73 tahun 2004 hingga saat ini mendorong Kementerian Kehutanan membentuk
lembaga khusus setingkat eselon II di Ditjen Planologi yang mengurusi pinjam pakai kawasan hutan, yaitu Direktorat PKH pada tahun 2010. Selanjutnya,
direktorat ini yang akhirnya mengakomodir dan memfasilitasi perumusan perubahanperbaikan kebijakan PKH.
Selama ini proses perumusan kebijakan PKH terkesan dilakukan oleh kementerian kehutanan sendiri tanpa melibatkan aktorpihak lainnya. Hal tersebut
yang mengakibatkan
kurang efektifnya
kebijakan tersebut
dalam pengimplementasiannya. Perbedaan latar belakang teknis antara perumus
kebijakan dan pelaksana utama di lapangan menimbulkan gap dalam pelaksanaan di lapangan. Perumus kebijakan menganggap bahwa pemegang
IPPKH telah mengerti teknik pengelolaan hutan dan mampu melaksanakannya di lapangan. Sementara perusahaan pemegang IPPKH lebih fokus pada teknis
pertambangannya. Kebijakan PKH masih perlu penyempurnaan dengan memperhatikan teknik dan praktik-praktik pertambangan di lapangan, melakukan
kajian akademis, serta melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan sehingga tidak lagi terdapat perbedaan interpretasi dan sejalan dengan tujuan untuk
menyeimbangkan manfaat ekonomi, lingkungan dan sosial.
2. Ketepatan Pelaksana
Pelaksana implementor dalam kebijakan PKH didominasi oleh pemerintah pusat dalam proses analisis permohonan sampai dengan diterbitkannya
IPPKH. Pemerintah pusat juga melakukan kontrol yang dilakukan oleh unit pelaksana teknis UPT yang berada di daerah seperti BPKH, BPDAS dan BP2HP
yang semuanya berperan aktif sebagai implementor pendukung. Sementara untuk kegiatan evaluasi dan monitoring kewenangan pemerintah pusat di delegasikan
kepada pemerintah provinsi evaluasi dan pemerintah kabupaten monitoring.
Implementor utama dalam pelaksanaan kebijakan PKH ini adalah perusahaan pertambangan yang telah memiliki IPPKH. Keberhasilan
implementasi kebijakan sangat ditentukan oleh kinerja semua pihak. Sinergi antara pemerintah dan pemegang IPPKH diharapkan dapat meningkatkan
efektifitas implementasi kebijakan.
3. Ketepatan Target
Bisa dikatakan bahwa kebijakan PKH merupakan kebijakan yang sangat spesifik. Bahkan dalam proses penelusuran literatur belum ditemukan terminologi
dan kebijakan PKH di negara lain. Di Nepal, terminologi pinjam pakai kawasan hutan atau pinjam pakai kawasan hutan leasehold forestland digunakan untuk
sebuah program atau proyek kehutanan yang pro-poor. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kehidupan masyarakat di sekitarnya melalui mekansime
pinjam pakai kawasan hutan kepada kelompok-kelompok kecil, terutama untuk masyarakat miskin Thorms et al 2006. Di Nepal, leasehold forests merupakan
salah satu klas tersendiri dari lima kelas yang disusun oleh pemerintah. Kelas hutan tersebut adalah : National Forests, Community Forests, Leasehold Forests,
Private Forests and Protected or Religious Forests Wagley dan Ojha 2002. Menurut Wagley dan Ojha 2002:
74
―…leasehold forests are form part of national forests and are leased out to communities or to groups of people below the poverty line, or to any
organization that promotes forest development and environmental protection
…‖ Dari definisi konsep pinjam pakai di Nepal tersebut di atas jelas berbeda
dengan konsep yang saat ini diimplementasikan di Indonseia. Konsep yang hampir mirip dengan pinjam pakai di Indonesia adalah kebijakan diversi kawasan
hutan untuk kegiatan pertambangan di India, namun belum ditemukan literatur tentang kebijakan mekanismenya di negara tersebut. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa kebijakan PKH di Indonesia sangat spesifik dan tidak menduplikasi kebijakan lain dalam pengelolaan hutan. Namun, apakah kebijakan ini
bertentangan dengan kebijakan lain atau tidak, rasanya perlu pembahasan yang lebih mendalam. Merunut kembali sejarah dan perkembangan kebijakan PKH
pada bagian chapter sebelumnya, kebijakan ini merupakan kebijakan yang bisa dikatakan win-win solution. Mengingat hingga saat ini belum ada alternatif
kebijakan lain yang pro-environment sekaligus pro-investment pro-growth.
Kebijakan PKH merupakan kebijakan yang telah lama digulirkan oleh pemerintah, terhitung sejak diterbitkannya SK Dirjen Kehutanan Nomor
64KptsDJI1978 tentang Pedoman Pinjam Pakai Tanah Kawasan Hutan. Saat itu mekanisme yang digunakan adalah perjanjian pinjam pakai antara kementerian
pertanian kementerian kehutanan dan kementerian pertambangan dan energi. Dengan demikian seharusnya tidak ada alasan bagi PKH di luar sektor kehutanan
yang tidak mengetahui kebijakan tersebut. Jika saat itu, pemohon pinjam pakai kawasan hutan mengajukan permohonan melalui kementerian pertambangan dan
energi, saat ini pemohon bisa langsung mengajukan kepada menteri kehutanan. Kebijakan PKH telah diketahui oleh semua pihak, terlebih dengan adanya polemik
PKH di dalam hutan lindung menjadikan kebijakan ini semakin dikenal dan diketahui oleh berbagai pihak.
Meskipun pada prinsipnya para pemohon IPPKH telah mengetahui kebijakan PKH tersebut, namun tidak semua pemohon mengetahui prosedur
permohonan, pemenuhan kewajiban baik pada saat persetujuan prinsip maupun ketika IPPKH telah diterbitkan oleh menteri kehutanan. Pemohon IPPKH bisa
dikatakan telah siap untuk mengimplementasikan kebijakan PKH. Kesiapan tersebut meliputi kondisi finansial dan kesiapan menerima semua konsekuensi
akibat permohonannya seperti, berbelit-belitnya birokrasi pengurusan izin, curahan waktu tunggu yang cukup panjang, biaya transaksi yang tinggi, kondisi
kawasan hutan yang rawan konflik.
Sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya, kebijakan PKH merupakah kebijakan inkrementalis. Menurut Nugroho 2009 model
inkrementalis melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi ataupun kelanjutan kebijakan di masa lalu. Model ini dapat dikatakan sebagai model
pragmatispraktis. Pendekatan ini diambil ketika pengambil kebijakan berhadapan dengan keterbatasan waktu, ketersediaan informasi, dan kecukupan anggaran
untuk melakukan evaluasi kebijakan secara komprehensif. Dalam praktiknya model kebijakan inkrementalis jamak dilakukan pada negara-negara berkembang.
75 Dalam perjalannya, kebijakan ini sering sekali mengalami perubahan
seiring dengan isumasalah yang menyertai kebijakan tersebut. Berdasarkan analisis terhadap isi peraturan perundang-undangan PKH, perubahan-perubahan
tersebut pada prinsipnya tidak terlalu mengubah maksud, tujuan dan target kebijakan tersebut. Perubahan kebijakan lebih pada penambahanperbaikan
persyaratan dan kewajiban yang dibebankan kepada pemohon izin. Tak pelak, perubahan-perubahan tersebut justru menambah beban pemohon izin terutama
meningkatnya biaya transaksi pada saat mengimplementasikan kebijakan tersebut. Banyaknya permasalahan yang dihadapi pemohon IPPKH sampai dengan proses
pemenuhan kewajiban dan konflik yang harus dihadapi di lapangan menunjukkan bahwa perubahan-perubahan kebijakan tersebut tidak efektif meningkatkan
kinerja implementasi kebijakan tersebut.
4. Ketepatan Lingkungan