Snowball Sampling Implementasi Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan untuk Pertambangan Perspektif Hubungan Principal Agent

19 apapun, seorang peneliti harus secara aktif menyaksikan semua gejala yang sedang dikaji. Adapun alasan peneliti melakukan observasi adalah untuk menyajikan gambaran realistik perilaku atau kejadian, untuk menjawab pertanyaan, untuk membantu mengerti perilaku manusia, dan untuk evaluasi yaitu melakukan pengukuran terhadap aspek tertentu dan melakukan umpan balik terhadap pengukuran tersebut. Observasi tidak hanya berperan sebagai teknik paling awal dan paling mendasar dalam penelitian, tetapi juga karena teknik ini paling sering dipakai dalam bidang keilmuan lainnya, seperti observasi partisan, rancangan penelitian eksperimental dan wawancara Adler dan Adler 2009. Sedangkan Bungin 2009 mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak terstruktur. Di dalam penelitian ini akan menggunakan metode bentuk observasi tidak berstruktur unstructured observation, yaitu observasi yang dilakukan tanpa menggunakan guide observasi. Pada observasi ini peneliti harus mampu mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati suatu obyek serta harus menguasai ilmu tentang obyek penelitianpengamatan. Suatu kegiatan pengamatan baru dikategorikan sebagai kegiatan pengumpulan data dan penelitian apabila memiliki kriteria; 1 pengamatan dilakukan dalam penelitian dan telah direncanakan secara serius, 2 pengamtan harus berkaitan dengan tujuan penelitian yang telah ditetapkan, 3 pengamatan dicatat secara sistematik dan dihubungkan dengan proposisi umum dan bukan dipaparkan sebagai suatu yang hanya menarik perhatian, dan 4 pengamatan dapat dicek dan dikontrol mengenai keabsahannya Bungin 2009. Metode Pengambilan Contoh 1. Purposive Sampling Dalam pendekatan kualitatif, unit contoh yang digunakan adalah key informan sebagai sumber informasi dalam penelitian ini. Penentuan informan kunci dilakukan dengan metode purposive sampling yaitu penentuan key informan secara sengaja sesuai dengan tujuan penelitian. Informan kunci ditentukan berdasarkan keahlian, pengetahuan, kapasitas, kewenangan, keterlibatan dan kebersediaan informan kunci yang berhubungan dengan implementasi kebijakan PKH dari tingkat pusat sampai dengan pelaksanaan di lapangan.

2. Snowball Sampling

Snowball sampling adalah metode yang digunakan untuk memperoleh data dan informasi, hasil penelitian dan pengetahuan, dari asosiasi yang diperpanjang, melalui kenalan sebelumnya. Seorang individu atau kelompok menerima informasi dari tempat yang berbeda melalui perantara bersama. Hal ini disebut sebagai sampling bola salju metaforis karena sebagai hubungan yang lebih dibangun melalui asosiasi bersama, lebih banyak koneksi dapat dilakukan melalui hubungan-hubungan baru dan sejumlah besar informasi dapat dibagi dan dikumpulkan, seperti gulungan bola salju dan peningkatan ukuran seperti itu akan mengumpulkan lebih banyak salju. Snowball sampling adalah alat yang berguna untuk membangun jaringan dan meningkatkan jumlah peserta. Namun, keberhasilan dari teknik ini sangat tergantung pada kontak awal dan koneksitas yang dibuat. Oleh karena itu penting untuk berkorelasi dengan mereka yang populer dan terkenal untuk menciptakan lebih banyak kesempatan untuk berkembang serta untuk menciptakan reputasi yang kredibel dan dapat diandalkan. Verifikasi dan Validasi Setiap penelitian menentukan adanya standar untuk melihat derajat kepercayaan dan kebenaran terhadap hasil penelitian tersebut. Menurut Guba dan Lincoln 2009, Moleong 1988 dan Nasution 1992 dalam Bungin 2009, a da empat kriteria yang digunakan untuk memeriksa keabsahan data, yaitu: derajat kepercayaan credibility, keteralihan transferability, ketergantungan dependability dan kepastian confirmability. Kredibilitas adalah kegiatan untuk memeriksa keabsahan data sampai seberapa jauh tingkat kepercayaannya melalui : 1. Member check adalah kegiatan informan memeriksa kembali catatan lapangan yang peneliti berikan, baik berupa hasil observasi maupun wawancara, agar data tentang proses dan implementasi kebijakan PKH yang diberikan telah sesuai dengan apa yang dimaksud oleh informan. Jika diperlukan, setelah diperiksa, diperbaiki, ditambah atau dikurangi, kemudian ditandatangani oleh informan. 2. Triangulasi merupakan proses mencek kebenaran suatu informasi dengan menggali informasi tersebut dari berbagai pihak dengan beberapa cara, dengan tujuan untuk melakukan verifikasi atau konfirmasi informasi. Menurut Bungin 2009 terdapat triangulasi peneliti, triangulasi metode, triangulasi teori dan triangulasi sumber data. Triangulasi peneliti dilakukan dengan meminta bantuan peneliti lain melakukan pengecekan langsung, wawancara ulang, serta rekaman data yang sama di lapangan. Triangulasi metode dalam pengumpulan data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan metode berbeda. Triangulasi teori dalam hal ini dapat dilakukan dengan menguraikan pola, hubungan dan menyertakan penjelasan yang muncul dari analisis untuk mencari tema atau penjelasan pembanding. Apabila peneliti gagal menemukan informasi yang cukup kuat untuk menjelaskan kembali informasi yang telah diperoleh, justru peneliti telah mendapatkan bukti bahwa derajat kepercayaan hasil penelitian peneliti sudah tinggi. Triangulasi sumber data adalah berkenaan dengan upaya untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. 3. Perpanjangan pengamatan, berarti peneliti kembali ke lapangan, dengan melakukan berbagai kegiatan, baik dalam bentuk mengecek kembali kebenaran data yang telah dikumpulkan, maupun untuk lebih mengakrabkan hubungan antara peneliti dengan informan, sehingga informasi yang diberikan akan lebih menjamin kepastian kebenaran data yang diperoleh. Perpanjangan pengamatan dibuktikan dengan surat keterangan perpanjangan dan dilampirkan dalam laporan penelitian. 4. Analisis kasus negatif adalah kasus yang tidak sesuai atau berbeda dengan hasil penelitian hingga pada saat tertentu. Melakukan analisis kasus negatif berarti peneliti mencari data yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan data yang telah ditemukan. Bila tidak ada lagi data yang berbeda atau bertentangan dengan temuan, berarti data yang ditemukan sudah dapat dipercaya. 21 5. Kecukupan referensi adalah dengan memperbanyak referensi yang dapat menguji dan mengoreksi hasil penelitian yang telah dilakukan, baik referensi yang berasal dari orang lain meupun referensi yang diperoleh selama penelitian seperti gambar video di lapangan, rekaman wawancara, maupun catatan-cataatan harian di lapangan Bungin 2009. 6. Uraian rinci, yaitu dengan memberikan penjelasan kepada pembaca dengan menjelaskan hasil penelitian dengan penjelasan yang serinci-rincinya. Suatu penemuan yang baik akan dapat diterima orang apabila dijelaskan dengan penjelasan yang terperinci dan gamblang, logis dan rasional. Sebaliknya penjelsaan yang panjang lebar dan berulang-ulang justru akan menyulitkan orang dalam memahami hasil penelitian Bungin 2009. Keteralihan transferability hasil penelitian biasanya berkaitan dengan pertanyaan sejauh mana penelitian ini dapat dipublikasikan atau digunakan dalam situasi lain atau suatu temuan penelitian berpeluang untuk dialihkan pada konteks lain, manakala ada kesamaan karakteristik antara situasi penelitian dengan situasi penerapan. Implikasinya, peneliti bertanggungjawab untuk menyediakan data deskriptif tentang situasi penelitian secara utuh, menyeluruh, lengkap, mendalam dan rinci. Dependabilitas berhubungan dengan konsistensi. Konsistensi di sini adalah dilihat dari arti yang lebih luas dengan memperhitungkan faktor-faktor yang mungkin mengalami perubahan, karena manusia sebagai instrumen dapat menurun perhatian dan ketajaman pengamatannya serta dapat membuat kekhilafan dan kesalahan. Sementara konfirmabilitas berkaitan dengan kenetralan atau netralitas. Netralitas mengandung aspek kuantitatif, yakni bergantung pada jumlah orang yang membenarkan atau mengkonfirmasikannya. Netralitas berarti bermakna objektivitas- subjektivitas. Objektivitas merupakan suatu kesesuaian inter-subjektif. Netralitas juga mengandung aspek kualitatif, karena kebenaran suatu data dapat juga dibenarkan atau dikonfirmasi oleh orang lain. Jadi dependabilitas dan konfirmabilitas adalah berhubungan dengan konsistensi dan kenetralan data yang kebenarannya tergantung pada konfirmasi orang lain. Selain proses pengujian terhadap keabsahan data, pada penelitian ini juga dilakukan proses verifikasi dan validasi terhadap model yang disusun. Menurut Eriyatno dan Sofyar 2007, proses verifikasi model kebijakan dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui berbagai kelemahan dan kekurangan dari model serta mengidentifikasi berbagai masalah yang perlu diantisipasi terkait dengan penerapan kebijakan yang dirumuskan. Verifikasi kebijakan dilakukan terhadap metode yang digunakan dalam pengambilan data. Sedangkan validasi model kebijakan dilakukan melalui uji pendapat pakar atau dilakukan dengan membandingkan model kebijakan hasil penelitian terhadap kebijakan yang sedang berjalan atau sudah dijalankan. Sebagai gambaran ringkasan tahapan kajian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagaimana skema pada Gambar 3. Sedangkan landasan teori, metode yang digunakan, sumber data dan keluaran yang diharapkan adalah sebagaimana tersaji pada Tabel 4. Gambar 3. Tahapan kajian implementasi kebijakan penggunaan kawasan hutan REKOMENDASI KESIMPULAN KEGIATAN PENELITIAN ANALISIS DESKRIPTIF KUALITATIF VERIFIKASI DAN VALIDASI Tidak Ya ANALISIS DATA ANALISIS PERATURAN PERUNDANG- UNDANGAN Principal Agent ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN Analisis Asumsi Analisis Para Pihak Analisis Sejarah Analisis Kebijakan Analisis Keagenan PENGUMPULAN DATA STUDI PUSTAKA, DOKUMENTASI, LAPORAN, PERATURAN, DLL DATA SEKUNDER Wawancara Mendalam Snowball Survei Pakar Observasi Purposive DATA PRIMER PERTANYAANTUJUAN PENELITIAN Bagaimana kebijakan PKH disusun Sejauhmana kapasitas lembaga Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan PKH Adakah kesenjangan antara implementasi dengan rencana kebijakan yang telah disusun Bagaimana implementasi kebijakan PKH LATAR BELAKANG KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN WILAYAH PERTAMBANGAN KAWASAN HUTAN TUMPANG TINDIH AREAL IMPLEMENTASI ? PENYUSUNAN ? Tidak 23 Tabel 4 Landasan teori, metode, jenis data, sumber data dan output yang diharapkan berdasarkan tujuan penelitian Tujuan Penelitian Landasan Teori Metode Analisis Data Metode Pengumpulan Data Metode Pengambilan Contoh Sumber Data Output yang Diharapkan Mengetahui implementasi kebijakan PKH. Teori Kebijakan Dunn 2003, Baginski dan Soussan 2002, Teori Stakeholder Reed et al 2009 Analisis implementasi kebijakan, analisis kapasitas organsasi, analisis para pihak Studi dokumentasi, Observasi, wawancara mendalam Purposive Kementerian kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten, BPKH, BP2HP, BPDASPS, Perusahaan Substansi Kebijakan, Kapasitas, peran dan posisi para pemangku kebijakan dalam menjalankan kebijakan PKH, implementasi kebijakan PKH Mengidentifikasi hambatan-hambatan dalam implementasi kebijakan PKH. Teori Kebijakan Nugroho 2009, Teori Asumsi Dewar et al 1993 dan Dunn 2003 Analisis respon, analisis biaya transaksi Studi dokumentasi, Observasi, wawancara mendalam Purposive Kementerian kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten, BPKH, BP2HP, BPDASPS, Perusahaan Hambatan-hambatan implementasi kebijakan PKH, hubungan kontraktual prinsipal dan agen, respon para pihak, biaya transaksi yang ditimbulkan Memahami hubungan antara pemerintah prinsipal dengan pemegang IPPKH agen dan permasalahn- permasalahannya Teori Keagenan Jensen dan Meckling, 1976, Eisenhardt, 1989, Nielson DL danTierney MJ. 2003 Analisis hubungan prinsipal-agen Studi dokumentasi, Observasi, wawancara mendalam Snowball, Purposive Kementerian kehutanan, Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten, BPKH, BP2HP, BPDASPS, Perusahaan Kondisi riil hubungan kontraktual, transfer of right, permasalahan-permasalahan Memberikan saran dan masukan dalam perumusanperbaikan kebijakan PKH Teori Kebijakan Dunn 2003, Nugroho 2009, Teori Asumsi Dewar et al 1993 dan Dunn 2003 Analisis kebijakan, analisis kelembagaan, analisis asumsi Studi dokumentasi, Observasi, wawancara mendalam, survey pakar Purposive Kementerian Kehutanan, Pakar Kebijakan, Kesenjangan antara kebijakan PKH dengan implementasinya, rekomendasi kebijakan Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan dari hasil wawancara dan observasi, sedangkan data sekunder didapatkan dari literatur mengenai PKH dan teori-teori yang mendukung dalam aspek kebijakan. Sumber data utamaprimer dalam penelitian ini adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada pengumpul data, sedangkan data sekunder merupakan sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya melalui dokumen. Data primer akan digali dari beberapa narasumber informan dan para pihak dari lembaga-lembaga yang terlibat langsung dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan PKH dengan teknik purposive sampling. Narasumber informan kunci dan para pihak yang diperkirakan terlibat dan menjadi sumber data dan informasi yang akan dikumpulkan adalah : 1. Lembaga Pemerintah; Direktorat PKH Direktorat Planologi, Kementerian Kehutanan RI, Dinas Kehutanan Provinsi Dishutprov dan Dinas Kehutanan Kabupaten Dishutkab, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi DisESDMProv dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten DisESDMKab, DinasBadan Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten BLHD Kab, Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai BPDAS, Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi BP2HP, Balai Konservasi Sumber Daya Alam BKSDA 2. Beberapa Perusahaan Pertambagan pemegang IPPKH sebagai unit observasi implementasi kebijakan dan perusahaan kehutanan pemegang IUPHHK. Sedangkan data sekunder akan diperoleh dari peraturan perundang- undangan yang terkait dengan PKH, dokumen-dokumen dan laporan-laporan perusahaan maupun instansi pemerintah terkait, buku atau laporan hasil penelitian maupun sumber pustaka lain yang relevan dan terpercaya. Tabel 5 menggambarkan jumlah dan sebaran respondeninforman terpilih purposive sampling maupun hasil snowball sampling selama kajian hubungan P-A dalam implementasi kebijakan PKH Tabel 5 Jumlah dan penyebaran informanresponden No Responden Jakarta Kaltim Kalsel Sultra Total 1 Kemenhut 3 - - - 3 2 Dishut Provinsi - 3 1 2 6 3 Dishut Kabupaten - 1 1 2 4 4 BPKH - 1 3 1 5 5 BPDASPS - 1 1 1 3 6 BP2HP - 1 1 - 2 7 BKSDA - - - 1 1 8 BLHD Kabupaten - 1 - 2 3 9 Distamben Kabupaten - 1 1 1 3 10 Perusahaan IPPKH 8 7 2 6 23 11 Perusahaan IUPHHK 5 2 - - 7 12 Konsultan 2 - - - 2 Jumlah 18 18 10 16 62 25 Sedangkan data sekunder diperoleh dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan PKH, dokumen-dokumen dan laporan-laporan perusahaan maupun instansi pemerintah terkait, buku, majalah, koran atau laporan hasil penelitian maupun sumber pustaka lain yang relevan dan terpercaya. Instrumen Penelitian Dalam penelitian ini, instrumen yang dipakai dalam pengumpulan data lebih banyak bergantung pada diri peneliti itu sendiri sebagai alat pengumpulan data. Peneliti sebagai suatu instrumen memiliki kemampuan yang dapat menilai situasi dan kondisi saat penelitian dan memutuskan secara luwes. Oleh karena itu, peneliti harus memiliki bekal teori dan wawasan yang luas agar mampu bertanya, menganalisis, dan mengkonstruksi obyek yang diteliti dengan jelas. Penelitian ini lebih menekankan pada makna dan terikat nilai. Penelitian kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang tersembunyi, untuk memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk memastikan kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan Selain peneliti, dalam penelitian ini, instrumen penelitian yang dipakai untuk mengumpulkan data adalah kuesioner, pedoman wawancara, alat rekam dan kamera. . PERUMUSAN KEBIJAKAN PENGGUNAAN KAWASAN HUTAN Pendahuluan Masuknya sebuah isu kebijakan atau masalah ke dalam proses penyusunan agenda ditentukan oleh banyak hal. Tidak semua masalah publik akan masuk ke dalam agenda kebijakan. Masalah-masalah tersebut saling berkompetisi antara satu dengan lainnya. Hanya masalah-masalah tertentu yang pada akhirnya akan masuk ke dalam agenda kebijakan Kusdamayanti 2008 IDS 2006 menyatakan bahwa proses kebijakan merupakan suatu proses yang kompleks dengan karakteristik sebagai berikut: 1 bertahap, pembuatan kebijakan merupakan proses yang berulang, berdasarkan pengalaman, dan belajar dari kesalahan sebelumnya; 2 selalu diwarnai dengan kepentingan yang overlap dan berkompetisi; ada pihak yang diakomodir ada juga yang diabaikan; 3 tidak hanya mempertimbangkan hal teknis, nilai dan fakta sangat berperan penting; 4 para ahli teknis dan pembuat kebijakan secara bersama-sama terlibat dalam proses membangun kebijakan. Apa yang menyebabkan masalah pertambangan di dalam kawasan hutan menjadi isu kebijakan sejalan dengan pendapat Wahab 1997 dalam Kusdamayanti 2008, menyatakan bahwa pada intinya isu kebijakan biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat diantara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan mengenai karakter masalah itu sendiri. Hal ini dapat dijelaskan karena pada dasarnya proses penyusunan agenda merupakan persoalan politik dan karena itu kental dengan muatan politik. Beberapa persoalan tertentu, karena alasan tertentu, tidak pernah menjadi agenda publik, sementara yang lainnya dengan begitu mudah menyedot perhatian dan segera ditindak lanjuti. Menurut PP Nomor 24 Tahun 2010 jo PP Nomor 61 Tahun 2012 tentang PKH, penggunaan kawasan hutan didefinisikan sebagai penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan tersebut. Penggunaan kawasan hutan merupakan salah satu kebijakan pemerintah yang cukup strategis, terutama bagi peningkatan investasi di sektor pertambangan dan energi, ketenagalistrikan dan telekomunikasi. Sebagai suatu kebijakan, penggunaan kawasan hutan telah diatur mekansimenya dalam perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, PP Nomor 24 Tahun 2010 jo. PP Nomor 61 Tahun 2012 tentang PKH dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.16Menhut-II2014 yang merupakan produk Peraturan Menteri Kehutanan terakhir dari serangkain perubahan-perubahan yang dilakukan sebelumnya. Undang-undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 38 secara tegas mengatur dan menjelaskan batasan-batasan penggunaan kawasan hutan, yaitu sebagaimana bunyi ayat-ayatnya: 1. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung, 2. Penggunaan kawasan hutan dapat dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok 27 kawasan hutan, 3. Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan, 4. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka, 5. Pemberian izin pinjam pakai yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam pasal 50 ayat 3 UU Nomr 41 Tahun 1999 disebutkan larangan bagi orang, kelompok atau badan hukum untuk mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah serta melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri. Terhadap pelanggaran pasal tersebut di atas dikenakan sangsi berupa kurungan selama-lamanya 10 tahun atau denda sejumlah 5 milyar rupiah Pasal 78 UU Nomr 41 Tahun 1999. Seiring dengan perkembangan kebijakan di sektor kehutanan, penggunaan kawasan hutan juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan, terutama untuk pertambangan. Hal itu disebabkan oleh kondisi ekonomi bangsa yang kian membaik, permintaan dunia akan sumberdaya energi dan mineral yang meningkat dan dibukanya kesempatan secara luas untuk mendapatkan izin penggunaan kawasan hutan dari Menteri Kehutanan. Tujuan Tujuan penelitian dalam bab ini adalah mengetahui sejarah dan perkembangan kebijakan PKH, faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan PKH serta menganalisis proses perumusan kebijakan PKH. Untuk menjawab pertanyaan dan tujuan dalam bab ini akan digunakan konsep pendekatan historical institution Peters 2000; Peters et al. 2005; Steinmo 2008 dan proses perumusan kebijakan menurut Baginski dan Soussan 2002. Metode Analisis Analisis Sejarah Kebijakan Peters 2000 menyebutkan ada empat pendekatan kajian institusi, yaitu: 1 Rational Choice , 2 Normative Institutionalism, 3 Historical Institutionalism, dan 4 Empirical Institutionalism. Selanjutnya Peters et al. 2005 menyebutkan bahwa argumentasi historical institusionalism atau institusi-sejarah adalah perilaku kebijakan dan struktur pilihan publik saat ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan yang telah dibuat pada masa lalu. Pendekatan sejarah menyebutkan bahwa unsur-unsur institusi yang dibangun pada awal akan secara terus menerus mempengaruhi perilaku hingga saat ini. Inti konsep pendekatan kebijakan yang digunakan oleh ahli institusi-sejarah adalah path dependency atau keterikatan jejak antara kebijakan saat ini dengan kebijakan masa lalu, tetapi ahli institusi- sejarah juga tertarik dengan ide bentuk dan keberlanjutan dari arah kebijakan. Pendekatan institusi-sejarah sangat baik dalam membahas keterkaitan kebijakan, tetapi relatif lemah dalam penjelasan perubahan struktur kebijakan. Adapun pengertian sejarah menurut Kartodirdjo 1992 adalah peristiwa atau kejadian di masa lampau yang mengungkapkan fakta mengenai apa, siapa, kapan, dimana, dan menerangkan bagaimana sesuatu telah terjadi. Ada tiga kategori penelitian sejarah, yaitu: 1 Sejarah naratif deskriptif naratif, 2 Sejarah analitis deskriptif analitis, dan 3 Sejarah naratif analitis naratif analitis. Sejarah naratif deskriptif naratif adalah penelitian sejarah yang memuat cerita deskripsi tentang masa lampau. Penelitian ini menekankan kepada rekonstruksi kejadian masa lampau berdasarkan urutan waktu. Sejarah analitis deskriptif analitis adalah penelitian sejarah secara kritis yang berpusat kepada masalah problem oriented sesuai sudut pandang penelitiannya. Sejarah naratif analitis adalah penelitian tentang sejarah yang dilakukan oleh ahli sejarah sejarawan yang mempelajari sejarah secara kritis Hero, 2012. Pendekatan sejarah naratif analitis tersebut digunakan oleh Hero 2012 dalam disertasinya yang mengkaji tentang peran kelembagaan dalam proses pembuatan kebijakan pengelolaan Hutan Pendidikan Gunung Walat berdasarkan pendekatan sejarah dan diskursus. Pendekatan analisis sejarah yang dilakukan yaitu sejarah non-naratif yang tidak bertujuan menyusun cerita sejarah, melainkan penelitian berpusat kepada masalah problem oriented, dalam hal ini masalah praktik sosial berupa kerangka pikir frame yang berhubungan dengan kebijakan. Selanjutnya Menurut Kartodirdjo 1992, menerangkan sejarah naratif adalah sejarah yang membuat deskripsi tentang kejadian di masa lampau dengan merekonstruksi apa yang terjadi serta diuraikan sebagai cerita yang disusun menurut waktu kejadian. Sementara sejarah non-naratif adalah sejarah yang tidak menyusun cerita, tetapi berpusat kepada suatu masalah tertentu problem oriented . Steinmo 2008 menyebutkan bahwa institusional historis historical institutionalism bukanlah suatu teori atau metode penelitian, melainkan suatu pendekatan dalam penelitian kebijakan. Pendekatan historis berbeda dengan pendekatan penelitian ilmu sosial lainnya dalam penelitian kebijakan. Pendekatan historis dalam penelitian kebijakan didasarkan pada beberapa hal, yaitu: data empiris berdasarkan kondisi nyata, stuktur institusi, perilaku dan kinerja yang dihasilkan. Lebih lanjut Steinmo 2008 menyebutkan bahwa pendekatan historis berada diantara dua pilihan, yaitu; pilihan rasional dan pilihan normatif. Pendekatan historis tidak percaya bahwa manusia dengan mudah membuat keputusan berdasarkan pilihan rasional maupun pilihan normatif, dimana manusia dapat membuat keputusan berdasarkan kedua pilihan mengikuti norma sosial dan mendapatkan manfaat diri sendiri secara bersamaan. Pendekatan historis mempelajari mengapa pilihan tertentu diambil dalam keputusan dan atau mengapa kinerja tertentu yang dihasilkan. Kelebihan pendekatan sejarah dalam kelembagaan, yaitu: 1 Berbagai keputusan dan kebijakan terjadi dalam waktu sejarah tertentu, 2 Para pelaku dan agen dapat belajar dari pengalaman dalam waktu sejarah tertentu, dan 3 Keputusan pada masa datang dipengaruhi oleh keputusan yang dibuat pada masa lalu. Pengumpulan data untuk mendukung analisis ini dilakukan dengan kajian kepustakaan dengan mengumpulkan sejumlah bahan-bahan hukum baik yang bersifat primer dan sekunder, dokumen resmi berupa peraturan perundang- undangan, serta putusan-putusan lembaga hukum, pendapat para ahli, hasil dari 29 penelitian-penelitian yang telah dilakukan juga berbagai tanggapan, opini dari berbagai kalangan pemerhati dan lapisan masyarakat yang berkaitan dengan masalah esensial dari kandungan atau materi undang-undang atau peraturan penggunaan kawasan hutan. Analisis Perumusan Kebijakan Untuk mengetahui perjalanan perumusan peraturan perundang-undangan PKH akan dilakukan teknik analisis proses perumusan kebijakan seperti yang dicontohkan oleh Baginski dan Soussan 2002. Aspek yang menjadi fokus analisis tersebut meliputi : - Tonggak kunci kebijakan. Tonggak kunci kebijakan berupa perjalanan sejarah kebijakan PKH. Data diperoleh dari kajian dokumen dan literatur serta wawancara mendalam kemudian dianalisis dengan metode pathway dependent. Tonggak peristiwa penetapan kebijakan PKH digali dari perjalanan sejarah dan perkembangan kebijakan PKH di Indonesia. Untuk menentukan tonggak kunci dalam penelitian ini juga akan dilakukan dengan pendekatan analisis sejarah sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bentuk non-naratif yang tidak bertujuan menyusun cerita sejarah, melainkan penelitian berpusat kepada masalah problem oriented, dalam hal ini masalah praktik sosial berupa kerangka pikir frame yang berhubungan dengan kebijakan. Dengan memahami sejarah, fakta-fakta dan kekuatan-kekuatan yang berperan dalam perumusan kebijakan PKH di masa lampau, maka banyak hal dan fenomena saat ini yang dapat dipahami dan dijelaskan. Selanjutnya, dengan memahami fenomena tersebut di masa kini, diharapkan dapat diproyeksikan kebijakan di masa yang akan datang. - Konteks Politik dan Pemerintahan. Konteks politik dan pemerintahan dalam proses perumusan kebijakan berupa kondisi pemerintahan yang mendukung pada saat kebijakan PKH dirumuskan. Data diperoleh dari hasil wawancara dianalisis dengan teknik analisis yang sesuai dan disajikan secara deskriptif kualitatif. - Isu Kunci Kebijakan. Identifikasi isu kunci kebijakan berupa permasalahan yang menjadi latar belakang dirumuskannya kebijakan PKH, serta kecenderungan atau arah kebijakan yang saat ini menjadi fokus perhatian. Data dianalisis dari hasil wawancara dan disajikan secara deskriptif kualitatif. - Proses Pembentukan Kebijakan. Dalam proses pembentukan kebijakan diidentifikasi aktor yang terlibat dalam perumusan kebijakan, permasalahan terhadap struktur organisasi formal yang terkait dengan dirumuskannya kebijakan PKH, ide dasar diskursus yang diyakini para aktor, dan strategi aktor untuk menggulirkan kebijakan. Data disajikan dengan teknik deskriptif kualitatif melalui suatu prosedur analisis data wawancara. Hasil dan Pembahasan Sejarah Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan Istilah kehutanan atau forestry Inggris, [forstwirtschaft] Jerman, bosbouw Belanda dalam kehidupan sehari-hari diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan hutan, termasuk kegiatan pengurusan hutan. Menurut Undang- undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, pengertian kehutanan diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang bersangkut paut dengan hutan dan pengurusannya. Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, kehutanan diartikan sebagai sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Istilah ini semula digunakan oleh Daendels pada tahun 1808 dengan istilah [bosbouw] atau kehutanan. Pada waktu istilah kehutanan mulai digunakan, kehutanan hanya diartikan sebagai kegiatan yang menyangkut soal keberadaan hutan, pemanfaatan hasil hutan, penebangan kayu dan kegiatan-kegiatan lainnya Djajapertjunda dan Djamhuri 2013. Selanjutnya Djajapertjunda dan Djamhuri 2013 menyatakan bahwa secara historis jauh sebelum kerajaan-kerajaan di Indonesia berkuasa, masyarakat Indonesia sudah dapat memanfaatkan hutan sebagai sumber bahan makanan, sumber kayu sebagai bahan untuk membuat tempat tinggal dan bahan pakaian. Pada saat itu, hutan sebagai sumber daya alam dirasakan berbeda dengan sumber daya alam lainnya karena hutan sudah tersedia secara alamiah. Kerajaan dan kesultanan yang berkuasa di zamannya telah memanfaatkan hutan untuk membangun istana kerajaan, perumahan, benteng, bahkan membangun armada perkapalan yang dapat mengarungi sungai-sungai dan menyeberangi lautan, sedangkan hasil hutan seperti kayu cendana, kayu hitam dan lain-lain sudah menjadi komoditi perdagangan antarbangsa. Ketika VOC Vereenigde Oost Indische Compaigne datang ke Indonesia pada pemulaan abad 17 di Jawa, di Bekasi sudah ada industri rakyat yang menggunakan kayu sebagai bahan bakunya Djajapertjunda dan Djamhuri 2013. Sekalipun pengaturan dalam bentuk peraturan tertulis tentang kehutanan sudah ada sejak berkuasanya VOC, momentum awal pembentukan hukum tentang kehutanan di Indonesia, dapat dikatakan dimulai sejak tanggal 10 September 1865, yaitu dengan diundangkannya reglemen tentang Hutan Boschreglement 1865. Reglemen ini merupakan awal mula adanya pengaturan secara tertulis upaya konservasi sumber daya hayati Salim 2003. Setelah VOC dibubarkan dan hutan di Jawa diserahkan kepada Pemerintah Hinda Belanda pengurusan hutan berkembang dengan pesat, antara lain dengan dibentuknya Jawatan Kehutanan pada tahun 1865. Menurut Simon 2000 pada tahun 1865 telah disusun rancangan draft undang-undang kehutanan untuk pertama kali. Rancangan undang-undang itu disusun dalam jangka waktu yang sangat lama hingga pada tahun 1927 disahkan sebagai Undang-undang Kehutanan 31 untuk pertama kalinya yang setiap lima tahun dikaji berdasarkan pengalaman dan persoalan yang timbul dari pelaksanaan di lapangan. Undang-undang ini hanya berlaku untuk mengatur pengelolaan hutan di pulau Jawa dan Madura. Simon 2000 melanjutkan, bahwa sejalan dengan perkembangan ilmu kehutanan, hutan alam jati di Jawa yang rusak akibat praktik penambangan kayu, khususnya oleh VOC selama dua abad, lalu dibangun dengan model Jerman. Bentuk pengelolaan hutan model Jerman itu dikenal dengan kebun kayu timber management , dan pemerintah Hindia Belanda dengan sukses dapat membangun hutan tanaman jati monokultur. Pengelolaan kebun kayu jati itulah yang kemudian dituangkan di dalam Undang-undang Kehutanan Jawa dan Madura tahun 1927 tersebut. Pengurusan hutan hanya berlangsung efektif di Jawa, sedangkan di luar Jawa dilaksanakan oleh para sultan atau raja dan masyarakat adat yang menguasainya. Selama pendudukan tentara Jepang 1942-1945 dan perjuangan kemerdekaan Indonesia 1945-1950, pengurusan hutan terhambat. Baru setelah Indonesia bersatu kembali pada tahun 1950 hutan dapat dikelola dengan baik Djajapertjunda dan Djamhuri 2013. Pada tahun 1966, pemerintah rezim Orde Baru mulai melakukan pembangunan ekonomi nasional. Masalah utama yang dihadapi negara dan bangsa saat itu adalah rendahnya pendapatan per kapita masyarakat Indonesia, yaitu hanya US 80tahun, serta ketiadaan modal untuk menjalankan pembangunan. Sementara itu Indonesia sebenarnya memiliki hutan alam tropika basah di luar Jawa yang sangat luas dan mempunyai potensi ekonomi tinggi untuk dimanfaatkan. Oleh karena itu disusun Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tanggal 24 Mei 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan untuk mengatur pengusahaan hutan di luar Jawa. Acuan yang tersedia bagi pengambil keputusan di bidang kehutanan pada waktu itu tentu saja hanya Undang-undang Kehutanan untuk Jawa dan Madura Tahun 1927 Simon 2000. Berlakunya UUPK produk bangsa Indonesia ini dimaksudkan demi kepentingan nasional, dan sekaligus pula mengakhiri keberlakuan Boschordonantie 1927 yang telah berlaku selama 40 tahun lamanya. Untuk percepatan pertumbuhan ekonomi pada masa orde baru 1965- 1997, pemerintah menerbitkan empat undang-undang yang sangat strategis, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 jo Undang-undang Nomor 11 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Asing, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan dan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri. Terbitnya undang-undang dalam tiga sektor yang berbeda tersebut dimaksudkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sebagai penopang pembangunan nasional pada masa itu. Terbitnya Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tersebut menjadi titik tolak bagi pembangunan sektor kehutanan di Indonesia dengan mengotpimalkan sumberdaya manusia kehutanan untuk meningkatkan peranan hutan dan kehutanan. Semangat tersebut membuahkan hasil hingga pada puncaknya devisa sektor kehutanan mencapai urutan ke 2 setelah minyak bumi. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967, mengamanatkan bahwa pengurusan hutan pada hakekatnya adalah untuk mendapatkan manfaat hutan yang sebesar-besarnya secara serbaguna dan lestari baik secara langsung maupun tidak langsung, bagi kemakmuran masyarakat. Agar usaha-usaha dan kegiatan yang berkaitan dengan pengurusan hutan tersebut secara administratif dan teknis dapat terselenggara dengan baik maka diperlukan adanya wadah atau sarana kelembagaan yang dapat menampung seluruh aktivitas kegiatan di bidang kehutanan. Indonesia menjadi produsen kayu log utama, lebih besar dari seluruh negara Afrika dan Amerika Latin, yang menyumbangkan devisa 2,1 miliar dolar AS sekitar 40 persen saham dari pasar log global. Pada tahun 1985, ekspor log dilarang pemerintah karena pemerintah ingin membuat kebijakan untuk mengintegrasikan pemanfaatan sumber daya hutan dari hulu hingga hilir dengan membangun Plywood. Dengan kebijakan ini, pemerintah memperoleh devisa 50 miliar dolar AS selama periode 1983-1997 Hidayat 2008. Setelah Indonesia mengalami krisis moneter yang melanda seluruh sendi perekonomian Negara pada tahun 1997, banyak kegiatan kehutanan terutama yang dilaksanakan oleh pihak perusahaan swasta menurun drastis. Hampir di seluruh kawasan hutan di penjuru negara ini mengalami degradasi yang disebabkan oleh perambahan hutan dan penebangan hutan tanpa izin sehingga banyak kalangan yang menghawatirkan kelestarian hutan Indonesia Djajapertjunda dan Djamhuri 2013. Dalam penelusuran literatur tentang sejarah pengelolaan hutan di Indonesia, terminologi penggunaan pinjam pakai kawasan hutan dalam rentang periode pra kolonial, masa kolonial sampai masa orde lama tidak ditemukan. Pengelolaanpengurusan hutan masih terbatas pada pemanfaatan hasil hutan kayu. Terminologi tersebut baru muncul pada masa orde baru untuk mengakomodir pertumbuhan ekonomi pada saat itu. Eksploitasi sumberdaya alam, baik sumberdaya hutan maupun sumberdaya pertambangan dan energi pada saat itu menjadi tumpuan utama penerimaan negara, sehingga kedua sektor ini dipacu pembangunannya. Luasnya kawasan hutan yang ditunjuk oleh pemerintah saat itu menjadi keterbatasan bagi sektor lain untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada di dalamnya, terutama sektor pertambangan dan energi. Untuk mengaturnya, pemerintah presiden menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1976. Inpres ini memprioritaskan sektor pertambangan di atas sektor-sektor lain yang kemudian diakomodir oleh Departemen Pertanian saat itu dengan menerbitkan SK Dirjen Kehutanan No 64KptsDJI1978 tentang Pedoman Pinjam Pakai Tanah Kawasan Hutan. SK Dirjen Kehutanan tersebut merupakan cikal bakal lahirnya terminologi ―pinjam pakai‘ untuk penggunaan kawasan hutan bagi kepentingan sektor- sektor lainnya. Pada masa ini sistem yang berlaku adalah ―perjanjian‖ pinjam pakai sampai dengan lahirnya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.14Menhut-II2006. Lahirnya Permenhut P.14Menhut-II2006 yang kemudian diperbaiki dengan Permenhut P.64Menhut-II2006 ini menandai babak baru kebijakan penggunaan kawasan hutan dengan adanya perubahan sistem ―perjanjian pinjam pakai kawasan hutan‖ menjadi ―izin pinjam pakai kawasan hutan‖. Pada dasarnya kebijakan penggunaan kawasan hutan tersebut tidak terbatas untuk kepentingan pertambangan saja, namun untuk kepentingan sektor- sektor lain yang secara strategis membutuhkannya seperti: pertahanan keamanan, perhubungan, telekomunikasi, pengairan dan sebagainya. Kebijakan penggunaan kawasan hutan atau saat ini lazim disebut sebagai pinjam pakai kawasan hutan, 33 mengalami perkembangan seiring dengan tuntutan dan perubahan kebijakan lainnya. Proses Perumusan Kebijakan Penggunaan Kawasan Hutan Mengacu pada tahapan proses analisis kebijakan yang dikemukakan oleh Baginski and Soussan 2002, narasi berikut menjelaskan hasil analisis proses penyusunan kebijakan penggunaan kawasan hutan:

1. Tonggak Kunci Penetapan Kebijakan