Isu-isu Kunci Kebijakan Implementasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pertambangan Perspektif Hubungan Principal Agent

51 dengan harapan para perumus kebijakan. Namun pada kenyataannya, harapan itu masih jauh panggang dari api. Kebijakan tetap digulirkan dan dilaksanakan, sumber daya tambang digali dan dieksploitasi, sementara sumber daya hutan semakin terdegradasi dan terdeplesi.

3. Isu-isu Kunci Kebijakan

Diterbitkannya 3 tiga Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing, Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan Undang- undang Pokok Pertambangan pada waktu yang hampir bersamaam tahun 1967 merupakan salah satu upaya pemerintah untuk sesegera mungkin melaksanakan pembangunan di segala bidang. Isu yang santer saat itu adalah kebijakan yang diambil oleh pemerintah saat itu yaitu pertumbuhan ekonomi. Hampir semua pembangunan yang dijalankan oleh pemerintah berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Sehingga kekayaan negara dalam bentuk sumberdaya alam diekploitasi untuk menghasilkan pendapatan negara baik dari minyak dan gas bumi maupun sektor-sektor lainnya. Adanya momentum perubahan UU Nomor 5 Tahun 1967 menjadi UU Nomor 41 Tahun 1999 menyebabkan adanya konflik kepentingan antara sektor kehutanan dan pertambangan terkait dengan kegiatan pertambangan di dalam hutan. Isu-isu yang mengemuka pada saat digulirkannya kebijakan penggunaan kawasan hutan diantaranya adalah lahan kompensasi dan PNBP sebagai penggantinya dan kewajiban pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan kepada pemegang IUPHHK-HAHT. Setelah lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2008 yang kemudian disusul dengan perangkat perundangan di bawahnya yaitu Permenhut Nomor P.56Menhut-II2008 yang mengatur tata cara pembayaran PNBP untuk izin pinjam pakai kawasan hutan. Sejatinya PNBP merupakan pajak atas kerusakan yang diakibatkan oleh operasionalisasi pertambangan di dalam kawasan hutan, bukan pajak atas luasan lahan yang dipinjam pakai oleh perusahanaan pertambangan 16 . Kewajiban pembayaran PNBP merupakan hasil akhir dari upaya pemerintah cq Kementerian Kehutanan untuk mendapatkan dana pengganti bagi pemulihan kawasan hutan. Diawali dari ide pengenaan PNBP bagi pemegang izin yang tidak dapat menyediakan lahan pengganti, sebagaimana yang termaktub dalam Permenhut P.14Menhut-II2006 pasal 17 ayat 3 yang berbunyi : ―… Apabila dalam jangka waktu 2 dua tahun pemohon pinjam pakai kawasan hutan tidak dapat menyerahkan lahan kompensasi, maka khusus untuk pinjam pakai kawasan hutan yang bersifat komersial lahan kompesasi diganti dengan dana yang dijadikan Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP Departemen Kehutanan yang besarnya 1 dari nilai harga per satuan produksi dari seluruh jumlah produksinya…‖ Klausul tersebut menuai protes dari kalangan pengusaha tambang maupun organisasi profesi yang bergerak di sektor pertambangan. Para pengusaha 16 Hasil wawancara tanggal 24 Juli 2013 Pukul 09.05 dengan Ir. Soetrisno, MM Mantan Kepala Pusat Wilayah Pengelolaan Kawasan Hutan Periode 2006-2009 dan Mantan Direktur Jenderal Planologi Periode 2009-2010 52 berpendapat bahwa pemenuhan kewajiban untuk menyediakan lahan kompensasi sangat sulit untuk dipenuhi dan akan memakan waktu yang sangat lama, sementara operasi produksi tambang mereka harus segera dilakukan mengingat investasi yang telah ditanamkan sangat besar. Pendapat tersebut dipertegas oleh Soetrisno 17 sebagai berikut: ―…bottle necking di kehutanan sangat dianggap sangat serius pada jaman Pak Yusuf Kalla, biaya transaksi untuk mengurus luar biasa besarnya karena harus pakai lahan kompensasi, itu luar biasa karena ganti rugi tanah tidak mudah, harus melewati dari ketua RT sampai dengan preman- preman, akhirnya kita hilangkan, itu motong moral hazard yang luar biasa. Kemudian dalam perjalananya setelah tidak ada lahan pengganti betul- betul meningkat tambang itu luar biasa, signifikan…‖ Pengusaha pertambangan juga merasa keberatan dengan klausul kewajiban untuk memperoleh izin dari pemegang IUPHHK-HAHT pada wilayah pertambangan yang arealnya terdapat di dalam kawasan hutan yang telah memiliki izin usaha pemanfaatan hasil hutan. Kewajiban ini menimbulkan praktik land trading, yaitu adanya praktik dari oknum pemegang IUPHHK-HAHT yang mencari keuntungan dengan meminta sejumlah persyaratan diantaranya adalah bagi hasil per satuan produksi terhadap hasil tambang dalam kawasan hutan, mengganti rugi kawasan hutan per satuan luas, mengganti hasil hutan dengan nilai yang tidak wajar, atau mengganti sewa prasarana jalan yang sudah dibangun oleh pemegang IUPHHK-HAHTIsu tersebut segera dieliminir oleh pemerintah dengan menghilangkan persyaratan yang terdapat dalam pasal 7 butir a Permenhut P.14Menhut-II2006 yang berbunyi : ―… dalam hal kawasan hutan yang dimohon berada di dalam wilayah kerja Perum Perhutani atau telah dibebani Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IUPHHK pada hutan alam atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IUPHHK pada hutan tanaman, maka harus mendapat pertimbangan teknis dari Perum Perhutani atau pernyataan tidak keberatan dari pemegang izin yang bersangkutan…‖ Klausul tersebut kemudian diubah dalam Permenhut P.64Menhut-II2006 yang bunyinya menjadi : ―… dalam hal kawasan hutan yang dimohon telah dibebani Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IUPHHK pada hutan alam atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IUPHHK pada hutan tanaman, maka Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan memberikan pertimbangan teknis dengan memperhatikan pengurangan produksi kayu atau bukan kayu setinggi-tingginya 10 dari rencana kelestarian pengelolaan hutan dan disertai pembebanan kewajiban kepada pemohon untuk meningkatkan produktifitas hutan pada areal kerja unit pengelolaan hutan tersebut...‖ 17 Wawancara dilakukan pada tanggal 19 Juli 2013 Pukul 15.50 53 Namun permasalahan yang dikeluhkan oleh para pengusaha pertambangan tidak sampai pada persoalan perlu tidaknya izin dari pemegang IUPHHK, namun lebih jauh lagi pada nilai ganti rugi nilai tegakan dan biaya investasi yang harus dibayarkan kepada pemegang IUPHHK. Pada kubu yang berseberangan, pengusaha pemegang izin konsesi pengusahaan hutan membantah keras tudingan para pelaku usaha pertambangan bahwa mereka bersikap seperti dituduhkan pengusaha-pengusaha pertambangan. Justru para pelaku usaha pertambangan harusnya rela mengeluarkan dana karena itu demi kepentingan bersama. Tudingan soal adanya ‗pemalakan‘ oleh pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu IUPHHK kepada pengusaha pertambangan sejatinya adalah isu lama. Namun, kisah tersebut rupanya masih berlanjut hingga kini. Tidak heran jika Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia Apemindo Poltak Sitanggang masih mengeluhkan situasi tersebut 18 . Menurut Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia APHI, Purwadi Soeprihanto 19 : ― … penggantian nilai investasi pada areal yang terkena beban izin pinjam pakai kawasan hutan sejatinya adalah hal yang wajar. Karena kami sudah menanamkan investasi yang tidak sedikit di situ. Pengusaha tambang harus tahu diri juga, penggantian investasi IUPHHK jangan dianalogikan sebagai pemalakan atau mengutip dana terhadap pengusaha pertambangan. Tentu tidak pas jika istilahnya seperti itu …‖ Purwadi Soeprihanto menjelaskan bahwa pemegang IUPHHK dengan tangan terbuka bisa menerima adanya kegiatan pertambangan di areal pengelolaannya. Meski kegiatan pertambangan tersebut harus diakui memberi pengaruh besar terhadap perencanaan kelestarian pengelolaan hutan. Oleh sebab itu, para pelaku usaha pertambangan diminta untuk bisa memahami kegiatan operasi kegiatan pengusahaan hutan, khususnya terkait kelestarian hutan. Akan lebih baik kalau pengusaha pertambangan bisa bersama dengan kami saling mendukung pengelolaan hutan lestari demi kemakmuran bangsa. Saling dukung juga diminta APHI terkait penggunaan jalan logging untuk kegiatan pertambangan. Purwadi meminta agar pengusaha pertambangan mau berbagi beban biaya pemeliharaan jika jalan logging yang dibangun tersebut dimanfaatkan untuk kegiatan pertambangan. Semakin banyak yang menggunakan tentu semakin membutuhkan biaya pemeliharaan. Pada kenyataannya, teridentifikasi adanya praktik ‗pemaksaan‘ terhadap sebuah perusahaan pertambangan di Provinsi Kalimantan Selatan yang telah memiliki izin pinjam pakai kawasan hutan dimana wilayah tambangnya berada di sebuah IUPHHK-HT oleh pemilik IUPHHK-HT. Pemegang IUPHHK-HT tersebut membuat MoU dengan pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan terkait dengan penggunaan jalan logging yang berada di areal kerjanya sepanjang kurang lebih 2 km dengan kewajiban menyisihkan US 1.2 setiap ton produksi 18 Majalah Agroindonesia. 2013 April 2. Tambang harusnya tahu diri. Diakses di http:agroindonesia.co.id20130402tambang-harusnya-tahu-diri pada tanggal 12 Januari 2014 19 ibid 54 bahan tambang yang dikapalkan. Menurut pengakuan staf perusahaan tambang tersebut, rata-rata produksi yang bisa dikapalkan adalah 385.000 ton, sehingga dengan perhitungan sederhana setiap tahunnya perusahaan tambang tersebut harus menyetorkan ‗biaya pemeliharaan‘ kepada pemegang IUPHHK-HT tersebut sebesar kurang lebih 66,528 milyar rupiah dengan asumsi nilai US 1 adalah Rp. 12.000,-. Perusahaan tambang juga mengeluhkan kenyataan di lapangan bahwa perusahaan pemegang IUPHHK-HT tersebut tidak melakukan kegiatan pemeliharaan jalan sebagaimana perjanjian diantara mereka, sehingga perusahaan tambang tersebut terpaksa harus melakukan pemeliharaan logging tersebut demi kelancaran dan kelangsungan produksinya 20 . Menyikapi pendapat para pengusaha yang diwakili oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia APHI, Purwadi Soeprihanto dan ditemukannya fakta di lapangan yang bertolak belakang, rasanya perlu dicarikan jalan keluarnya, mengingat di satu sisi pemegang IUPHHK-HAHT perlu diperhatikan keberadaannya di sisi lain terdapat praktik-praktik kotor yang jamak dilakukan oleh oknum-oknum pemegang IUPHHK-HAHT. Pemerintah tidak dapat mengontrol semua hal yang terkait dengan implementasi kebijakan penggunaan kawasan hutan di lapangan, namun pemerintah bisa mengantisipasi atau meminimasi dampak negatif dari kebijakan yang telah digulirkan. Untuk mencermati isu-isu lain yang berkembang, tindak lanjut pemerintah dalam menanggapi isu dan produk kebijakan yang kemudian dikeluarkan pemerintah secara lengkap dapat dilihat dalam matriks pada Tabel 7. Tabel 7 Matriks perkembangan isu, tindak lanjut dan produk kebijakan penggunaan kawasan hutan No Isu 21 Tindak Lanjut Produk Kebijakan 1 Pertumbuhan ekonomi Eksploitasi sumberdaya alam untuk percepatan pembangunan di segala bidang - UU Nomor 1 Tahun 1967 jo UU 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing, - UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kehutanan - UU Nomor 11 Tahun 1967 Pokok Pertambangan dan Undang-undang - UU Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri 2 Sebagian besar wilayah pertambangan berada di dalam kawasan hutan Pengaturan penggunaan kawasan hutan untuk sektor lain untuk optimalisasi pemanfaatan sumberdaya alam - Inpres Nomor 1 Tahun 1976 - SK Dirjen Kehutanan Nomor 64KptsDJI78 Tanggal 23 Mei 1978 3 Pertambangan di dalam kawasan hutan lindung Di izinkan hanya dengan pola penambangan tertutup tambang bawah tanah underground mining - Perpu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 - Permenhut Nomor P.12Menhut-II2004 tentang tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk Kegiatan Pertambangan - Perpres RI Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung untuk 20 Berdasarkan hasil Diskusi dan Observasi Lapangan tanggal 23-27 Oktober 2013 21 Berdasarkan hasil wawancara, studi literature dan pengalaman penulis selama menjadi staffpegawai di Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan, Direktorat Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan tahun 2006-2009. 55 Penambangan Bawah Tanah Lanjutan Tabel 7. No Isu 22 Tindak Lanjut Produk Kebijakan 4 Kebijakan energi nasional Optimalisasi pemanfaatan sumber-sumber energi dan pertambangan PP Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional Permenhut Nomor P.14Menhut-II2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan 5 Land trading 23 yang disebabkan oleh kewajiban pemohon izin pinjam pakai kawasan hutan memperoleh izin dari pemegang IUPHHK Pemerintah mengganti kewajiban adanya izin dari pemegang IUPHHK dengan MoU antara kedua belah pihak Permenhut P.64Menhut-II2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14Menhut- II2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan 6 Sulitnya mencari lahan pengganti kompensasi Pengganti lahan kompensasi berupa lahan kompesasi diganti dengan dana yang dijadikan Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP Departemen Kehutanan yang besarnya 1 dari nilai harga per satuan produksi dari seluruh jumlah produksinya Permenhut P.64Menhut-II2006 tentang Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14Menhut- II2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan 7 Pengganti lahan kompensasi berupa lahan kompesasi diganti dengan dana yang dijadikan Penerimaan Negara Bukan Pajak PNBP Departemen Kehutanan yang besarnya 1 dari nilai harga per satuan produksi dari seluruh jumlah produksinya Pembahasan penetapan besaran PNBP sebagai pengganti lahan kompensasi untuk pinjam pakai kawasan hutan bersama Kementerian Perekonomian dan Kementerian ESDM - PP Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan pajak yang Berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan untuk Kepentingan Pembangunan di Luar Kegiatan yang Berlaku pada Departemen Kehutanan - Permenhut Nomor P.56Menhut-II2008 tentang Tentang Tata Cara Penentuan Luas Areal Terganggu dan Areal Reklamasi dan Revegetasi untuk Perhitungan Penerimaan Negara Bukan Pajak Penggunaan Kawasan Hutan 8 Adanya batasan luas pada kawasan hutan yang telah memiliki IUPHHK sangat membatasi ruang gerak kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan Perubahan proporsi luas izin pinjam pakai kawasan hutan yang diperbolehkan di dalam kawasan hutan yang telah memiliki IUPHHK Permenhut P.43Menhut-II2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan 9 Jangka waktu izin pinjam pakai kawasan hutan yang terlalu pendek Disesuaikan dengan masa berlaku izin pertambangan Permenhut P.43Menhut-II2006 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan 10 Degradasi kawasan hutan dan REDD+ Moratorium izin pinjam pakai kawasan hutan - Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut - Inpres Nomor 6 Tahun 2013 tentang Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer 22 Berdasarkan hasil wawancara, studi literature dan pengalaman penulis selama menjadi staffpegawai di Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan, Direktorat Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan tahun 2006-2009. 23 Perilaku oknum pemegang IUPHHK yang melakukan pungutan kepada pemegang IPPKH atas kawasan hutan yang dipinjam pakai 56 dan Lahan Gambut : memperpanjang penundaan untuk masa waktu 2 tahun ke depan Dalam perkembangannya, muncul isu-isu lainnya terkait dengan implementasi kebijakan penggunaan kawasan hutan di lapangan, yaitu : - Kelestarian pada areal kawasan hutan yang telah memiliki IUPHHK - Kenaikan tarif PNBP penggunaan kawasan hutan - Kewajiban rehabilitasi DAS dan sulitnya mencari areal rehabilitasi DAS. - Uji Materi Permenhut terkait dengan pembatasan luas IPPKH dalam satu wilayah pengelolaan kawasan hutan maksimal 10 Kasus Kalsel

4. Proses Pembentukan Kebijakan