agency Theory Teori Keagenan dalam Kebijakan PKH Sebagaimana disebutkan sebelumnya, bahwa pada hakekatnya IPPKH merupakan hubungan P-A antara pemerintah dan perusahaan pertambangan. Oleh karena itu, pada kajian implementasi kebijakan ini menggunakan pendekatan P-A. Menurut Jensen dan Meckling 1976, hubungan P-A adalah sebagai kontrak, dimana satu atau beberapa orang prinsipal mempekerjakan orang lain agen untuk melaksanakan sejumlah jasa dan mendelegasikan wewenang untuk mengambil keputusan kepada agen tersebut. 128 Hubungan P-A tersebut dijelaskan dalam teori keagenan agency theory yang berakar pada teori ekonomi, teori pengambilan keputusan, teori-teori sosiologi dan teori organisasi. Teori keagenan menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak P membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain A dengan harapan bahwa agen akan bertindakmelakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh P Abdullah dan Asmara, 2007. Menurut Ross 1973 contoh- contoh hubungan keagenan sangat universal. Jensen dan Meckling 1976 menjelaskan adanya konflik kepentingan dalam hubungan keagenan. Terjadinya konflik kepentingan antara prinsipal dan agen karena kemungkinan agen bertindak tidak sesuai dengan kepentingan prinsipal. Teori agensi mampu menjelaskan potensi konflik kepentingan diantara berbagai pihak yang berkepentingan dalam perusahaan tersebut. Sebagai agen, dalam hal ini perusahaan tambang, bertanggung jawab secara moral untuk mengoptimalkan keuntungan P, yaitu pemerintah. Namun demikian, agen juga menginginkan untuk selalu memperoleh kompensasi sesuai dengan kontrak. Terkait dengan kebijakan penggunaan kawasan hutan, maka teori keagenan merupakan landasan dari hubungan antara pemerintah dan perusahaan tambang yang telah memiliki izin penggunaan kawasan hutan atau izin pinjam pakai kawasan hutan IPPKH. Sedangkan IPPKH merupakan sebuah kontrak di dalam hubungan keagenan tersebut, dimana pihak pemerintah memberikan wewenang kepada perusahaan pertambangan untuk melakukan pengelolaan kawasan hutan dan membuat keputusan yang terbaik bagi pemerintah. Selain kepada perusahaan pertambangan, pemerintah pusat di dalam kebijakan PKH juga memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi kegiatan PKH di wilayah kerjanya. Pendelegasian ini juga berarti adanya hubungan P-A antara pemerintah pusat P dan pemerintah daerah A. Keputusan pemerintah pusat untuk memberikan kewenangan monitoring dan evaluasi kepada pemerintah didasarkan pada peraturan perundang-undangan pemerintahan daerah serta adanya asumsi bahwa pemerintah daerah siap dan mampu untuk melaksanakan kewenangan tersebut. Kesiapan dan kemampuan dalam implementasi kebijakan PKH oleh pemerintah daerah sangat penting karena monitoring dan evaluasi menjadi salah satu tolok ukur keberhasilan implementasi kebijakan PKH. Dalam hubungan kontraktual antara pemerintah dan perusahaan pertambangan serta pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah melibatkan berbagai pihak dalam pelaksanaannya. Para pihak tersebut diantaranya adalah: pemerintah provinsi Gubernur, Dinas Kehutanan Provinsi, Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten, pemerintah kabupaten Bupati, Dinas Kehutanan Kabupaten, Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten, Unit Pelaksana Teknis UPT di daerah BPKH, BPDASPS, BP2HP, BKSDA, dan elemen masyarakat di sekitar areal IPPKH. Sementara perusahaan pertambangan sebagai agen juga mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana yang tertuang dalam kontrak yang ditandatangni oleh Menteri Kehutanan dalam bentuk IPKKH serta mempunyai beban dan tanggungjawab untuk mengimplementasikan kebijakan PKH dengan baik dan benar. Implementasi kebijakan PKH sangat dipengaruhi oleh persepsi dan respon 129 perusahaan pertambangan terhadap hutan dan kawasan hutan, hak dan kewajiban perusahaan dalam IPPKH maupun keberlanjutankelestarian lingkungan. Respon perusahaan merupakan cerminan kepatuhannya terhadap kontrak yang telah disepakati antara pemerintah dengan perusahaan pertambangan. Respon perusahaan juga dapat menjadi sarana untuk menggali hambatan-hambatan maupun permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan dalam mengimplementasikan kebijakan PKH. Teori keagenan Eisenhardt 1989 mendasarkan pada beberapa asumsi. Pertama, asumsi tentang sifat manusia. Asumsi ini menekankan bahwa manusia selalu mengutamakan kepentingan dirinya sendiri selfinterest, selalu berupaya untuk menghindari risiko risk-aversion, dan manusia dianggap memiliki rasionalitas yang terbatas bounded rasionality. Kedua, asumsi tentang organisasi, dalam asumsi ini organisasi dianggap selalu terjadi konflik tujuan antar pihak yang berkepentingan, adanya informasi yang tidak simetris asymmetric information antara prinsipal dan agen, dan efisiensi sebagai criteria efektivitas. Ketiga, asumsi informasi adalah bahwa informasi sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan information as a purchasable commodity. Hubungan keagenan berimplikasi pada pembahasan konflik kepentingan antara agen dan prinsipal akibat adanya asymmetries of information Hart 1989. Secara garis besar, agency theory ditujukan untuk memecahkan dua permasalahan yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan. Pertama, masalah keagenan timbul pada saat: a keinginan-keinginan atau tujuan-tujuan dari prinsipal dan agen berlawanan; dan b merupakan suatu hal yang mahal bagi prinsipal untuk memverifikasi tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh agen. Kedua, adanya masalah pembagian risiko yang timbul pada saat prinsipal dan agen memiliki sikap yang berbeda terhadap risiko Rungtusanatham et al 2007. Gambar 9 Asumsi dalam agency theory teori keagenan dan permasalahan dalam kebijakan PKH Asumsi III Informasi adalah komoditas yang bisa dipertukarkan Asumsi I Sifat Manusia Bounded Rationality Self Interest Risk Aversion PROBLEMS Moral Hazard Advers Selection Transaction Cost Monitoring Asumsi II Organisasi Asymmetric Information Conflict of Interest Eficiency AGENCY THEORY Permasalahan Kebijakan PKH 130 Tujuan utama digulirkannya kebijakan PKH adalah untuk memberikan ruang bagi sektor lain di luar kehutanan untuk menggunakan dan mengambil manfaat sumberdaya yang berada di dalam kawasan hutan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Rakyat adalah tujuan akhir, namun pada hakekatnya kebijakan tersebut juga merupakan amanat dari rakyat yang harus dilaksanakan dengan bijaksana. Dalam teori keagenan, amanat dari rakyat diwujudkan secara berantai sampai dengan tujuan akhir, kemakmuran rakyat. Hubungan P-A yang terjadi dapat melalui 6 enam rantai atau tahapan, dimulai dari rakyat sebagai P yang memberikan kepercayaan kepada legiskatif A melalui pemilihan umum untuk menyusun kebijakan dan peraturan perundang-undangan pengelolaan sumber daya alam. Kemudian legilatif P memberikan kewenangannya kepada eksekutif A untuk melaksanakan kebijakan maupun peraturan perundang- undangan yang telah disusun, demikian seterusnya sampai dengan manfaat terdistribusi secara adil dan merata untuk kesejahteraan rakyat. Tabel 28 Aliranrantai panjang hubungan P-A dalam kebijakan PKH Subyek RantaiTahapan Hubungan I II III IV V VI Prinsipal Rakyat Pemilih Legislatif Eksekutif Kementerian Perusahaan Distribusi manfaat kepada rakyat pemilih Kontrak Pemilihan Umum Legislatif Konstitusi, Undang- undang Peraturan Presiden, Isntruksi Presiden Peraturan Pemerintah Izin, Surat Keputusan Menteri, Permenhut Manfaat, Pajak, Royalti, Pendapatan Negara lainnya Agen Legislatif Eksekutif Kementerian Perusahaan Eksekutif Isu-isu Hubungan Prinsipal-Agen dalam Implementasi Kebijakan PKH Menurut Eisenhardt 1989, fokus dari teori keagenan adalah pada penentuanpembuatan kontrak yang optimal, perilaku dan hasil tujuan yang diharapkan dan hubungan antara P dan A. Teori keagenan juga mengaplikasikan berbagai disiplin ilmu yang berbeda. Berbagai isu dalam teori keagenan adalah sebagaimana yang digambarkan Murphy 2007 yaitu; moral hazard, adverse selection, asymmetric information, risk preferences, transaction cost, monitoring, incentives dan contract design. 131

1. Seleksi Terhadap Agen