131
1. Seleksi Terhadap Agen
Seleksi dalam hubungan P-A merupakan tahapan awal yang sangat penting artinya bagi pelaksanaan dan keberlanjutan kontrak yang akan disepakaati
bersama. Seleksi sangat menentukan keberhasilan P dalam mencapai tujuan atau kepentingannya. Namun dalam praktiknya, seringkali P melakukan kesalahan
dalam memilih A yang sesuai untuk diberi kewenangan mengelola sumberdaya adverse selection. Petrie 2002 dan Murphy 2007 mengartikan salah pilih
sebagai kesalahan P dalam mengidentifikasi keahlian A dan ketidakmampuan P dalam memverifikasi secara lengkap kemampuan A sebelum mengambil
keputusan untuk memberikan kewenangannya kepada A.
Salah pilih mempunyai dampak yang sangat besar terhadap pelaksanaan kontrak. Peluang terjadinya ketidaksesuaian pelaksanaan risiko kegagalan
dengan kontrak yang disepakati sangat besar. Tanggunjawab P menjadi semakin besar, demikian juga dengan usaha yang harus dilakukan, terutama untuk
mengeliminir terjadinya akibat selanjutnya dalam bentuk moral hazard yang dilakukan oleh A dan menekan biaya dalam memantau pelaksanaan kontrak
monitoring cost.
Dalam implementasi kebijakan PKH, A merupakan perusahaan yang telah mendapatkan izin pengusahaan tambang dalam bentuk Kontrak Karya KK atau
Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara PKP2B dari pemerintah pusat Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral atau Izin Usaha Pertambangan
IUP dari pemerintah daerah Gubernur atau Bupati. Sehingga, seleksi terhadap kelayakan atau kemampuan A berada pada sektor lain. P justru tidak mempunyai
pilihan untuk menyeleksi A yang cakap dan sesuai untuk diberi kewenangan mengelola kawasan hutan dalam bentuk IPPKH. P akan menerima siapa saja A
dengan kemampuan dan kelayakan yang ada yang mengajukan IPPKH jika semua syarat administrasi maupun teknis yang diwajibkan oleh P dapat dipenuhi.
Peryaratan yang diwajibkan dalam proses seleksi berdasarkan Permenhut P.14Menhut-II2011 jo P.38Menhut-II2012 Jo P.14Menhut-II2013, adalah
sebagai berikut; Gambar 10 Isu-isu dalam teori keagenan Ackere 1993 dalam Murphy 2007
Incentives
Assymetric Information
Adverse Selection Moral Hazard
Risk Preferense Monitoring
Cost
PRINCIPAL
AGENT CONTRACT
132 1. Persyaratan Administratif
a.
surat permohonan yang dilampiri dengan peta lokasi kawasan hutan yang dimohon;
b.
Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi IUP EksplorasiIzin Usaha Pertambangan Operasi Produksi IUP Operasi Produksi atau
perizinanperjanjian lainnya yang telah diterbitkan oleh pejabat sesuai kewenangannya, kecuali untuk kegiatan yang tidak wajib memiliki
perizinanperjanjian;
c.
rekomendasi: - gubernur untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar
bidang kehutanan yang diterbitkan oleh bupatiwalikota dan Pemerintah; atau
- bupatiwalikota untuk pinjam pakai kawasan hutan bagi perizinan di luar bidang kehutanan yang diterbitkan oleh gubernur; atau
- bupatiwalikota untuk pinjam pakai kawasan hutan yang tidak memerlukan perizinan sesuai bidangnya; dan
d.
pernyataan bermeterai cukup yang memuat: - kesanggupan untuk memenuhi semua kewajiban dan kesanggupan
menanggung seluruh biaya sehubungan dengan permohonan; - semua dokumen yang dilampirkan dalam permohonan adalah sah; dan
- belum melakukan kegiatan di lapangan dan tidak akan melakukan kegiatan sebelum ada izin dari Menteri.
2. Persyaratan Teknis a. rencana kerja penggunaan kawasan hutan dilampiri dengan peta lokasi
skala 1:50.000 atau skala terbesar pada lokasi tersebut dengan informasi luas kawasan hutan yang dimohon;
b. citra satelit terbaru dengan resolusi detail 15 lima belas meter atau resolusi lebih detail dari 15 lima belas meter dan hasil penafsiran citra
satelit dalam bentuk digital dan hard copy yang ditandatangani oleh pemohon dengan mencantumkan sumber citra satelit dan pernyataan
bahwa citra satelit dan hasil penafsiran benar;
c. AMDAL yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang, kecuali untuk kegiatan yang tidak wajib menyusun AMDAL, sesuai peraturan
perundang-undangan atau dokumen lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan dan disahkan oleh instansi yang berwenang; dan
d. pertimbangan teknis Direktur Jenderal yang membidangi Mineral Batubara dan Panas Bumi pada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
untuk perizinan kegiatan pertambangan yang diterbitkan oleh gubernur atau bupatiwalikota sesuai kewenangannya, memuat informasi antara lain
bahwa areal yang dimohon di dalam atau di luar WUPK yang berasal dari WPN dan pola pertambangan.
Dari persyaratan yang diwajibkan tersebut di atas, P tidak melakukan
seleksi dengan melakukan penilaian kemampuan atau kelayakan secara teknis dalam bidang kehutanan. P hanya melakukan seleksi terhadap kelengkapan
persyaratan administratif yang diajukan oleh A, meskipun dalam Permenhut P.14Menhut-II2011 jo P.38Menhut-II2012 Jo P.14Menhut-II2013 disebutkan
adanya syarat teknis, namun persyaratan tersebut tidak menunjukkan adanya seleksi terhadap kemampuan teknis yang dimiliki A. Persyaratan teknis tersebut
133 hanya kelengkapan adminsitratif yang bersifat teknis, sehingga pada hakekatnya
semua persyaratan yang diwajibkan oleh P merupakan persyaratan adminstratif. Hubungan P-A dalam kebijakan PKH merupakan hubungan yang unik,
karena hubungan P-A ini berbeda dengan hubungan P-A pada penerapan teori keagenan pada umumnya. Hubungan P-A dibangun atas dasar kebutuhan P yang
mempunyai kepentingan atau tujuan terhadap sesuatu hal yang kemudian memberikan kepercayaan kepada pihak lain A untuk melakukan pekerjaan
tersebut dengan harapan dapat mencapai tujuan yang ingin dicapai oleh P. Sedangkan hubungan P-A dalam kebijakan PKH lebih pada adanya permintaan
dari A yang mempunyai kepentingan atau tujuan untuk mengeksploitasi bahan tambang yang berada di dalam kawasan hutan dengan mengajukan permohonan
kepada P untuk mengabulkan permintaan A tersebut.
Situasi hubungan P-A tersebut membawa 2 dua konsekuensi. Pertama, P tidak mempunyai pilihan A yang lain untuk bisa menyeleksi kemampuan A.
Kedua, A tidak mempunyai kesempatan atau ‗hak‘ untuk menolak kontrak yang diajukan oleh P. A mau tidak mau menerima kontrak yang telah disusun oleh P.
Ketiadaan pilihan bagi P mempunyai dampak yang sangat besar terhadap kinerja kelembagaan yang terbentuk selama implementasi kebijakan PKH, terutama pada
pemenuhan kewajiban A selama menjalankan kontrak. 2.
Hubungan Kontraktual
Pada dasarnya permasalahan keagenan dipicu oleh adanya konflik perbedaan kepentingan antara prinsipal dengan agen.
Permasalahan tersebut dapat dieliminr dengan menyusun kontrak yang baik untuk mendekatkan
kepentingan P dan A. Kontrak seharusnya dapat disusun dengan mempertimbangkan segala aspek yang dapat memacu peningkatan kinerja dan
menguatkan komitmen A untuk memenuhi tujuan yang diinginkan P. Kontrak juga dapat meminimasi kemungkinan A melakukan penyimpangan perilaku dalam
kinerjanya.
P selalu memiliki harapan bahwa A dapat memenuhi kepentingannya. Di satu pihak, kegagalan menyusun kontrak akan menimbulkan sikap oportunis pada
diri A. Opportunism adalah suatu sikap, perilaku ataupun tindakan yang bertujuan untuk mencari keuntungan demi kepentingan sendiri dengan cara yang tidak
dibenarkan, curang atau melanggar ketentuan yang telah ditentukandisepakati.
Sikap opportunist A timbul dalam bentuk melalaikan atau menghindari kewajiban dan tanggungjawab danatau melakukan kegiatan lain secara tidak sah illegal
yang merugikan P. Di sisi lain, A juga berusaha untuk menyejahterakan dirinya
sendiri dengan sumberdaya yang tersedia. A tidak akan menerima kontrak yang diajukan oleh P jika tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadikan dirinya
lebih sejahtera. Dengan demikian masalah keagenan muncul karena ketidaksempurnaan kontrak yang disepakati oleh kedua belah pihak.
Menurut Eisenhardt 1989, fokus teori keagenan terdapat pada penentuan kontrak yang optimal. Dalam implementasi kebijakan PKH, hubungan P-A juga
merupakan hubungan kontraktual antara keduanya. Kontrak yang dibuat oleh P dalam bentuk hak dan kewajiban yang termaktub dalam SK Menteri Kehutanan
tentang izin pinjam pakai kehutanan disepakati oleh A given contract. P telah menyusun desain kontrak sedemikian rupa yang didominasi oleh kewajiban-
134 kewajiban yang harus dilaksanakan oleh A dengan harapan dapat dipenuhi
sehingga mencapai tujuan yang diinginkan P. kewajiban-kewajiban tersebut dimaksudkan untuk membatasi luas dan mengendalikan kerusakan serta
pemulihan atas kawasan hutan yang dipinjampakai.
Dalam model keagenan dirancang sebuah sistem yang melibatkan kedua belah pihak, sehingga diperlukan kontrak yang jelas dan terkontrol antara P dan A.
Model hubungan P-A juga diharapkan dapat memuaskan serta menjamin A untuk menerima incentives dari hasil aktivitas pengelolaan sumberdaya tambangnya
sekaligus keberadaan kawasan hutannya.
Dalam kontrak yang disepakati A disebutkan bahwa P memberikan hak kepada A untuk :
a. berada, menempati dan mengelola serta melakukan kegiatan-kegiatan yang meliputi kegiatan operasi produksi batubara dan sarana penunjangnya, serta
melakukan kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan itu dalam kawasan hutan yang dipinjam pakai;
b. memanfaatkan hasil kegiatan yang dilakukan sehubungan dengan kegiatan operasi produksi batubara dan sarana penunjangnya, pada kawasan hutan yang
dipinjam pakai. c. melakukan penebangan pohon dalam rangka pembukaan lahan dengan
membayar penggantian nilai tegakan, provisi sumber daya hutan dan atau dana reboisasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dan mewajibkan A untuk: a. membayar PNBP Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman
dalam rangka rehabilitasi daerah aliran sungai dengan ratio 1:1 ditambah dengan luas rencana areal terganggu dengan kategori L3;
b. melaksanakan reklamasi dan reboisasi pada kawasan hutan yang sudah tidak dipergunakan tanpa menunggu selesainya jangka waktu izin pinjam pakai
kawasan hutan; c. membayar PSDH, DR dan penggantian nilai tegakan, dan kewajiban keuangan
lainnya pada hutan alam di luar areal IUPHHK-HAHT sesuai peraturan perundang-undangan.
d. melakukan pemeliharaan batas pinjam pakai kawasan hutan; e. melaksanakan perlindungan hutan sesuai peraturan perundang-undangan;
f. memberikan kemudahan bagi aparat kehutanan baik pusat maupun daerah pada
saat melakukan monitoring dan evaluasi di lapangan; g. menanggung seluruh biaya sebagai akibat adanya pinjam pakai kawasan hutan;
h. mengembangkan ekonomi berkelanjutan masyarakat dan memberdayakan masyarakat disekitar areal pinjam pakai kawasan hutan;
i. melaksanakan inventarisasi tegakan sebelum dilakukannya pembukaan lahan pada areal izin pinjam pakai kawasan hutan sesuai tahapan pelaksanaan
kegiatan dengan intensitas 100; j. mengkoordinasikan kegiatan kepada instansi kehutanan setempat;
k. menyerahkan rencana kerja pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf i, selambat-lambatnya 100 seratus hari kerja
setelah ditetapkan keputusan izin pinjam pakai kawasan hutan, dan
l.
membuat laporan pemenuhan kewajiban yang ditetapkan dalam izin secara berkala setiap 6 enam bulan;
135 Untuk mengatasi masalah keagenan, teori hubungan keagenan
mengidentifikasi dan menentukan pilihan antara dua tipe kontrak formal untuk mengendalikan hubungan P-A, pertama kontrak yang berdasarkan perilaku A
behavioral based contract; dan kedua kontrak yang berdasarkan hasil akhir atau outcome
outcome based contract. Dalam kaitan ini ketepatan pemilihan kontrak merujuk efisiensi pertukaran antara: a biaya perolehan informasi untuk
memonitor perilaku A, dan b biaya untuk menentukan outcome dan memindahkan risiko ke A.
Rungtusanathan et al 2007 menggambarkan karakteristik kedua tipe kontrak yang disepakati sebagaimana matrik dalam tabel di bawah ini dengan
membandingkan hasil kajian terhadap kontrak dalam IPPKH selama penelitian. Tabel 29 Matrik perbandingan karakteristik kontrak berdasarkan perilaku dan
hasil akhir.
No Indikator Yang Menentukan
Hubungan P-A Behavior Based
Contract Outcome Based
Contract PPKHs Contract
1 Biaya perolehan informasi
Asymmetric information Rendah
Tinggi Relatif
Tinggi
2 Ketidakpastian hasil akhir
Outcome Uncertanty
Tinggi
Rendah
Tinggi
3 Kesulitan dalam pengukuran
outcome
Relatif sulit
Relatif mudah
Relatif mudah
4 Penghindaran risiko agen
terhadap prinsipal risk aversion
Tinggi
Rendah Tinggi
5 Konflik tujuan antara prinsipal
dan agen Rendah
Tinggi Tinggi
6 Pendekatan insentif-disinsentif
Prinsipal dan Agen memiliki kesamaan
penilaian bahwa agen berhak
memperoleh kompensasi dan
reward sesuai
dengan ketentuan Prinsipal
memberikan reward
agen berdasarkan
kemampuan produktivitas
Prinsipal dan agen tidak memiliki kesamaan
penilaian terhadap adanya reward dan
kompensasi, Prinsipal juga tidak memberikan
reward apapun atas
kinerja agen 7
Biaya transaksi pelaksanaan kontrak transaction cost
- -
Relatif Tinggi 8
Peluang agen melakukan moral hazard
- -
Tinggi 9
Kemudahan implementasi contract implementastion
- -
Sulit Sumber :
= Diadaptasi dari Rungtusanathan et al 2007 dalam Sarwoko 2010 = Penilaian peneliti berdasarkan hasil interpretasi selama penelitian dan observasi lapangan
Jika menganalisis dan membandingkan kontrak IPPKH dengan indikator yang dikemukan oleh Rungtusanatham et al 2007 pada Tabel 29, maka kontrak
IPPKH cenderung tidak mengikuti model kedua kontrak tersebut. Pada kenyataannya, P tidak mempunyai kemampuan untuk mengawasi perilaku A,
136 demikian juga outcome yang diinginkan tidak seperti yang diinginkan oleh P.
Hasil penilaian terhadap respon A dalam implementasi kontrak IPPKH menunjukkan bahwa hampir semua kewajiban A tidak dilaksanakan dengan baik
sesuai kontrak IPPKH. Kondisi tersebut tidak seperti yang dikemukakan oleh Sarwoko 2010, dimana ketika P mempunyai kecukupan untuk memperoleh dan
menganalisis informasi yang digunakan untuk memonitor perilaku agen dengan biaya yang efisien, maka behavioral based contract menjadi pilihan.
Dalam kenyataan, P tidak mempunyai kemampuan untuk mengawasi perilaku A, demikian juga hasil akhir yang diinginkan tidak seperti yang
diinginkan oleh P. Hasil penilaian terhadap respon A dalam implementasi kontrak IPPKH menunjukkan bahwa hampir semua kewajiban A tidak dilaksanakan
dengan baik sesuai kontrak IPPKH maupun peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selama proses mengkaji kontrak IPPKH, teridentifikasi indikator-
indikator lainnya yang menjadi karakteristik tersendiri dalam kontrak IPPKH selain indikator yang telah disusun oleh Rungtusanathan et al 2007 tersebut.
Indikator-indikator tersebut adalah; biaya transaksi pelaksanaan kontrak, peluang A melakukan moral hazard dan kemudahan implementasi kontrak.
Menurut Nielsen dan Tierney 2003, P dapat menyusun kontrak dimana mereka dapat melakukan taktik atau stategi untuk memodifikasi perilaku A.
Untuk mendisain hubungan P-A yang efisien, kontrak sebaiknya bersifat self- enforcing
. Yaitu, kontrak dapat memaksa atau menekan sifat mementingkan diri sendiri yang ada pada A untuk mematuhi apa yang diharapkandiinginkan P. P
harus memiliki setidaknya empat cara untuk merancangmendesain kontrak yang efisien dan memiliki self-enforcing untuk membatasi kecurangan yang mungkin
akan dilakukan oleh A. Pertama, P dapat dengan hati-hati menyaring potensi yang dimiliki A ketika hendak melakukan kesepatakan. Seperti melakukan mekanisme
penyaringan dan seleksi mungkin dapat dilakukan oleh P kepada A yang mempunyai ketertarikan atau keinginan yang sama seperti apa yang diinginkan
oleh P. Kedua, P dapat memonitormemantau kegiatan A, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketiga, P dapat menyusun kontrak yang di dalamnya
memuat pasal-pasal yang dapat meningkatkan kredibilitas P dan komitmen A, seperti adanya sanksi dan penghargaan bagi A. Keempat, P dapat
membandingkan kinerja antara dua atau lebih A. Jika rancangan tersebut sesuai, cara memperbandingkan tersebut dapat mengumpulkan informasi tentang perilaku
A dan juga dapat menghalangi perilaku A yang akan merusak kinerjanya.
Jika mengacu pada saran Nielson dan Tierney 2003 tersebut di atas, setidaknya dua cara telah dilakukan oleh kementerian kehutanan dalam menyusun
kontrak IPPKH,
yaitu kontrak
telah berisi
aturan main
untuk memonitormemantau pelaksanaan kegiatan A, baik secara langsung maupun
tidak langsung. Kontrak juga telah memuat aturan-aturan atau pasal-pasal yang dapat meningkatkan komitmen A, seperti adanya sanksi. Namun, kontrak belum
dapat dipatuhi oleh A sepenuhnya yang disebabkan oleh lemahnya pengawasan P terhadap kinerja A, ketiadaan instrument insentif dan lemahnya penegakan
hukum. Sementara untuk menilai kinerja A dan membandingkannya dengan A lainnya, sampai saat ini belum dilakukan. Penilaian kinerja tersebut juga dapat
menjadi sebuah sarana atau motivasi untuk meningkatkan komitmennya, terlebih jika ada insentif kinerja untuk A.
137
3. Asymmetric Information Ketidaksepadanan Informasi